IMPLEMENTASI ENTREPRENEURSHIP

PADA PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

DI SEKOLAH

Nugroho Adi S1

Wahyuningsih2

Sunyowati3

1) Guru SMP Negeri 1 Kaliwungu, Kab. Semarang

2) Guru SMK Negeri 5 Surakarta

3) Guru SMP Negeri 1 Kaliwungu, Kab. Semarang

ABSTRAK

Keberhasilan menanamkan budi pekerti atau karakter yang kuat pada diri siswa melalui setiap mata pelajaran disekolah. Selanjutnya untuk menunjang hal tersebut, semua guru untuk lebih aktif dalam mendidik melalui potensi pengembangan dan implementasi jiwa entrepreneurship (kewirausahaan). Siswa setelah lulus diharapkan mempunyai logika yang lebih inovatif dan kreatif. Siswa dengan logika kreatif dan inovatif akan mampu mengimplementasikan entrepreneurship yang berbasis karakter. Siswa mempunyai jiwa entrepreneurship yang kuat akan dapat digunakan sebagi bekal menghadapi kehidupan selanjutnya.

Kata kunci:      Implementasi, Entrepreneurship, Karakter, Inovatif, Kreratif

PENDAHULUAN

Dewasa ini jabatan guru atau pendidik, mendapat perhatian serius dari profesi lain karena pemerintah mulai memerhatikan nasib guru melalui Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Bagi profesi lain, guru dipandang sebagai profesi yang sedang dimanja pemerintah. Kecenderungan calon mahasiswa baru untuk bidang pendidikan dan keguruan pun hampir di setiap perguruan tinggi keguruan mengalami peningkatan. Artinya profesi guru telah menjadi pusat perhatian pihak lain.

Pendidik atau Guru merupakan jabatan profesional. Makna “profesional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain. Profesional mempunyai makna yang mengacu pada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya” (Surya, 2008).

Profesi guru menjadi harapan banyak pihak dalam mengatasi perubahan di masyarakat saat ini. Banyak pihak yang merasa bahwa bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat dramatis, baik dalam kepemilikan karakter maupun budaya sebagai jati diri bangsa. Budimansyah (2009) menyatakan terjadi perubahan masyarakat terutama “munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi berubah menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, berbuat sadis, kejam, dan biadab”. Guru diharapkan mampu menanamkan kembali karakter bangsa yang sudah semakin berubah melalui pendidikan.

Dalam aspek budaya, bangsa kita sudah mulai kehilangan nilai-nilai dan kecintaan pada seni tradisional. Seni budaya dapat mengajari kita tentang kejujuran dan rasa malu. Bangsa kita diajari oleh seni untuk jujur pada dirinya dan juga kepada orang lain. Bangsa kita harus diajari untuk memiliki rasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti memanipulasi data atau melakukan berbagai cara untuk menguntungkan kelompok atau golongannya. Untuk itu, diperlukan penanaman kembali rasa cinta pada seni dan budaya melalui pendidikan. Tentu saja, profesi guru pula yang menjadi harapan.

Demikian besar harapan pihak lain kepada profesi guru untuk mengembalikan dan memantapkan kembali karakter bangsa Indonesia. Dengan demikian, tentu saja guru harus menjadi contoh atau teladan terlebih dahulu bagi yang lain. Guru harus memantapkan kompetensi kepribadian sebagai seorang guru profesional. Sangat wajar jika guru secara otodidak mendidik diri untuk memantapkan karakter sebagai guru profesional.

Pendidikan karakter harus terintegrasi di dalam suatu kurikulum. Di dalam usaha pengembangan karakter, tidak dapat hanya dilakukan melalui satu ranah saja, terutama ranah kognitif. Pengembangan karakter harus dilakukan secara terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum, serta kegiatan ko-kurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata pelajaran melalui tugas dan bahan kajian, serta terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap tersier, yaitu kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler (Surya, 2008).

Pada masa krisis global sebagaimana yang dihadapi manusia saat ini, diperlukan karakter yang kuat untuk bertahan di dalamnya. Salah satu karakter yang dipilih adalah jiwa entrepreuner (entrepreneurship). Mengapa karakter ini yang dipilih? Sebagaimana kita pahami bersama makna dari entrepreneurship adalah jiwa yang memiliki motivasi tinggi, toleransi terhadap resiko yang cukup tinggi, selalu ingin berprestasi, pantang menyerah, mampu menciptakan peluang, kreatif, serta memiliki kepercayaan diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.

Karakter entrepreneurship tersebut sangat cocok sebagai modal untuk dapat sukses di era global seperti saat ini. Mengembangkan karakter entepreneurship, bukan berarti menciptakan pedagang atau wirausaha, namun terlebih dari itu, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ini dipandang sebagai satu ciri karakter yang memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi tantangan dunia. Seorang dengan karakter entrepreneurship ini, diharapkan mampu menjadi penggerak kemajuan bangsa.

Guru atau pendidik, merupakan profesi yang perlu pengembangan jiwa entepreneurship. Dengan asumsi bahwa jiwa entepreneurship merupakan jiwa yang selalu berkembang dalam keilmuan dan wawasan luas untuk mendidik peserta didik menjadi lebih maju. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal.

Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk yang lemah, yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir, bahkan pada saat meninggal. Semua itu menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, demikian peserta didik, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu melalui jiwa entepreneurship diharapkan guru mampu menanamkan potensi pendidikan berkarakter pada peserta didik.

KAJIAN TEORI

Jiwa Enterprenership (kewirausahaan) Guru

Pada masa krisis global sebagaimana yang dihadapi manusia saat ini, diperlukan karakter yang kuat untuk bertahan di dalamnya. Salah satu karakter yang dipilih adalah jiwa entrepreu-ner (entrepreneurship). Mengapa karakter ini yang dipilih? Sebagaimana kita pahami bersama makna dari entrepreneurship sendiri menurut ahli pendidik entrepreneurship, adalah jiwa yang memiliki motivasi tinggi, toleransi terhadap resiko yang cukup tinggi, selalu ingin berprestasi, pantang menyerah, mampu menciptakan peluang, kreatif, serta memiliki kepercayaan diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Karakter entrepreneur-ship tersebut sangat cocok sebagai modal untuk dapat sukses di era global seperti saat ini. Mengembangkan karakter entrepre-neurship, bukan berarti menciptakan pedagang atau wira usaha, namun terlebih dari itu, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ini dipandang sebagai satu ciri karakter yang memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi tantangan dunia. Seorang dengan karakter entrepreneurship ini, diharapkan mampu menjadi penggerak kemajuan bangsa.

Dengan menggunakan prinsip pendidikan karakter di atas, sikap dan karakter entrepreneurship akan dapat dikembang-kan dengan baik. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter ’entrepreneurship adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan karakter ’entrepreunership’ sebagai satu visi lembaga pendidikan kita, dan melakukan persamaan persepsi tentang deskripsi operasional tersebut.

2. Mensosialisasikan sikap dan nilai ’entrepreneurship’ kepada seluruh civitas akademika sekolah, termasuk orang tua dan stakeholder

3. Menurukan visi ’enterpreneurship’ ke dalam praktik kehidupan sehari-hari di sekolah, melalui:

(a)   penetapan aturan berserta sanksi yang berkait dengan karakter entrepreneurship dan diterapkan pada setiap anggota sekolah kita;

(b)   mengembangkan poster, banner dan berbagai atribut yang dapat mengingatkan anggota sekolah akan karakter entrepreneurship;

(c)    mengembangkan aktivitas sekolah yang mengandung nilai ’entrepreneurship’, baik dalam aktivitas protokoler maupun kegiatan penunjang lainnya

4. Mengembangkan role model dari karakter entrepreneur-ship dimulai dari Kepala Sekolah dan Manajer Sekolah lain, Guru dan Pegawai administrasi. Role model harus selalu mempraktekkannya pada setiap kesempatan, sehingga dapat terlihat dan dimaknai oleh siswa.

5. Mendesain proses pembelajaran dan penugasan yang memiliki kandungan nilai dan karakter entrepreneurship. Setelah tugas dikumpulkan, disediakan sesi refleksi untuk menginternalisasikan proses yang telah terjadi.

6. Mengembangkan aktivitas yang melibatkan orang tua siswa dalam proses peningkatan nilai dan karakter entrepreneurship

Dalam mengemban tugas sebagai agen pembaharu, guru harus menjadi teladan bagi peserta didik maupun masyarakat. Guru dapat mengikuti atau menerapkan pendidikan dan pelatihan berbasis karakter. Guru seharusnya dapat membangun karakter diri sebagai pribadi yang diidamkan melalui proses pelatihan diri.

Dengan penerapan dan pengembangan nilai dan karakter entrepreneurship pada pendidik (guru) disekolah, maka inovasi pembelajaran maupun penanaman pendidikan berkarakter disekolah akan lebih mudah, dikarenakan pola pemikiran guru yang selangkah lebih maju dibandingkan dengan pemikiran guru konvensional.

Seorang pendidik pasti menginginkan menumbuhkan sikap peserta didik, sudah seharusnya mengetahui bakat yang ada pada peserta didik, keinginan, nilai dan pengetahuan, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap mereka. Keadaan ini sulit dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu keberhasilan. Inovasi proses pendidikan dapat terwujud salah satunya adalah guru mau belajar dan menerapkan jiwa entrepreneurship dalam menanamkan karakter dan budi pekerti pada peserta didik.

Pendidikan jiwa entrepreneurship (wirausaha) di sekolah tidak selalu identik dengan berbisnis, namun lebih ditekankan dapat membentuk sikap seperti: pribadi mandiri, memiliki kecakapan hidup (life skill) dan melatih kepemimpinan (leadership) siswa di masa depan, sehingga pendidikan berkarakter dapat tercapai. Dengan dasar tersebut, maka siswa dapat mendayagunakan potensi diri dan kreativitasnya untuk menghasilkan hal yang dapat kebutuhan dirinya sendiri. Siswa pun cakap mengelola keuangan berkaitan hal-hal produktif, termasuk menjadi konsumen yang ”pintar” tidak gampang terbujuk rayu iklan-iklan. Satu hal lagi mencetak seorang entrepreneur, bukan saja pemilik sekaligus direktur (pemimpin usaha).

Pendidikan Berbasis Karakter Disekolah

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ekstra kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Akhmad Sudrajat; 2010).

Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turun-annya merupakan instrumen untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa Indonesia, termasuk karakter seorang guru Indonesia. Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan guru berbasis pada pembangunan karakter bangsa. Tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara, baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budiman-syah,2007:192).

UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di Sekolah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah (Mochtar Buchori; 2007).

Jadi pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Pendidikan karakter lebih mengarah pada peningkatan kepribadian yang akan tertanam secara mendalam dalam diri seseorang. Pada masa orde lama pernah diungkapkan bahwa untuk mengatasi lunturnya idealisme bangsa diperlukan character building, yang disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Character building ini dilakukan melalui lembaga pendidikan melalui mata pelajaran khusus atau memasukkan konsep nation character pada setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter lebih mengedepankan kemampuan emosional dan spiritual yang dalam kompetensi profesi pendidik termasuk ke dalam kompetensi kepribadian.

Kebijakan dalam sistem pendidikan disusun dengan pandangan ideal tentang sesuatu hal. Kebijakan sertifikasi profesional guru sejatinya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidik. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kebijakan ini malah justru dikaburkan oleh pandangan sempit bahwa “sertifikasi guru merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan guru”. Dari hal ini, muncul kelompok-kelompok pragmatisme di kalangan para guru, dan menyisihkan kelompok idealisme. Pandangan idealisme dipojokkan pada sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan zaman, padahal kelompok idealime ini merupakan agen pembaharu di lingkungan komunitas guru.

Gagasan character building sebagai upaya menciptakan guru-guru ideal patut mendapat dukungan semua pihak. Apabila idealisme telah melekat pada pribadi guru, maka ia akan mampu memperbaiki fenomena masyarakat kita yang telah mulai meninggalkan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang menjadi pemikiran ideal seorang guru ketika ia merasa resah dengan fenomena masyarakat saat ini merupakan landasan bagi pengembangan character building. Pengembangan pendidikan budi pekerti ini seharusnya dibangun terlebih dahulu melalui sebuah kesadaran kolegial setiap guru bahwa ia harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.

Seorang guru ideal ia harus mampu mendidik dirinya (otodidak) untuk selalu menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Konsep kejujuran dan berahlak mulia yang ditanamkan kepada peserta didik, seharusnya telah terlebih dahulu tertanam dalam diri pendidik. Bagaimana jadinya, jika pendidik mengarahkan peserta didik untuk bertindak dan berkata jujur, sedangkan ia tidak memberi contoh untuk bertindak jujur? Guru harus menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam bertindak dan berkata jujur serta berahlak mulia.

Guru harus menjadi contoh bagi murid. Oleh karena itu, ia harus melakukan aktualisasi diri tentang pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Dalam mengaktualisasikan hal tersebut, guru akan membangun dirinya untuk memiliki pribadi yang tidak mudah marah, mampu mengontrol emosi, dan dapat memberikan pertimbangan secara komprehensif dalam pengambilan keputusan. Setiap tindakan dan perbuatan guru selalu dilakukan dengan mengontrol emosi secara objektif, sehingga pribadi guru menjadi berwibawa di hadapan murid dan masyarakat. Guru menjadi pribadi yang “digugu dan ditiru” oleh murid dan masyarakat.

Perubahan masyarakat yang mendorong adanya perubahan karakter bangsa Indonesia merupakan kekhawatiran semua pihak. Profesi guru merupakan harapan satu-satunya untuk memperbaiki perubahan negatif tersebut. Namun demikian, profesi guru harus menjadi contoh dan teladan terlebih dahulu bagi masyarakat yang sedang mengalami degradasi. Guru harus merupakan profesi terdepan dalam mempertahankan kelompok idealisme daripada pragmatisme. Guru merupakan harapan semua pihak untuk mendidik dan mengarahkan masyarakat Indonesia untuk kembali ke jatidiri bangsa Indonesia yang memiliki karakter sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat.

Dalam mengemban tugas sebagai agen pembaharu, guru harus menjadi teladan bagi peserta didik maupun masyarakat. Guru dapat mengikuti atau menerapkan pendidikan dan pelatihan berbasis karakter. Guru seharusnya dapat membangun karakter diri sebagai pribadi yang diidamkan melalui proses pelatihan diri.

Pendidikan berbasis karakter dapat dilakukan dengan memantapkan kompetensi kepribadian guru. Pendidikan ini dapat dilakukan secara otodidak atau dilakukan secara terprogram sebagai bentuk penyegaran pada guru. Pendidikan karakter bagi guru merupakan upaya yang dapat ditempuh dalam rangka memersiapkan agen pembaharu untuk memperbaiki kepribadian bangsa yang sedang mengalami pergeseran dan perubahan. Profesi guru diharapkan mampu menjadi “pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan”

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Jiwa enterpreneurship yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna berinovasi, serta memecahkan dan mengatasi problematika pendidikan berbasis karakter yang berkembang.

b. Pendidikan karakter harus dapat membekali dan menyadarkan diri siswa dalam mengembangkan dan mengimplementasi entrepreneurship.

Saran

a. Jiwa entrepreneurship sebaiknya ditanamkan kepada para siswa melalui setiap mata pelajaran yang ada di sekolah.

b. Pendidikan karakter dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam menghadapi problema kehidupan yang lebih bermakna

DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah, D. 2007. “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.

Depdiknas. 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Dokumentasi Depdiknas.

Depdiknas. 2005. Undang-undang Guru dan Dosen. Bandung: Adicita Karya Nusa.

Depdiknas. 2007.Pedoman Penilaian Guru dalam Jabatan. Jakarta: Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Depdiknas (2003). UU No 20 Tahun 2003: Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas

http://akhmadsudrajat.wordpress.com diakses tanggal 22 Mei 2011 pukul 21:44 WIB

http://sylvipsy.wordpress.com/ diakses tanggal 22 Mei 2011 pukul 21:46 WIB

http://akhmadsudrajat.wordpress.com diakses 22 Mei 2011 pukul 21:40 WIB

Raka, I.I.D.G. 2008. Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Bandung: Majelis Guru Besar ITB.

Sukarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.

Supriadi, Dedi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Bandung: Adicita Karya Nusa.

Surya, Mohamad. 2008. Guru Profesional: Untuk Pendidikan Bermutu. Bandung: Geografi Edu

Wasino. 2009, “Peran dan Fungsi Guru Sejarah dalam Pemahaman Nilai-nilai Kesejarahan”. Makalah dalam Kegiatan Pemberdayaan dan Fasilitasi Organisasi Lembaga Organisasi Kesejarahan Lokal, Ungaran 24 Maret 2009

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.