Hermeneutik Dilthey Pada Hypothetical Learning Trajectory dan Literasi Matematika
IMPLEMENTASI HERMENEUTIK DILTHEY
PADA HYPOTHETICAL LEARNING TRAJECTORY
DAN LITERASI MATEMATIKA
Siti Amalia
Guru Matematika SMP Negeri 17 Kota Bogor Jawa Barat
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan Jurusan Manajemen Pendidikan
Abstrak
Proses pembelajaran literasi matematika merupakan sebuah proses implementasi Hermeneutik Dilthey dalam tiga hal yaitu penghayatan, ungkapan dan memahami. Hypothetical learning trajectory berguna untuk merancang tindakan ataupun strategi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran demi mencapai tujuan pembelajaran. Hypothetical Learning Trajectory (HLT) dipandang sebagai bagaimana guru memahami jalan pikiran siswa dalam belajar, maka literasi matematika dipahami sebagai seni memahami siswa dalam memahami dan menerjemahkan soal cerita, table dan diagram ke dalam symbol matematika, kemudian dijelaskan secara lisan dan tulisan. Siswa mengungkapkan hal-hal yang ia interpretasikan pada soal HOTS ke dalam model matematika berdasarkan konteks dan maknanya. Kemudian dengan telaah teks, ia mencoba untuk menghayati dan memahami soal-soal HOTS tersebut dan mengungkapkannya dengan mengomunikasikan perolehannya. Guru memahami jawaban siswa dengan mempersiapkan semua kemungkinan jawaban yang muncul dalam benak siswa dan mengungkapkannya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Kata Kunci: Hermeunetic Dilthey, literasi matematika, Hypothetical Learning Trajectory
PENDAHULUAN
“Memahami” berbeda dengan “mengetahui”. Kata itu menyiratkan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang dialami oleh orang lain. Kata “memahami” menyiratkan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang dialami oleh orang lain. Orang bisa saja memiliki banyak pengetahuan, tapi sedikit pemahaman. Memahami mengacu pada suatu kemampuan untuk menjangkau pribadi seseorang. Memahami mengandalkan keterlibatan pribadi dan tidak bisa diraih semata-mata dengan sikap berjarak, karena memahami tidak bertujuan untuk memperoleh “data” belaka, melainkan untuk menangkap “makna”.
Kata hermeneutic atau – dalam bahasa Inggris – hermeneutics dapat diasalkan dari kata Yunani hermeneuein yang berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai penafsir”. (Hardiman 2015). Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911), seorang filsuf asal Jerman, yang membuat seni memahami menjadi semakin bermakna.
SENI MEMAHAMI DILTHEY
Dilthey berpendapat bahwa memahami berciri khas 3 hal: (Hardiman, Memahami sebagai Metode Ilmiah: Dilthey dan Hemeneutik Ilmu-ilmu Sosial-Kemanusiaan 2015), pertama, memahami bukanlah empati psikologis. Dilthey berpendapat bahwa kita tidak bisa memahami orang lain dengan merenungkan pengalaman kita sendiri atau membayangkan bahwa kita adalah orang itu. Menurut Dilthey, kita dapat memasuki dunia manusia yang batiniah ini tidak lewat instrospeksi, melainkan lewat interpretasi, pemahaman atas ekspresi kehidupan.
Kedua, memahami merupakan proses kognitif yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Memahami, menurut Dilthey adalah kegiatan yang berkaitan dengan teks-teks tertulis namun diperluas ke dunia social-historis pada umumnya. Ketiga, Dilthey menekankan bahwa memahami bukanlah kegiatan “mengobyek” atau mengambil jarak. Menurut Dilthey, “makna” dalam dunia social-historis hanya dapat ditangkap bila kita mendekati hal-hal dalam dunia social-historis sebagai ungkapan para pelaku social.
Memahami adalah kemampuan yang telah ada di dalam instuisi manusia sehari-hari, tetapi jika seseorang ingin memahami dunia sosio-kultural, seseorang harus memiliki kompetensi metodologis untuk memahami. Contoh dalam dunia pendidikan, bila guru ingin memahami siswa, guru harus mempelajari siswa dan pemikirannya, dan untuk itu dibutuhkan kompetensi agar memahami tidak merosot menjadi subjektivitas. Contoh yang lain adalah bila siswa ingin memahami mata pelajaran matematika misalnya, maka siswa harus mempunyai kompetensi metodologis untuk memahami matematika dan tidak mengambil jarak pada matematika.
Ada tiga kunci Hermeneutik Dilthey seperti pada gambar di atas, yaitu penghayatan, ungkapan dan pemahaman. Penghayatan diartikan sebagai pengalaman yang dimiliki seseorang dan dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. Ungkapan diartikan sebagai pengejawantahan diri manusia dalam bentuk produk-produk kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Sedangkan memahami dalam bentuk elementer adalah memahami tentang bagaimana menghadapi hal-hal dan memahami dalam bentuk lebih tinggi dapat dicirikan sebagai pemahaman tentang apakah hal-hal itu.
ANTARA DILTHEY DAN HYPOTHETICAL LEARNING TRAJECTORY
Pembelajaran Matematika pada kurikulum 2013 mengacu pada pembelajaran abad 21 yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaborasi dan komunikasi. Pembelajaran matematika hendaknya menekankan pada dua hal penting yang termaktub dalam perencanaan pembelajaran, yaitu hypothetical learning trajectory (rute belajar) siswa dan pengembangan model. (Wijaya n.d.)
Pentingnya hypothetical learning trajectory bisa dianalogikan dengan perencanaan rute perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan kita maka kita bisa memilih rute yang baik. Selain itu, kita juga bisa menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi dalam perjalanan jika kita paham rute tersebut. Sedangkan pengembangan model sangat penting untuk membawa pengetahuan informal siswa (modal awal siswa yang terbentuk melalui kegiatan berbasis pengalaman) menuju konsep matematika formal (sebagai tujuan akhir pembelajaran matematika).
Menurut Simon (1995), ada tiga komponen utama dari learning trajectory, yaitu: (1) tujuan pembelajaran (learning goals), (2) kegiatan pembelajaran (learning activities) dan (3) hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process). Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses pembelajaran. (Gravemaijer, Bowers and Stephan 2003)
Hypothetical learning trajectory berguna untuk merancang tindakan ataupun strategi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran demi mencapai tujuan pembelajaran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram di bawah ini: (Simon 1995)
Gambar 3. Mathematics Teaching Cycle
Dalam HLT, guru merumuskan pemahaman-pemahaman siswa yang sekiranya siswa pikirkan dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar guru mempersiapkan segala kemungkinan jawaban dalam memahami siswa dalam pembelajaran. HLT adalah kendaraan guru dalam memahami konsep matematika. (Simon and Sarama, Explicating the Role of Mathematics Tasks in Conceptual Learning: An Elaboration of the Hyphothetical Learning Trajectory 2004)
Berdasarkan pengalaman siswa dalam proses pembelajaran dan pengalaman guru dalam memberikan materi pelajaran tersebut serta menghadapi siswa, guru merumuskan kemungkinan jawaban-jawaban yang muncul dari siswa. Guru mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di bagian kegiatan siswa. Di sini guru menghubungkan Hermeneutik Dilthey dalam tiga hal yaitu pengalaman, ungkapan dan memahami dengan hal-hal yang akan dipelajari siswa. Guru memosisikan dirinya sebagai siswa (menghayati), menerka jawaban siswa bila diberikan soal yang telah disiapkan (memahami), kemudian menuliskan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari siswa dan memberikan arahan untuk kembali ke jalan yang benar (mengungkapkan).
Contoh kemungkinan jawaban dalam HLT sebagai berikut:
Gambar di bawah menunjukkan dua cara menggambar garis untuk membagi persegi panjang menjadi dua bangun yang kongruen. Gambarkan lima cara lainnya. (Subchan, et al. 2018, 215)
Gambar 4. Ilustrasi Soal
Pada soal di atas, siswa harus memahami maksud soal terlebih dahulu sebelum menjawab. Sebelum memberikan soal tersebut, guru harus bisa memprediksi jalan pikiran siswa dan mempersiapkan alternative jawabannya.
Siswa biasanya akan menjawab dua garis diagonal sebagai dua contoh yang lain dalam membagi kertas tersebut. Kecuali guru menghitung hanya satu garis diagonal saja yang berlaku sehingga siswa harus berpikir 4 garis yang lain. Guru harus siap memotivasi siswa mencari garis-garis yang lain. Misalnya:
Gambar 5. Ilustrasi Jawaban
ANTARA DILTHEY DAN LITERASI MATEMATIKA
Seni memahami Dilthey pun dapat diimplementasikan pada mathematics literacy. Apabila Hypothetical Learning Trajectory dipandang sebagai bagaimana guru memahami jalan pikiran siswa dalam belajar, maka literasi matematika dipahami sebagai seni memahami siswa dalam memahami dan menerjemahkan soal cerita, table dan diagram ke dalam symbol matematika, kemudian dijelaskan secara lisan dan tulisan. (Prioritas, Literasi Lintas Kurikulum Matematika 2014) Literasi matematika membantu siswa memahami masalah dunia nyata, menggambarkannya dalam model matematika dan mencari solusinya. (Hoaihuong Nguyen 2017)
Pembelajaran abad 21 menekankan pada 4C yaitu Critical thinking, Creativity, Colaboration, Communication. (Donovan and Green 2014) pembelajaran pada kurikulum 2013 diharapkan dapat mengimplementasikan pembelajaran abad 21. (Mulyana 2017) Pada pembelajaran menggunakan kurikulum 2013, peran guru dalam menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangatlah penting. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian soal-soal tingkat tinggi atau dengan kata lain soal-soal High Order Thinking Skills (HOTS). (Leung 2016)
Dalam taksonomi Bloom soal-soal HOTS menduduki di ranah C4 analisis, C5 evaluasi, dan C6 kreasi (Prioritas, Merumuskan Pertanyaan yang Mendorong Siswa Berpikir Tingkat Tinggi 2013) dan pertanyaan yang bersifat tidak rutin dan terbuka (open ended question). (Prioritas, Pertanyaan Tingkat Tinggi dan Lembar Kerja 2014). Amatlah penting seni memahami bagi siswa dalam literasi matematika yang menekankan pada soal-soal HOTS. Kurangnya kemampuan memahami pada soal-soal HOTS pada siswa Indonesia menyebabkan skor Programme for International Student Assessment (PISA) siswa Indonesia harus puas di urutan ke 64 dari 65 negara. (OECD, Executive Summary 2014) Skor matematika siswa Indonesia pada PISA 2014 adalah 375, sementara rata-rata skor matematika untuk OECD adalah 494. Hal ini tak lain karena kemampuan siswa Indonesia yang masih kurang untuk soal-soal berpikir tingkat tinggi.
Pemberian soal-soal berpikir tingkat tinggi dilakukan untuk mengasah kemampuan literasi matematika. Literasi dapat dilakukan di semua mata pelajaran termasuk matematika. Literasi matematika digambarkan sebagai menggunakan kemampuan matematika untuk mengaplikasikan dalam segala situasi dalam kehidupan, baik itu situasi baru maupun situasi yang tidak familiar bagi mereka. Literasi matematika memfokuskan pada situasi kehidupan sehari-hari dan menjadikan matematika sebagai alat bantu dalam kehidupan sehari-hari. (OECD, A Profile Student Performance in Mathematics 2014)
Proses pembelajaran literasi matematika merupakan sebuah proses implementasi Hermeneutik Dilthey dalam tiga hal yaitu penghayatan, ungkapan dan memahami. Siswa mengungkapkan hal-hal yang ia interpretasikan pada soal HOTS ke dalam model matematika berdasarkan konteks dan maknanya. Kemudian dengan telaah teks, bila perlu, ia mencoba untuk menghayati dan memahami soal-soal HOTS tersebut. Soal-soal HOTS membawa siswa untuk mengenali dan menginterpretasikan masalah-masalah ke dalam dunia nyata, menerjemahkan masalah ke dalam konteks matematika menggunakan pengetahuan matematika dan prosedur dari berbagai area untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan konteks matematika, siswa juga merefleksikan metode yang mereka aplikasikan dan mengkomunikasikan hasilnya. (Ray and Margaret 2002)
Mari kita perhatikan contoh soal berikut.
Seorang atlet tenis mengajukan pertanyaan kepada wasit. Suara atlet mampu didengar wasit hanya pada jarak maksimum 30 kaki. Berdasarkan posisi wasit dan atlet tenis pada gambar berikut, dapatkah wasit mendengar suara sang atlet? Jelaskan jawaban kalian! (As’ari, et al. 2017, 23)
Gambar 6. Ilustrasi Soal
Soal di atas adalah pada bab Teorema Phytagoras. Inti dari soal di atas adalah mencari jarak antara telinga wasit dan mulut atlet. Apakah kurang dari 30 kaki atau tidak. Bila lebih dari 30 kaki maka sang wasit tak dapat mendengar pertanyaan atlet. Guru harus bisa memprediksi jalan pikiran siswa dan mempersiapkan alternative jawabannya. Agar guru dapat memahami pemahaman siswa dalam soal tersebut, maka siswa menuliskan langkah pengerjaannya secara deskripsi. Hal ini dapat mempermudah guru dalam menyelami cara berpikir siswa dan kedalaman literasi mereka.
Guru dapat mengetahui tingkat pemahaman siswa dan kemampuan literasi mereka. Dari sini, guru dapat membawa siswa untuk mengarahkan mereka ke jalan yang seharusnya.
SIMPULAN
Literasi matematika, Hypothetical Learning Trajectory dalam implementasi Hermeneutik Dilthey sangat berkaitan erat. Dilthey yang menenkankan pada 3 kunci hermeneutic yaitu menghayati, mengungkapkan dan memahami dapat membawa siswa dan guru memahami literasi matematika lebih jauh. Siswa memahami literasi matematika dengan menghayati konteks dan mengungkapkannya dengan memodelkan matematika. Di sisi lain guru pun memahami siswa melalui literasi matematika. Guru menghayati proses pemahaman siswa dengan mempersiapkan kemungkinan jawaban dari siswa mengenai matematika literasi yang menekankan pada soal-soal HOTS. Guru mengungkapkannya pada RPP.
Dengan ini guru pun menjadi lebih bijak dalam menghadapi perbedaan jawaban siswa. Guru pun lebih kaya pengetahuannya dalam memahami soal-soal HOTS dan mengenal pemahaman siswa lebih dalam. Hermeneutik Dilthey membawa literasi matematika dan Hypothetical Learning Trajectory kepada tujuan pembelajaran abad 21 yaitu 4C (Critical thinking, Collaboration, Creative, Communication).
DAFTAR PUSTAKA
Donovan, Loretta, and Timothy Green. Making Change: Creating a 21st Century Teaching and Learning Environment. California: Shell Education, 2014.
Gravemaijer, Koeno, Janet Bowers, and Michelle Stephan. “A Hypothetical Learning Trajectory on Measurement and Flexible Arithmetic.” Journal for Research in Mathematics Education. Monograph, Vol. 12, 2003: 51.
Hardiman, F. Budi. “Memahami sebagai Metode Ilmiah: Dilthey dan Hemeneutik Ilmu-ilmu Sosial-Kemanusiaan.” In Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, by F. Budi Hardiman, 94. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Hardiman, F. Budi. “Pendahuluan.” In Seni Memahami: Hermeneutik dari Scleiermacher sampai Derrida, by F. Budi Hardiman, 11. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Hoaihuong Nguyen, Jeanne Sesky. “Academic Conversation in the Subject Area.” In Within Reach: Providing Universal Access to the Four Pillars of Literacy, by Jeanne Sesky Hoaihuong Nguyen, 51. Charlotte NC: Information Age Publishing Inc., 2017.
Leung, Frederick KS. “Mathematics Education of Chinnese Communities from the Perspective of International Studies of Mathematics Achievement.” In The 21st Century mathematics Education in China, by Yiming Cao, & Leung KS Frederick, 20. Berlin: Springer, 2016.
Mulyana, Aina. Pembelajaran Abad 21 dan Kurikulum 2013. March 17, 2017. http://ainamulyana.blogspot.com/2017/03/pembelajaran-abad-21-dan-kuikulum-2013.html (accessed November 27, 2017).
OECD. “A Profile Student Performance in Mathematics.” In PISA 2012 Result: What Students Know and Can Do: Student Performance in Mathematics, Reading and Science – Volume I, by OECD, 37. OECD Publishing, 2014.
OECD. “Executive Summary.” In PISA 2012 Results: What Students Know and Can Do – Student Performance in Mathematics, Reading and Science Volume I, by OECD, 19. OECD Publishing, 2014.
Prioritas, USAID. “Literasi Lintas Kurikulum Matematika.” In Praktik yang Baik II di Sekolah Menengah Pertama (SMP), by USAID PRIORITAS, 249. USAID Prioritas, 2014.
Prioritas, USAID. “Merumuskan Pertanyaan yang Mendorong Siswa Berpikir Tingkat Tinggi.” In Praktik yang Baik I di Sekolah Menengah Pertama (SMP), by USAID Prioritas, 57. USAID Prioritas, 2013.
Prioritas, USAID. “Pertanyaan Tingkat Tinggi dan Lembar Kerja.” In Praktik yang Baik II di Sekolah Menengah Pertama (SMP), by USAID Prioritas, 101. USAID Prioritas, 2014.
Ray, Adams, and Wu Margaret. PISA 2000 Technical Report. Paris: OECD, 2002.
Simon, Martin A. “Reconstructing Mathematics Pedagogy from a Contructivict Perspective.” Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 26 No. 2, 1995: 137.
Simon, Martin A., and Julie Sarama. “Explicating the Role of Mathematics Tasks in Conceptual Learning: An Elaboration of the Hyphothetical Learning Trajectory.” Mathematical Thinking and Learning, Vol. 6 Number 2, 2004: 93.
Wijaya, Ariyadi. n.d. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/ariyadi-wijaya-dr/awijayasemnas-mat-2009hlt.pdf (accessed November 30, 2017).