Inovasi Pembelajaran Matematika
INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KARAKTER
Sutrisno
Dosen Prodi Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang
ABSTRAK
Sekolah sebagai tempat terselenggaranya pendidikan dan pengajaran diharapkan mampu memberikan pondasi moral dan etika. Moral sebagai petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana seharusnya hidup dan etika yang merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan moral yang menentukan terwujud dalam sikap perilaku hidup manusia baik secara pribadi maupun sebagai kelompok dapat berperan dalam memberi orientasi bagaimana dan kemana seseorang harus melangkah dalam hidup ini. Termasuk di dalamnya bagaimana seharusnya siswa belajar dan bagaimana seharusnya guru mengajar.
Prinsip yang digunakan dalam pembelajaran matematika berbasis karakter adalah:
1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pembelajaran dengan pengembangan nilai-nilai karakter (perilaku) merupakan sebuah proses panjang dimulai dari tahun pertama sekolah dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 (kelas terakhir SMP).
2. Proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika.
3. Nilai karakter tidak diajarkan tapi dikembangkan. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran matematika. Materi pelajaran digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter.
4. Proses pendidikan dilakukan siswa secara aktif dan menyenangkan. Proses pendidikan nilai-nilai karakter (nilai-nilai perilaku) dilakukan oleh siswa bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
5. Penilaian tidak hanya dari segi kognitif namun juga penilaian sikap dan aktifitas Siswa.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap siswa terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. untuk mengukur sikap siswa dalam pembelajaran matematika dapat diukur dengan menggunakan lembar pengamatan, pengisian angket, check list. selama pembelajaran matematika yang meliputi: ketaqwaan, keterbukaan, ketekunan belajar, kerapian, kerajinan, tenggang rasa, kedisiplinan, ramah dengan teman, hormat pada guru, kejujuran, menepati janji, kepedulian,
Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh siswa (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas siswa tersebut diharapkan mencerminkan nilai-nilai yang diharapkan pada pembelajaran. seperti bagaimana kemampuan dan kesiapan siswa untuk mengikuti kegiatan belajar matematika, bagaimana sikap siswa dalam pembelajaran matematika.
Kata Kunci : Inovasi, Pembelajaran Matematika, karakter.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan Teknologi telah mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di satu sisi mampu memanjakan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, di sisi lain, masih banyak orang yang karena kemampuannya, menjadi semakin tertinggal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata juga mempengaruhi pola kehidupan sosial masyarakat dan mulai mengarah pada kepentingan individu dan mengkaburkan sikap kepedulian terhadap lingkungan maupun sesamanya. Kehidupan sosial dan kepedulian di kalangan anak-anak semakin memudar. Seperti rasa ingin berbagi, kesantunan perilaku dan atau tutur kata mulai luntur. Hal ini menjadi keprihatian serius dalam dunia pendidikan. Sikap-sikap inipun nampak pada perilaku siswa di sekloah. Tanpa adanya pondasi moral yang baik di kalangan anak-anak, kemajuan teknologi dapat berdampak negatif bagi anak-anak. Sebagai contoh internet, anak-anak sekarang sudah pandai mengeksplore informasi melalui internet. Dalam internet banyak informasi yang dibutuhkan oleh siswa. Namun di sisi lain masih banyak informasi yang belum layak dikonsumsi oleh siswa. Oleh karena itu sekolah diharapkan mampu memberikan pondasi moral dan etika. Rachman berpendapat ( 2003), moral sebagai petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana seharusnya hidup dan etika yang merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan moral yang menentukan terwujud dalam sikap perilaku hidup manusia baik secara pribadi maupun sebagai kelompok dapat berperan dalam memberi orientasi bagaimana dan kemana seseorang harus melangkah dalam hidup ini. Termasuk di dalamnya bagaimana seharusnya siswa belajar dan bagaimana seharusnya guru mengajar.
Pendidikan sebagai alternatif yang bersifat preventif, diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat meminimalisasikan penyebab berbagai masalah yang berkaitan dengan karakter (nilai-nilai perilaku) di masyarakat. Keberhasilan pendidikan karakter ini dampaknya tidak dapat terlihat segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat. Pendidikan karakter ini merupakan kontribusi pembentukan moral bangsa di masa mendatang (Kemendiknas, 2010). Sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa:
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Inovasi dalam pembelajaran perlu dilakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Termasuk di dalamnya pembelajaran Matematika. Sudah saatnya pembelajaran mampu mengintegrasikan nilai-nilai perilaku dalam kehidupan pada materi pelajaran yang diajarkan, sehingga pencapain tujuan pembelajaran matematika tidak hanya pada aspek kognitif (pengetahuan) tetapi juga tercapai tujuan pada aspek afektif (perasaan: dikap, moral, etika, sikap, motivasi, respons, dll), dan aspek psikomotorik (keterampilan, aktivitas, dll). Melalui inovasi pembelajaran Matematika dimungkinkan juga terbentuk insan-insan yang tidak hanya cerdas intelektualnya (kognitif), tetapi juga cerdas emosionalnya (afektif, psikomotorik), sehingga tercipta sumber daya manusia yang mampu membangun negeri kita tercinta ini agar mempunyai martabat diantara negara-negara yang lain. Keterampilan sosial dan emotional merupakan penunjang dalam keberhasilan sekolah, dari hasil penelitian menunjukan bahwa kecerdasan emosional lebih penting dalam kehidupan setelah lulus dari sekolah dibanding kecerdasan intelektual (Narvaez,2006:3). Sosial dan emosional yang terprogram dalam pembelajaran dapat mencapai tujuan pembelajaran secara akademik yang lebih baik (Goloman dalam Narvaez, 2006:3).
Pada umumnya pembelajaran Matematika di sekolah lebih terfokus pada pencapaian tujuan pada aspek pemahaman pengetahuan (kognitif) saja. Karena banyak guru beranggapan bahwa keberhasilan sekolah hanya pada pencapaian tujuan aspek pengetahuan. Paradigma ini kemungkinan berkaitan dengan keberhasilan sekolah ditentukan oleh pencapaian hasil ujian akhir semester dan kelulusan pada ujian nasional. Tanpa disadari hal ini berakibat terabaikannya: aspek afektif, maupun psikomotorik. Padahal kedua aspek ini juga mempunyai peran yang penting di dalam pencapaian tujuan tercapainya aspek kognitif. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter siswa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill (Kemendiknas, 2010:4) Mengembangkan karakter bukan merupakan suatu masalah mengembangkan sifat, watak atau perilaku, tetapi lebih mengembangkan kesatuan keterampilan inter dan intrapersonal yang dikuasai (Narvaez, 2004:90). Hal ini mengisyaratkan bahwa perlunya inovasi pembelajaran berbasis karakter, karena mutu pendidikan karakter siswa sangat penting untuk ditingkatkan dan terintegrasi dalam setiap materi yang diajarkan di sekolah termasuk mata pelajaran matematika.
Sudrajat berpendapat (2010) karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Suyanto berpendapat(2010), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Karakter yang baik tercermin pada pengetahuan, bakat, nilai-nilai etika. Pendekatan holistic untuk mengembangkan karakter dapat mendukung pengembangan intelektual, emosional, dan aspek-aspek kemanusiaan dari nilai-nilai kehidupan melalui pengembangan empati, hubungan, menjalin komunikasi, perhatian, refleksi pengalaman hidup (Lickona, 2010). Berdasar pemikiran ini maka perlu adanya itegrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran. Suyanto berpendapat (2010) pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sudrajat berpendapat (2010) pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran pendidikan karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan siswa sehari-hari di masyarakat). Nilai-nilai perilaku ini tidak diajarkan tersendiri dalam suatu mata pelajaran, tidak juga menjadi tanggungjawab pada mata pelajaran tertentu seperti pendidikan agama, melainkan menyatu dalam setiap mata pelajaran di semua jenjang sekolah termasuk pada mata pelajaran matematika.
Matematika dikenal sebagai suatu ilmu pengetahuan yang dapat dipandang sebagai pola berpikir sistematis, kritis, logis, cermat dan konsisten. Konsep matematika timbul berdasarkan dari berbagai fenomena nyata atau dipicu oleh kebutuhan untuk memecahkan permasalahan dalam situasi nyata. Penguasaan kemampuan dalam belajar matematika bukan hanya diukur dari penguasaan konsep, penalaran dan keterampilan, tetapi juga pembinaan watak, sikap, dan perilaku dalam matematika (PAU-PPAI-UT, 2000:10).
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah mempunyai multi fungsi, matematika dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari serta dapat juga digunakan untuk melayani berbagai disiplin ilmu. Dengan mempelajari matematika siswa diharapkan dapat mempunyai kemampuan yang cukup handal untuk menghadapi berbagai macam masalah yang timbul di dalam kehidupan nyata. Soedjadi (dalam Naibaho, 2007:49) mengatakan pendidikan matematika seharusnya memperhatikan dua tujuan, yaitu (1) penataan nalar serta pembentukan pribadi anak didik, dan (2) penerapan matematika serta keterampilan matematika. Melalui pembelajaran matematika siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara matematika dan mampu menerapkan matematika dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan nyata, sehingga bermanfaat bagi kehidupan pribadi maupun sosial.
Teori-teori matematika pada umumnya adalah teori abstrak, maka dalam pembelajaran diperlukan penjelasan secara konkrit agar materi-materi yang diajarkan dapat dipahami oleh siswa. Untuk semakin meningkatkan efektifitas pembelajaran perlu ada pembahasan tentang aplikasi matematika dalam kehidupan sebagai perluasan pengetahuan siswa atau penerapan konsep matematika secara langsung pada pembelajaran. Sedangkan lingkup dan sasaran pembelajaran dijabarkan dalam kurikulum (Depdiknas,2004:24).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya perubahan paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran. Dari pembelajaran yang berpusat pada guru berubah menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Demikian juga diharapkan adanya pergeseran pendekatan pembelajaran, dari pembelajaran tekstual ke pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual diartikan sebagai suatu konsep pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru dalam menghubungkan materi yang diajarkan dengan situasi kehidupan nyata (Smith, 2006:1). Trianto berpendapat (2007:103) pembelajaran dengan pendekatan kontektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarnya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam pendekatan kotekstual pembelajaran yang merupakan seperangkat tindakan dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam kehidupan siswa. Dalam pembelajaran ini dapat menciptakan variasi pembelajaran, merangsang sikap, belajar siswa , meningkatkan aktivitas belajar, dan dapat mencapai prestasi belajar seperti yang diharapkan. Sedangkan Gita berpendapat (2007:26 penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika di sekolah akan meningkatkan prestasi belajar matematika. Panjaitan berpendapat (2009), pembelajaran berparadigma kontekstual beraliran humanis dapat menumbuhkan kreativitas dan sikap siswa dalam belajar sehingga prestasi belajar siswa optimal.
Guna menunjang terwujudnya perubahan paradigma pembelajaran dari pembelajaran tekstual bergeser ke paradigma pembelajaran kontekstual diperlukan sarana pendukung yang mampu memvisualisasikan keterkaitan materi yang diajarkan disekolah dengan kehidupan di masyarakat ataupun kehidupan yang dekat dengan siswa maupun kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang mampu dipahami siswa untuk melihat perilaku-perilaku positif dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya yang dilakukan yaitu bisa melalui dengan menggunakan Teknologi Informatika dan komputer, atau media lain yang ada di sekeliling lingkungan sekolah, rumah atau di lingkungan masyarakat. Hanya saja dengan pemanfaatan komputer dan atau internet yang merupakan jenis media yang secara virtual dapat menyediakan respon yang segera terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh siswa. Selain itu, komputer memiliki kemampuan menyimpan dan memanipulasi informasi sesuai dengan kebutuhan. Perkembangan teknologi yang pesat saat ini telah memungkinkan komputer memuat dan menayangkan beragam bentuk media di dalamnya.
Sudatha berpendapat (2010:1) media pembelajaran berbasis komputer adalah penggunaan komputer sebagai media penyampaian informasi pembelajaran, latihan soal, umpan balik, dan skor jawaban peserta didik. Komputer berfungsi sebagai sumber belajar yang dapat digunakan secara mandiri, atau kelompok oleh siswa. Pemanfaatan komputer dalam pembelajaran dapat mengkombinasikan berbagai unsur penyampaian informasi dan pesan, komputer dapat dirancang dan digunakan sebagai media teknologi yang efektif untuk mempelajari dan mengajarkan materi pembelajaran, termasuk materi pada mata pelajaran matematika.
PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi siswa dan juga merupakan suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehiupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa mendatang (Kemendiknas, 2010:4). Pendidikan merupakan usaha untuk pengembangan potensi yang dimiliki siswa secara optimal. Oleh karena itu upaya yang dilakukan hendaknya berkaitan dengan lingkungan siswa, terutama nilai-nilai perilaku dalam hidp bermasyarakat dan etika. Siswa hidup dalam tatanan pribadi dan sosial, mereka hidup dalam lngkungan masyarakat dan berindak sesuai dengan karakter budayanya.
Suyanto berpendapat (2010) karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Sedangkan dalam kemendiknas(2010:3) memuat, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi erbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi siswa dengan siswa atau interaksi siswa dengan lingkungannya menumbuh kembangkan dimensi karakter dalam kehidupannya. Selanjutnya Sudrajat berpendapat (2010) karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dari beberapa pengertian karakter di atas, mendasari pemikiran bahwa pengembangan karakter masarakat dapat dilakukan melalui pengembangan karakter seseorang termasuk siswa. Karena siswa hidup dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan di luar sekolah yang mempunyai nilai-nilai, norma-norma sosial, maka pengembangan karakter individu akan optimal jika dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya (norma-norma) yang bersangkutan. Sedangkan karakter atau nilai-nilai perilaku yang akan dikembangkan dalam penilitian ini meliputi: ketuhanan, tanggungjawab, disiplin, tolong-menolong, percaya diri, toleransi, jujur, kepedulian. Nilai-nilai ini akan dikembagkan melalui pendidikan dan pemelajaran di kelas.
Suyanto berpendapat(2010) pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Lickona (dalam Suyanto, 2010), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Sedangkan Sudrajat berpendapat (2010) pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi akan menjadi bekal penting dalam mempersiapkan siswa untuk meraih masa depan. Dengan kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Uno (2006:75) mengatakan untuk mengajari anak nilai-nilai perilaku kepada orang lain, tidak ada yang dapat mengantikan pengalaman, tidak cukup bila hanya dibicarakan, melainkan akan efektif melalui bagian otak emosional (EQ).
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan prinsip knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan (Suyanto, 2010).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas tentang karakter dan pendidikan karakter, maka pendidikan karakter dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mengembangkan nilai-nilai perilaku yang berkaitan dengan lingkungan dan kehidupan siswa agar dapat berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, dalam lingkup keluarga, masyarakat, sekolah melalui nilai-nilai: ketuhanan, tanggungjawab, disiplin, tolong-menolong, percaya diri, toleransi, jujur, kepedulian, kerja keras.
Agar pendidikan karakter ini efektif, maka dalam proses pembelajaran diperlukan suatu pendekatan yang dapat mengintegrasikan nilai-nilai perilaku tersebut dalam pembelajaran. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Di antara prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam membuat perencanaan pembelajaran (merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian dalam silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan bahan ajar), melaksanakan proses pembelajaran, dan evaluasi adalah prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Belajar secara kontekstual adalah belajar yang terjadi bila dihubungkan dengan pengalaman nyata sehari-hari. Pembelajaran kontekstual juga merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong para siswa membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Blanchard (dalam Depdiknas, 2004:25) menjelaskan sebuah hasil pendidikan kogitif yang menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang pengajarannya dikelola secara konvensional (mengandalkan hafalan, memfokuskan secara khusus pada satu materi teoritis, berpusat pada guru, semua informasi diberikan kepada siswa , penilaian bersifat formal akademis) tidak membantu siswa dalam menerapkan pemahamannya terhadap bagaimana siswa harus belajar.
Secara umum penerapan pembelajaran kontekstual melibatkan bermacam-macam langkah pembelajaran sebagai berikut:
1. Pembelajaran aktif
Siswa diaktifkan untuk mengkonstruksikan pengetahuan dan memecahkan masalah.
2. Multi Konteks
Pembelajaran dalam koneks yang ganda memberikan siswa pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajai dan mengidentifikasikan ataupun memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
3. Kooperatif dan dikursus
Siswa belajar dari siswa lain melalui kerjasama, penjelasan-penjelasan, kerja secara kelompok maupn mandiri.
4. Berhubungan dengan dunia nyata
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidpan nyata yang dapat dipahami atau dibayangkan oleh siswa melalui lingkungan di dalam kelas maupun di luar kelas dan simulasi.
5. Pengetahuan prasyarat
Pengalaman awal siswa yang diperoleh pada pembelajaran sebelumnya dan situasi penetahuan yang diperoleh akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai dasar dalam pembelajaran yang baru.
6. Ragam Nilai
Pembelajaran yang luwes menyesuaikan kebutuhan dan tujuan-tujuan dari siswa yang berbeda.
7. Kontribusi pada Masyarakat
Suatu cara yang dapat meninkakan pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran atau akibat proses harus diutamakan.
8. Penilaian otentik
Proses belajar siswa perlu dinilai dalam koneks ganda dan bermakna.
9. Pemecahan masalah
Berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam memecahkan masalah nyata harus ditekankan dalam hal kebermaknaan memorisasi dan pengulangan-pengulangan.
10. Mengarahkan sendiri
Siswa ditantang dan dimungkinkan membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternative dan diarahkan sendiri, berbagi antar siswa ataupun guru. Dengan demikian mereka bertangungjawab sendiri dalam belajarnya.
11. Memperhatikan Masyarakat kelas
Melibatkan kerjasama antara guru dengan siswa , siswa dengan siswa , siswa dengan lingkungan di luar ataupun di dalam kelas akan mendukung proses pembelajaran.
Dari uraian di atas mendasari implementasi pembelajaran kontekstual di kelas. Adapun implementasi operasional pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan menerapkan tujuh komponennya yaitu konstrusivis, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refkleksi, dan penilaian otentik (Depdiknas,2004:29). Ringkasan penjelasan komponen-komponen tersebut adalah:
1. Konstruktivisme, yakni: (1) membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal; (2) pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan:
(a) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
(b) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,
(c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2. Inkuiri, yakni: (1) proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman; (2) siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. Langkah-langkah kegiatan inkuiri:
a) merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
b) Mengamati atau melakukan observasi
c) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain
d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain
3. Bertanya, yakni: (1) kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa ; (2) bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry. Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
(a) menggali informasi, baik teknis maupun akademis
(b) mengecek pemahaman siswa
(c) membangkitkan respon siswa
(d) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
(e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
(f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
(g) menyegarkan kembali pengetahuan siswa
4. Masyarakat belajar, yakni: (1) berbagi pengalaman (2) bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. Praktik masyarakat belajar terwujud dalam:
(a) Pembentukan kelompok kecil
(b) Pembentukan kelompok besar
(c) Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, petani, polisi, dan lainnya)
(d) Bekerja dengan kelas sederajat
(e) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
(f) Bekerja dengan masyarakat
5. Pemodelan, yakni: (1) berpikir secara mendalam (2) mendemonstrasikan apa yang seharusnya siswa belajar. Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan satu-satunya model.
6. Refleksi, yaitu: (1) cara berpikir tentang apa yang telah diketahui siswa ; (2) mencatat apa yang telah dipelajari; (3) membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok. Realisasi refleksi dapat diterapkan, misalnya pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Hal ini dapat berupa:
(a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh siswa hari ini
(b) catatan atau jurnal di buku siswa
(c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini
(d) diskusi
(e) hasil karya
7. Penilaian sebenarnya, yakni: (1) mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa ; (2) penilaian produk (kinerja); (3) tugas-tugas yang relevan dan kontekstual; (4) penilaian proses. Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah.
Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja, keberhasilan orang tekun, ulet, taqwa. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian.
(Depdiknas, 2004:29).
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMPUTER SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN
Arsyad (2006:32) menyebutnya sebagai media mutahir berbasis komputer yang diyakini mampu menciptakan pembelajaran yang lebih ”hidup” dan dan melibatkan interaktifitas siswa.
Dipilihnya pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran berbantuan CD pembelajaran dengan perangkat komputer tidak lain karena media ini memiliki keunggulan sebagai media instruksional, antara lain: (a) dapat menunjukkan visualisasi yang menonjolkan gerak; (b) dapat dipercepat/diperlambat sehingga mudah diamati dan dimengerti (dapat diulang); (c) materi yang divisualisasikan mirip dengan objek aslinya; (d) dapat diberi efek suara sehingga efektifitas belajar lebih tinggi; (e) gambar bisa diperbesar sehingga dapat digunakan pada kelas yang besar; (f) dapat disimpan dan digandakan dalam CD atau di komputer; (g) software dapat digunakan berulang-ulang; dan (h) perangkat perekam relatif mudah dioperasikan.
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KARAKTER
Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter dilakukan dengan mengacu pada grand design. Berdasarkan grand design integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran Matematika dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Gambar 1: Grand Design Character Education
|
Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan dimulai dari penyusunan silabus, RPP, dan bahan ajar agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter. Ini dilakukan dengan cara mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat/ada dengan menambahkan/mengadaptasi kegiatan pembelajaran yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilai-nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai.
Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar siswa mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan.
Pada pembelajaran ini akan digunakan prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai karakter.
I N T E R V E N S I C o n t x t u a l T e a c h i n g a n d L e a r n i n g
H A B I T U A S I
|
Pendahuluan
|
Inti: · Eksplorasi · Elaborasi · Konformsi
|
Penutup
|
Gambar 2: Penanaman Karakter melalui Pelaksanaan Pembelajaran
NILAI-NILAI KARAKTER
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud dan diskripsi ringkasnya.
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a. Religius
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain
b. Bertanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
c. Bergaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
f. Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g. Berjiwa wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
h. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
i. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j. Ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k. Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b. Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c. Menghargai karya dan prestasi orang lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d. Santun
Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis
Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a. Peduli sosial dan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5. Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a. Nasionalis
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b. Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
PRINSIP DAN PENDEKATAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Secara prinsipil, pengembangan karakter tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi kedalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah. Oleh karena itu guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter (nilai-nilai perilaku)ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, silabus dan RPP) yang sudah ada.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pembelajaran berbasis karakter :
1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter (perilaku) merupakan sebuah proses panjang dimulai dari tahun pertama sekolah erlangsung paling tidak sampai kelas 9SMP.
2. Melalui semua mata pelajaran termasuk matematika, pengembangan diri, dan budaya sekolah mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter ( perilaku).
3. Nilai karakter tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither cought nor taught, it is learned) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran matematika. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter.
4. Proses pendidikan dilakukan siswa secara aktif dan menyenangkan
Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai-nilai karakter (nilai-nilai perilaku) dilakukan oleh siswa bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
PENILAIAN KARAKTER SISWA
Penilaian Sikap Siswa
Setiawan berpendapat (2008:12) sasaran penilaian hasil pembelajaran selain kognitif adalah ranah afektif. Ranah ini mencakup sasaran yang menyangkut sikap, penghargaan, nilai, dan emosi, menikmati, memelihara, menghormati.Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap siswa terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Fishbein dan Ajzen berpendapat (Ibayati, 2004:4) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap siswa terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap siswa ini penting untuk ditingkatkan. Guru harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar siswa yang membuat sikap siswa terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
Uno berpendapat (2006:137) beberapa hal yang perlu diamati berkaitan dengan sikap siswa adalah: keterbukaan, ketekunan belajar, kerajinan, tenggang rasa, kedisiplinan, ramah dengan teman, hormat pada guru, kejujuran, menepati janji, kepedulian, tanggungjawab. Iryanti (2010:5), untuk mengukur sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran dapat diukur dengan menggunakan lembar pengamatan, pengisian angket, check list. Pada saat pembelajarn ini sikap yang dimaksud adalah sikap positif atau negatif siswa selama pembelajaran matematika yang meliputi: ketaqwaan, keterbukaan, ketekunan belajar, kerapian, kerajinan, tenggang rasa, kedisiplinan, ramah dengan teman, hormat pada guru, kejujuran, menepati janji, kepedulian, tanggungjawab, kerja keras.
Penilaian Aktivitas siswa
Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh siswa (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas-aktivitas yang antara lain mendorong terjadinya autonomous learning dan bersifat learner-centered. Pembelajaran yang memfasilitasi autonomous learning dan berpusat pada siswa secara otomatis akan membantu siswa memperoleh banyak nilai. Contoh-contoh aktivitas belajar yang memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi, eksperimen, pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh siswa, dan mengerjakan proyek (Kemendiknas, 2010:35).
Aktivitas siswa merupakan faktor yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Karena selama proses belajar mengajar berlangsung, diharapkan siswa terlibat aktif dan sungguh-sungguh dalam semua kegiatan untuk mengkonstruk konsep-konsep secara sendiri atau berkelompok /diskusi kelompok sekaligus dapat tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai pada diri siswa melalui pengalaman belajarnya. Aktivitas siswa tersebut diharapkan mencerminkan nilai-nilai yang diharapkan pada pembelajaran. Aktivitas siswa juga dapat menentukan tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan. Faktor dari dalam seperti bagaimana kemampuan dan kesiapan siswa untuk mengikuti kegiatan belajar matematika, bagaimana sikap siswa dalam pembelajaran matematika, sangat berpengaruh terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran. Secara teknis penilaian pada aktivitas dapat dilakukan melalui pengamatan perbuatan siswa dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Budiyono, dkk. 2010. Pedagogik Matematika. UNS:PLPG.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Dirjen Dikdasmen. 2004. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2008. Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif. Jakarta:Dirjen Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
Gita, I. N. 2007. Implementasi Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan. I(1).26-34
Lickona, T, et all. 2007. CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education. Character Education Partnership.
Naibaho. 2007. Keefektifan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah dalam Pembelajaran Matematika. Akademia.Vol. 11 No. 1 April 2007: 49-55.
Narvaez, et.all. 2004. Teaching Moral Character: Two Strategies for Teacher Education. Teaching for Moral Character. 2004: 1-10
Narvaez. 2006. Narvaez, D., Bock, T., Endicott, L., & Lies, J. (2004). Minnesota’s Community Voices and Character Education Project. Journal of Research in Character Education. Vol. 2 No.2, 2004:89-112.
Panjaitan. 2007. Efektivitas Pembelajaran Matematika Melalui Model Daur Belajar. Jurnal Pendidikan Akademia.Vol. 11 No. 1 April 2007: 42-48.
Panjaitan, S. 2009. Pembelajaran Matematika beraliran humanistik Berparadigma Pendekatan Kontekstual. Tesis. Semarang:PPs UNNES.
PAU-PPAI-UT. 2000. Hakikat Pembelajaran MIPA. Dikti:UT.
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta:Dirjend Pembinaan SMP.
Rachman, M. 2003. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT MKU UNNES.
Smith, BP. 2006. Contextual Teaching and Learning Practises in The family and Consumer Sciences Curriculum. Sciences Education, Vol. 24, No. 1, Spring/Summer, 2006: 14-27.
Sudhata, I. 2010. Media Pembelajaran Berbasis Komputer. Singaraja:Universitas Pendidikan Ganesha.
Sudrajat. 2010. Tentang Pendidikan Karakter.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/ (16 september 2010).
Soedjadi. R. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah.
Suyanto. 2010. Urgensi Pendidikan Karakter.
http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/06/02/urgensi-pendidikan-karakter/ (16 september 2010)
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Uno. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi aksara.
Wardhani, S. 2004. Penilaian Pembelajaran Matematika Berbasis Kompetensi. Yogyakarta:PPPG.