IDENTIFIKASI KESALAHAN MAHASISWA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR UNIVERSITAS TERBUKA UPBJJ-UT SURAKARTA

DALAM MELAKSANAKAN PRAKTIKUM

PADA MATAKULIAH PRAKTIKUM IPA DI SD

Fadloli

Tri Sumarjoko

Syamhudi

Dosen Universitas Terbuka UPBJJ-UT Surakarta

ABSTRACT

This study aims to identify kinds of mistake by students, and those contributing most in carrying out the practicum in the class of courses “Practicum IPA di SD”. The experiment was conducted at the Department of Primary School Teacher Education Open University registration period 2014.2. The subjects are those attending the class as many as 59 which follows the course Practicum IPA di SD. Data were collected through an observation focusing on the types of mistakes done by the subjects while they were doing their practicum. The mistakes observed cover mistake of tools, the tool positions, arranging the tools, determining the units, the scales, and the zero point. Results show mistakes of arranging the tools reaching 80%, of parallax and determining the scale amounting 46%, on determining the zero point amounting 25%, on positions 53%, on the units 32%, on tools 49%, and on figures 1.5%. The major mistakes done by the subject are on arranging the tools.

Key words: Students’ Mistakes, Practicum


PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat (correct) pada sasaran, serta menggunakan prosedur yang benar (true), dan dijelaskan dengan penalaran yang sahih (valid) sehingga dihasilkan kesimpulan yang betul (Sutrisno, 2007). Menurut Slamet, dkk. (2008) IPA merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang fenomena-fenomena alam yang disusun melalui tahapan-tahapan metode ilmiah yang bersifat khas-khusus, yaitu penyusunan hipotesis, melakukan observasi, penyusunan teori, pengujian hipotesis, penarikan kesimpulan, dan seterusnya.

Untuk mendukung definisi di atas, salah satu faktor yang sangat menunjang keberhasilan pendidikan IPA adalah laboratorium. Melalui kegiatan praktik di laboratorium dapat diperlihatkan gejala-gejala IPA yang dibahas baik yang sesungguhnya maupun yang berbentuk model sehingga daya serap mahasiswa terhadap materi lebih meningkat. Disamping itu kegiatan eksperimen dapat memupuk sikap mandiri, etos kerja, dan sikap ilmiah mahasiswa. Naim (1992) menyatakan bahwa manfaat kegiatan praktikum di laboratorium ialah memupuk sikap mandiri dan tempat melatih keterampilan.

Keberadaan laboratorium memang sangat dirasakan manfaatnya. Hal ini tidak mengherankan mengingat fungsi laboratorium sebagai tempat menguji teori-teori IPA yang diajarkan oleh guru maupun dosen. Manfaat praktikum seperti yang dikemukakan oleh Amin (1998) bahwa kegiatan praktikum dapat diartikan sebagai salah satu strategi belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan ilmiah terhadap gejala-gejala baik gejala sosial psikis maupun percobaan atau penelitian di bawah kondisi yang diatur melalui praktikum.

Melalui kegiatan praktikum ini mahasiswa akan dapat melatih keterampilkan berpikir ilmiah, dapat menentukan dan memecahkan masalah melalui metode ilmiah. Rustaman mengemukakan empat alasan pentingnya kegiatan praktikum IPA, yaitu: (1) praktikum membangkitkan motivasi belajar IPA; (2) praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen; (3) praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah; dan (4) praktikum menunjang materi pelajaran (Sugiharto, 2008:1). Mahasiswa dalam melaksanakan praktikum dapat secara langsung mengamati proses IPA sehingga pemahaman konsep-konsep akan lebih mudah diingat. Mengingat pentingnya pelaksanaan praktikum, maka baik dosen maupun mahasiswa dituntut perannya dalam kegiatan ini, agar apa yang menjadi tujuan pelaksanaan praktikum dapat terwujud dan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Namun hal ini bisa saja terjadi diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain mahasiswa tidak siap melaksanakan praktikum, kurang terampil dalam mengoperasikan alat-alat, mahasiswa kurang bahkan tidak pernah melaksanakan praktikum pada saat di sekolah menengah. Dari beberapa kekurangmampuan mahasiswa dalam pelaksanaan praktikum ini, maka sudah tentu banyak melaksanakan kesalahan-kesalahan seperti kesalahan dalam pengamatan, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak.

Mata kuliah Praktikum IPA di SD merupakan matakuliah wajib yang haeus ditempuh oleh mahasiswa program S1 PGSD Universitas Terbuka. Mata kuliah Praktikum IPA di SD merupakan matakuliah yang mengkaji konsep-konsep dasar IPA (Biologi, Fisika dan Kimia) yang meliputi: makhluk hidup, makhluk hidup dan lingkungannya, makanan, mekanika, Kalor Perubahan Wujud Zat dan Perpindahan pada Suatu zat, gelombang, optik, listrik dan magnet, bumi dan alam semesta Mata kuliah Praktikum IPA di SD menerapkan konsep-konsep dasar IPA pada pelaksanaan praktikum, merangkai alat praktikum, mengamati dan mencatat hasil percobaan, menyajikan, serta menyimpulkan hasil percobaan.

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti mengidentifikasi jenis-jenis kesalahan yang sering dilakukan oleh mahasiswa, serta jenis kesalahan yang memberikan proporsi terbesar dalam pelaksanaan matakuliah praktikum IPA di SD.

KARAKTERISTIK IPA (SAINS)

Sebagai suatu bangun ilmu, sains atau ilmu pengetahuan alam terbentuk dari interrelasi antara sikap dan proses sains, penyelidikan fenomena alam, dan produk keilmuan, (Carin, 1997). Menilik sejarah penemuan konsep-konsep sains, akan tampak betapa hubungan antara proses dan sikap ilmiah amat penting bagi penemuan pengetahuan sains. Rasa penasaran Archimedes atas tugasnya untuk bisa menghitung volume mahkota raja, membuatnya merasa harus ‘membawa’ mahkota itu ke manapun ia pergi, bahkan saat ia mandi. Dan justru dari peristiwa ketika mandi itulah, Archimedes menemukan jalan atau pemikiran jawaban atas tugasnya. Kesabaran dan kecermatan pengamatan serta keterampilan berpikir, yang didorong oleh ketertarikannya terhadap materi sisa-sisa makhluk hidup, serta beraneka ragamnya fenomena struktur beragam organisme, membuat Darwin mampu merumuskan salah satu gagasan yang amat berpengaruh di dalam khazanah keilmuan sains, khusus-nya biologi. Hal serupa juga dialami dan dilakukan oleh Newton dengan buah apelnya, Linneus dengan klasifikasinya, atau Mendel dengan kacang ercisnya.

Cerita sejarah di atas menggambarkan kepada kita, betapa lamanya proses yang dilakukan oleh masing-masing tokoh untuk bisa merumuskan suatu konsep, teori atau hukum yang lantas diterima dan digunakan sepanjang masa. Proses itu bukanlah proses yang sekali jadi, linier, tapi merupakan proses yang terus-menerus, siklik, dan didukung sikap mental yang kuat untuk menemukan dan menghasilkan suatu bentuk pengetahuan yang kelak berguna bagi masyarakat. Perpaduan proses dan sikap ilmiah inilah makna penyelidikan fenomena alam menjadi nyata dalam bentuk produk-produk sains yang dihasilkan.

Sikap ilmiah, seperti peka atau kritis terhadap lingkungan, rasa ingin tahu, obyektivitas, dan skeptis, mendorong seseorang untuk menemukan persoalan dari suatu obyek atau gejala alam yang dihadapinya. Persoalan ini menjadi dasar untuk melakukan proses ilmiah, yang terdiri atas proses pengamatan empirik dan penalaran logik.

Pengamatan empirik merupakan kegiatan penginderaan atau menggunakan panca indera untuk menangkap informasi yang terkandung di dalam obyek atau gejala alam. Informasi-informasi yang diperoleh dari aktivitas pengamatan empirik lantas mendasari kegiatan penalaran logik, yaitu aktivitas menggunakan nalar atau pikiran untuk mengolah dan mengartikan informasi-informasi tersebut sehingga menjadi suatu bentuk produk keilmuan, yang berupa konsep, prinsip, teori atau hukum.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ketiga unsur penyusun bangun ilmu sains tersebut saling berhubungan dan tidak bisa lepas satu sama lain. Unsur proses yang terdiri atas aktivitas pengamatan empirik dan penalaran logik merupakan bagian penting yang menjembatani sikap dengan penyelidikan fenomena alam guna menghasilkan produk keilmuan sains. Artinya, penguasaan akan keterampilan proses sains ini menjadi mutlak bagi seseorang yang akan atau sedang belajar sains. Proses sains yang harus dikuasai siswa atau seseorang yang sedang belajar sains diuraikan dalam Tabel 1

Tabel 1. Proses-proses Sains dan Definisinya.

No

Proses Sains

Definisi

1

Observasi

Mencermat objek/gejala alam, baik gejala kebendaan maupun gejala peristiwa, dengan

menggunakan beragam indera untuk mengidentifikasi atribut atau aspek-aspek gejala tersebut.

2

Klasifikasi

Menata atau membagi objek, gejala, informasi, dalam kelompok-kelompok berdasarkan metode atau system tertentu.

3

Mengukur

Melakukan pengamatan kuantitatif melalui proses membandingkan objek/gejala dengan ukuran/ sistem standar.

4

Merekam/mencatat data

Mengumpulkan berbagai informasi tentang objek atau gejala yang mengilustrasikan situasi khusus.

5

Mengidentifikasi variable

Mengenali karakteristik objek atau faktor-faktor dalam gejala baik yang bersifat tetap atau berubah akibat perbedaan kondisi.

6

Menginterpretasi data

Menganalisis dan mengorganisasikan data dengan menentukan pola atau hubungan antar data.

7

Memprediksi

Membuat dugaan akan gejala yang akan terjadi atau kondisi yang diharapkan.

8

Inferensi

Membuat kesimpulan berdasarkan penalaran logis untuk menjelaskan pengamatan.

9

Generalisasi

Menggambarkan kesimpulan umum dari bagianbagian yang ada.

10

Membuat keputusan

Mengidentifikasi dan memilih alternatif tindakan dari beberapa pilihan berdasarkan argumen atau temuan.

Sumber: Carin (1997)

HAKIKAT IPA DAN PEMBELAJARAN IPA

Sund (Suriaty, 1996) menyatakan bahwa “Science is both a body of knowledge and a process”. IPA adalah kumpulan dari pengetahuan dan bagaimana proses untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. IPA atau sains mengandung empat hal, yaitu: konten atau produk, proses atau metode, sikap dan teknologi (Cain dan Evans dalam Rustaman, 2005). Jika sains mengandung empat hal (konten atau produk, proses atau metode, sikap dan teknologi), maka ketika belajar sainspun siswa perlu mengalami keempat hal tersebut (Rustaman et al., 2005). Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup dengan menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (Depdiknas, 2006).

Pada Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapkan BSNP (Depdiknas, 2006), lulusan sekolah dasar antara lain diharapkan dapat menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif; menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, dengan bimbingan guru/pendidik; menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya; menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari; dan berkomunikasi secara jelas dan santun (Depdiknas, 2006). Kontribusi mata pelajaran IPA akan sangat bermakna bagi pencapaian SKL (Standar Kompetensi Lulusan) tersebut apabila pembelajarannya dilakukan secara kerja ilmiah (scientific inquiry) dan diorientasikan pada peningkatan pemahaman dan penalaran ilmiah (scientific reasoning), keterampilan dan disertai sikap ilmiah. Semua komponen tersebut akan membangun kemampuan ilmiah (scientific ability) siswa. Menurut Etkina, et al. (2006) kemampuan ilmiah adalah prosedur-prosedur, proses-proses, dan metode-metode yang paling penting yang digunakan para ilmuwan pada saat membangun pengetahuan dan ketika memecahkan permasalahan bersifat eksperimental.

PRAKTIKUM ILMU PENGETAHUAN ALAM

Praktikum IPA adalah kegiatan praktik/percobaan/observasi yang dilakukan untuk membuktikan konsep dan teori IPA. Sutarno (2005: 8.18) mengemukakan bahwa IPA merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah seperti penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan. Oleh karena itu dalam pembelajaran perlu membangun pengetahuan siswa. Dalam pembelajaran IPA siswa hendaknya dilibatkan dalam kegiatan langsung pada objek nyata, karena akan membantu siswa untuk berfikir melalui pengalaman belajarnya. Levinson (2005: 15) mengemukakan pentingnya praktikum dalam IPA sebagai berikut:

Simply belongs there as naturally as cooking belongs in a kitchen and gardening in a garden. Books of recipes or gardening manuals can be read anywhere, but the smells, taste, labour and atmosphere can only be evoked in those who already know the reality. It is the same with science, and so the teaching of it must involve real contact with those aspects of nature which are to be studied.

Segala sesuatu yang telah diketahui tentang dunia IPA dan tentang prinsip-prinsip yang mengatur sifat-sifat yang dipelajari melalui percobaan atau praktikum, yaitu dengan pengamatan terhadap gejala-gejala alam. Gejala-gejala alam yang sukar ditemukan, yang tidak bisa diamati dari dekat dan sulit diamati karena waktunya cepat bagi mata kita, dibuat modelnya dalam laboratorium. Kondis-kondisinya diatur sedemikian hingga sesuai dengan gejala alam yang sebenarnya serta proses dan hasilnya diamati atau diukur kemudian hasil pengukuran itu diolah. Dari hasil pengolahan inilah dapat ditarik kesimpulan apakah suatu teori memiliki kebenaran sesuai dengan gejala alam atau tidak (Wirasasmita, 1999: 1-3).

Banyak manfaat yang bisa diperoleh dalam pembelajaran IPA melalui praktikum. Osborne dan Dillon (2010:113) menyatakan:

I will consider in turn the research evidence concerning the use and effectiveness of practical work: to enhance the learning of scientific knowledge; to teach laboratory skills; to give insight into scientific method, and develop expertise inusing it; in stimulating students’ interest and increasing motivation to studyscience; and in developing understanding of the nature of science.

Dengan adanya kegiatan praktikum maka mahasiswa atau siswa diharapkan lebih mudah mempelajari pelajaran IPA, karena mereka dapat membandingkan teori-teori yang diajarkan dengan hasil percobaan yang diperolehnya di laboratoryum. Di samping itu juga kegiatan praktikum dapat mendidika mahasiswa bersikap mandiri, ilmiah, dapat memecahkan masalah dan melatih keterampilan. Dengan demikian pembelajaran melalui pendekatan praktikum bertujuan: (1) mendorong dan mempertahankan minat, sikap yang baik, kepuasan, keterbukaan, dan rasa ingin tahu tentang IPA; (2) mengembangkan pikiran yang kreatif dan kemampuan untuk memecahkan masalah; (3) medorong berbagai aspek dari pikiran keilmuan termasuk bagian-bagian metoda IPA seperti merumuskan hipotesa dan anggapan; (4) mengembangkan pemahaman konsep dan potensi intelektual; (5) mengembangkan keterampilan proses seperti merancang dan melakukan penyelidikan, pengukuran, merekam data, menganalisa dan menafsirkan hasil percobaan; dan (6) mengembangkan keterampilan dalam menggunakan teknik-teknik eksperimental dan penggunaan alat seperti multimeter, mikroskop, titrasi, dan merangkai alat.

Menurut tujuannya, pembelajaran melalui pendekatan praktikum dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) praktikum konsep menekankan perkembangan konsepsiswa dan penanggulangan miskonsepsi; (2) praktikum konsep menekankan latihan keterampilan proses, yaitu keterampilan yang digunakan untuk mencari dan mengesahkan pengetahuan melalui eksperimen; dan (3) praktikum keterampilan menekankan latihan penggunaan peralatan dan teknik-teknik eksperimental seperti pengukuran dengan multimeter dan stopwatch, menyolder, merancang peralatan.

Melaksanakan praktikum berarti melakukan pengukuran. Pengukuran merupakan pengumpulan informasi, dengan melakukan pengumpulan dapat diperoleh besarnya suaatu besaran, dan juga diperoleh bukti yang kualitatif. Namun dalam pengamatan suatu gejala pada umumnya belumlah lengkap jika belum memberikan informasi yang kuantitatif, sehingga untuk memperoleh informasi tersebut memerlukan pengukuran suatu sifat fisis (Soejoto & Sustini 1983). Dari pengukuran itu diperoleh berbagai sumber diolah dan disintesiskan menjadi sebuah model atau teori suatu gejala alam. Agar berguna teori, teori harus menerangkan semua peristiwa alam yang dikenal waktu itu, bahkan harus dapat meramalkan berbagai hal baru yang benar tidaknya dibuktikan dengan percobaan dan pengukuran baru (Djonoputro, 1984).

Dalam melakukan pengukuran setiap orang hendaknya memahami arti dari sebuah pengukuran. Tanpa memahami pengukuran besar kemungkinan dalam melakukan percobaan akan banyak terjadi kesalahan. Hampir semua orang pernah bahkan sering melakukan pengukuran, seperti pedagang di toko mengukur panjang kain yang akan dijual dengan menggunakan alat ukur panjang. Dokter mengukur temperatur pasiennya dengan menggunakan temperatur. Jadi pengukuran adalah membandingkan suatu besaran dengan besaran lain yang dijadikan sebagai acuan (Wirasasmita, 1999).

Sedangkan menurut Soejoto & Sustini (1993) pengukuran adalah suatu tehnik menyatakan suatu sifat fisis dalam bilangan sebagai hasil membandingkannya dengan suatu besaran baku yang diterima sebagai satuan. Dalam pengukuran sering terjadi kesalahan yang dilakukan oleh peserta, kesalahan tersebut terdiri:

1.   Kesalahan Sistematik

Kesalahan sistematik adalah kesalahan yang harganya tetap dalam sekumpulan pembacaan suatu besaran. Jika terjadi kesalaha sistematik maka sebarannya tidak pada sekitar harga yang sebenarnya, tetapi sekitar suatu harga yang bergeser dari harga yang sebenarnya (Wirasasmita, 1999). Kesalahan acak bisa dicacah (dideteksi) dengan mengulang-ulang percobaan. Selain itu dengan pengukuran berulang-ulang didapat suatu harga rata-rata yang makin mendekati harga yang sebenarnya. Hal ini tidak berlaku pada kesalahan sistematik. Pengukuran berulan dengan menggunakan alat yang sama tidak dapat menampakkan atau menghilangkan kesalahan sistematik, karna itu kesalahan sistematik lebih membahayakan dari pada kesalahan acak. Adanya kesalahan sistematik yang tersembunyi akan membuahkan hasil yang kelihatannya dapat dipercaya dengan kesalahan taksiran yang kecil, yang sebenarnya kesalahan yang besar.

Kesalahan seperti ini pernah dilakukan oleh Millikan dalam percobaan tetes minyak untuk mengukur muatan elektron. Dalam percobaan ini diperlukan harga viksositas udara. Karena harga viksositas udara yang digunakan oleh Millikan terlalu rendah maka hasil pengukuran muatan elektron besarnya: e = (1,591 ± 0,002). 10-19 Coloumb. Pengukuran yang sama dilakukan oleh Cohen dan Taylor pada tahun 1923, dan diperoleh harga: e = (1,602 ± 0,000005). 10-19 Coloumb. Sampai tahun 1930 harga beberapa atom yang lain, seperti konstanta Planck dan konstanta Avogadro, berdasarkan harga muatan elektron yang diperoleh Millikan sehingga kesalahannya lebih dari 0,5%.

Kesalahan sistematik menurut Wirasasmita (1999:21-25) digolongkan kedalam tiga jenis:

a. Kesalahan alami, timbul dari gejala-gejala alam yang merupakan akibat-akibat dan pengaruh tertentu yang bekerja pengamat melihat atau membaca secara langsung besaran-besaran yang dicari. Misalnya alat yang digunakan untuk  mengukur jarak antara dua titik dengan menggunakan gelombang radio akan menunjukkan hasil yang kurang tepat bila tidak tidak dilakukan koreksi akan pengaruh tekanan dan kandungan uap air dalam udara terhadap kecepatan gelombang radio;

b. Kesalahan alat, alat merupakan pengaruh ketidak sempurnaan kontruksi atau pengaturan alat yang digunakan dalam pengukuran. Hal yang bisa terjadi diantaranya dalam memberi garis-garis skala. Kesalahan karena kurang sempurnanya komponen optik dalam teleskop, dan gesekan pada tumpuan jarum petunjuk. Contohnya penunjukan jarum pada amperemeter yang terlalu rendah karena gesekan pada porosnya terlalu besar;

c. Kesalahan perorangan yang bergantung pada keterbatasan jasamani dan juga pada kebiasaan pengamat yang mungkin disebabkan oleh kelambatan pendengaran dalam menerima tanda (signal) waktu, sedikit kecendrungan terlalu kekiriatau kekanan dalam menaksir skala terkecil pada alat, atau pada kurang baiknya penglihatan, misalnya pada waktu membaca jangka sorong.

Menurut Djonoputro (1994:3-4) kesalahan sistematik digolongkan menjadi enam bagian:

a. Kesalahan Kalibrasi yaitu cara memberi nilai skala pada waktu pembuatan alat tidak tepat sehingga setiap kali digunakan, suatu ketidakpastian melekat pada hasil pengukuran. Keadaan ini dapat diketahui dengan cara membandingkan alat tersebut dengan alat baku;

b. Kesalahan titik nol yaitu titik nol skala tidak berimpit dengan titik nol jarum petunjuk atau jarum tidak kembali tepat pada angka nol;

c. Kesalahan komponen alat misalnya dalam pegas yang telah dipakai beberapa lama dapat agak melembek hingga dapat mempengaruhi gerak jarum penunjuk.

d. Gesekan adalah selalu timbul antara bagian yang satu dan bergeser terhadap bagian alat yang lain; \Paralaks yaitu kesalahan yang timbul apabila pada waktu membaca skala, pengamat tidak tegak lurus di atas jarum petunjuk. Banyak alat ukur yang memakai jarum penunjuk dilengkapi suatu cermin yang terpasang di bawah jarum untuk menghindari paralaks, misalnya ammeter;

e. Keadaan saat bekerja yaitu pemakaian alat dalam keadaan yang berbeda dengan keadaan alat pada saat dikalibrasi (suhu, tekanan, dan kelembaban udara yang berbeda) akan menyebabkan terjadinya kesalahan.

2.   Kesalahan Rambang (Acak)

Kesalahan rambang (acak) adalah kesalahan yang berubah-ubah seolah-olah positif dan negatif (Wirasasmita, 1999). Kesalahan ini timbul karena kondisi lingkungan yang tidak menentu dan mengganggu kerja alat kita, sehinggakesalahan ini terjadi selalu terjadi dalam setiap percobaan yang menyebabkan pembacaan yang menyebar sekitar harga yang sebenarnya suatu besaran. Djonoputro (1984: 4-5) menyebutkan beberapa kesalahan acak (rambang) sebagai berikut:

a. Gerak Brown molekul udara seperti dimaklumi, molekul udara (molekul N2, O2, dan Cl2) senantiasa dalam keadaan bergerak yang sangat tidak teratur sifatnya (gerak rambang). Gerak ini pada saat-saat tidak ditentukan mengalami fluktuasi dalam arti jumlah molekul yang bergerak kesuatu arah senantiasa secara tiba-tiba dapat menjadi besar atau kecil. Ini yang menyebabkan penunjukan jarum alat yang sangat halus (seperti mikrometer) terganggu karena tumbukan molekul udara;

b. Fluktuasi pada tegangan jarum listrik, jika tegangan PLN atau yang kita peroleh dari accu (aki) atau baterai selalu berfluktuasi, yaitu mengalami perubahan kecil yang tidak teratur (rambang) dan berlalu sangat cepat. Ini jelas mengganggu pengukuran listrik;

c. Landasan yang bergetar yaitu alat yang sangat peka dapat terganggu oleh landasan yang bergetar. Seperti dimaklumi kerak bumi selalu berada dalam keadaan bergetar karena hempasan ombak samudra terus menerus dan kesibukan lalu lintas;

d. Asing adalah gangguan yang selalu kita dapatkan pada alat elektronik. Ia berupa fluktuasi yang cepat dalam alat karena komponen alat bersuhu;

e. Radiasi latar belakang yaitu radiasi kosmos dari angkasa luar dapat merupakan gangguan pada pengukuran dengan alat pencacah karena akan terhitung sewaktu kita mengukur dengan pencacah elektronik.

3.   Kesalahan Pengamatan

Dalam jaman teknologi sekarang ini, banyak peralatan yang rumit operasinya sudah masuk laboratorium sekolah atau universitas. Pemakaiannya memerlukan ketangkasan dan keterampilan yang tinggi. Misalnya pengukuran dengan spektrometer optik tidak mudah dan sederhana. Banyak yang harus disambung sebelum alat siap dipakai dan makin banyak yang harus diatur makin besar kemungkinan orang membuat kesalahan (Djonoputro, 1984). Sehingga di sini diperlukan keterampilan pengamat dalam mebaca skala. Besarnya kesalahan membaca ini dipengaruhi oleh kemampuan kita menaksir besar kecilnya jarak antara dua garis skala, dan bergantung pada kedudukan mata kita.

Kesalahan yang sering dilakukan oleh pengamat ialah: (a) merangkai alat yaitu jika dalam pengukuran atau percobaan diperlukan keterampilan yang tinggi, karena pada umumnya alat-alat yang digunakan di laboratorium sekarang ini adalah alat-alat yang canggih, sehingga sebelum melakukan percobaan alat-alat harus dirangkaikan. Kesalahan merangkai alat dapat mengakibatkan kerusakan alat; (b) kesalahan menggunakan satuan yaitu jika pada alat ukur seperti multimeter digital terdapat berberapa fungsi dan satuan yang berbeda, sehingga dalam menggunakannya diperlukan ketelitian. Misalnya dalam mengukur arus listrik, mengukur hambatan, dan mengukur tegangan diperlukan perubahan satuan; (c) penulisan angka penting disebabkan oleh penggunaan alat yang canggih dan keterampilan pengamat yang kurang. Misalnya hasil pengukuran panjang balok 17,50 cm dan 17,5 cm. Mungkin ada yang berpendapat bahwa kedua nilai di atas adalah sama, padahal sesuai dengan aturan penulisan angka penting bahwa angka penting tersebut terdiri dari angka pasti dan angka tafsiran. Sehingga jelas bahwa kedua nilai di atas berbeda. Menaksir kesalahan merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebab tanpa hal ini kita tidak bisa menarik kesimpulan yang berarti dari suatu hasil percobaan.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif untuk memperoleh gambaran mengenai jenis kesalahan yang sering dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan Praktikum IPA di SD. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Prodi SI Pendidikan Guru Sekolah Dasar  (PGSD) Universitas Terbuka   Bidang Ilmu UPBJJ-UT Surakarta peserta matakuliah Praktikum IPA di SD masa registrasi 2014.2 sebanyak 59 mahasiswa.

Pengumpulan data pada penelitian ini digunakan tehnik observasi langsung dengan instrumen lembar observasi berupa chek list. Melalui instrumen ini akan didapat data yang akurat dari variabel yang telah ditentukan yakni kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan Mata Kuliah Praktikum IPA di SD.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil chek list teridentifikasi jenis-jenis kesalahan yang sering dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan Mata Kuliah Praktikum IPA di SD. Hasil ini dikelola dalam bentuk persentase, yakni:

1. Kesalahan merangkai alat: jenis kesalahan ini berdasarkan hasil pengamatan menempati urutan tertinggi yakni dari 59 mahasiswa terdapat 47 (80%) mahasiswa yang melakukan kesalahan merangkai alat;

2. Kesalahan posisi alat: kesalahan ini menempati urutan kedua dimana dari 59 mahasiswa terdapat 31 (53%) mahasiswa yang melakukan kesalahan posisi alat;

3. Kesalahan keadaan alat saat bekerja: kesalahan ini menempati urutan ketiga yaitu dari 59 mahasiswa terdapat 29 (49%) mahasiswa yang melakukan kesalahan;

4. Kesalahan Paralaks dan kesalahan penentuan skala: dua jenis kesalahan ini dari hasil pengamatan menempati urutan keempat yaitu dari 59 mahasiswa masing-masing 27 (46%) mahasiswa yang melakukan kesalahan paralaks dan kesalahan penentuan skala;

5. Kesalahan titik nol: dari hasil pengamatan 59 mahasiswa diperoleh sebanyak 15 (25%) mahasiswa yang melakukan kesalahan titik nol;

6. Kesalahan menentukan satuan: kesalahan ini menempati urutan keenam dimana dari 59 mahasiswa terdapat 12 (32%) mahasiswa yang melakukan kesalahan posisi alat;

7. Kesalahan angka berarti: kesalahan ini terdapat 9 (1,5%) mahasiswa yang melakukan kesalahan dari 59 mahasiswa.

Setelah mahasiswa Prodi PGSD melakukan kegiatan praktikum IPA di SD di diketahui masih banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa kegiatan praktikum ini sangat kecil manfaatnya dengan penguasaan materi. Pendapat-pendapat ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya motivasi mahasiswa mengikuti mata kuliah Praktikum IPA di SD (2) minimnya pengetahuan mahasiswa tentang alat-alat praktikum dan fungsi dari alat tersebut; (3) mahasiswa kurang mampu mengaplikasikan antara teori yang didapatnya dengan hasil eksperimen; dan (5) kurangnya pelaksanaan praktikum bahkan tidak pernah dilaksanakan praktikum di sekolah-sekolah sebelumnya (SD, SMP, dan SMA), sehingga siswa-siswa lulusan tersebut tidak mampu bahkan tidak tahu dan tidak bisa mengoperasikan alat-alat praktikum pada saat praktikum berlangsung.

Ketidakmampuan mahasiswa dalam mengoperasikan alat-alat yang digunakan pada saat praktikum berlangsung, juga berpengaruh. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam melaksanakan praktikum. Kesalahan-kesalahan tersebut diantraranya kesalahan merangkai alat, kesalahan titik nol, kesalahan paralaks, kesalahan menggunakan satuan, kesalahan penentuan skala, dan kesalahan posisi alat. Kesalahan ini merupakan kesalahan yang mempengaruhi jalannya kegiatan praktikum dan hasil kesimpulan yang diperoleh dalam percobaan.

Berdasarkan hasil yang di dapat dari penelitian di atas, masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan praktikum Konsep IPA di SD, sehingga sangat perlu untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang terkait, karena ini akan berdampak negatif dan akan menhasilkan praktikan-praktikan yang kurang berkualitas, apalagi mereka nantinya kalau sudah menjadi pengajar tentu hasil didikannya tidak jauh berbeda dengan dirinya atau bahkan lebih rendah lagi.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka sangat perlu untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan praktikum baik segi pengelolaan dan KIT IPA yang digunakan maupun pada praktikan itu sendiri. Di samping itu perlu juga melaksanakan praktikum di jenjang sekolah, baik dasar maupun menengah, agar mahasiswa mempunyai pengetahuan dasar tentang alat-alat laboratorium. Tingginya atau besarnya kesalahan-kesalahan yang dilaku-kan oleh mahasiswa dalam melaksanakan praktikum IPA disebabkan karena pada umumnya praktikan tidak tahu alat-alat dan fungsi dari alat-alat praktikum tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pengelolaan data maka dapat disimpulan bahwa kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan praktikum Mata Kuliah Praktikum IPA di SD adalah: kesalahan merangkai alat sebanyak 24 mahasiswa (60%); kesalahan paralaks dan kesalahan penentuan skala masing-masing sebanyak 20 mahasiswa (50%); dan kesalahan titik nol sebanyak 14 mahasiswa (35%). Kesalahan yang memiliki proporsi terbesar yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan praktikum Mata Kuliah Praktikum IPA di SD adalah kesalahan merangkai alat.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan praktikum, sehingga untuk menanggulangi permasalahan ini diharapkan kepada guru-guru IPA sekolah dasar dan menengah agar memberikan pengalaman praktikum dalam pembelajaran, agar siswa memiliki pengetahuan dasar tentang alat-alat laboratorium serta fungsi dari alat-alat tersebut. Begitu juga dosen-dosen pemberi mata kuliah IPA, diharapkan selain mengajarkan konsep materinya juga harus lebih mengefektifkan pelaksanaan praktikumnya di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. (1999). Pedoman Laboratorium dan Praktikum Jurusan MIPA. Jakarta: Depdikbud.

Carin, Arthur A. (1997). Teaching Science Through Discovery, 8th edition. Ohio: Merrill Publ. Co.

Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, 23, dan 24mTahun 2006. Jakarta: Sinar Grafika

Depdiknas. (2006). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Sinar Grafika.

Djonoputro, B. D. (1984). Teori Ketidakpastian. Bandung: ITB

Etkina, E., Heuvelen, A.V., White-Brahmia, S., Brookes, D.T., Gentile, M., Murthy, S., Rosengrant, D. & Warren, A. (2006). Scientific abilities and their assessment. Phys. Rev.ST Phys. Educ. Res. 2: 020103-1–020103-15. Tersedia: http:prst-per.aps.org/pdf/PRSTPER/v2/i2/e020103.  [11 Maret 2014]

Kerlinger, F., N. 1993. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan oleh Landung R. Simatupang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Levinson, R. (2005). Teaching Science The Open University Postgraduate Certificate of Education Science. New York: Routledge

Naim. (1992). Pengantar Laboratorium IPA. Jakarta: Depdikbud.

Osborne, J., dan Dillon, J. 2010. Good Practice in Science Teaching What Research Has to Say 2nd Edition. UK: Bell & Bain Ltd.

Rustaman, N.Y., Dirdjosoemarto, S., Adi-Yudianto, S., Achmad, Y. Subekti, R., Rochintaniawati, D. dan Nurjhani-K., M. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang. UM.

Soejoto dan Sustini. (1993). Petunjuk Praktikum IPA Dasar. Jakarta: Depdikbud

Slamet, A. (2008). Praktikum IPA. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas

Sugiharto, B. (2009). Optimalisasi Pengelolaan Laboratorium IPA SMP (Online). (http://www.guruonline.com, diakses 27 Januari 2014).

Sudjana, N. (1999). Metoda Statistika . Bandung: Tarsito.

Sutrisno, L., Kresnadi, H., dan Kartono. (2007). Pengembangan Pembelajaran IPA SD. Jakarta: Depdiknas.

Sutarno, N. (2005). Materi dan Pembelajaran IPA SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Suriaty. (1996). Keterampilan Proses IPA Siswa dengan Menggunakan Lingkungan dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Tesis. Bandung: PPS IKIP. Tidak diterbitkan.

Suryabrata. (1983). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Williams, J. D. (2011). How Science Works: Teaching and Learning in the Science Classroom. New York: Continuum International Publishing Group.

Wirasasmita. (1999). Pengantar Laboratorium IPA. Jakarta: Depdikbud