HUBUNGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

DENGAN KEMANDIRIAN BELAJAR MATEMATIKA

SISWA KELAS I SD NEGERI DAMA

 

Yusuf Zakarias Manutede

Mike Sri Yunita Sabtu

PGSD, FKIP Universitas Halmahera

 

ABSTRACT

This study aims to find out whether there is a relationship between Problem Solving Ability and Class I Mathematics Student Independent Learning at SDN Dama. The research method uses a type of quantitative research. The sample in this study is a population sample of 35 students. Data collection techniques used a test instrument for Problem Solving Ability and observation sheets for the Ministry of Mathematics Learning. Hypothesis testing using bivariate correlation analysis. The results of the mean study were Problem Solving Ability of 8.14 with a standard deviation of 1.089 in the Good category. While the mean Mathematics Learning Independence (Y) is 11 with a standard deviation of 1.435 independent categories. Problem Solving Ability (X) has a Coefficient of Kolmogorov-Smirnov Z = 1,297 with Asymp. Sig (2-tailed) = 0.069> p.0.05 spread normally. Mathematics Learning Independence (Y) has a Kolmogorov-Smirnov Coefficient Z = 1,089 with Asymp.sig (2-tailed) = 0.179> p.0.05 spread normally. Homogeneity of data Mathematical Problem Solving and Independent Learning Ability values ​​of Fcount> Ftable (5%; V1: V2); (5%; 1: 68) that is 88,083> 3,986. The relationship of variable X with Y (rXy = 0.565) has a fairly strong level of relationship, while rtable at a significance level of 5%, 35 = 0.334, so it can be concluded that the r count> rtable (5%; 35) is 0.565> 0.334 and tcount ( 3,934) abel t table (2.0316). Means: there is a positive and significant correlation between the Ability to Solve Problems with the Independence of Learning Mathematics.

Keywords: Problem Solving Ability, Mathematics Learning Independence, SDN Dama

 

PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia terbagi menjadi beberapa struktur kurikulum. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan, sudah ditetapkan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini formal, dasar, menengah, dan nonformal. Struktur kurikulum pendidikan dasar berisi muatan pembelajaran atau mata pelajaran yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi spiritual keagamaan, sikap personal dan sosial, pengetahuan dan keterampilan.

Struktur kurikulum SD/MI, SDLB, dan sederajat terdiri atas beberapa muatan pembelajaran. Salah satu muatan pembelajaran dalam struktur kurikulum SD/MI, SDLB, dan sederajat yaitu Matematika. “Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, kemampuan bekerjasama dan mandiri” (Permendiknas, Nomor 22, 2006: 416). Kemampuan itu diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Tujuan umum pembelajaran Matematika sesuai yang dirumuskan dalam Permendiknas No. 22 (2006: 417) yaitu: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; serta (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet, percaya diri dan mandiri dalam pemecahan masalah.

Apabila keempat kemampuan tersebut dapat dikembangkan pada siswa di sekolah melalui proses pembelajaran, maka kualitas hasil belajar siswa dapat memenuhi tuntutan masyarakat bangsa ini. Berdasarkan tujuan umum pembelajaran Matematika dan pendapat Uno tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa. Hudojo (2005: 130) menyatakan “bila seorang siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah maka siswa itu akan mampu mengambil keputusan sebab siswa itu menjadi mempunyai keterampilan tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.”

Uraian tersebut sesuai dengan pendapat Turmudi (2008: 29) yang menyatakan “problemsolving atau pemecahan masalah dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesaian yang tidak standar dan tidak diketahui terlebih dahulu.” Siswa harus mampu memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki untuk mencari penyelesaiannya. Mereka dapat mengembangkan pemahaman matematika yang baru melalui proses ini. Siswa harus memiliki kesempatan sesering mungkin untuk memformulasikan, menyentuh, dan menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang mensyaratkan sejumlah usaha yang bermakna serta harus mendorong siswa untuk berani merefleksikan pikiran mereka.

Turmudi (2008: 30) menyatakan “dengan menggunakan pemecahan masalah dalam matematika, siswa mengenal cara berpikir, kebiasaan untuk tekun, dan keinggintahuan yang tinggi, serta percaya diri dalam situasi yang tidak biasa, yang akan melayani mereka secara baik di luar kelas matematika.” Hal itu akan memproses siswa untuk bisa mandiri dalam belajar.

Menurut Hudojo (2005: 130), melalui penyelesaian masalah siswa dapat berlatih dan mengintegrasikan konsep-konsep, teorema-teorema dan keterampilan yang telah dipelajari. Pembelajaran pemecahan masalah yang baik harus melihat tujuan pembelajaran pemecahan masalah. Pada tingkat sekolah dasar, Holmes (1995) dalam Wardhani, dkk (2010: 39) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran memecahkan masalah di kelas awal (kelas I – III) adalah agar: (1) siswa mengerti pentingnya memahami masalah; (2) dapat menggunakan sedikit metode pemecahan masalah; dan (3) mempunyai kepekaan terhadap solusi terbaik dari suatu masalah.

Pembelajaran pemecahan masalah harus disampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran pemecahan masalah. Hal tersebut akan membuat siswa lebih memahami tentang pemecahan masalah. Selain itu juga berdampak positif terhadap kemampuan pemecahan masalah masing-masing siswa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas I SD Negeri Dama mengenai pembelajaran Matematika yang dilaksanakan di kelas tersebut, diperoleh keterangan bahwa mayoritas siswa mengalami kesulitan dalam mencerna pelajaran matematika. Tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa sekolah tersebut juga berbeda. Ada siswa yang memiliki tingkat kemampuan pemecahan masalah yang sedang. Ada juga siswa yang memiliki tingkat kemampuan pemecahan masalah yang rendah, sedangkan siswa berkemampuan tinggi dalam pemecahan masalah belum ada.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui “Hubungan Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar Matematika Siswa Kelas I SD Negeri Dama”.

KAJIAN LITERATUR

Hudojo (2005: 127) mengemukakan “suatu pernyataan akan merupakan suatu masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut.”

Menurut Sukirman, dkk (2010: 10.4), suatu masalah terjadi apabila kondisikondisi berikut dipenuhi: (1) Seseorang tidak siap dengan prosedur untuk mencari penyelesaiannya; dan (2) Seseorang menerimanya sebagai tantangan dan menyusun suatu tindakan untuk menemukan penyelesaiannya. Polya (1975) dalam Hudojo (2005: 128-9) menyatakan bahwa terdapat dua macam masalah dalam matematika yaitu:

  • Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari masalah ini yaitu menentukan hal yang dicari, data yang diketahui, dan syarat mengetahui masalah.
  • Masalah untuk membuktikan yaitu untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah. Bagian utama dari masalah jenis ini merupakan hipotesis atau konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.

Sejalan dengan pendapat Polya, Sukirman, dkk (2010: 10.5-6) mengungkapkan bahwa masalah matematika diklasifikasikan menjadi 2 yaitu masalah penemuan dan pembuktian. Masalah penemuan berupa menunjukkan gambar, menentukan hasil penghitungan, dan mengidentifikasi suatu objek tertentu yang tidak diketahui. Masalah pembuktian berisi kegiatan memutuskan kebenaran suatu pernyataan dengan membuktikan langsung atau membuktikan kebalikannya.

Lebih lanjut Polya (1975) dalam Hudojo (2005: 129) menyatakan bahwa masalah untuk menemukan lebih penting dalam matematika elementer, sedangkan masalah untuk membuktikan lebih penting dalam matematika lanjut. Suatu masalah, baik itu berupa masalah menemukan maupun masalah pembuktian perlu dicari jalan keluarnya. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (2000) dalam Budhayanti, dkk (2008: 9-3) mengemukakan “memecahkan masalah berarti menemukan cara atau jalan mencapai tujuan atau solusi yang tidak dengan mudah menjadi nyata.”

Hudojo (1988) dalam Aisyah, dkk (2007: 5-3) mengemukakan bahwa pemecahan masalah pada dasarnya adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya.

Sukirman, dkk (2009: 10.10) mengatakan “pemecahan masalah dapat didefinisikan sebagai pemulihan kembali situasi yang dianggap sebagai masalah bagi seseorang yang menyelesaikannya. Pemulihan tersebut melalui serangkaian perbuatan yang secara bertahap dilakukan atau dipenuhi dan berakhir pada hasil yang diperoleh berupa penyelesaian masalah.”

Masalah yang mendukung sesorang untuk menjadi pemecah masalah yang baik merupakan jenis masalah tidak rutin. Troutman (1982) dalam Budhayanti (2008: 9-4) mengemukakan bahwa ada dua jenis pemecahan masalah matematika. Jenis pertama adalah pemecahan masalah yang merupakan masalah rutin. Pemecahan masalah jenis ini menggunakan prosedur standar yang diketahui dalam matematika. Pemecahan masalah jenis kedua adalah masalah yang diberikan merupakan situasi masalah yang tidak biasa dan tidak ada standar yang pasti untuk menyelesaikannya. Penyelesaian masalah ini memerlukan prosedur yang harus diciptakan sendiri. Untuk menyelesaikannya perlu diketahui informasi yang ada, dipilih strategi yang efisien dan gunakan strategi tersebut untuk menyelesaikannya.

Holmes (1995) dalam Wardhani, dkk (2010: 17) menyatakan bahwa “masalah non rutin dapat berbentuk pertanyaan open ended sehingga memiliki lebih dari satu solusi atau pemecahan. Masalah tersebut kadang melibatkan situasi kehidupan atau membuat koneksi dengan subjek lain.” Budhayanti (2008: 9 – 10) membahas langkah-langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya (1975) sebagai berikut:

  • Memahami masalah. Pemecah masalah harus dapat menentukan apa yang diketahui dan ditanyakan. Dengan mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan, maka proses pemecahan masalah akan mempunyai arah yang jelas.
  • Merencanakan cara penyelesaian. Pemecah masalah harus dapat menemukan hubungan data dengan yang ditanyakan. Pemilihan teorema-teorema atau konsep-konsep yang telah dipelajari, dikombinasikan sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
  • Melaksanakan rencana. Berdasarkan rencana, penyelesaian-penyelesaian masalah yang sudah direncanakan itu dilaksanakan. Langkah menyelesaikan masalah harus dikoreksi supaya tidak ada yang keliru. Hasil yang diperoleh juga harus diuji.
  • Melihat kembali. Tahap melihat kembali hasil pemecahan masalah yang diperoleh merupakan bagian terpenting dari proses pemecahan masalah. Alernatif proses pemecahan masalah tidak boleh terabaikan. Oleh karena itu, pemecah masalah perlu melihat kembali proses pemecahan maslah yang dilakukan.

Wheeler (1992) dalam Hudoyo (2005: 139) menyatakan bahwa strategi penyelesaian masalah yaitu sebagai berikut: (1) Membuat suatu tabel; (2) Membuat suatu gambar; (3) Menduga, mengetes, dan memperbaiki; (4) Mencari pola; (5) Mengemukakan kembali permasalahan; (6) Menggunakan variabel; (7) Menggunakan persamaan; (8) Mencoba menyederhanakan permasalahan; (9) Menghilangkan situasi yang tidak mungkin; (10) Bekerja mundur; (11) Menggunakan algoritma; (12) Menggunakan penalaran tidak langsung; (13) Menggunakan sifat-sifat bilangan; serta (14) Menggunakan kasus atau membagi menjadi bagian-bagian.

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah dimiliki oleh siswa dalam Matematika ditegaskan oleh Branca (1980) dalam Firdaus (2009) sebagai berikut:

  • Kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum pengajaran Matematika.
  • Pemecahan masalah yang meliputi metode, prosedur, dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum Matematika.
  • Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar Matematika.

Berdasarkan pendapat Branca tersebut, seorang guru hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah siswanya.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam memecahkan masalah baik itu memecahkan masalah pembuktian maupun penemuan, masalah rutin maupun non rutin diperlukan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan merupakan kemampuan seseorang untuk untuk menemukan jawaban dari suatu permasalahan berdasarkan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. Kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini yaitu kemampuan siswa kelas I SD Negeri Dama dalam mengerjakan soal-soal matematika merujuk pada teori yang dikemukakan Polya tentang empat langkah-langkah pemecahan masalah yang dibahas oleh Budhayanti (2008:9-10).

Slameto (2010: 2) mengemukakan “belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Selanjutnya, menurut Rifa‟i dan Anni (2011: 82), belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan seseorang.

Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi seseorang. Oleh karena itu, dengan menguasai konsep dasar tentang belajar, seseorang mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis. Rifa‟i dan Anni (2011: 82) menjelaskan pengertian belajar dari beberapa ahli sebagai berikut:

  • Gagne dan Berliner (1983) mengemukakan bahwa belajar merupakan proses suatu organisme mengubah perilakunya karena hasil dari pengalaman.
  • Morgan et.al. (1986) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan relatif permanen yang terjadi karena hasil dari praktik atau pengalaman.
  • Slavin (1994) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.
  • Gagne (1977) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan disposisi atau kecakapan manusia yang berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan perilaku itu tidak berasal dari proses pertumbuhan.

Winkel (1999) dalam Purwanto (2013: 39) mengemukakan bahwa belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan perolehan yang menjadi hasil belajar.

Aspek perubahan perilaku itu mengacu pada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan Bloom, Simpson, dan dan Harrow yaitu mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang memiliki akibat dapat mengubah perilaku seseorang yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik menjadi lebih baik dari sebelumnya.

 

Kemendiknas (2010, 38) mendefinisikan mandiri sebagai nilai karakter yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Dalam hal ini nilai karakter mandiri yang ingin dimunculkan bagaimana siswa memiliki kemandirian belajar. Istilah kemandirian belajar berhubungan dengan beberapa istilah lain diantaranya self regulated learning,self regulated thinking, self directed learning, self efficacy, dan self-esteem (Sumarmo U, 2010:1). Pengertian kelima istilah di atas tidak tepat sama, namun mereka memiliki beberapa kesamaan karakteritik. Dalam tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, praktisi pendidikan banyak dipengaruhi oleh pandangan behaviourist seperti Watson dan Skinner. Kemudian muncul pandangan teori belajar sosial Bandura, yang memandang belajar dari sudut pandang kognitif. Long (Kerlin, 1992: 24) misalnya, memandang belajar sebagai proses kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan individu, pengetahuan sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu sub-faktor penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah self-regulated learning. Untuk menghindarkan salah pengertian di antara pembaca, pada uraian berikut ini akan digunakan istilah kemandirian belajar. Sebagai terjemahan dari istilah self-regulated learning atau disingkat SRL.

Kerlin (1992:35) mengklasifikasi SRL dalam dua katagori yaitu: (1) proses pencapaian informasi, proses transformasi informasi, proses pemantauan, dan proses perancangan, serta (2) proses kontrol metakognitif. Sedangkan Bandura (Hargies, http:/www.jhargis.co/) mendefinisikan SRL sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri, dan merupakan kerja-keras personaliti manusia. Selanjutnya Bandura (Hargies, http:/www.jhargis.co/) dalam Sumarmo, U (2010:1), menyarankan tiga langkah dalam melaksanakan SRL yaitu: (1) Mengamati dan mengawasi diri sendiri: (2) Membandingkan posisi diri dengan standar tertentu, dan (3) Memberikan respons sendiri (respons positif dan respons negatif).

Berdasarkan teori-teori diatas diperoleh defenisi konseptual nilai karakter kemandirian belajar adalah dimana siswa memiliki sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memiliki keinginan dari dalam diri untuk belajar matematika.

Defenisi operasional dari karakter kemandirian dapat dijabarkan menjadi 3 bagian pokok berdasarkan pada defenisi konseptual yaitu:

  • Siswa menunjukkan sikap dan perilaku keinginan untuk belajar;
  • Siswa menunjukkan sikap dan perilaku mengerjakan PR sendiri;
  • Siswa menunjukkan sikap dan perilaku mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan yang sudah dilaksanakan.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013, Matematika merupakan salah satu muatan pembelajaran dalam struktur kurikulum SD/MI, SDLB, dan sederajat. “Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari” (Muhsetyo, dkk 2012: 1.26).

Susanto (2013: 186-7) mengatakan bahwa “pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika.”

Selanjutnya Aisyah, dkk (2007: 1.4) menyatakan “pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan siswa melaksanakan kegiatan belajar matematika dan proses tersebut berpusat pada guru mengajar matematika.”

Hal-hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah dasar merupakan kegiatan belajar mengajar di tingkat sekolah dasar yang dibangun oleh guru dengan proses yang terencana bertujuan untuk memperoleh kompetensi siswa di bidang matematika.

Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu:

Pertama, hasil penelitian Tambunan (2006) dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berjudul “Hubungan antara Kemampuan Spasial dengan Prestasi Belajar Matematika”, menunjukkan bahwa (1) Terdapat hubungan antara kemampuan spasial total dan prestasi belajar matematika sebesar 0,422; (2) Terdapat hubungan antara kemampuan spasial topologi dan prestasi belajar matematika sebesar 0,400; (3) Terdapat hubungan antara kemampuan spasial euclidis dan prestasi belajar matematika sebesar 0,381; dan (4) Tidak terdapat hubungan antara kemampuan spasial proyektif dan prestasi belajar matematika.

Letak persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini yaitu:

  • Menurut penjelasan dalam penelitian Tambunan, beberapa area dari pemecahan masalah matematika berhubungan dengan kemampuan spasial. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah memiliki hubungan dengan kemampuan spasial.
  • Perbedaan penelitian Tambunan dengan penelitian ini yaitu tidak semua area kemampuan spasial merupakan kemampuan pemecahan masalah. Selain itu, Tambunan memilih subjek penelitian dengan usia rata-rata 9 tahun 6 bulan.

Letak persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini yaitu:

  • Persamaan penelitian tersebut terletak pada kemampuan pemecahan masalah. Limin, Dooren, dan Verschaffel juga melaksanakan penelitiannya di SD.
  • Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu Limin, Dooren, dan Verschaffel melihat hubungan kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan bertanya tentang masalah dan kemampuan matematika secara umum.

Penelitian tersebut digunakan sebagai landasan atau acuan dan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, peneliti melihat Hubungan Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar Matematika Siswa Kelas I SD Negeri Dama.

Kemampuan pemecahan masalah diperlukan untuk memecahkan masalah matematika. Kualitas hasil belajar siswa dapat memenuhi tuntutan masyarakat, jika kemampuan pemecahan masalah diterapkan dalam pembelajaran. Berdasarkan teori metakognetif tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang menentukan keberhasilan kualitas kemandirian belajar matematika siswa yaitu kemampuan pemecahan masalah.

“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan” (Sugiyono, 2013: 99). Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu

Ho: r= 0; tidak ada hubungan yang signifikan kemampuan pemecahan masalah dengan kemandirian belajar matematika siswa kelas I SD Negeri Dama.

Ha:r ≠ 0; ada hubungan yang signifikan kemampuan pemecahan masalah dengan kemandirian belajar matematika siswa kelas I SD Negeri Dama.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini merupakan penelitian noneksperimen, jenis korelasional. Jenis penelitian korelasional untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Peneliti menggunakan metode ini karena metode ini cocok untuk mengkaji Hubungan Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar Matematika Siswa Kelas I SD Negeri Dama.

Populasi adalah wilaya generalisasi yang terdiri atas opje/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tentu yang di tetapkan oleh peneliti untukdipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2013: 119). Populasi penelitian ini adalah siswa kelas I SD Negeri Dama, yang berjumlah 35 siswa.Menurut Sugiyono (2008: 81) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki olehpopulasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel populasi, sehingga seluruh siswa kelas I yang jumlah 35 siswa dijadikan sebagai sampel.

Teknik pengumpulan data adalah suatu usaha untuk memperoleh data dengan metode yang ditentukan oleh peneliti sehingga harus dilaksanakan dengan hati-hati sejak awal dan akan berhasil baik selanjutnya. Untuk memperoleh data yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, diperlukan cara yang mampu mengungkapkan dan sesuai dengan pokok permasalahannya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalahdengan mengunakan tes dan Lembar Observasi. Tes digunakan untuk mengumpulkan data pelaksanaan pembelajaran kemampuan pemecahan masalah, sedangkan lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data kemandirian belajar siswa.

Berdasarkan analisis item variabel X menunjukan bahwa rhitung pada semua item lebih besar dari rtabel(5%;10) = 0,632maka hasil item di atas dinyatakan seluruhnya valid dimana rhitung lebih besar dari rtabel dan Alpa Cronbach’s adalah 0,851 berarti Tes variabel X memiliki reliabilitas lebihbesardarikriteria = 0,6 serta memenuhi syarat validuntuk digunakan dalam penelitian.analisis item variabel Y menunjukan bahwa rhitung lebihbesardarirtabel(5%;3) = 0,998maka hasil item di atas dinyatakan seluruhnya valid dan Alpa Cronbach’s adalah 0,927 berarti Tes variabel Y memiliki reliabilitas lebihbesardarikriteria = 0,6 serta memenuhi syarat valid.

Teknik analisis data yang digunakanpenelitian ini adalah statistikdeskritif untuk mengetahui kategori kemampuan pemecahan masalah dan Kemandirian Belajar Matematika, serta statistik inferensial (korelasi menggunakan rumus product moment) untuk mengetahui hubungan kemampuan pemecahan masalah dengan Kemandirian belajar matematika.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis deskriptif variabel X menunjukkan bahwa mean atau rata-rata skor adalah 8,14 dengan standar deviasi sebesar 1,089. Berarti Kemampuan Pemecahan Masalah di SD Negeri Dama termasuk kategori Baik dan analisis deskriptif variabel Y menunjukkan bahwa mean atau rata-rata skor Kemandirian Belajar siswa adalah 11 dengan standar deviasi sebesar 1,435. Berarti tingkat Kemandirian Belajar siswa Kelas I SD Negeri Dama termasuk kategori tahapan sudah berkembang/mandiri.

Hasil uji kenormalan penyebaran data X dan Y, menunjukkan bahwa Kemampuan Pemecahan Masalah (X) memiliki Koefisien Kolmogorov-Smirnov Z= 1,297 dengan Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,069 > p.0,05 dan Kemandirian Belajar (Y) memiliki Koefisien Kolmogorov-Smirnov Z= 1,089 dengan Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,179 > p.0,05berarti kedua kelompok data Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemandirian Belajar tersebar secara normal.

Uji Homongenitas Variabel X dan X menggunakan uji levene statisticdata variabel X dan Variabel Y adalah homongen hal ini dilihat dari sig 0,032< 0,05. Hal ini didukung dari hasil F hitung di mana Fhitung 88,083 dengan sig 0,000. Nilai Fhitung perlu dibandingkan dengan Ftabel(df1;df2/sig) dimana: df1 =k-1, k=jumlah variabel =2, sehingga df1 = 2-1 = 1. df2 = total responden – 2 = 2×35 – 2 = 68. Signifikan = 0,05. Sehingga Ftabel(1/68;0,05) = 3,986. Selanjutnya kita bandingkan Fhitung dengan Ftabel, maka diperoleh bahwa Fhitung(88,083> Ftabel (3,986) sehingga kedua data variabel X (Kemampuan Pemecahan Masalah) dan variabel Y (Kemandirian Belajar) adalah homongen.

Uji korelasi digunakan untuk membuktikan hipotesis yaitu korelasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar siswa kelas I SD Negeri Dama. Apabila hasil uji menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0 berarti korelasinya (tidak ada korelasi) dan jika koefisien korealasi (r) bertanda (-,+) berarti ada korelasi. Kriteria untuk menentukan ada tidaknya korelasi mengacu pada pedoman yang dikemukakan oleh Riduwan (2009:218) sebagai berikut:

 

 

 

Tabel 1. Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r

Interval Koefisien Tingkat hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Cukup
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat

 

Pengujian korelasi dilakukan dengan menggunakan program bantu SPSS versi 16. Hasil pengujian dirangkum dan disajikan dalam Tabel sebagai berikut.

Tabel 2Hasil Uji Korelasi X dengan Y

Correlations
    KPM KB
KPM Pearson Correlation 1 .565**
Sig. (2-tailed)   .000
N 35 35
KB Pearson Correlation .565** 1
Sig. (2-tailed) .000  
N 35 35
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

 

Pada tabel 2 koefisien korelasi pasangan variable sebagai berikut: Hubungan Variabel X dengan Y (rXy = 0,565) memiliki tingkat hubungan yang cukup kuat, sedangkan rtabelpada taraf signifikansi 5%,35 = 0,334, sehingga dapat disimpulkan nilai rhitung> nilai rtabel(5%;35) yaitu 0,565>0,334. Berarti: terdapat korelasi positif antara Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar.

Berdasarkan hasil perhitungan dibandingkan ttabeldengan tingkat kesalahan = 0,5. db = n-2 (35-2) =33, ditemukan ttabel = 2,0316. Ternyata thitung (3,934) ≥ ttabel (2,0316), maka korelasi atau hubungan antara Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar adalah signifikan.

Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi: terdapat hubungan yang positif dan signifikan Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar siswa Kelas I SD Negeri Dama, dapat dibuktikan atau diterima.

  1. Kemampuan Pemecahan Masalah mean atau rata-rata skor adalah 8,14 dengan standar deviasi sebesar 1,089. Berarti Kemampuan Pemecahan Masalah di SD Negeri Dama termasuk kategori Baik
  2. Kemandirian Belajar mean atau rata-rata skor Kemandirian Belajar siswa adalah 11 dengan standar deviasi sebesar 1,435. Berarti tingkat Kemandirian Belajar siswa Kelas I SD Negeri Dama termasuk kategori tahapan sudah berkembang/mandiri.
  3. Apabila dilihat dari hasil uji normalitas, penyebaran data Kemampuan Pemecahan Masalah (X) memiliki Koefisien Kolmogorov-Smirnov Z= 1,297 dengan Sig. (2-tailed) = 0,069 > p.0,05 dan Kemandirian Belajar (Y) memiliki Koefisien Kolmogorov-Smirnov Z= 1,089 dengan Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,179 > p.0,05 berarti kedua kelompok data Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemandirian Belajar tersebar secara normal.
  4. Uji korelasi dilakukan untuk membuktikan hipotesis yaitu Kemampuan Pemecahan Masalah memiliki hubungan positif dan signifikan dengan Kemandirian Belajar yang ditunjukkan oleh hasil uji korelasi yaitu nilai rhitung (rXy = 0,565) memiliki tingkat hubungan yang cukup kuat, sedangkan rtabel pada taraf signifikansi 5%,35 = 0,334, sehingga dapat disimpulkan nilai rhitung> nilai rtabel(5%;35) yaitu 0,565>0,334; hasil perhitungan uji signifikansi dibandingkan ttabel dengan tingkat kesalahan = 0,5. db = n-2 (35-2) =33, ditemukan ttabel = 2,0316. Ternyata thitung (3,934) ≥ ttabel (2,0316). Berarti: terdapat korelasi yang cukup kuat dan positif antara Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Kemandirian Belajar. Pelaksanaan Kemampuan Pemecahan Masalah memiliki hubungan yang cukup kuat dengan tingkat Kemandirian Belajar siswa dengan rxy = 0,565; artinya bahwa pelaksanaan metode pemecahan masalah dapat membentuk tingkat Kemandirian Belajar siswa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkanpembahasan hasil penelitian pada Bab IV, dapat disimpulkan Kemampuan Pemecahan Masalah berkorelasi positif dan signifikan dengan Kemandirian Belajar siswa Kelas I SD Negeri Dama.Korelasi tersebut dibuktikan melalui analisis korelasi dan uji signifikansi t, yaitu nilai rhit> nilai rtab; 0,565>0,334 dan nilai t.hitung > nilai t.tabel; thitung (3,934) ≥ ttabel (2,0316).Dengan terbuktinya hipotesis penelitian, maka tujuan penelitian yang dirumuskan tercapai dengan baik.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut:

Pihak sekolah.

Pihak sekolah hendaknya secara terus-menerus melaksanakan upaya peningkatan pelaksanaan Kemampuan Pemecahan Masalah.

Siswa.

Kemampuan Pemecahan Masalah memiliki hubungan yang positif dan cukup kuat pada pembentukan kemandirian belajar siswa untuk itu disarankan agar siswa mengikuti Kemampuan Pemecahan Masalah yang dilaksanakan di sekolah.

DAFTAR LITERATUR

Aisyah, N., dkk. 2007. PengembanganPembelajaranMatematika SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DepartemenNasional.

Arikunto, S. 2012. Dasar-dasarEvaluasiPendidikanEdisi 2. Jakarta: BumiAksara.

Budhayanti, C.I.S. 2008. PemecahanMasalahMatematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DepartemenNasional.

Firdaus, A. 2009. KemampuanPemecahanMasalahMatematika. Available at https://madfirdaus.wordpress.com/2009/11/23/kemampuan-pemecahanmasalah-matematika/ (diaksesNovember 2017)

Hudojo, H. 2005. PengembanganKurikulumdanPembelajaranMatematika. Malang: UM Press.

Muhsetyo, G., dkk. 2010. PembelajaranMatematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

PeraturanPemerintahRepublik Indonesia Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 StandarNasionalPendidikan.

Purwanto. 2013. EvaluasiHasilBelajar. Yogyakarta: PustakaPelajar

Rifa‟i, A. dan C.T. Anni. 2011. PsikologiPendidikan. Semarang: UNNES Press.

Slameto. 2010. BelajardanFaktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: RinekaCipta.

Suardika, K. 2012. KemampuanPemecahanMasalah (Problem Solving Ability). Available at http://komangsuardika.blogspot.com/2013/08/kemampuanpemecahan-masalah.html (diaksesNovermber 2017)

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sukirman, dkk. 2009. Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sumarmo, U. 2010. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah/Jurnal. Sekolah Pascasarjana UPI (diunduh 23 Maret 2019)

Susanto, A. 2013. TeoriBelajardanPembelajaran di SekolahDasar. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama.

Tambunan, S.M. 2006. Hubunganantara Kemampuan Spasial dengan Prestasi Belajar Matematika. Makara, SosialHumaniora, 10/01: 27 – 32. Available at http://journal.ui.ac.id/humanities/article/view/13/9 (November 2017)

Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: PT LeuserCitaPustaka.

Wardhani, S., dkk. 2010. PembelajaranKemampuanPemecahanMasalahMatematika di SD. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikdan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika.