KAUM SAMURAI DAN AJARAN BUSHIDO
KAUM SAMURAI DAN AJARAN BUSHIDO
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER
Suharman
IKIP PGRI Wates Jogjakarta
ABSTRAK
Judul tulisan ini adalah kaum Samurai dan ajaran Bushido dalam perspektif pendidikan karakter, ini merupakan bagian dari kajian sejarah Jepang. Fokus kajian ini adalah masalah eksistensi kaum Samurai dan perannya dalam membawa kebesaran bangsa Jepang, Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif analisis, mencari pemahaman tentang asal usul kaum Samurai, serta bagaimana warisan-warisan yang telah disumbangkan terhadap Masyarakat Jepang dalam wujud kemampuan memimpin masyarakat Jepang. Keberhasilan merangkum sikap perilakunya dalam wujud ajaran Bushido. Melalui ajaran Bushido, akhirnya mampu memberikan konstribusi dalam bentuk karakter bagi bangsa Jepang. Kontribusai kaumSamurai itu akhirnya masing sangat dirasakan oleh masyarakat Jepang hingga masa Jepang modern. Dengan disosialisasikan nilai-nilai Bushido tersebut Jepang mampu membangun diri sebagai bangsa yang bermartabat, tangguh dan mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan dalam masyarakat dunia. Setelah melalui kajian untuk memahami tentang keberhasilan Masyarakat Jepang dalam membangun karakternya ini kiranya dapat diambil manfaatnya bagi pengembangan nilai pendidikan di Indonesia khususnya dalam rangka membangun karakter bangsa. Keberhasilan Jepang yang terus berjuang untuk meningkatkan diri kualitasnya akhirnya mampu menciptakan suatu sumber daya manusia yang handal, sehingga ini menjadi suatu inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk merevitalisasi nilai-nilai karakter bangsa yang telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan karakter di Negara kita harus diupayakan secara sungguh sungguh dan berkelanjutan agar mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang tangguh dan jujur disiplin, percaya diri dan merasa bangga sebagai bangsa merdeka berdaulat dan akhirnya mampu mangatasi segala kesulitan demi kemajuan bangsa.
Kata Kunci: Kaum Samurai – Ajaran Bushido – Pendidikan karakter – revitalisasi – Nilai Kebangsaan
LATAR BELAKANG MASALAH
Asal –Usul kaum Samurai dalam sejarah Jepang adalah spesialisasi dari kalangan aristokrat. Secara umum, kalang–an kaum ini adalah dari kelas atas yang poligami biasanya menghasilkan lebih ba–nyak anak yang bisa terserap kedalam level yang sama di dalam masyarakat.
Aturan tentang hak waris, lebih jauh, menetapkan bahwa hanya satu putra yang akan secara penuh mewarisi semua keistimewaan – keistimewaaan yang dimi–liki ayahnya. Faktor –faktor ini mencipta–kan tekanan social dan natural menuju deferensiasi dalam pola-pola karir dari anak keturunan kelas-kelas atas tersebut. Di Jepang, putra-putri dari ayah-ayah birokrat yang tidak mewarisi keistimewaan paternal inilah yang umumnya menjadi prajurit perang atau pengelola kuil atau biara. Di Jepang , kedua spesialisasi ini sejatinya dibentuk untuk proteksi terhadap negara: para pasukan perang zaman kuno ini semula disebut “ Samurai”. (Taira Shigesuke, Terjemahan Teguh Wahyu Utomo, 2009: ix).
Istilah Samurai sebenarnya terje–mahan kasarnya adalah “pembantu”, kare–na mereka membentuk pasukan bersenja–ta untuk membantu aristokrasi. Pada saat kaum Samurai ini, akhirnya mengambil alih kekuasaan negara dari tangan aristokrat , Sebagai salah satu kelas independent. Sa–lah satu cara mereka memanivestasikan status dan martabat baru, maka mereka lakukan dengan menjauhkan diri dari label samurai yang ahirnya setelah mampu memperoleh kekuasaan diri mereka menyebut sebagai kaum Bushi atau kaum prajurit.
Pada awal terbentuknya Samurai, mereka masih tergolong bukan kelompok bersenjata yang sempurna. Mereka mem–persenjatai diri dengan “alat tempur” pada umumnya seperti busur dan panah. Busur dan panah, atau disebut dengan Yumi ini masih sering digunakan oleh kaum Sa–murai hingga abad ke -16. Selain itu Yumi juga dapat digunakan dengan cara me–nunggang kuda. Yumi juga sering digunakan dalam peperangan jarak jauh karena dinilai efisien dalam menyerang musuh. Jarak serang dari Yumi mampu menjangkau antara 100 hingga 200 meter.
Setelah mengalami perkembangan berbagai ilmu perang dan pertempuran, Samurai akhirnya menemukan senjata yang paling efisien. Setelah pertempuran melawan Mongol pada tahun 1281, pasu–kan militer Jepang akhirnya menggunakan pedang sebagai senjatanya. Hingga akhir–nya pedang (katana) tersebut digunakan oleh kaum Samurai sebagai senjata uta–manya. Dalam Bushido diajarkan bahwa pedang atau disebut katana adalah roh dari Samurai. Mereka percaya bahwa pedang (katana) sangat penting dalam memberi kehormatan dan bagian dalam kehidupan. (Dozi Swandana, 2009:161).
Perkembangan kaum Samurai setelah mengalami penyempurnaan akhir–nya mereka mampu membentuk suatu pemerintahan militer atau lebih dikenal dengan sebutan Bakufu (Pemerintahan Tenda). Pertama kali pemerintahan ini di–bentuk di Kamakura pada tahun 1186 dan kemudian menuju masa penyatuan hingga terbentuk masa Keshogunan di Edo (To–kyo) Pemerintahan berlangsung sampai tahun 1868. (Taira Shigesuke, 2009: xi)
Sebagaimana dikatakan oleh Boye de Mente bahwa selama beberapa gene–rasi, budaya Samurai telah tertanam begi–tu kuat dalam pikiran masyarakat Jepang, sehingga akan sangat sulit – jika tidak mungkin —bagi mereka untuk berpikir diluar rangka pemikiran ala Samurai tersebut. Begitu kuatnya cengkeraman pengaruh kebudayaan Samurai terhadap sikap warga Jepang. (Boye de Mente tjmh. Fifah, 2009:17)
Tetapi, ada sebuah kelemahan fatal dari kebudayaan Samurai ini sebagai sebuah system ekonomi, politik dan social. Sistem ini hanya akan dapat bertahan secara utuh di lingkungan yang tertutup, terisolasi dan eklusif seperti yang pernah diterapkan di Jepang selama ratusan tahun.
Dibukanya Jepang oleh Dunia Barat, yang dimulai pada tahun 1854 de–ngan diresmikannya perjajnjian dagang dan perundingan diplomatic pertama de–ngan Amerika Serikat, adalah lonceng ke–matian untuk Shogun atau system peme–rintahan ala Samurai. Pemerintahan Samu–rai Jepang gagal bertahan saat negara itu mulai dibuka untuk dunia luar karena prinsip utama system Shogun tidak sesuai dengan system ekonomi kapitalis yang cenderung hanya mengejar keuntungan, individualistis, menjunjung tinggi inisiatif pribadi, dan rentan dengan perubahan. (Boye de Mente terjemahan Fifah , 2009: 18)
Perkembangan kaum Samurai ini diikuti pula dengan perilaku mereka dengan suatu wujud kode etik Bushido. Pengaruh ajaran Bushido memainkan peranan penting dalam pembentukan Jepang Modern antara tahun 1870 – 1895. Walaupun para Samurai yang bermukin jauh dari ibu kota Shogun di Yedo (Tokyo) yang menyebabkan kejatuhan kelas Samu–rai (kesatria). Para Samurai itulah yang akhirnya membantu mengembalikan lagi dengan gerakan restorasi. Para Samurai itulah yang telah memperkenalkan Revolu–si Industri ke Jepang dan mengendalikan–nya dari atas.
Tujuan dari pemerintahan Jepang yang baru pasca era Shogun yang didominasi para mantan Samurai, adalah untuk mengembalikan semangat Samurai dengan tetap menyerap ilmu dan kema–juan dunia Barat dalam bidang ekonomi maupun militer. Selebihnya, sebagaimana kata peribahasa adalah untuk melestarikan akar budaya dan sejarah Jepang.
Pada kenyataanya, kebudayaan Samurailah yang memungkinkan Jepang bisa mencapai kesuksesan yang luar biasa dalam bidang ekonomi maupun militer mu–lai tahun 1870 hingga saat mereka meng–alami kekalahan yang memalukan saat berperang melawan Amerika Serikat pada tahun 1945. Prinsip Samurai juga yang membuat bangsa itu mampu bangkit dari kekalahan perang hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh tahun hingga Jepang secara mengejutkan tumbuh men–jadi kekuatan ekonomi terbesar ranking kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Faktor inilah yang mendorong penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang kaum Samurai dan Ajaran Bushido dalam perspektif Pendidikan Karakter.
Di era pra modern kelas Samurai mampu memerankan diri membawa Je–pang ke jalan perubahan masyarakatnya. Cara itu mereka tempuh dengan melaku–kan gerakan restorasi dengan sikap men–dukung mengembalikan kekuasaan Kaisar dalam bidang politik pemerintahan.Para mantan Samurai yang memimpin Jepang Baru, sebagian besar berasal dari Samurai kelas bawah. Mereka melangkah dengan cara mengadopsi system klan dan menerapkan nilai-nilai kode etik Bushido dalam mendirikan industri-industri dengan perangkat-perangkat yang lebih modern dan sebuah kekuatan militer baru, serta dipersenjatai model Barat namun militer ini dipersenjatai dengan pistol dan pedang. Kode etik Bushido ini juga masih tampak kental dan mewarnai dalam bidang seni kerajinan, sastra, puisi dan pencarian estetika serta intelektual Jepang masih tampak kokoh dalam beberapa decade berikutnya., terus menerus mempengaruhi warganya dengan karakter unik yang hanya bisa ditemukan di Jepang. (Boye de Mente (Tjmh.Fifah), 2009: 20)
Kode Etik Bushido juga membe–rikan warga Jepang karakteristik tertentu, yang memungkinkan masyarakat Jepang menjadi sebuah kekuatan adi kuasa dalam bidang ekonomi dengan berbasis pada produk-produk manufaktur yang selama satu dasa warsa memiliki kualitas yang sama bagusnya, atau bahkan lebih baik la–gi, dibanding dengan produk-produk yang dibuat dinegara lain.dengan mengekspor–nya dalam jumlah besar ke pasar dunia. (Boye de Mente, 2009: 20).
Tetapi, pada tahun 1990 –an , kode etik Bushido yang telah membentuk dan mengontrol kehidupan masyarakat Je–pang selama beberapa generasi semakin terbenam dan tampak kehilangan vitalitas–nya ditengah gencarnya serbuan kebuda–yaan Barat. Kebijakan moneter yang tidak bijaksana dan perubahan fundamental dalam kondisi ekonomi di Jepang. Disam–ping itu adanya konspirasi internasional yang berupaya untuk melemahkan kekuat–an industri manufaktur dan eksport Jepang mulai melunturkan semangat Bushido warga Jepang. (Boye de Mente, 2009: 21).
Turunnya laju perekonomian Jepang pada awal 1990-an telah menge–jutkan sebagian besar masyarakat Jepang yang sejak tiga puluh tahun sebelumnya begitu yakin bahwa semangat Bushido mereka yang perkasa akan membawa pada kesuksesan ekonomi yang lebih besar lagi.
Dalam bidang ekonomi dan politik, kepercayaan diri bangsa Jepang begitu tampak nyata saat laju pertumbuhan perekonomian mereka mulai menurun. Namun demikian, kode etik Bushido merupakan cermin perilaku dari kaum samurai yang telah mereka anut selama beberapa abad tidaklah menghilang begitu saja. Semua orang masih bisa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari warga Jepang dalam kegiatan di Toko-toko, supermarket, pabrik, hotel,dan perkantoran di era modern ini.
Dekade berikutnya, muncul sebu–ah perasaan untuk membangkitkan kem–bali semangat Samurai. Banyak pihak yang kemudian mengatakan bahwa semangat Bushido harus dibangkitkan kembali jika, Jepang ingin terus bertahan dan maju pada abad 21. Pada tahun 2000, penghidupan kembali semangat dan kode etik Bushido secara tidak resmi telah dimulai di Jepang khususnya di Jepang bagian timur, dan upaya ini muncul dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk adalah melalui sebuah gerakan, yang terutama marak di kalangan pemuda dan kaum wanita, untuk kembali ke kode filsafat dan spiritual ala Samurai dengan cara meng–ikuti kursus – kursus atau pelatihan pe–dang yang dulu menjadi symbol dari kelas Samurai.
Masalah tersebut cukup menarik bagi penulis untuk dilakukan kajian dengan maksud dapat diperspektifkan ke dalam pendidikan Karakter, Hal ini sesuai Konsep pemikiran S. Hamid Hasan (prociding Pen–didikan Sejarah,2011: 21):” bahwa hake–katnya pemikiran dalam pendidikan dan khususnya pendidikan sejarah tidak mengenal keusangan yang dikarenakan unsur waktu. Keusangan hanya terjadi ketika apa yang sudah dilakukan atau pernah dilakukan tidak lagi relevan dan tidak menjawab permasalahan pendidikan masa sekarang dalam mempersiapan generasi masa depan.”
Kiranya cukup beralasan mengapa penulis menyajikan permasalahan terkait dengan Peran Kaum Samurai beserta ajaran Bushidonya sebagai pengeja wan–tahan dar nilai-nilai yang telah diwariskan oleh kaum samurai bahkan diteladankan dalam kehidupan masyarakat Jepang sehingga Jepang menjadi bangsa yang berkarakter berkpribadian dan punya ketangguhan yang handal.
KEKUATAN BUDAYA SAMURAI DALAM MASYARAKAT JEPANG
Berdasarkan pengakuan orang-orang Barat yang pernah tinggal beberapa hari di Jepang menyadari bahwa adanya sesuatu yang samar- samar dan terkesan misterius tentang kebudayaan Jepang. Sesuatu yang samar-samar itu dirasakan oleh orang –orang Asing berada di Jepang yang ditimbulkan adanya aneka macam seni tradisional, barang kerajinan, dan adat istiadat tradisional Jepang yang masih dipertahankan hingga era modern ini. Budaya Jepang itu masih dijumpai dan berdiri kukuh serta berdampingan dengan berbagai perangkat dan ikon-ikon modern yang di import dari Barat. (Boye de Mente, 2009: 26).
Jika mendalami lebih jauh tentang prinsip-prinsip samurai, maka kita akan menemukan bahwa dibalik ketangkasan seorang samurai dalam memainkan pedang dan strategi bertempur, sesung–guhnya mereka diarahkan untuk hidup dalam ketenangan jiwa dan keyakinanan hati dan ini terangkum dalam ajaran Busido. Prinsip ini betul-betul ditanamkan ke dalam pikiran dan hati seorang samurai, sehingga mereka senantiasa menghidup–kan hati sebagai sumber cahaya dan keyakinan diri. Hal yang paling mendasar dalam prinsip samurai adalah ajaran untuk senantiasa hidup dengan kejujuran terhadap diri sendiri; jika tidak, mereka dianggap belum benar-benar menjalani hidup secara utuh. Ajaran tersebut meskipun tampak sederhana namun sesungguhnya sangat bermakna dan membawa kedamaian dalam hati setiap Samurai. Jika telah jujur pada diri sendiri, maka secara spontan mereka pun akan jujur pada siapapun.
Hal ini didasarkan pada prinsip yang telah dilaksanakan oleh orang-orang Jepang yang menyadari bahwa dunia fisik dan dunia spiritual memiliki kedudukan yang sama-sama penting, dan upaya untuk memisahkan keduanya atau membi–arkan keduannya dalam keadaan tidak se–imbang akan membuahkan suatu ketidak harmonisan yang berpotensi menimbulkan bencana dan kerusakan. (Boye de Mente, 2009: 27). Kebijaksanaan kuno ini telah menyatu dalam semua aspek kehidupan sehari –hari masyarakat Jepang, mulai dari ritual dan festival keagamaan sampai aktivitas keseharian, termasuk dalam hal penyiapan makanan, etika makan, serta pembelajaran dan praktek seni serta kerajinan.
KETRAMPILAN DAN SPIRITUALITAS BUDAYA SAMURAI
Sesuatu yang samar-samar dilihat dan dirasakan oleh orang asing yang pernah tinggal di Jepang, hal ini di–timbulkan oleh aneka macam seni tradisional, barang kerajinan, dan adat istiadat tradisional Jepang masih diperta–hankan hingga era modern ini. Setiap pengunjung di Jepang terutama mereka yang pernah tinggal beberapa waktu, mereka dapat melihat dan merasakan yang secara esensial membuat semua hal di Jepang menjadi bernuansa Jepang. Sebuah esensi yang tersusun dari kom–binasi antara keindahan fisik yang masih luar biasa murni, spiritualitas yang terwariskan dalam segala wujud materi, dan ditambah dengan sikap dan perilaku masyarakat Jepang yang unik.
Semua unsur kebudayaan Jepang dengan jejak-jejak pengaruh dari kode etik Bushido yang masih dapat dilacak dalam berbagai tingkatan, mempunyai daya tarik yang mampu menghipnotis sebagian besar pengunjung di Jepang khususnya orang Barat, terutama mereka yang telah lama bermukim di Jepang, termasuk sejumlah besar orang yang tertarik dengan aspek-aspek dalam “ Jalan Hidup ala Jepang” yang rela menyerang bias kebudayaan dan prasangka pribadi mereka sendiri. (Boye de Mende, 2009: 26).
Sebagai bagian dari karakter kebudayaan tradisional Jepang, aspek kehidupan bangsa Jepang ini didefinisikan dan di namai sehingga dapat didiskusikan, dipahami, di ajarkan dan di wariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aspek-aspek yang dinamai ini disebut do dan waza. Adapun yang dimaksud do adalah “jalan” atau “way”, sedangkan yang dimaksud “waza”. Adalah berarti “Ketram–pilan”, perlu juga dipahami bahwa kata ini memiliki demensi makna fisik maupun metafisiska atau dengan makna factor spiritual yang terkadang seringkali lebih penting dari factor fisik.
Dengan kata lain, masyarakat Jepang melakukan pendekatan terhadap kehidupan dengan mengkombinasikan an–tara pengembangan ketrampilan fisik dengan kematangan spiritualitas. Tidak ada satu bidang pundalam kehidupan masyarakat Jepang yang tidak memiliki waza dan do. Entah itu melalui peran–taraan orang tua, guru, atau seniman; dalam setiap ketrampilan itu tertanam komponen spiritual khusus yang sering mewujud kedalam ranah fisik.Begitu pen–tingnya sisi spiritual dalam suatu pelatihan dan pengajaran di Jepang, sehingga pela–tihan dan pengajaran untuk sisi ini Nam–pak begitu mendominasi ketimbang pela–tihan untuk sisi fisiknya. Sedemikian rupa sehingga dijadikan sebagai ritual-ritual seperti Bushido (cara ksatria), Chado (cara minum the), Karatedo (cara tangan kosong), Kendo (cara memainkan pedang) dan lain-lain.
Dibawah pengaruh budaya Sa–murai yang begitu kuat, perilaku masya–rakat Jepang terstruktur sedemikian rupa kedalam gerakan-gerakan yang terpola dengan hati-hati, yang bergaya tinggi dan dihubungkan dengan kelas social, jenis kelamin, dan umur seseorang dalam sebu–ah lapisan masyarakat, dimana kesesuaian terhadap perilaku yang pantas (patut) sering kali lebih didahulukan daripada tujuan dari suatu tindakan itu sendiri.
SEMANGAT BUSHIDO YANG MEMOTI–VASI MASYARAKAT JEPANG
Ada beberapa demensi dalam me–mahami Karakter dan semangat Bushido yang terdapat dalam masyarakat Jepang. Bushido terdiri dari kata bushi (ksatria atau prajurit) dan do (jalan). Bushido atau ’jalan ksatria’ merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral kekesatriaan yang berlaku di kalangan Samurai khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19). Makna Bushido secara umum adalah sikap rela mati untuk kepentingan negara/kerajaan dan kaisar. Pada zaman feodal itu, pengelompokan dalam masyarakat amat ketat dijalankan, dimana bushi/samurai menempati posisi tertinggi. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh masyarakat, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik Sakoku (penutupan diri) dari dunia luar. Saat itulah secara resmi Bushido disusun dalam bentuk etika, diterapkan dengan ketat, dan diajarkan pada masyarakat.
Konsep Bushido dalam diri kaum Samurai dapat diperhatikan dalam alam pikiran yang terdapat dikalangan kaum Samurai. Menurut kaum Samurai masalah hidup dan mati bukanlah dua keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat oleh keharusan-keharusan yang tercantum dalam ajaran Bushido. Bushido tidak dapat dipisahkan dari sikap Samurai dalam menjalankan kepercayaannya. Umumnya mereka (kaum Samurai) meng–anut dan menjalankan kepercayaan Budha Zen,berdasarkan pendalamannya itu timbul suatu sikap untuk mencari harmoni dengan alam semesta,khususnya dengan alam lingkungan. Kondisi harmoni ini diupayakan untuk memperoleh ketenang–an, kesederhanaan, dan keindahan. (Su–harman, 1987: 123).
Kode etik Bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hu–kum tersebut adalah mereka harus me–ngembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, dan mempersi–apkan kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuannya. Mereka mengabdikan kesetiaan itu sebagai standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan. Bushido tercermin pada saat perang dunia II, yaitu menjadi prajurit berani mati. Semangat bushido terus menyertai perjalanan bangsa Jepang dari masa ke masa sehingga akhirnya Jepang berhasil bangkit dari keterpurukan Perang Dunia II dan kemudian muncul sebagai raksasa ekonomi. Meski perubahan besar-besaran terjadi pada masa Meiji ketika begitu banyak generasi Jepang dikirim ke Amerika dan Eropa, nilai-nilai ini tetap dianut sebagian besar orang Jepang karena sudah terinternalisasi dalam ma–syarakat secara kuat melalui proses sela–ma ratusan tahun.
- Hal yang paling mendasar dalam prinsip Bushido adalah ajaran un–tuk senantiasa hidup dengan keju–juran terhadap diri sendiri; jika ti–dak, mereka dianggap belum benar-benar menjalani hidup seca–ra utuh.
- Ajaran tersebut meski tampak sederhana namun sesungguhnya sangat bermakna dan membawa kedamaian dalam hati setiap samurai. Jika telah jujur pada diri sendiri, maka secara spontan mereka pun akan jujur pada siapapun.
Bushido adalah kode etik samurai yang berkembang sejak zaman Kamakura (1185-1333). Bushido berisikan ajaran-ajaran moral seperti keberanian, ketabah–an hati, kemurnian, cinta nama baik, kesetiaan, bertanggungjawab, rasa malu, dan kehormatan. Aspek spiritual menjadi aspek yang penting dalam bushido karena dengan penguasaan atas diri melalui pengendalian dirilah, kekuatan akan timbul sehingga samurai dapat menaklukkan la–wannya. Saat ini, bushido menjadi kepriba–dian bangsa Jepang. Bushido berasal dari ajaran kepercayaan di Jepang, yang terutama adalah Konfusianisme. Dari ajar–an 5 pola hubungan sosial Konfusianisme, berkembang istilah on, yaitu kewajiban atau utang yang harus dibayar karena telah menerima kebaikan orang lain. Pembayaran on terbagi menjadi 2 jenis, yaitu gimu dan giri. Salah satu bentuk gimu disebut chu, yaitu pengabdian kepada Kaisar. Chu dianggap sebagai on tertinggi yang harus diutamakan sebelum on lainnya. Mengapa Kaisar? Karena Kaisar menempati posisi tertinggi dalam lingkup kehidupan orang Jepang. Pengabdian kepada Kaisar berarti pengabdian terhadap negara. Nilai keberanian pada Bushido banyak diterapkan orang Jepang dalam mempertahankan negerinya, seperti pasukan Kamikaze yang berani mati pada Perang Dunia II. Jenis pembayaran on selanjutnya adalah giri. Giri mencakup kesetiaan pengikut kepada tuannya dan menjaga nama baik. Kesetiaan kepada atasan diidentifikasikan sebagai kebajikan seorang samurai, sehingga samurai rela mengorbankan hidup matinya bagi tuannya, yang telah berjasa mengurusnya. Kisah Empat Puluh Tujuh Ronin merupakan salah satu contohnya. Kisah itu bercerita tentang para samurai yang terpaksa melanggar chu untuk membalas–kan dendam tuannya, dan setelah itu mereka bersedia melakukan seppuku untuk melunasi kewajiban chu mereka. Demi giri tersebut, mereka rela meninggal–kan istrinya dan berpisah dengan keluarganya. Ini membuktikan bahwa bagi samurai, kesetiaan adalah segala-galanya.
Selain itu, giri terhadap nama baik juga tak kalah penting dalam nilai-nilai Bushido. Giri ini mewajibkan setiap orang Jepang untuk menjaga kehormatan nama mereka. Di Jepang, kehormatan merupa–kan suatu kebajikan dan selalu ingin dicapai oleh masyarakatnya. Salah satu cara mereka melakukan giri ini adalah dengan mengendalikan diri, contohnya bersikap tabah. Samurai-samurai harus bisa menahan rasa lapar dan menahan rasa sakit tanpa mengeluh atau meringis sedikit pun. Tindakan mereka merupakan salah satu wujud menghormati diri mereka. Giri ini kemudian berkembang menjadi mental bangsa Jepang yang mengutamakan cinta nama baik dan hal tersebut tak bisa diraih jika masih ada kotoran (penghinaan) yang masih melekat pada diri mereka. Jika tidak ada lagi pilihan lain yang dapat membersihkan nama mereka, mereka tidak segan-segan mela–kukan bunuh diri karena bunuh diri meru–pakan tindakan terhormat untuk menegak–kan kembali citra mereka.
Oleh karena itu kita sering mendengar peristiwa seppuku yang banyak dilakukan oleh samurai. Pada dua dasawarsa terakhir pun, pilihan untuk bunuh diri sebagai pembersihan nama masih dilakukan oleh orang Jepang, seperti pada kasus Walikota Kobe yang bunuh diri akibat merasa tidak mampu menjalankan tugas pemulihan Kota Kobe pasca gempa tahun 1995 dan Menteri Pertanian Jepang tahun 2007 yang mela–kukan hal serupa setelah mengundurkan diri dari jabatannya karena terlibat kasus korupsi. Bushido mulai menjadi kesatuan nilai yang dianut oleh bangsa Jepang pada era modernisasi, mengingat diperlukannya kesetaraan pada seluruh masyarakat. Bushido diajarkan di sekolah-sekolah sebagai pengganti pelajaran agama dan pedoman moral. Nilai-nilai bushido yang telah mendarah daging dalam jiwa bangsa Jepang menjadi kekuatan Jepang untuk memajukan negerinya. Tujuannya akan kehormatan menyebabkan mereka berusa–ha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan pembangunan (SDA yang langka dan penduduk yang padat) menjadi potensi untuk kemajuan ekonomi. Faktor lainnya yang mendukung keberhasilan sistem ekonomi Jepang adalah loyalitas terhadap negara. Loyalitas tersebut tercermin dalam usaha tiap prefektur mengembangkan industri sesuai SDA yang dimiliki dan jalinan kerjasama antara sektor wirausaha swasta dengan pemerintah sejak awal zaman Meiji. Di bidang politik, pemerintahan Jepang bersih dan hampir bebas dari kasus korupsi karena mereka mempunyai budaya malu yang sangat kuat. Selain itu, kehidupan politik dapat berjalan harmonis oleh du–kungan rakyat yang menghormati peme–rintah dan Kaisar. Dengan demikian, sis–tem politik dan sistem ekonomi Jepang berhasil karena penerapan nilai-nilai Bushido berupa kesetiaan, kehormatan, rasa malu, dan tanggung jawab.
Aspek perilaku masyarakat Jepang lainnya yang juga terinspirasi oelh ajaran Bushido adalah agar para pegawai bersikap seolah-olah merekalah pendiri dan pemilik perusahaan sehingga mereka kan melakukan apapun untuk bisas membuat perusahaan itu berhasil dan dapat dipahami sebagai sebuah etika tradisional yang didukung oleh kecende–rungan alamiah keluarga yang berorientasi pada jaran Kong Hu Cu.
NILAI-NILAI BUSHIDO DALAM PERS–PEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Bushido mulai menjadi kesatuan nilai yang dianut oleh bangsa Jepang pada era modernisasi, mengingat diperlukannya kesetaraan pada seluruh masyarakat. Bushido diajarkan di sekolah-sekolah sebagai pengganti pelajaran agama dan pedoman moral. Nilai-nilai bushido yang telah mendarah daging dalam jiwa bangsa Jepang menjadi kekuatan Jepang untuk memajukan negerinya. Tujuannya akan kehormatan menyebabkan mereka ber–usaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan pembangunan (SDA yang langka dan penduduk yang padat) menjadi potensi untuk kemajuan ekonomi. Faktor lainnya yang mendukung keberhasilan sistem ekonomi Jepang adalah loyalitas terhadap negara. Loyalitas tersebut tercer–min dalam usaha tiap prefektur mengem–bangkan industri sesuai SDA yang dimiliki dan jalinan kerjasama antara sektor wirausaha swasta dengan pemerintah sejak awal zaman Meiji. Di bidang politik, pemerintahan Jepang bersih dan hampir bebas dari kasus korupsi karena mereka mempunyai budaya malu yang sangat kuat. Selain itu, kehidupan politik dapat berjalan harmonis oleh dukungan rakyat yang menghormati pemerintah dan Kaisar. Dengan demikian, sistem politik dan sistem ekonomi Jepang berhasil karena penerap–an nilai-nilai Bushido berupa kesetiaan, kehormatan, rasa malu, dan tanggung jawab.
Secara garis besar nilai-nilai Bu–shido itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Integritas (Gi)
Gi adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dengan keyakin–an moral, sehingga keputusan bisa adil dan seimbang untuk semua orang, tanpa memandang warna kulit, ras, jenis kelamin, ataupun usia.
2. Keberanian (Yu)
Yu adalah kemampuan untuk me–nangani setiap situasi dengan gagah berani dan percaya diri.
3. Welas Asih (Jin)
Jin adalah kombinasi dari kasih sayang dan kemurahan hati. Jin diterapkan bersama Gi akan membuat seorang samurai bisa meredam keinginan un–tuk menggunakan kemampuan mereka secara arogan atau untuk mendomi–nasi orang lain.
4. Penghormatan (Rei)
Rei berhubungan dengan kesopan-santunan dan sikap yang layak kepada orang lain. Rei juga berarti harus menghormati semua pihak.
5. Kejujuran (Makoto)
Makoto berarti bersikap jujur terhadap diri sendiri, seperti kita bersikap jujur kepada orang lain. Ini berarti bertindak benar secara moral, dan melakukan–nya sebaik yang kita mampu.
6. Martabat (Meiyo)
Meiyo dapat dicapai dengan berpikir secara positif, tapi hanya bisa terwujud jika diikuti dengan tindakan yang tepat. Kesuksesan adalah tujuan mulia yang harus diperjuangkan.
7. Kesetiaan (Chungi)
Chungi adalah fondasi dari semua prinsip moral; tanpa dedikasi dan kesetiaan terhadap suatu tujuan atau kepada sesama, seseorang tidak akan bisa berharap untuk bisa mencapai hasil yang dia inginkan.
Nilai-nilai tersebut telah menjadi karkter bangsa dan masyarakat Jepang dan telah diimplemtasikan dalam kehidup–an sehari-hari. Kemudian nilai-nilai Bushido itu mejadi pendorong dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan dapat disaksikan dan diakui oleh bangsa-bangsa didunia. Melaui tulisan ini penulis bolehlah menyarankan bahwa dari apa yang kita kaji diatas dapat dimanfaatkan sebagai inspirasi untuk membangun atau membina nilai-nilai kebangsaan yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk dijadikan suatu prinsip hidup dan dapat dipakai sebagai pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara terutama nilia-nilai Panca–sila dan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia yang telah memberi teladan dalam perjuangannya membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kajian tentang keberadaan kaum Samurai dan ajaran Boshido yang telah dialami oleh masyarakat Jepang tersebut kiranya dapat diambil sebagai contoh bagi kita bangsa Indonesia yang dewasa ini sedang giat-giatnya membangun karakter bangsa me–lalui bidang pendidikan nasional, sebagai–mana dituangkan dalam system pendidik–an nasional dan telah terangkum dalam tujuan pendidikan Nasional.
Indonesia dapat mencontoh Je–pang dari karakter bangsanya yang kuat. Pemerintah dan rakyat harus bersatu agar pembangunan negara berjalan dengan lancar. Pada kenyataannya, masih ada pemerintah yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar dan justru mengutamakan kepentingan dirinya atau golongannya sendiri. Di lain sisi, sebagian besar rakyat terus berdemonstrasi tanpa berusaha menyumbangkan tenaganya demi negara. Sekarang saatnya Indonesia melakukan pembinaan karakter sehingga seluruh warga negara terikat dalam satu nilai dan saling mendukung demi memajukan negeri.(http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html)
Di Indonesia, pendidikan karakter bangsa sebenarnya telah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Kihajar Dewantara sebagai pahlawan Pendidikan Nasional memiliki pandangan tentang karakter sebagai azas Taman Siswa 1922, dengan tujuh prinsip sebagai berikut: (1) Hak seseorang untuk mengatur diri sendiri dengan tujuan tertibnya persatuan dalam kehidupan umum. (2) Pengajaran berarti mendidik anak agar merdeka batinnya, pikirannya dan tenaganya. (3) Pendidikan harus selaras dengan kehidupan. (4) Budaya sendiri yang selaras dengan kodrat harus dapat memebri kedamaian hidup. (5) Harus bekerja menurut kekuatan sendiri. (6) Perlu hidup dengan berdiri sendiri. (7) Dengan tidak terikat, lahir batin dipersiapkan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik.Karena Dunia pendi–dikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karak–ter, sehingga anggota masyarakat mempu–nyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masya–rakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidak penting, Ukuran tubuhmu juga tidak penting, Ukur–an Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak” Simak, telaah, dan renung–kan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan pelu–ang bagi peserta didik untuk multi kecer–dasan yang mampu mengembangkan si–kap-sikap; kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian.
Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga per–bedaan-perbedaan tidak menjadi persoal–an bagi mereka. Nilai-nilai tersebut diha–rapkan dapat memberi contoh bagi gene–rasi bangsa pada dewasa ini, agar mereka sanggup menjaga keutuhan bangsa sebagai bangsa yang berdaulat, adil dan makmur.
REVITALISASI KARAKTER KEBANG–SAAN INDONESIA MELALUI PENDI–DIKAN SEJARAH
Karena pendidikan karakter di Indonesia harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperli–hatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad un–tuk membangun nasional Indonesia. Mere–ka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simboll “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia memulai dibelajarkannya nilai-nilai karak–ter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal.
Dalam rangka revitalisasi Karakter Kebangsaan Indonesia dapat kita ingat kembali ajaran-ajaran yang telah diberikan para tokoh pendidikan di Indonesia. Melalui pendidikan ketamansiswaan kita akan memperoleh pemahaman bahwa Ki MangunSarkoro yang telah memberikan konsepsinya tentang nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Menurut tokoh tersebut dinya–takan bahwa mengapa kita perlu memiliki keyakinan hidup kebangsaan dalam pen–didikan nasional kita? Menurut Mangun Sarkoro dikemukakan bahwa:
….makhluk yang hidup didunia ini tidak luput dari gangguan hukum keharusan mempertahankan hidupnya. Begitu pula keadaan manusia, lebih ba–nyak kecakapan, pengetahuan dan kekuat–annya, lebih mudah orang mempertahan–kan hidupnya.Itulah sebabanya maka orang selalu ingin maju, maju yang tampaknya sebagai tambah kecakapan, tambah pengetahuan dan tambah keku–atan. Lebih sadar orang akan dirinya , lebih luas kemajuan yang dikehendakinya. Lebih tinggi tingkat kemajuan, lebih tambah kesadarannya, bahwa manusia itu mempunya diri yang berupa jiwa dan raga”….. (Ki Mangun Sarkoro dalam 30 Tahun Taman Siswa, 1980: 83).
Melaui Nilai-nilai kebangsaan yang telah dijadikan suatu keyakinan dalam hidupnya akan mampu memperkuat untuk membangun diri dan bangsanya. Jadi yang menjadi sumber keyakinan hidup kebang–saan itu ialah cinta terhadap bangsanya, menjadi satu perasaan dengan bangsanya.
Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijak–an dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa. ”Pendidikan Karakter Untuk revitalisasi nilai-nilai kebangsaan Indonesia”, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearif–an itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas Implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk mem–bangun keberadaban bangsa Indonesia. Pesan akhir tulisan ini, berikan layanan yang terbaik kepada Peserta didik, Pen–didik dan Tenaga Kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang ”beradab” yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di muka dapat di simpulan sebagai berikut: Kaum Samurai merupakan salah satu komunitas masya–rakat yang dalam sejarah Jepang telah menunjukkan peran yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan masyarakatnya. Komunitas ini telah berhasil membawa Bangsa Jepang, sehingga diperhitungkan oleh ma–syarakat dunia karena prestasinya dalam politik dan ekonomi.
Melalui keteladanannya Kaum Sa–murai dapat memberikan sumbangan da–lam bentuk nilai-nilai kehidupan yang terangkum dalam ajaran Bushido. Hal yang paling mendasar dalam prinsip Samurai adalah ajaran Bushido yang senantiasa hidup dengan kejujuran terhadap diri sendiri; jika tidak, mereka dianggap belum benar-benar menjalani hidup secara utuh. Ajaran tersebut meskipun tampak seder–hana namun sesungguhnya sangat ber–makna dan membawa kedamaian dalam hati setiap Samurai. Jika telah jujur pada diri sendiri, maka secara spontan mereka pun akan jujur pada siapapun. Dalam hal ini Indonesia dapat mencontoh Jepang dalam membangun karakter bangsanya yang kuat. Pemerintah dan rakyat harus bersatu agar pembangunan negara berja–lan dengan lancar. Pada kenyataannya, masih ada pemerintah yang tidak menja–lankan fungsinya dengan benar dan justru mengutamakan kepentingan dirinya atau golongannya sendiri..
Di era pra modern kelas Samurai mampu memerankan diri membawa Jepang ke jalan perubahan masyara–katnya. Cara itu mereka tempuh dengan melakukan gerakan restorasi dengan sikap mendukung pengembalian kekuasaan Kaisar dalam bidang politik pemerintahan. Para mantan Samurai yang memimpin Jepang Baru, sebagian besar berasal dari Samurai kelas bawah. Mereka melangkah dengan cara mengadopsi system klan dan menerapkan nilai-nilai kode etik Bushido dalam mendirikan industri-industri dengan perangkat-perangkat yang lebih modern dan sebuah kekuatan militer baru, serta dipersenjatai model Barat namun militer ini dipersenjatai dengan pistol dan pedang.
Bushido mulai menjadi kesatuan nilai yang dianut oleh bangsa Jepang pada era modernisasi, mengingat diperlukannya kesetaraan pada seluruh masyarakat. Bu–shido diajarkan di sekolah-sekolah sebagai pengganti pelajaran agama dan pedoman moral. Nilai-nilai bushido yang telah mendarah daging dalam jiwa bangsa Jepang menjadi kekuatan Jepang untuk memajukan negerinya.
Indonesia dapat mencontoh Je–pang dari karakter bangsanya yang kuat. Pemerintah dan rakyat harus bersatu agar pembangunan negara berjalan dengan lancar. Pada kenyataannya, masih ada pemerintah yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar dan justru mengutamakan kepentingan dirinya atau golongannya sendiri. Melalui pendidikan Sejarah sangat dimungkinkan untuk mengembangkan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai dalam UUD 1945.
Founding father kita sebenarnya telah banyak mewariskan nilai-nilai yang mencerminkan konsep karakter atau jiwa yang mencerminkan karakter Bangsa Indo–nesia. Untuk itu kita patut merevitalisasi nilai-nilai tersebut melalui pendidikan ka–rakter yang dimasukan dalam kurikulum pendidikan dalam system pendidikan nasional
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mulyana dan Wawan Darmawan,2011, Proceding Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, Isola Resort UPI, Bandung.
Aulia Fadhli, 2007, Menjadi Pemenang Seperti bangsa Jepang,Pinus Books Publisher, Yogyakarta.
Boye de Mente, Tjmh. Fifah, 2009, Misteri Kode samurai Jepang, Penerbit Gara Ilmu, Yogyakarta.
Dale Jenings,Williem, 2010, Ronin Samurai Pengembara, Penerbit Liris, Surabaya.
Dozi Swandana, 2009, Dewa Perang Jepang,, Mas Media Buana Pustaka, Sidoarja, Jawa Timur.
Darma Kesuma dkk, 2011, Pendidikan Karaktar Kajian dan Praktik di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Kabul Budiyono,2007, Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, Alfa beta,Bandung.
Mulyasa,HE., 2011, Manajemen Pendidikan Karakter, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Suharman, 2002, Sejarah Jepang (Awal sampai Feodalisme), Widya Sari Press, Sala Tiga Jawa Tengah.
Taira Shigesuke,2009, Bushido Shoshinsu Spirit Hidup Samurai (filosofi para ksatria, Selasar Surabaya Publishing, JawaTimur.
Paul Varley.H, 2008, Samurai (Sejarah dan Perkembangannya). Terjmh. Dwi Istiyani,Komunitas Bambu, Depok,Jakarta.
Robert N. Bellah, 1992, Religi Tokugawa (Akar-akar Budaya Jepang), Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yeti Nurhayati, 1987, Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.