HUBUNGAN

SALING PENGARUHMEMPENGARUHI

DALAM PROSES PERUBAHAN SOSIAL

Setyo Budi Utomo

Guru SMP Negeri 1 Bancak

PENDAHULUAN

Jika diamati secara seksama dialektika antara kebudayaan dan pembangunan dalam proses perubahan sosial pada suatu masyarakat secara khusus di Indonesia, hubungan keduanya tidak bersifat linear, melainkan berbentuk cyclical. Hubungan keduanya saling pengaruh-mempengaruhi. Pada postulat tertentu kebudayaan mempengaruhi kelangsungan pembangunan, sedang pada postulat yang lain pembangunan mempengaruhi suatu kebudayaan. Implikasi suatu masyarakat perlu mengadaptasikan diri dengan suatu kebudayaan bila akan melaksanakan pembangunan, sebaliknya masyarakat membutuhkan pembangunan dalam merealisasikan kebudayaannya. Dalam perubahan sosial ada beberapa teori sosial yang membicarakan tentang benuk dari hubungan itu antara lain (Soekanto 1990):

a. Unlinear theories, teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahapan tertentu, bermula dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan sampai pada tahap sempurna, mereka yang termasuk dalam teori ini seperti August Comte dan Herbert Spencer.

b. Cyclical theories, teori ini berpendapat bahwa masyarakat dan kebudayaan mempunyai tahap-tahap perkembangan yang merupakan lingkaran, di mana pada suatu tahap tertentu dapat dilalui berulang-ulang, teori ini dikembangkan oleh Vilfredo Pareto dan di dukung oleh Pitirim Sorokin

c. Universal theori, teori ini berpendapat bahwa perkembangan suatu masyarakat tidaklah perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Prinsip-prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer yang antaralain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen, baik sifat maupun susunannya.

d. Multilined theories, teori ini menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat

Dalam konteks Indonesia saat ini, teori Cyclical dari Pareto, sepertinya memiliki relevansi. Proses pengaruh-mempengaruhi antara kebudayaan dan pembangunan dapat di simak sejak kemerdekaan RI sampai dengan saat ini. Pada 21 tahun pertama, pada masa pemerintahan Soekarno yang dikenal sebagai orde lama, walaupun dalam ketidakmenentuan kehidupan politik saat itu, faktor budaya masih memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap proses pembangunan. Misalnya dalam pembangunan politik; Suasana ketegangan yang mewarnai sidang-sidang parlemen saat itu, tidak sampai memecah belah bangsa Indonesia dalam kehidupan saling bermusuhan. Ketegangan/perdebatan hanya sebatas pada meja persidangan, diluar forum persidangan mereka tetap terikat dalam tali persaudaraan sebagai sesama bangsa Indonesia. Sementara itu pada kurun waktu 32 tahun kedua, pada masa pemerintahan Soeharto yang dikenal lewat orde baru; keadaan menjadi berbalik. Setelah 32 tahuan rakyat Indonesia hidup dalam suasana pembangunan ternyata hasilnya sangat menyedihkan. Bukan persatuan dan kesatuan yang semekin erat diantara bangsa anak bangsa, tetapi semakin menguatnya nuansa disintegrasi bangsa. Proses pembangunan yang berjalan selama 32 tahuan telah merusak nilai-nilai budaya yang hidup diantara berbagai keragaman suku, etnis, agama. Contoh aktual; Budaya Pella yang ada/hidup di masyarakat Maluku, merupakan suatu wadah/kegiatan bersama dalam bentuk hidup saling tolong menolong diantara penduduk beragama Islam dan Kristen. Siapa yang dapat meramakan kembali bahwa budaya ini akan dapat hidup kembali, setelah kita menyaksikan saling bantai-membantai antara kedua pemeluk agama ini. Budaya ini kemungkinan akan lenyap bersama dengan hilangnya nyawa-nyawa mereka yang tidak berdosa, mereka merupakan korban dari pembangunan politik yang tidak beres.

Terjadinya pola hubungan timbal-balik antara pembangunan dan kebudayaan seperti di atas cenderung destruktif, dapat disebabkan; Pertama, Hegemonik pembangunan melalui politik penyeragaman menyebabkan tereduksinya nilai-nilai budaya atau keragaman lokal yang ada pada suatu daerah, Kedua, hegemonik budaya yang berlindung dibalik pembangunan, menyebabkan tereduksinya nilai budaya dari suatu suku, etnis dan agama lain.

Elaborasi dari makalah ini mencoba menguraikan dan menjawab dua persoalan diatas, faktor-faktor penyebabnya dan bagaimana untuk mengatasinya.

HEGEMONI KEBUDAYAAN

Pada tahun 1952 Kluckholn dan Kroeber menginventarisir definiSi kebudayaan berjumlah sekitar 150 definisi. Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemayarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta teknologi dan peralatan.

Begitu banyak definisi kebudayaan baik secara kuantitif maupun kualitatif menunjukkan bahwa kebudayaan memegang peranan yang besar dalam kehidupan setiap kelompok masyarakat baik dalam komunitas keluarga, organisasi maupun pada komunitas yang lebih besar seperti negara. Proses pembangunan yang berlangsung di Indonesia tidak lepas dari pengaruh suatu budaya, dalam hal ini budaya jawa yang cukup hegemonik baik pada tataran nilai maupun praksis. Hal ini telah diungkapan oleh sejumlah ahli seperti Fachry Ali (1986), Benedict Anderson (1972), De Jong (1976), Magnis Suseno (1988), Niels Mulder (1984), Geertz (1973). Bahkan menurut Sindhunata (1999) menganggap bahwa budaya Jawa sama dengan budaya nazi Jerman yang bersifat rasis dan fasis. Jika tidak ditanggulangi akan mudah menimbulkan gelombang anti jawa oleh masyarakat non jawa di Indonesia (Suwondo 1999)

Salah satu dari sekian banyak budaya Jawa, yang cukup menonjol selama proses pembangunan dibawah pemerintahan Soeharto adalah budaya kekuasaan yang bersifat Patrimonialistik. Ciri khasnya, kekuasaan bersifat tunggal, utuh, tidak terpecah-pecah dan bersifat personal. Sebagai contoh, kekuasaan Soeharto yang terasa sangat tunggal dan personal menguasai hierarki pemerintah dari aras pusat sampai aras desa. Melalui kekuasaan patrimonialistik Soeharto melakukan poitik penyeragaman dalam pembangunan. Setiap aspirasi yang dianggap berbeda dengan kebijakannya, akan dianggap menentang perintah yang sah, tidak Pancasilais. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk kontrol ketat terhadap setiap aspirasi masyarakat.

Memasuki masa pemerintahan pada era reformasi, maka cara-cara seperti diatas harus dieliminasi, agar bangsa Indonesia tidak hidup dalam rasa saling curiga yang memperlebar kecenderungan disintegrasi nasional. Oleh karena itu diperlukan nilai-nilai budaya dan strategi-strategi pembangunan yang mendukung perubahan sosial yang sifatnya menguntungkan masyarakat.

STRATEGI PENGEMBANGAN

Dalam pengembangan kebudayan dan pembangunan di Indonesia, diperlukan beberapa strategi agar kebudayaan dan pembangunan berjalan berkesinambungan secara sehat, yaitu; membangun seperangkat simbol yang memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa (integrative symbol), mengembangkan kerangka acuan bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaulat dan menempatkan diri setara dengan bangsa-bangsa lain (symbol of equality), proses pelaksanaan pembangunan harus dalam kerangka penghargaan terhadap realitas plural Indonesia. Strategi yang dimaksud adalah:

Pembangunan dan Kebudayaan Sebagai Simbol Integratif

Dalam UUD 45, menunjukkan arah dan pegembangan kebudayaan nasional, sebagai sarana pemersatu, yaitu dengan memperhitungkan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai landasan kebudayaan yang dikembangkan. Pengertian tersebut akhir-akhir ini diartikan secara sempit, bahwa puncak-puncak kebudayaan daerah adalah unsur-unsur kebudayaan yang mempunyai adhiluhung dan dapat membangkitkan kekaguman masyarakat.

Pengertian yang sempit dan bahkan mengarah pada seni dari pada maknanya yang luas itu mengandung kecurigaan banyak orang. Seolah-olah pengembangan kebudayaan nasional itu akan didominasi oleh nilai-nilai budaya dari suatu kebudayaan daerah atau suku bangsa itu saja. Pada jaman Orde Baru, hegemoni budaya Jawa dalam proses pembangunan merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Sisi-sisi kelemahan budaya Jawa, telah dengan sengaja dimanfaatkan demi melanggengkan kekuasaan presiden Soeharto.

Pendekatan yang bersifat akomodatif sangat penting untuk menciptakan lambang persatuan yang dapat diterima sekaligus mengikat kesetaraan dan ketertiban masyarakat yang majemuk sebagai satu bangsa yang besar. Kehadiran aneka ragam kebudayaan daerah sebagai kerangka acuan yang berlaku dalam masyarakat pendukung masing-masing diakui, walaupun kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan resmi dan umum harus dikembangkan. Dengan demikian prinsip Bhinnekas Tunggal Ika dari kemajemukan masyarakat dan kesatuan nasional yang utuh dapat dipertahankan

Kebudayaan dan Pembangunan Nasional Sebagai Lambang Kesetaraan

Dalam proses pembangunan dan pengembangan kebudayaan, harus memenuhi kebutuhan akan lambang kesetaraan (symbol of equality) dalam pergaulan antar masyarakat. Sebagai bangsa yang telah membangun sebuah kesepakatan bersama tentang ke-Indonesia-an yang satu, maka perasaan superior, merasa lebih berharga, lebih tinggi dari suku, etnis, agama, daerah yang lain, harus disingkirkan. Pemikiran yang mestinya dikembangkan adalah masing-masing dari identitas harus berangkat dari rasa saling membutuhkan, dan menyadari bahwa ada kelemahan, kekurangan dan kelebihannya.

Kesetaraan yang dibangun tidak hanya dalam wilayah primordial, misalnya; secara suku, etnis, agama, tetapi keseta-raan yang dimaksud harus diletakkan dalam kerangka sebagai sesama bangsa Indonesia bahkan lebih luas lagi dalam kerangka kemanusiaan. Jika aspek ini berjalan dengan baik, niscaya kerusuhan-kerusuhan atas nama agama, etnis, suku tidak akan terjadi. Sebab semuanya telah merasa sebagai sesama manusia yang bersumber pada satu ciptaan.

Pembangunan dan Kebudayaan Sebagai Penghargaan Atas Realitas Plural Indonesia

Persoalan krusial yang urgen dihadapi Indonesia saat ini adalah pembangunan dan pluralitas bangsa. Bahwa dalam proses pembangunan telah terjadi proses hegemoni nilai budaya, suku, etnis, agama tertentu terhadap yang lain tidak dapat dipungkiri lagi. Proses ini terjadi melalui politik penyeragaman, implikasinya, nilai-nilai budaya atau agama kelompok tertentu mengalami aleanasi dan tereduksi. Akibatnya terjadi gesekan-gesekan lokal yang berakumulasi menjadi konflik berskala nasional.

Proses pembangunan selama 32 tahun dibawah rezim Orde Baru merupakan proses belajar yang sangat penting untuk dijadikan pengalaman berharga bangsa ini, agar tidak terulang lagi, bila kita masih menginginkan Indonesia sebagai negara kesatuan. Sebagai konsukuensi logis dari pilihan tersebut adalah negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, maka orientasi konsep pembangunan harus mampu mengakomodasi semua potensi plural dan meletakkannya dalam bingkai masyarakat yang egaliter, punya rasa saling menghargai-menghormati dan singkirkan rasa saling curiga. Keragaman SARA harus diletakkan sebagai kenyataan sosiologis ke-Indonesia-an yang tidak dapat dipungkiri tetapi lebih baik dicarikankan frame bagaimana memelihara pluralitas ini sehingga menjadi stimulus positif bagi kemajuan bangsa Indonesia. Wacana yang bersifat hegemonik dan dikotomis mayoritas-minorotas harus dibuang jauh karena akan membawa kita pada fanatisme primordial sempit. Wacana yang dikembangkan harus lebih bersifat obyektif-kualitatif. Pendekatan seperti ini lebih dapat diterima oleh masyarakat yang pluralis. Bila suatu saat terjadi akulturasi nilai/budaya dengan sendirinya akan muncul nilai-nilai baru yang mungkin dapat diterima oleh semua kalangan tanpa harus merasa kalah bila nilai budayanya tidak dapat diterima. Kelemahan rezim Orde Baru adalah merekayasa pluralitas SARA sebagai alat legitimasi untuk bertindak represif.

KESIMPULAN

Kebudayaan dan pembangunan, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dalam kehidupan manusia. Kebudayaan (peradaban) merupakan hasil dari karya manusia, yang muncul melalui daya cipta, rasa dan karsa dan merupakan pendorong utama demi terlaksananya proses pembangunan. Sebaliknya, pembangunan merupakan suatu ekspresi diri manusia (realisasi potensi diri), melalui hasil-hasil karyanya baik secara fisik maupun non fisik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan merupakan identitas diri dari suatu bangsa yang menunjukkan tingkat kemajuan peradaban. Implikasinuya, jika proses pembangunan dalam suatu negara berlangsung dengan baik secara kualitatif maupun kuantitas, akan berdampak langsung pada terciptanya manusia-manusia yang dapat menghargai realita pluralitas, sebab ia menyadari betul dalam realita yang pluralis ada berbagai macam kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku, etnis, agama yang ada di dalamnya. Oleh karena itu harus di hargai, di hormati dan dipelihara, sebab dari situlah tercermin nilai kemanusiaanya sebagai manusia yang berbudaya.

Proses pembangunan yang berlangsung di Indonesia harus berjalan dalam kerangka ini, yaitu dengan menempatkan pembangunan dan kebudayaan sebagai dua hal yang tidak boleh diabaikan. Pengabaian terhadap salah satu elemen ini, akan berdampak langsung pada tereduksinya nilai-nilai kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry (1986) ”Refleksi Paham Kekuasaan Jawa”;dalam Indonesia Modern, Gramedia, Jakarta

De Jong S. (1976) ”Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa”, Kanisius, Yogyakarta

Koentjaraningrat (1974) ”Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan”, Gramedia Jakarta

Kartodihardjo, Sartono (1994) ”Pembangunan Bangsa”, Aditya Media, Jakarta

Soekanto, Soerjono (1990) ”Sosiologi Suatu Pengantar”, Rajawali Pers, Jakarta

Suseno, Magnis (1988) ”Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang Kebijakasanaan Hidup Jawa”, Kanisius, Yogyakarta

Santoso, Budhi (1997) ”Nilai Luhur Budaya bangsa dalam Pembangunan Struktur dan Budaya Masyarakat Indonesia”, Makalah Seminar Pokok Pikiran Golkar (tidak diterbitkan)

Suwondo, Kutut (1999) ”Dominasi Budaya dalam Pembangunan”, Makalah (tidak diterbitkan)