HUBUNGAN ANTARA KORPS MARECHAUSSEE TE VOET
DAN PENANGKAPAN SISINGAMANGARAJA XII:
SEBUAH STUDI ANTROPOLOGI-ETNOLOGI

Christopher Alexander Setiawan Tampenawas
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK
Sisingamangaraja XII adalah pejuang yang berasal dari negeri Toba Sumatra Utara yang berjuang melawan Belanda dalam perang Batak, yang merupakan lanjutan dari perang Aceh, Sedangkan Korps Marechaussee te Voet atau lebih dikenal dengan pasukan Korps Marsose, merupakan satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Keterlibatan Korps Marsose dalam penangkapan Sisingamangaraja XII sangat di pengaruhi dengan penggunaan ilmu Antropologi-Etnologi yang merupakan ilmu untuk memahami perilaku serta kebudayaan, dalam hal ini Korps Marsose menggunakan Antropologi-Etnologi dalam melancarkan tujuannya dengan menangkap Sisingamangaraja XII
Kata kunci: Korps Marechaussee te Voet, Perang Batak , Antropologi-Etnologi
ABSTRACT
Sisingamangaraja XII is a Hero from the North Sumatra Toba country who fought against the Dutch in the Batak war, which was a continuation of the Aceh war, while the Marechaussee te Voet Corps, better known as the Marsose Corps, was a military unit formed during the Dutch East Indies colonial era. KNIL as a tactical response to guerrilla resistance in Aceh. The involvement of the Marsose Corps in the capture of Sisingamangaraja XII is greatly influenced by the use of Anthropology-Ethnology science which is a science to understand behavior and culture, in this case the Marsose Corps uses Anthropology-Ethnology in launching its objectives by capturing Sisingamangaraja XII
Keyword: Korps Marechaussee te Voet, Batak War, Antrophology-Ethnology

LATAR BELAKANG
Penangkapan Sisingamangaraja XII merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia dan merupakan peristiwa unik dikarenakan adanya unsur penggunaan ilmu Antropologi-Etnologi dalam penangkapan Sisingamangaraja XII yang merupakan Raja di Toba dan merupakan tokoh dalam Perang Batak (1878-1907) yang sangat hebat dengan strategi serta gerilya nya membuat Belanda cukup kewalahan untuk mengatasinya, tetapi dengan sebuah pendekatan Antropologi-Etnologi membuat Sisingamangaraja XII pun takluk pada Belanda.
Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII
Ilmu Antropologi sendiri bertujuan untuk lebih memahami dan mengapresiasi manusia sebagai entitas biologis homo sapiens dan makhluk sosial dalam kerangka kerja yang interdisipliner dan komprehensif. Oleh karena itu, antropologi menggunakan teori evolusi biologi dalam memberikan arti dan fakta sejarah dalam menjelaskan perjalanan umat manusia di bumi sejak awal kemunculannya. Antropologi juga menggunakan kajian lintas-budaya dalam menekankan dan menjelaskan perbedaan antara kelompok-kelompok manusia dalam perspektif material budaya, perilaku sosial, bahasa, dan pandangan hidup.
Dengan demikian Ilmu Antropologi-Etnologi dapat menjadi alat bagi Belanda untuk menaklukan Sisingamangaraja XII dengan pendekatan-pendekatan tertentu dalam ruang Budaya, Etnis maupun dengan cara Agama sendiri, Teknik ini merupakan salah satu strategi Belanda dalam menghadapi pimpinan serta pasukan yang cukup Tangguh
KAJIAN TEORI
Pengertian Dan Konsep Antropologi-Etnologi
Secara umum Antropologi adalah ilmu tentang manusia. Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (anthropos) yang berarti “manusia” atau “orang”, dan logos yang berarti “wacana” (dalam pengertian “bernalar”, “berakal”) atau secara etimologis antropologi berarti ilmu yang mempelajari manusia. Dalam melakukan kajian terhadap manusia, antropologi mengedepankan dua konsep penting yaitu: holistik dan komparatif. Karena itu kajian antropologi sangat memperhatikan aspek sejarah dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial ilmu hayati (alam), dan juga humaniora. (James. H. Brix: 2011.)
Tetapi dalam perkembangannya ada beberapa ahli juga yang berpendapat mengenai definisi atau pengertian serta konsep dari antropologi sendiri diantaranya Conrad Phillip Kottak yang menyatakan Antropologi adalah ilmu yang mempelajari keragaman manusia secara holistik meliputi aspek sosial budaya, biologis, kebahasaan dan lingkungannya dalam dimensi waktu lampau, saat ini, dan di masa yang akan datang. Kottak membagi antropologi dalam empat subdisiplin, yaitu: antropologi sosial budaya, arkeologi, antropologi biologi dan linguistik antropologi. (Conrad Phillip Kottak: 2012),
Koentjaraningrat juga berpendapat bahwa: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. (Koentjaraningrat: 1959)
Sedangkan Etnologi merupakan salah satu dari cabang ilmu antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya, serta hubungan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kata etnologi berasal dari kata etnis, yang berarti suku bangsa. Istilah etnologia (etnologi) dikreditkan kepada Adam Franz Kollár (1718-1783) yang digunakan dan didefinisikan dalam Historiae ivrisqve pvblici Regni Vngariae amoenitates yang diterbitkan di Wina pada 1783. sebagai: “ilmu bangsa dan bangsa, atau , studi yang dipelajari di mana mereka menjadi asal-usul, bahasa, adat istiadat dan lembaga dari berbagai negara, dan akhirnya ke tanah air, agar dapat lebih baik untuk menilai bangsa dan bangsa di zaman mereka sendiri.

PEMBAHASAN
Sejarah Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953
Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda
Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatera kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatera.
Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1978. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakkara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannyaKemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.
Perang Batak (1878-1907), merupakan perang antara Kerajaan Batak melawan Belanda. Perang ini berlangsung selama 29 tahun. Belanda berusaha mewujudkan Pax Netherlandica.Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung, dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending, dengan tokoh penyebarnya Nommensen (orang Jerman). Raja Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.
Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Batak.
Korps Marechaussee te Voet pada Perang Aceh dan Perang Batak
Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda.
Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.
Pasukan Marsose: Elit Militer Pembunuh Bayaran Perang Aceh tahun 1873 bisa dikatakan sebagai salah satu perang terdasyat antara pribumi melawan pendudukan Belanda kala itu. Seperti yang diceritakan Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912”, perang Aceh menghasilkan begitu banyak korban jiwa dalam kurun waktu perang tersebut. Bukan cuma sekadar pasukan vs pasukan, tapi juga terjadi pembantaian demi pembantaian penduduk sipil. Juga, jumlah korban yang membengkak akibat banyak pasukan yang berperang, tak memiliki kecakapan untuk berperang. Atau bisa dikatakan, angka mati sia-sia juga tinggi terjadi di perang Aceh. Salah satu alasan mengapa begitu banyak korban jiwa dan begitu dasyatnya perang, karena di perang ini, teknik gerilya digunakan begitu sempurna oleh pasukan pribumi kala menghadapi pasukan Belanda. Ianah Wulandari, Sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya dalam tulisannya berjudul “Satuan Korps Mareschausse di Aceh tahun 1890-1930”, membenarkan serangkaian serangan gerilya tersebut. Sampai-sampai, dalam perang Aceh, Belanda tak begitu banyak memberikan perlawanan berarti. Pasukan Belanda bagaikan dikepung prajurit-prajurit gerilyawan Aceh yang sukar untuk dilacak. Belum lagi ditambah keadaan geografis Aceh yang berbukit, banyak sungai, dan banyak pegunungan serta hutan membuat pasukan gerilyawan pribumi makin sulit dilacak pasukan Belanda.
Akibatnya, Belanda hanya bisa mempertahankan wilayahnya saja. Mulanya, sebenarnya Belanda terlalu menganggap enteng menaklukan wilayah Aceh yang dirasa “cukup mudah ditaklukan”. Nyatanya, dari tahun 1873 hingga awal tahun 1880, Belanda memperoleh begitu banyak kerugian. Bahkan nilainya mencapai 115 juta florin. Biaya yang bigitu besar dibanding hasil yang didapat. Belanda dalam kurun waktu tersebut, hanya sanggup menguasai Aceh dalam luas wilayah sebesar 74 Km2. Artinya, Belanda hanya mampu menguasai kota Raja (Keraton) dan Masjid Raya Aceh saja. Di luar itu, Belanda tak memiliki kuasa apapun. Artinya, sebenarnya Belanda dikepung pasukan gerilyawan Aceh. Dan hal ini pula yang justru menguntungkan pasukan Aceh. Musuh mereka, yakni Belanda bagaikan digiring di satu titik pertempuran saja. Sehingga memudahkan para gerilyawan Aceh untuk melakukan serangan taktis yang menghasilkan efek yang besar. Dan Belanda, benar-benar menganut paham “Gecocentreerde Linie” atau pola bertahan yang sangat konvensional. Dari serangkaian kegagalan yang dialami Belanda tersebut, sampailah mereka pada kesepahaman bersama bahwa Belanda harus berbehan dalam menghadapi Aceh.
Penggunaan Antopologi-Etnologi Dalam Penangkapan Sisingamangaraja XII Dan Siasat Snouck Hurgonje
Pada Perang Aceh Belanda akhirnya mempekerjakan seorang Antropolog untuk meneliti perihal masyarakat Aceh. Ditunjuklah seorang bernama Snouck Hurgronje seorang Antropolog untuk “memata-matai” masyarakat Aceh yang sukar dikalahkan dalam peperangan tersebut. Salah satu tugas Hurgronje adalah menyelidiki lebih dalam kondisi sosial budaya masyarakat Aceh, agar, Belanda dapat masuk dan menguasai masyarakat Aceh. Dalam serangkaian cara untuk menguasai Aceh, lahirlah sebuah ide yang berasal dari seorang Minang bernama Mohammad Syarif. Ia mencetuskan pembentukan korps pasukan khusus yang dibentuk untuk menghadapi gerilyawan Aceh. Syarif sendiri merupakan seorang pribumi yang pro terhadap Belanda. Ia memberikan usulannya tersebut pada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn dan juga kepada Kepala Staf Militer J.B. van Heutsz. Dari usulan tersebut, akhirnya dibentuk sebuah pasukan elit bernama pasukan Marsose atau dikenal pula dengan sebutan Korps Mareschausse yang didirikan pada tanggal 2 April 1890 dan tercatat dalam sebuah surat keputusan yang ditandatangani Ratu Belanda yang berjudul “Staatsblad Van Nederlandsch Indie”. Korps ini bukan sembarang korps. Melainkan sebuah tentara bayaran berdarah dingin yang anggotanya merupakan pribumi. Hanya pimpinannya saja yang berdarah Belanda. Keunggulan yang ditawarkan oleh pasukan ini adalah karena mereka pribumi yang dilatih khusus, mereka akan lebih mengenal musih mereka yakni sesama pribumi. Artinya, bisa dikatakan, korps Marsose ini ditugaskan untuk membunuh saudara mereka sendiri. Dengan peralatan canggih di zamannya dan gaji besar, pasukan Marsose dikenal sebagai pasukan elit berdarah dingin
Siasat Snouck Hurgronje Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.
Teknik yang Snouck Hurgronje gunakan dalam Perang Aceh pun digunakan oleh pasukan Marsose dalam menangkap Sisingamangaraja XII dan membunuhnya dalam perang Batak, Teknik yang sama dan pendekatan Antropologi-Etnologi pun diterapkan dlama hal ini dengan demikian sangat jelas bahwa penangkapan Sisingamangaraja XII sangat di pengaruhi dengan Antropologi-Etnologi
KESIMPULAN
Etnologi yang merupakan salah satu dari cabang ilmu antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya, serta hubungan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, sangat berpengarauh dan dengan penggunaan pendekatan Antropologi- Etnologi yang diterapkan oleh Snouck Hurgronje dalam perang Aceh, yang merupakan peran pasukan Marsose untuk menaklukan Aceh pun berpengaruh dalam Perang Batak dan penangkapan Sisingamangaraja XII, dan membunuhnya, dikarenakan, hal tersebut berguna untuk melancarkan rencana Belanda yang dengan moto Pax Netherlandica yang ingin mempersatukan Hindia Belanda dengan menjalankan Hindia Belanda berakar pada satu induk yaitu Kerajaan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Brix. James, H . 2010. 21st Century Anthropology: A Reference Handbook. Thousand Oak: SAGE Publications
Kottak. Conrad, Phillip. 2012. Cultural Anthropology. New York City; McGraw-Hill Education
Oktorino. Nino. 2018. Seri Nusantara Membara: Perang Terlama Belanda. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Yogyakarta: Aksara Baru
Sibarani. Agustin. 1979. Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII. Medan: CV ever ready Ltd