PENGARUH PENGINJILAN GEREJA KEMAH INJIL INDONESIA (GKII) TERHADAP SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT DAYAK MUALANG

PROPINSI KALIMANTAN BARAT

Filologos Zakaria

Sunardi

Tri Widiarto

Pendidikan Sejarah-FKIP Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Masyarakat Dayak Mualang Dusun Mertawai Desa Sungai Tapah hidup dalam budaya yang dipengaruhi oleh suatu kepercayaan animisme. Hal tersebut mempengaruhi pola pikir masyarakatnya dan hubungan interaksi sosial antar masyarakat. Penelitian ini untuk mendiskripsikan pengaruh masuknya agama Kristen yang dilakukan oleh Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) terhadap masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat yang dikaji melalui hubungan sosial dan budaya pada masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif kualitatif hasil penelitian masuknya penginjilan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) jemaat Gilgal di Desa Sungai Tapah Dusun Mertawai banyak mengubah masyarakat setempat khususnya dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, terutama karena banyak hilangnya adat istiadat dan hukum adat setempat. Masuknya Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jemaat Gilgal di desa Sungai Tapah Dusun Mertawai telah membawa perubahan secara kongkrit dalam hal pola pikir, kebiasaan, dan pendidikan pada masyarakat Dayak Mualang.

Kata Kunci: Pengaruh, Penginjilan, Sosial dan budaya masyarakat Dayak Mualang.


PENDAHULUAN

Berdirinya Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau, Propinsi Kalimantan Barat tidak terlepas dari peran organisasi penginjilan yang bernama KINGMI. Berdirinya GKII di Dusun itu merupakan Visi dari The Christian and Missionary Alliance (C&MA) yang isinya mengkabarkan ajaran Yesus sampai ke pelosok bumi (misionaris).

Pada tanggal 10 Februari 1928, R.A. Jaffray menginjakkan kakinya di pulau Borneo atau Kalimantan. Kemudian pada September 1930, R.A. Jaffray pindah ke Makassar untuk mendirikan kantor pusat C&MA di kota itu. Makassar dipilih karena secara geografis kota pelabuhan itu sangat strategis, karena kota itu terletak di tengah-tengah kepulauan Hindia Belanda. Dari tempat itu Jaffray memperluas pelayanannya mulai dari Sumatera hingga Irian Jaya. Ada tiga hal yang sangat diutamakan Jaffray dalam menunjang pelayanannya itu, yakni penerbitan buku, pendidikan, dan membangun gereja pusat (Rodger Lewis, 1995: 26).

Awal pelayanan GKII di Kalimantan Barat secara resmi dimulai sejak bulan April 1933. Tetapi, sebenarnya GKII sudah membuka pelayanannya di daerah Sungai Kapuas sejak tahun 1932. Jaffray menunjuk keluarga J.A. Mouw untuk membuka pelayanan GKII di kota Sintang dikarenakan kondisi Jaffray yang sakit pada waktu itu (Rodger Lewis, 1995: 192).

Pendeta Mouw bersama siswa-siswi praktek Sekolah Alkitab Makassar (SAM) mulai mengenalkan Injil kepada masyarakat Dayak Mualang di daerah Belitang. Pada waktu itu masyarakat Belitang masih percaya terhadap takhayul dan penyembahan roh nenek moyang. Secara bertahap praktek penyembahan roh nenek moyang mulai luntur semenjak mereka mengenal Injil. Dengan bertambahnya pengikut Kristus di daerah itu kemudian dibangun Sekolah Alkitab Immanuel (SAI) di Balai Sepuak pada bulan Januari 1950. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti pengaruh dari masuknya penginjilan di daerah Belitang Hulu khususnya di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah. Penulis tertarik untuk meneliti apakah dari masuknya penginjilan tersebut mempengaruhi keadaan sosial dan budaya pada masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang terse-but, maka permasalahan yang akan di teliti sebagai berikut: Bagaimana pengaruh Penginjilan Gereja Kemah injil Indonesia yang berawal dari visi misionaris Albert Benjamin Simpson terhadap perubahan kehidupan sosial dan budaya dalam masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah, Kecamatan Belitang Hulu.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertu-juan untuk mengkaji pengaruh Penginjilan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) terhadap aspek sosial dan budaya ma-syarakat Dayak Mualang di Dusun Mer-tawai, Desa Sungai Tapah dari segi religi, pola pikir, kebiasaan, adat-istiadat, hukum adat, kebudayaan lokal dan pendidikan.

KAJIAN PUSTAKA

Penginjilan sering diartikan sebagai “Usaha untuk memberitakan kabar baik kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus Kristus dengan tujuan agar mereka dapat menerima DIA sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi”. Penjelasan ini memang benar, tetapi kalau disimak ulang maka akan terlihat bahwa pengertian penginjilan yang diberikan di sini bersifat sempit dan tidak lengkap, terutama dalam menjelaskan konsep Alkitab yang utuh tentang penginjilan (Y.Y. Tomatala, 1997: 1).

Adat adalah kata Arab, yang juga diambil-alih oleh bangsa-bangsa yang bu-kan Islam di Asia Tenggara sebagai kata pinjaman, sebagian juga dengan sedikit perubahan. Asal katanya ialah kata kerja ada, berbalik-kembali, datang-kembali. Jadi, adat adalah pertama-tama yang berulang-ulang atau teratur datang-kem-bali, artinya: yang lazim, dengan demikian: kebiasaan. Sinonim lain, yang lebih tua, dalam sejarah kebudayaan Indonesia ialah biasa, yang berasal dari kata Sansekerta abhaysa. Maknanya telah sangat meluas sejak zaman Hindu (Lothar Schreiner, 2003: 18).

Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat, 1974: 19).

Hukum Adat adalah aturan manu-sia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berke-luarga, kemudian bermasyarakat, dan ber-negera. Sejak manusia berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka (Hilman Hadikusuma, 2003: 1).

Agama dan kebudayaan merupa-kan dua aspek dalam kehidupan manusia yang saling berhubungan satu dengan lainnya hingga sulit memisahkan serta membedakan peranannya dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian keduanya mempunyai peranan yang saling mengisi. Agama atau religion artinya sistem keper-cayaan yang berhubungan dengan pe-nyembahan kepada The Supernatural Being. Penyembahan kepada The Super-natural Being bermaksud agar manusia terlindung dari malapetaka, bahaya, atau penyakit yang dapat membawanya kepada kematian yaitu keadaan yang tidak diinginkan manusia (Semuel Agustinus Patty, 2000: 4).

METODE PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan penelitian ini bersifat kualitatif, artinya penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yang berupa kata-kata tertulis terhadap apa yang diamati, atau dengan kata lain data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskriptif. Penelitian kualitatif lebih mengutamakan kualitas data, oleh karena itu teknik pengumpulan datanya banyak mengguna-kan wawancara yang berkesinambungan dan observasi langsung. Peneliti bermak-sud menggambarkan atau menguraikan tentang pengaruh dari masuknya Penginjilan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) terhadap sosial budaya masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau, Propinsi Kalimantan Barat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Asal-Usul Dayak Mualang

Suku-suku Dayak memiliki cerita tentang asal-usul leluhur mereka termasuk bagaimana tata cara kehidupan, keperca-yaan, adat-istiadat, dan kehidupan sosial mereka. Hal tersebut selalu menjadi cerita turun-temurun. Banyak cerita tentang asal-usul suku Dayak. Cerita tentang asal-usul suku Dayak tidak hanya dimiliki oleh suku Dayak Mualang saja, tetapi hampir dimiliki oleh semua suku Dayak di Kalimantan dengan alur cerita yang berbeda-beda. Masyarakat Dayak Mualang yang tinggal di dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah masih mengetahui tentang asal-usul leluhur mereka lewat cerita. Suku Dayak Mualang berasal dari dua tempat yaitu Temawang Tampun Juah dan Tanah Tabuk. Tampun Juah adalah tempat pertama dimana Masyarakat Dayak Mualang hidup bersama dengan suku Buah Kana dan etnis lain sebelum suku-suku itu terpencar ke seluruh Kalimantan Barat.

Waktu di Temawang Tampun Juah mereka berbahasa satu, hidup rukun, makmur dan sejahtera. Negeri Tampun Juah merdeka atau tidak dikuasai oleh raja. Masyarakat tinggal dirumah betang panjang atau rumah panjang rumah tradisional masyarakat Dayak pada umumnya. Setiap rumah betang panjang terdiri dari tiga puluh pintu dan dipimpin oleh seorang kepala kampung yang dibantu oleh ketua adat. Apabila terjadi masalah dalam kampung, maka kepala kampung beserta ketua adat mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada suatu hari masyarakat Tampun Juah diganggu oleh katak. Semua tempat dipenuhi oleh katak, lalu para dukun mengusir katak-katak itu. Kemudian di sekitar Tampun Juah tumbuh cendawan, warga beramai-ramai memungut serta memakan cendawan itu. Setelah mereka beramai-ramai menyantap cendawan itu mereka menjadi mabuk. Kemudian mereka diobati dengan obat tradisional. Walaupun sembuh namun suaranya berubah. Tekanan suara dan ejaannya juga berubah. Dengan demikian, maka lahirlah suku yang berbeda-beda bahasa dan tekanan suaranya.

Setelah terjadi peristiwa itu, ma-syarakat Tampun Juah tetap bertahan di Tampun Juah sampai peristiwa baru yang menimpa mereka yaitu semua tempat penuh dengan kotoran manusia. Semua tempat penuh dengan kotoran dan tidak ada tempat yang bersih. Kejadian ini menimbulkan gejolak dari dalam penduduk Tampun Juah. Kemudian, kepala-kepala kampung dan ketua adat mengadakan musyawarah. Mereka bersepakat untuk meninggalkan Tampun Juah. Mereka berjanji suatu saat nanti mereka akan bertemu kembali dan mendirikan negeri seperti Tampun Juah. Kemudian mereka meninggalkan Tampun Juah secara bertahap, tetapi ada juga yang tetap bertahan ditempat itu. Bagi kelompok yang lebih dahulu berangkat diminta untuk membuat tanda pada jalan yang telah dilaluli dengan sebatang kayu kecil yang ditancapkan pada tebing sungai. Tanda tersebut berfungsi sebagai penunjuk arah ke mana rombongan yang menyusul harus pergi menuju ke arah rombongan pertama.

Ketika rombongan berikutnya ber-maksud menyusul rombongan pertama yang lebih dulu berangkat, mereka keliru membaca tanda yang dibuat oleh rom-bongan pertama, mereka yang seharusnya berjalan ke hulu, karena hari sudah gelap dan pada malam hari sebelumnya terjadi hujan deras, menyebabkan air sungai meluap sehingga tanda yang dibuat rombongan pertama berubah arah. Rombongan kedua mengikuti petunjuk itu, dari sungai Bayan, mereka tiba disungai Saih, selanjutnya mereka menyusuri sungai Ketungau dan singgah di muara sungai kecil sebelah kanan hilir sungai Ketungau. Mereka menyusuri sungai itu sampai malam. Di tempat itu akhirnya mereka membuat pondok. Setelah beberapa hari mereka tinggal disitu, salah seorang yang bernama Mualang meninggalkan tempat itu, lalu sungai itu disebut sungai Mualang dan rombongan itu menamai dirinya orang Mualang. Setelah habis masa pantangan mati, rombongan Mualang berangkat dari tempat itu, dan melakukan mudik secara terus-menerus. Dari penggabungan Mua-lang Tampun Juah dan Mualang Tanah Tabuk menyebarlah suku Mualang diempat Kecamatan sekarang ini: Belitang Hilir, Belitang Tengah, Belitang Hulu, dan Kecamatan Sepuak, Kabupaten Sintang.

Kepercayaan Masyarakat Dayak Mualang Sebelum Mengenal Injil

Sebelum mengenal Injil masyrakat Dayak Mualang dalam kehidupannya sehari-hari sangat kental dengan hal-hal yang berbau magis dan percaya dengan tahayul karena memang sebelum mengenal Injil masyarakat Dayak Mualang menganut kepercayaan animisme dan dalam melakukan segala kegiatannya selalu melihat petunjuk dari alam terlebih dahulu.

Kepercayaan Tentang Sang Pencipta

Pandangan masyarakat Dayak Mualang tentang sang pencipta tidak jelas. Masyarakat Dayak Mualang percaya adanya makhluk ilahi yang berbeda dikayangan yaitu Petara Seniba (Petara Guru) yang menghakimi alam semesta yaitu Puyang Gana.

Kepercayaan Akan Kekuatan Gaib dan Magis

Masyarakat Dayak Mualang sangat percaya dengan adanya tempat-tempat yang dianggap kramat dan angker, seperti kuburan. Hampir semua kuburan dalam masyarakat Dayak Mualang jauh dari perkampungan. Karena menurut masyara-kat Dayak Mualang kuburan itu tempat kediaman hantu. Istilah yang dipakai masyarakat Dayak Mualang untuk orang meninggal akan diantarkan kepemakaman yaitu “Nurun Antu” atau mengantar mayat ke pemakaman orang mati berarti menjadi hantu.

Upacara Adat Masyarakat Dayak Mualang

Upacara adat dalam masyarakat Dayak Mualang tidak bisa dilepaskan dalam sistem religi dan kepercayaan. Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Mualang adalah sebagai wujud rasa syukur dan hormat kepada sang illahi, dalam hal ini adalah Petara Guru dan Puyang Gana. Tujuan dari upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Mualang agar terhindar dari bencana, malapetaka, dan kesialan. Istilah dalam masyarakat Dayak Mualang adalah terhindar dari mali, selain itu tujuan dari diadakannya upacara adat agar dalam melakukan kegitannya masyarakat Dayak Mualang memperoleh hasil yang baik. Biasanya upacara ada dilakukan pada saat membuat ladang, membangun rumah, dan penguburan.

Hukum Adat Masyarakat Dayak Mualang

Hukum adat didalam masyarakat Dayak Mualang dibuat agar masyarakat Dayak Mualang tetap menjaga norma-norma yang berlaku dalam hidup ber-masyarakat dan tetap menjaga kedisiplin-an, hukum adat didalam masyarakat Dayak Mualang juga dibuat sebagai kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ada beberapa contoh dalam hukum adat masyarakat Dayak Mualang seperti halnya menikah dengan orang masih kerabat atau masih memiliki hubungan sedarah. Butang Berangkat (mengambil istri atau suami orang lain) maka pihak yang bersangkutan dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan harus sama-sama membayar adat berupa daun sebanyak tiga puluh, tempayan sebanyak tiga puluh, dan babi yang berukuran tiga renti. Rincian daun (mangkok Rp.5000 perbiji) dan tempayan Rp.50.000 perbiji.

Masuknya Gereja Kemah Injil Indo-nesia (GKII) di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah

Pada tahun 1950 dibuka Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Gilgal di Desa Sungai Tapah. Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Gilgal merupakan anak cabang dari Gereja Maranatha salah satu gereja yang pertama didirikan di kampung Dandi, Kecamatan Belitang Hulu pada tahun 1936, yang nantinya menjadi Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Maranatha pada tahun 1949 sesuai dengan hasil konferensi di Kalimantan Barat yang memutuskan membentuk organisasi Gereja Kemah Injil Indonesia Kalimantan Barat (KINGMI KALBAR).

Tujuan dilakukan pemekaran Gereja dan didirikannya Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Gilgal di Desa Sungai Tapah, untuk memudahkan jemaat yang awalnya beribadah di Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Maranatha agar tidak terlalu jauh menempuh perjalanan pada saat akan ibadah. Masuknya Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Gilgal di Desa Sungai Tapah nantinya akan membawa pengaruh dalam perubahan Sosial dan Budaya masyarakat Dayak Mualang di beberapa dusun yang ada di Desa Sungai Tapah, yang paling mencolok adalah di Dusun Mertawai. Masuknya Penginjilan juga dianggap membawa pengaruh modernisasi di tengah-tengah masyarakat Dayak Mualang mulai dari perubahan pola pikir, kebiasaan, religi, kebudayaan, adat-istiadat, interaksi sosial, pendidikan, dan pengetahuan. Karena memang tidak bisa dipungkiri, dampak masuknya Penginjilan terhadap masyarakat Dayak Mualang membuat mereka lebih terhubung dengan dengan dunia luar, wawasan bertambah luas, hilangnya pemikiran-pemikiran yang dianggap kuno, kemajuan dalam pendidikan, dan interaksi sosial antar masyarakat yang lebih luas.

Pengaruh Masuknya Gereja Terhadap Kebudayaan Lokal

Masuknya Gereja Kemah Injil Indonesia membawa pengaruh terhadap kebudayaan lokal masyarakat Dayak Mualang termasuk di Dusun Mertawai, Desa Sungai Tapah sampai saat ini. Pada tahun 1960 sudah banyak masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai yang masuk Kristen Protestan dan Katolik, meski masih ada beberapa keluarga yang tetap menganut kepercayaan animisme sampai akhir 1960. Yustina Patih mengatakan, pada tahun 1960-an beliau masih sempat melihat patung-patung Pentik (patung yang digunakan sebagai tolak bala dari gangguan roh-roh jahat dan sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh nenek moyang). Meskipun banyak patung-patung Pentik yang sudah tidak digunakan lagi. Menurut beliau di dekat kampung Mertawai ada satu tempat yang bernama bukit Pentik dan disitulah masyarakat kampung meletakkan Pentik-pentik mereka pada waktu masih menganut kepercayaan animisme.

Pada tahun 1970-an mayoritas masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai sudah masuk Kristen Protestan. Menurut Yustina Patih, ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai pada akhirnya menganut agama Kristen Protestan. Karena banyak kepala kampung atau tokoh-tokoh adat yang pada akhirnya masuk Kristen Protestan secara otomatis menyebabkan masyarakat kampung juga ikut masuk Kristen Protestan. Dari situlah gereja mulai menanamkan dogmanya kepada masyara-kat untuk meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan penyembahan berhala dan larangan didalam alkitab, karena memang hampir sebagian besar budaya dan adat-istiadat masyarakat Dayak Mualang berkaitan dengan penyembahan berhala dan pemujaan roh nenek moyang. Lain halnya dengan daerah yang masyara-katnya mayoritas beragama Katolik, contohnya di daerah Belitang Hilir. Di mana masyarakat Dayak Mualang di daerah Belitang Hilir masih melestarikan beberapa budaya lokal yang ada. Karena dari gereja-gereja Katolik masih sangat memiliki toleransi terhadap kebudayaan dan adat-istiadat lokal.

Pengaruh Masuknya Gereja Terhadap Pendidikan

Pada awal berdirinya Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Gilgal memang sekaligus didirikan Sekolah Rakyat (SR) yang dikelola oleh misi dengan tenaga pengajar dari pendeta-pendeta pengerja di gereja tersebut. Sekolah mulai berdiri hampir bersamaan dengan Gereja, sekitar tahun 1950. Diawali dari Pdt. Wali yang menjadi gembala sekaligus guru di sekolah tersebut, kemudian dilanjutkan oleh Bapak Robin dari Kampung Balau dan Bapak Dimus dari Desa Dampak pada tahun 1953-1954, sekolah pada waktu itu hanya kelas 1 sampai kelas 3. Kemudian pada tahun 1970 sekolah diambil oleh pemerintah dan sejak itu kelas sudah dibuka sampai kelas 6. Dan dari sekolah itulah yang nantinya menjadi SD Negeri 3 Sungai Tapah yang masih aktif sampai sekarang.

Pada tahun 1970-1995 di Dusun Mertawai juga di buka lapangan terbang pesawat Mission Aviation Fellowship MAF yang ada untuk memudahkan misi pelayanan. Karena jalur transportasi darat pada waktu itu belum memadai. Hal itu semakin membuat masyarakat Dayak Mualang di Desa Sungai Tapah termasuk di Dusun Mertawai dan sekitarnya lebih terhubung dengan dunia luar dan ada subsidi biaya untuk masyarakat jika ada yang sakit dan biasanya dibawa berobat ke rumah sakit di Serukam. Selain itu masuknya pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF), setiap satu bulan sekali ada team Extensi semacan Universitas Terbuka bagi siapa saja yang mau melayani mereka akan diajari tentang pemahaman Alkitab.

Kearifan Lokal

Di dalam kehidupan masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai. Kearifan Lokal masyarakatnya masih tetap terjaga sampai sekarang. Salah satu bentuk Kearifan Lokal masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai adalah gotong royong. Gotong royong di dalam masyarakat Dayak Mualang, merupakan suatu hal yang sudah ada dari jaman nenek moyang mereka seperti di dalam cerita Tampun Juah (tempat asal usul Dayak Mualang). Hampir di dalam seluruh kegiatan masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai di lakukan dengan cara gotong royong, salah satunya adalah berladang. Pada saat nugal atau mulai menabur benih dilakukan secara bersama-sama dan bergantian. Misalnya jika salah satu lahan milik seseorang sudah selesai dikerjakan bersama-sama oleh tetangga-nya. Maka orang tersebut wajib juga membantu menabur benih di lahan milik tetangganya tersebut. Biasanya, yang ditanam masyarakat dalam berladang adalah padi. Berladang masih aktif dilaku-kan oleh masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai sampai sekarang ini setiap satu tahun sekali. Meskipun sekarang tidak susah lagi untuk memenuhi kebutuhan beras, karena sudah banyak beras dalam kemasan yang dijual di toko-toko. Tetapi berladang merupakan suatu hal yang mendarah daging di dalam masyarakat Dayak Mualang dan sudah menjadi tradisi secara turun-temurun. Menariknya, meskipun masyarakat sudah memiliki padi sendiri dari hasil ladangnya, terkadang masyarakat masih juga membeli beras di toko. Selain itu sikap gotong royong dan solidaritas masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai terlihat pada saat ada masyarakat kampung yang meninggal. Hampir seluruh masyarakat kampung berkumpul dirumah duka dan ikut mengantarkan jenazah kepemakaman dengan berjalan kaki. Karena letak pemakaman masyarakat Dayak Mualang, kebanyakan jauh dari perkampungan dan letaknya agak masuk ke dalam hutan.

Dalam membangun rumah ibadah atau gereja, masyarakat Dayak Mualang di Dusun Mertawai melakukannya dengan gotong-royong. Setiap hari Sabtu pagi, para ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul di gereja untuk bersiap-siap kerja bakti. Para ibu-ibu biasanya menyiapkan makanan dan minuman untuk bapak-bapak yang sedang bekerja membangun gereja. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam membangun gereja para bapak-bapak mengambil kayu yang ada di dalam hutan adat dengan berjalan kaki, yang dapat memakan waktu perjalanan sampai 2 jam.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, ana-lisa dan interprestasi data yang penulis paparkan dalam tulisannya yang berjudul “Pengaruh Penginjilan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Terhadap Sosial Dan Budaya Masyarakat Dayak Mualang Propin-si Kalimantan Barat” dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Masuknya penginjilan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) jemaat Gilgal di Desa Sungai Tapah Dusun Mertawai banyak merubah masyrakat setempat khususnya dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, terutama banyak hilangnya adat istiadat dan hukum adat setempat.

2. Masuknya Gereja Kemah Injil Indone-sia (GKII) Jemaat Gilgal di desa Sungai Tapah Dusun Mertawai telah memba-wa perubahan secara kongkrit dalam hal pola pikir, kebiasaan, dan pendidikan pada masyarakat Dayak Mualang desa Sungai Tapah dusun Mertawai, Kalimantan Barat.

3. Masuknya Gereja Kemah Injil Indone-sia (GKII) jemaat Gilgal juga turut berperan dalam modernisasi masyara-kat Dayak Mualang dalam bidang pendidikan. Hal ini menjadi perhatian khusus untuk masyarakat Dayak Mualang ini terbukti dengan berdirinya Sekolah Rakyat di Dusun Mertawai yang sekarang ini menjadi SD Negeri 3 Sungai Tapah.

4. Dengan masuknya Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) jemaat Gilgal di desa Sungai Tapah Dusun Mertawai mampu membuka pikiran masyarakat tentang perlunya interaksi sosial terhadap ma-syarakat luar kampung, agar tercipta suatu pola pikir modern yang belum terdapat sebelumnya.

5. Masuknya penginjilan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) jemaat Gilgal di Desa Sungai Tapah, Dusun Mertawai tidak merubah kearifan lokal masya-rakat Dayak Mualang seperti halnya tradisi gotong royong yang sampai sekarang masih kental.

Saran

Dengan Penelitian ini penulis ingin mengingatkan bahwa seharusnya gereja tidak terlalu mengambil sikap antipati terhadap kebudayaan dan kearifan lokal termasuk adat istiadat setempat yang dapat mengakibatkan masyarakat kehilang-an jati diri kebudayaannya.

Peneliti melihat bahwa pengaruh gereja dalam penginjilannya terhadap ma-syarakat setempat telah memberi pengaruh besar yang menyebabkan masyarakat Da-yak Mualang mengalami pergeseran buda-ya yang mengakibatkan lunturnya rasa memiliki dan menjaga budaya itu sendiri.

Hal diatas tentu mengundang sim-pati dari kalangan pemuka adat setempat untuk mempertahankan kebudayaan lokal dengan penulisan atau pencatatan doku-men-dokumen yang berhubungan dengan adat istiadat kebudayaan setempat. Hal ini bertujuan agar kebuadayaan setempat tidak hilang atau dilupakan oleh ma-syarakat dan mampu menjadi warisan pengetahuan tentang budaya lokal pada generasi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Arsip Desa Sungai Tapah. 2014. Kabupaten Sekadau.

Arsip Peraturan Hukum Adat Dayak Mualang Kecamatan Belitang Hulu. 2012. Kabupaten Sekadau.

Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta.

Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Daya Dahulu Sekarang Masa Depan. Jakarta: PT.Gramedia.

Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

J. Prins. 1973. Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat. Jakarta: Bhratara.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentaitet dan Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia.

Lothar Schreiner. 2003. Injil dan Adat. Jakarta: Gunung Mulia.

Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rodger Lewis. 1995. Karya Kristus di Indonesia Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia sejak 1930. Bandung: Kalam Hidup.

Semuel Agustinus Patty. 2000. Kebatinan Jawa, Apakah Agama atau Kebudayaan dalam Reformasi Kehidupan Beragama di Indonesia. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Suh Sung Min. 2001. Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Media Pressindo.

Surojo Wignjodipuro. 1983. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: PT. GUNUNG AGUNG.

Suyatno Kartodirjo, dkk. 2006, Pedoman Tata Tulis Ilmiah. Salatiga: Widya Sari Press.

Stepanus Djuweng, dkk. 2010. Manusia Dayak Orang Kecil Yang Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institut Dayakologi.

Tri Widiarto. 2007. Pengantar Antrpologi Budaya. Widya Sari Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.

Tri Widiarto. 2009. Psikologi Lintas Budaya Indonesia.Salatiga. Widya Sari Press Salatiga     .

Yakob Tomatala. 1998. Penginjilan Masa Kini Jilid 2. Malang: Gandum Mas.

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya. Diunduh pada Senin, 3 Maret 2014 pukul15.40 WIB.

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya. Di kutip pada Senin, 3 Maret 2014 pukul 16.30 WIB.