GAYA KEPEMIMPINAN PENEGAK PERATURAN DAERAH

DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

(Studi Tentang Gaya Kepemimpinan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Minahasa)

Deiby Ch. Tinggogoy

Program Studi Ilmu Administrasi Negara – Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Universitas Halmahera-Tobelo

ABSTRACT

Head of the Civil Service Police Unit has an important role in achieving the vision and mission in organization. Thus, it takes a leadership style that is appropriate in the context of decision making. This is because, the decision making is a very important stage in the leadership. The purpose of the study are: to analyze, describe, and interpret on Leadership Style Head of Civil Service Police Unit Minahasa Regency and determinants factor of leadership style. The method used in this study is a qualitative method. Informants were the Head of Civil Service Police Unit and employees. Data was collected through interviews, observation and document that are relevant to this study. Results of the study are: (a) leadership style Head of Civil Service Police Unit Minahasa Regency tend authoritarian leadership style, it is seen from the implementation of activities and how to implement it are determined by the Head of Civil Service Police Unit; (b) leadership style Head of Civil Service Police Unit Minahasa Regency which tend to be authoritarian caused by background factors that affect its education and experience.

Keywords: Leadership Style, Civil Service Police, Decision Making

PENDAHULUAN

Berdasarkan berbagai fenomena yang ada, sering terjadi kesalahpahaman antara masyarakat dengan petugas Polisi Pamong Praja ketika Polisi Pamong Praja melaksanakan tugasnya di lapangan. Misalkan saja, ketika Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa melakukan penertiban alat peraga kampanye (apk) di Langowan tepatnya di Desa Amongena, yang sempat diwarnai dengan kericuhan. Sejumlah Polisi Pamong Praja dan warga Desa Amongena terlibat percekcokan dan nyaris terjadi perkelahian. Hal seperti ini, juga terjadi ketika Polisi Pamong Praja melakukan penertiban di Pasar Tondano, dimana sempat terjadi “aduh mulut” antara petugas Polisi Pamong Praja dengan para pedagang yang berjualan di tempat itu.

Pemerintah daerah dengan kewenangan yang dimilikinya, diberikan kebebasan untuk mengatur, mengelolah dan mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dalam rangka mengatur pelaksanaan administrasi dan pembangunan, pemerintah daerah selain sebagai eksekutif sebagai pelaksana kebijakan, juga berfungsi sebagai legislatif. Berdasarkan fungsi legislatif yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka pemerintah daerah bersama-sama untuk merumuskan APBD dan peraturan daerah.

Dengan demikian, dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah kebijakan dapat menjadi pedoman dan penentu keberhasilan suatu daerah. Untuk itu, tuntutan menjalankan pemerintahan yang bersih semakin besar ditujukan pada pemerintah daerah, dan salah satu wujudnya adalah dengan menghasilkan regulasi atau kebijakan yang mampu menjawab kebutuhan publik dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat daerah tersebut (Sinaga, 2010). Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja Pasal 1 ayat (8), menyatakan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Sementara itu, Pada Pasal 8 menyatakan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja berkewajiban dalam membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Berdasarkan hal di atas, maka Kepala Satuan Polisi Pamong Praja memiliki peran penting dalam mencapai visi dan misi Satuan Polisi pamong Praja itu sendiri. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka dibutuhkan gaya kepemimpinan yang tepat dalam rangka pengambilan keputusan. Sementara itu, yang terlihat gaya kepemimpinan dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa cenderung ke gaya kepemimpinan otoriter. Hal ini, terlihat dari cara pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Kepala Satuan, dimana kurang memberi kesempatan kepada anggota untuk menyampaikan pendapatnya sehingga kurangnya partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan.Gaya kepemimpinan yang cenderung otoriter karena disebabkan oleh latar belakang jabatan sebelumnya yang tidak sesuai dengan jabatan yang didudukinya sekarang sehingga masih kurangnya pemahaman dan pengalaman yang dimiliki. Padahal, menempatkan pemimpin yang tepat pada jabatan yang tepat sangatlah penting yakni agar pemimpin dapat menduduki jabatan sesuai dengan keahliannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hasibuan (2010: 62) bahwa penempatan pegawai berpedoman kepada prinsip penempatan orang-orang yang tepat dengan tempat yang tepat dan penempatan orang yang tepat untuk jabatan yang tepat atau the right man in the right place and in the right man behind in the right job.

TINJAUAN PUSTAKA

Gaya Kepemimpinan

Gaya atau style kepemimpinan sudah tentu mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya. Istilah gaya adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya (Thoha 2012, 303).

Secara umum gaya kepemimpinan hanya dikenal dalam dua gaya yaitu gaya otoriter dan gaya demokrasi. Gaya kepemimpinan otoriter biasanya dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan dari Lippit dan White (dalam Pasolong, 2010:38), yang menyatakan mengenai berbagai hubungan antara perilaku pemimpin yang berbeda, yaitu perilaku otoriter, demokratis, dan laissez Faire yakni dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) gaya otokratis, yaitu gaya kepemimpinan otoritarian dapat pula disebut tukang cerita. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada bawahan, (2) gaya demokratik, yaitu gaya kepemimpinan yang dikenal pula sebagai gaya partisipatif. Gaya ini berasumsi bahwa para anggota organisasi yang ambil bagian secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan akan lebih memungkinkan sebagai suatu akibat mempunyai komitmen yang jauh lebih besar pada sasaran dan tujuan organisasi, (3) gaya laissez faire, yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran dan kebijakan organisasi.

Satuan Polisi Pamong Praja

Mengenai keberadaan dari Polisi Pamong Praja itu sendiri, dimulai pada era Kolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both. Saat itu, kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu itu kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari penduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan ketenteraman dan keamanan. Untuk menyikapi hal tersebut, maka dibentuklah Bailluw yaitu semacam Polisi yang merangkap jaksa dan hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga ketertiban dan ketenteraman warga. Pada masa kepemimpinan Raaffles, kemudian dikembangkanlah Bailluw yaitu dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut Besturrs Politie atau disebut Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman serta keamanan warga.

Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan Jepang, organisasi Polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dalam peran dan fungsinya bercampur baur dengan Kemiliteran. Pada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian organisasi dari Kepolisian karena belum ada dasar hukum yang mendukung keberadaan dari Polisi Pamong Praja, sampai pada diterbitkannya mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948.

Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama, namun tugas dan fungsinya sama. Adapun secara rinci perubahan nama dari Polisi Pamong Praja dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 didrikanlah Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewon yang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja; 2) Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja; 3) Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar Baya.; 4) Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja; 5) Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah; 6) Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah; 7) Terakhir dengan diterbitkannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memperkuat Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum dan ketenteraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

Satuan Polisi Pamong Praja dapat berkedudukan di Daerah Provinsidan Daerah Kabupaten/Kota: (1) Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. (2) Di Daerah Kabupaten/Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.

Pengambilan keputusan

Salah satu tugas pokok pemimpin yang menjadi rutin dalam birokrasi publik adalah mengambil keputusan. Dapat dijelaskan bahwa efektif tidak seorang pemimpin yang menduduki jabatan dalam birokrasi akan sangat tergantung bukan pada keterampilan melakukan kegiatan-kegiatan teknis atau tugas operasional, akan tetapi akan ditentukan oleh kemampuannya mengambil keputusan. Oleh karena itu, salah satu persyaratan kepemimpinan birokrasi yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang menduduki jabatan pimpinan dalam birokrasi adalah harus berani untuk mengambil keputusan yang efisien, efektif, rasional dan pemimpin harus berani memikul tanggung jawab atas dampak atau resiko yang muncul sebagai konsekuensi dari pada keputusan yang diambilnya (Pasolong, 2010: 154).

Pada dasarnya pengambilan keputusan adalah merupakan tahap-tahap yang harus dilakukan atau digunakan untuk membuat keputusan. Pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang paling urgen dari kegiatan kepemimpinan, bahkan pengambilan keputusan adalah merupakan kunci dari kepemimpinan.

Dalam setiap pengambilan keputusan selalu didasarkan pada hal-hal tertentu tergantung pada jenis keputusan yang akan diambil oleh pemimpin atau pengambil keputusan. Ada lima dasar dalam pengambilan keputusan yang berlaku secara umum, yaitu: (1) intuisi, yaitu pengambilan keputusan yang dilakukan dengan berdasarkan atas intuisi yang bersifat subjektif, sehingga mudah terkena oleh beberapa pengaruh; (2) Pengalaman, yaitu pengambilan keputusan yang dilakukan dengan berdasarkan pada pengalaman. Karena pengalaman seseorang dapat memprediksi keadaan sesuatu berdasarkan pengalaman yang telah dialami; (3) Fakta, yaitu pengambilan keputusan yang didasarkan pada fakta. Keputusan yang didasarkan pada fakta dapat melahirkan keputusan yang baik,karena dengan fakta maka tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi; (4) Wewenang, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi jabatannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya; (5) Rasional, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif dan logis sehingga dapat dikatakan keputusan yang dihasilkan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diharapkan (Mulyadi 2015, 190). Sementara itu, ada empat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yaitu menyangkut: (1) keadaan internal organisasi, (2) keadaan eksternal organisasi, (3) tersedianya informasi yang diperlukan, dan (4) kepribadian dan kecakapan seseorang (Hasan 2004, 15).

Penempatan Pegawai

Sumber daya manusia kini semakin berperan besar bagi kesuksesan suatu organisasi karena membuat sasaran, strategi, inovasi, dan mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, sumber daya manusia merupakan salah satu unsur yang paling vital bagi organisasi (Rachmawati, 2008: 1). Sumber daya manusia dalam pemerintahan disebut Pegawai Negeri Sipil, yang berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Dengan demikian, agar pegawai dapat melakukan tugasnya dengan baik, maka pegawai harus ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya, agar apa yang menjadi tujuan dalam organisasi dapat tercapai. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Hasibuan (2010: 62), penempatan pegawai berpedoman kepada prinsip penempatan orang-orang yang tepat dengan tempat yang tepat dan penempatan orang yang tepat untuk jabatan yang tepat atau the right man in the right place and in the right man behind in the right job. Sedangkan menurut Mathis & Jackson (2006: 262), Penempatan adalah menempatkan posisi seseorang ke posisi pekerjaan yang tepat, seberapa baik seorang karyawan cocok dengan pekerjaanya akan mempengaruhi jumlah dan kualitas pekerjaan.Sementara itu, Penempatan pegawai menurut Sastrohadiwiryo yang dikutip oleh Suwatno (2003: 138) yang menyatakan bahwa penempatan pegawai adalah untuk menempatkan pegawai sebagai unsur pelakasana pekerjaan pada posisi yang sesuai dengan kemampuan, kecakapan dan keahliaanya.

Menurut Tohari (2002), bahwa penempatan pegawai merupakan proses penempatan individu yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian untuk meningkatkan kinerja organisasi, guna memanfaatkan sumber daya individu secara optimal. Selanjutnya, Tohari juga menerangkan bahwa penempatan adalah menempatkan individu pada pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan, ketrampilan dalam organisasi guna mengerjakan suatu pekerjaan atau tugas yang cocok dengan bagian-bagian yang ada dalam organisasi tersebut.

Menurut Sastrohadiwiryo (2002: 162), faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan pegawai adalah:

a) faktor latar belakang pendidikan.

b) faktor kesehatan jasmani dan rohani.

c) faktor pengalaman kerja.

d) faktor umur sumber daya manusia.

e) faktor jenis kelamin.

f) faktor status perkawinan.

g) faktor minat dan hobi.

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Fokus dalam penelitian ini yakni mengenai: (1) Gaya Kepemimpinan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa, dan (2) Faktor-faktor penentu dalam Gaya Kepemimpinan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa. Instrument dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen kunci yang secara langsung berhadapan dengan subjek-subjek yang diteliti dan tidak dapat digantikan dengan alat lain ataupun orang lain. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi instrument utama adalah peneliti itu sendiri. Sumber data yaitu (1) Key informan adalah orang yang benar-benar memahami dengan jelas apa yang menjadi permasalahan, yakni menyangkut fokus penelitian; (2) Situasi social yaitu gambaran situasi yang terjadi secara langsung pada tempat penelitian; (3) Dokumen, sangat penting bagi peneliti karena dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, adapun yang berbentuk gambar misalnya: foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain yang menyangkut dokumen. Teknik pengumpulan data yaitu penelitian lapangan, observasi, dan wawancara. Teknik analisis data di lakukan secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Tempat Penelitian

Berdasarkan Peraturan Daerah No. 04 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Praja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa dan Peraturan Bupati Minahasa No. 47 Tahun 2008 tentang penjabaran tugas dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja, yang menjelaskan bahwa yang menjadi tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa adalah memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Sementara itu, yang menjadi fungsi dari Satuan Polisi Pamong Praja yaitu:

1. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;

2. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di daerah;

3. Pelaksanaan kebijakan penegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;

4. Pelaksanaan korrdinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakkan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparat lainnya; dan

5. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Visi dan Misi Satuan Polisi Pamong Praja

Visi: terwujudnya ketentraman dan ketertiban dalam penyelenggaraan pemerintah dan kemasyarakatan. Selanjutnya, untuk mewujudkan visi tersebut maka dituangkan dalam misi yang secara rinci dijabarkan sebagai berikut:

1. Mengoptimalkan sarana Polisi Pamong Praja guna menciptakan keamanan dan ketertiban umum.

2. Meningkatkan kemampuan personil Polisi Pamong Praja melalui pendidikan dan pelatihan.

3. Mengupayakan terciptanya ketentraman dan ketertiban dalam pemerintahan dan kemasyarakatan.

4. Meningkatkan tindakan penertiban dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Perundang-Undangan lain yang berlaku.

Hasil dan Pembahasan

Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, maka dari itu diperlukan seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang tepat yakni agar bawahanya dapat melaksankan tugas dengan baik sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi dapat tercapai.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan selama berada di tempat penelitian, maka hasil temuan yang peneliti dapatkan mengenai gaya kepemimpinan yaitu dapat kemukakan sebagai berikut:

a. Bersikap disiplin kepada staf pegawai yang melanggar aturan yang ada;

b. Keputusan dalam melaksankan kegiatan dan cara pelaksanaanya banyak ditentukan oleh pemimpin;

c. Pemimpin kuran gmengikutsertakan anggota dalam proses pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan;

d. Pembagian tugas banyak ditentukan oleh pemimpin.

Gaya kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Kepala Satuan dapat dikatakan tergolong gaya kepemimpinan yang cendrung otoriter. Hal ini sejalan, dengan apa yang dikatakan Lippit dan White (dalam Pasolong, 2010:38), yang menyatakan bahawa gaya otokratis, yaitu gaya kepemimpinan otoritarian dapat pula disebut tukang cerita. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada bawahan.Sementara itu, gaya kepemimpinan otokratik mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut: menentukan kebijakan untuk anggota, memberi bawahan, memberi tugas secara instruktif, menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan bawahan, mengendalikan secara ketat pelaksanaan tugas, interaksi dengan anggota terbatas, tidak mengembangkan inisiatif bawahan. Dengan demikian, pemimpin kurang memberi ruang kepada anggota untuk menyampaikan pendapatnya dalam proses pemecahan masalah sehingga kurangnya partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan.

Berdasarkan wawancara dengan pegawai-pegawai yang ada dalam struktur Satuan Polisi Pamong Praja dan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan, maka hasil temuan yang peneliti dapatkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan yaitu dapat kemukakan sebagai berikut:

a. Latar belakang jabatan yang tidak sesuai;

b. Latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki;

c. Masih kurang pemahaman mengenai pelaksanaan tugas.

Berdasarkan berbagai dokumentasi dan informasi yang peneliti dapatkan di lapangan, maka jelaslah bahwa belum maksimalnya pemahaman pimpinan mengenai pelaksanaan tugas karena disebabkan oleh latar belakang jabatan yang dimiliki. Padahal, menempatkan pemimpin yang tepat pada jabatan yang tepat sangatlah penting yakni agar pemimpin dapat menduduki jabatan sesuai dengan keahliannya. Hal inipun, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hasibuan (2010: 62) bahwa penempatan pegawai berpedoman kepada prinsip penempatan orang-orang yang tepat dengan tempat yang tepat dan penempatan orang yang tepat untuk jabatan yang tepat atau the right man in the right place and in the right man behind in the right job.

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan yaitu Gaya Kepemimpinan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa dalam pengambilan keputusan yakni lebih cenderung ke gaya kepemimpinan otoriter. Hal ini terlihat dari pelaksanaan kegiatan dan cara pelaksanaanya yang banyak ditentukan oleh pimpinan. Ciri-ciri pemimpin otoriteryaitu sebagai berikut: menentukan kebijakan untuk anggota, memberi bawahan, memberi tugas secara instruktif, menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan bawahan, mengendalikan secara ketat pelaksanaan tugas, interaksi dengan anggota terbatas, tidak mengembangkan inisiatif bawahan. Dengan demikian, pemimpin kurang memberi ruang kepada anggota untuk menyampaikan pendapatnya dalam proses pemecahan masalah sehingga kurangnya partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan yang cenderung otoriter karena disebabkan oleh latar belakang jabatan sebelumnya yang tidak sesuai dengan jabatan yang didudukinya sekarang sehingga masih kurangnya pemahaman dan pengalaman yang dimiliki. Padahal, menempatkan pemimpin yang tepat pada jabatan yang tepat sangatlah penting yakni agar pemimpin dapat menduduki jabatan sesuai dengan keahliannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hasibuan (2010: 62) bahwa penempatan pegawai berpedoman kepada prinsip penempatan orang-orang yang tepat dengan tempat yang tepat dan penempatan orang yang tepat untuk jabatan yang tepat atau the right man in the right place and in the right man behind in the right job.

SARAN

Upaya yang harus dilakukan oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Minahasa yakni dengan menerapkan gaya kepemimpinan demokratis, yang selalu mengarah ke dalam kerja sama tim yang baik. Dengan demikian, pengambilan keputusan lebih banyak dimusyawarahkan atau diambil secara bersama-sama sehingga dalam melakukan pembagiaan tugas tidak hanya diberikan secara tertentu dari pemimpin tetapi dapat diserahkan kepada kelompok. Latar belakang jabatan yang dimiliki tidak sesuai dengan jabatan yang didudukinya sekarang sehingga berdampak pada pendidikan dan pengalaman yang dimilki. Dengan demikian, diharapkan Kepala Satuan dapat meningkatkan pemahaman mengenai tugas dalam ruang lingkup kerjanya melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan yang lebih mendalam mengenai Satuan Polisi Pamong Praja agar dapat memahami dengan baik mengenai pelaksanaan tugas yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Tohari. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Mandar Maju.

Hasan, Iqbal M. 2004. Teori Pengambilan Keputusan. Bogor Selatan: Ghalian Indonesia.

Hasibuan. Sp. Melayu. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Mathis, L.R dan J.H Jackson. (2006) Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management). Jakarta, Salemba Empat.

Pasolong, Harbani. 2010. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta.

Rachmawati, Ike Kusdyah. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.

Sastrohadiwiryo, Siswanto,B. 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.

Sinaga. Obsatar. 2010. Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik: Implementasi Kerjasama Internasional. Bandung: Lepsindo.

Suwatno. 2003. Azas-azas Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Suci Press.

Thoha, Miftah. 2012. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sumber lain:

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi_Pamong_Praja

http://www.pplinmas.tanahbumbukab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=96:sejarah-satpolpp&catid=45:artikel&Itemid=107