Keefektifan
KEEFEKTIFAN
MODEL PEMBELAJARAN KREATIF
DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL
TERHADAP KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI
DI KECAMATAN KEBUMEN
Joharman
Staf Pengajar Prodi PGSD FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) ada dan tidaknya perbedaan model pembelajaran kreatif dan konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika. (2.) Ada dan tidaknya perbedaan kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika. (3) Ada tidaknya interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilaksanakan di SDN1 Kutosari, SDN1 Selang, dan SDN5 Panjer sebagai kelompok eksperimen, sedangkan SDN1 Kebumen, SDN 1 Tamanwinangun dan SDN 3 Panjer kecamatan Kebumen sebagai kelompok kontrol. Teknik sampling yang digunakan adalah multistage cluster random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan tes objektif mata pelajaran matematika kelas V SD, untuk memperoleh data kemampuan awal siswa, dan tes subjektif untuk memperoleh data tentang kemampuan memecahan masalah matematika kelas V SD.Teknik analisis data menggunakan analisis vrarians dua jalan, dengan uji prasyarat: uji normalitas dan homogenitasdengan taraf signifikan 0,05.
Hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Terdapat pengaruh perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran kreatif dan model pembelajaran konvensional.terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas V SD Negeri di Kecamatan Kebumen (2) Terdapat pengaruh perbedaan yang signifikan antara siswa yang berkemampuan awal matematika tinggi dengan siswa yang berkemampuan awal matematika rendah terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika kelas V SD di Kecamatan Kebumen.. (3). Terdapat interaksi pengaruh yang signifikan antara model pembelajaranu dengan kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas V SD Negeri di Kecamatan Kebumen.
Implementasi model pembelajaran kreatif Bloom, kemampuan matematika tinggi lebih dapat berperan untuk mengembangkan pola berpikir anak daripada pembelajaran konvensional dalam pemecahan masalah matematika.
Kata Kunci: Model Pembelajaran.Kreatif, Pemecahan masalah matematika, kemampuan awal matematika.
PENDAHULUAN
Kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan yang diperlukan oleh semua orang. Siswa sekolah dasar merupakan subjek didik yang mendasari seluruh jenjang pendidikan selanjutnya, maka kebutuhan kemampuan memecah- kan masalah seyogyanya diberikan sedini mungkin. Kemampuan memecahkan masalah bersifat praktis berdampak ter-hadap individu, yaitu menjadi individu yang mandiri dan siap terjun ke masyarakat, meskipun bekal akademik masih kurang memadai.
Salah satu cara pemecahan masalah yang dapat membawa anak mampu menjadi individu pemecah masalah, yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah dasar, yaitu program pembelajaran kreatif. Pada satu sisi mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, di sisi lain memberikan bekal untuk menjadi individu yang sanggup memecahkan masalah di masa datang.
Pengembangan model pembelajaran kreatif sangat penting mengingat tingkat pengembangan berpikir tertinggi adalah berpikir kreatif. Dimensi proses kognitif tersebut dapat dilakukan pada dimensi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, maupun meta kognisi (Anderson dan Krathwoh, 2001: 28).
Realita pembelajaran yang ber-langsung di sekolah dasar saat ini cende-rung berorientasi pada materi, apalagi dipacu dengan materi pelajaran ujian nasional, yang berdapak pada kredibilitas sekolah. Guru cenderung menggunakan kiat-kiat praktis dalam memecahkan masalah matematika, hampir tidak memperhatikan proses dan makna pemecahan masalah itu sendiri. Hal tersebut berdampak pada kemampuan anak terhadap pemahaman dan penerapan konsep-konsep matematika.
Penguasaan materi prasyarat pada mata pelajaran matematika sangat penting, karena dapat berpengaruh terhadap pe-nguasaan konsep yang akan di sajikan. Dengan demikian kemampuan awal perlu diketahui, sebelum suatu program pem-belajaran disampaikan guru. Dalam pembelajaran diperlukan peta kemampuan siswa, agar guru dapat mengetahui ke-mampuan masing-masing siswa, sehingga siswa yang berkemampuan rendah dan yang berkemampuan tinggi dapat di-ketahui perbedaannya dalam pembelajaran, yang sangat berguna bagi guru untuk menentukan model pembelajaran yang tepat.
Dengan demikian secara jelas program pembelajaran kreatif dengan memperhatikan kemampuan awal siswa sangat penting dikembangkan di sekolah dasar untuk mempersiapkan mereka menjadi manusia pemecah masalah.
Berdasar uraian pendahuluan, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) apakah ada perbedaan pengaruh model pembelajaran kreatif dan konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika di SD Kelas V? (2) apakah ada perbedaan pengaruh ke-mampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika di SD Kelas V.? (3) adakah interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika di SD Kelas V?
Adapun penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui perbedaan pengaruh model pembelajaran kreatif dan konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika, (2) Mengetahui pengaruh perbedaan kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah terhadap kemampuan memecahkan ma-salah matematika, (3) Mengetahui interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika
KAJIAN TEORI
Pemecahan Masalah
Pada dasarnya terdapat dua macam berpikir, yaitu investigasi dan pemecahan masalah (Fisher, 1990:98). Kemampuan anak menerapkan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah akan menjadi kunci keberhasilan dalam hidup, dan berbagai hal dapat diperoleh anak dari pemecahan masalah. Aktivitas pemecahan masalah akan menstimulasi dan me-ngembangkan keterampilan-keterampilan berpikir dan penalaran. Pemerolehan hasil akan mendorong kepercayaan dan kemampuan diri. Rasa percaya diri, bahwa anak dapat berpikir, juga menyiapkan kesempatan pada anak untuk bertukar ide dan belajar bekerja secara lebih efektif dengan temannya, pada akhirnya hal ini merupakan pendekatan bekerja bersama (Fisher, 1990:98).
Herman Hudoyo dan Akbar Sutawidjaja (1997:190) mengatakan bah-wa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seseorang jika orang itu tidak mempunyai aturan tertentu yang segera dapat digunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Hal ini berarti pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin, pertanyaan tersebut dapat dimengerti, pertanyaan tersebut merupakan tantangan untuk dijawab yang sifatnya individu dan bergantung pada waktu. Pemecahan masalah merupakan prosedur pererimaan tantangan dan kerja keras unuk menyelesaikan masalah tersebut. Jadi aspek penting dari makna masalah adalah bahwa penyelesaian yang diperoleh tidak dapat dikerjakan dengan prosedur rutin. Berpikir keras perlu dilaksanakan untuk mendapatkan cara menyelesaikan suatu masalah. Perhitungan sederhana dan aplikasi langsung rumus-rumus tidak dikualifikasikan sebagai permasalahan.
Akbar Sutawidjaja, dkk (1992: 22) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah proses mengorganisasikan konsep dan keterampilan ke dalam pola aplikasi baru untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Hasan Alwi (2002: 707), kemampuan adalah kecakapan, kesanggupan, dan kekuatan untuk melakukan sesuatu, sedangkan menurut Utami Munandar ( dalam Y Padmono, 2002: 145), kemampuan adalah daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari latihan atau tugas. Kemampuan menunjukkan bahwa suatu tindakan telah dilakukan. Kemampuan merupakan kapasitas individu untuk melakukan berragam tugas dalam suatu pekerjaan.
Jadi, dari beberapa pengertian kemampuan di atas dapat dikatakan bahwa kemampuan yaitu kesanggupan, kekuatan, kapasitas, tenaga, daya, untuk melakukan suatu perbuatan atau tugas.
Adapun kemampuan pemecahan masalah matematika pada penelitian ini adalah suatu daya, kapasitas, atau kekuatan mengorganisasikan konsep dan keterampilan yang berhubungan dengan logika mengenai konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lain, ke dalam aplikasi baru dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menyelesaikan sejumlah tugas yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan keterampilan dan sikap., yang diselesaikan menggunakan bahasa simbol (kalimat matematika) disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas V SD dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di sekolah dasar.
Pembelajaran Kreatif
Rogers dan Maslow dalam Kitano menyatakan kreativitas merupakan salah satu aspek kepribadian yang berpengaruh terhadap aktualisasi diri. Setiap manusia lahir memiliki potensi kreatif dan realisasinya tergantung pada kondisi yang mendukung. Berdasar acuan proses, Guildford dan Torrance menekankan bahwa kreativitas merupakan kecakapan mental dalam memanipulasi informasi sebagai pemahaman proses kreatif. Guildford, Torrance, dan Gowan melihat kreativitas sebagai proses kemampuan mental dalam keterkaitannya dengan teori hemisphere. Selanjutnya Steenberg mengemukakan teori “Three facet model of creativity”. Yaitu kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis: inteligensi, gaya kognitif, dan kepribadian/ motivasi. (Munandar, 1999:20).
Berpikir tidak terjadi pada situasi hampa, Fisher (1990:29) menyatakan berpikir kreatif muncul karena adanya rangsang, kepemilikan latar pengetahuan, dan keterampilan, di samping itu berpikir kreatif memerlukan rangsang dari tingkat berpikir lain. Annete Lamb (2001:1) menyatakan ketika kita berpikir tingkat tinggi, maka berpikir kreatif memerlukan tingkat berpikir analisis, sintesis dan evaluasi. Robert Harris (1998:2-15) berpikir kreatif dicapai melalui proses terus menerus memperbaiki ide, solusi, dan membuat alternatif, melalui cara-cara berpikir evaluasi, sintesis, revolusi, replikasi, dan perubahan urutan. Anderson (2001: 27-37) kreatif merupakan taksonomi tertingggi tingkat berpikir kognitif.
Berdasar uraian di atas disimpulkan berpikir kreatif adalah cara berpikir tingkat tinggi dengan mendasarkan pada data atau informasi untuk menghasilkan berbagai alternatif penyelesaian masalah dengan penekanan kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban secara lancar, luwes, orisinal, dan rinci, pada saat penerimaan rangsang, eksplorasi ide, merencanakan, melaksanakan, dan peninjauan ide. Utami Munandar (2009:160) mengklasifikasi model pembelajaran dalam beberapa model, antara lain Model Pembelajaran Bloom. Model Pembelajaran Kreatif Bloom menekankan pembelajaran berbasis pengembangan kognitif tingkat tinggi, terutama analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam lingkup pendidikan di Indonesia Taksonomi Bloom tidak asing lagi dalam penyusunan program kurikulum. Model yang mencakup enam tingkat keterampilan berpikir ini, semula dimaksudkan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan tujuan pendidikan, tetapi sekarang Taksonomi Bloom banyak digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kegiatan belajar sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan kognitif sepenuhnya.
Selain itu menurut Utami Munandar (2009: 162) banyak digunakan pula untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam kurikulum berdiferensiasi untuk anak berbakat. Penerapannya di kelas tidak membutuhkan banyak biaya dan material. Taksonomi Bloom terdiri dari enam tingkatan perilaku kognitif, yaitu (1) pengetahuan, berkaitan dengan kemampuan siswa untuk mengingat, (2) pemahaman adalah kemampuan siswa untuk mengingat dan menggunakan informasi, tanpa menggunakannya dalam situasi baru atau situasi yang berbeda; menerjemahkan, menaksir, menghitung. (3) Penerapan, adalah kemampuan menggunakan informasi dengan cara atau situasi baru. (4) analisis, meliputi kemampuan untuk memisahkan, suatu bahan menjadi komponen-komponen untuk melihat hubungan dari bagian-bagian dan kesesuaiannya. Analisis sering disebut sebagai awal dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. (5) sintesis, yaitu kemampuan untuk menggabungkan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang baru. dan (6) Evaluasi adalah kemampuan membuat pertimbangan atau penilaian untuk membuat keputusan internal (konsistensi, logika,ketepatan), atau eksternal (membandingkan karya, teori atau prinsip dalam bidang tertentu).
Model pembelajaran Kreatif Bloom, merupakan model pembelajaran yang memungkinkan mengubah proses pembelajaran. Dengan menggunakan Taksonomi Bloom ini, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk memperluas pola berpikir mereka.
Suatu hal yang sangat menarik untuk mengamati bagaimana siswa belajar taksonomi ini sebagai konten (Utami Munandar,2009:165). Para siswa segera mengenal cara bagaimana berpikir, pada tingkat mana pertanyaan itu diajukan, dan pada kegiatan mana mereka terlibat. Setelah para siswa mengenal klasifikasi pertanyaan, mereka tertantang untuk lebih banyak bekerja pada tingkat yang lebih tinggi.
Model Guildford, antara lain mengembangkan berpikir konvergen dan berpikir divergen. Guildford menciptakan suatu teori tentang inteligensi dalam dimensi tiga, dengan maksud untuk menampilkan semua kemampuan intelek manusia. (Guildford 1981), dalam Utami Munandar (2009: 166). Ketiga dimensi itu adalah konten (materi), produk, dan operasi. Materi dibedakan dalam empat kategori, yaitu: figural, simbolik, semantik, dan perilaku. Produk ada enam kategori: unit, kelas, hubungan, sistem, tranformasi, dan implikasi, sedangkan operasi terdiri dari lima kategori yaitu: kognisi, ingatan, berpikir konvergen, berpikir divergen, dan evaluasi. (Utami Munandar 2009: 172).
Pendidikan di Indonesia khususnya di sekolah dasar masih mendasarkan pada Bloom, pada taraf pengembangan kognitif yang relatif rendah (pengetahuan, pemahaman, dan sedikit penerapan), sedangkan untuk mencapai tahap kreatif yang berguna untuk memecahkan masalah, masih jarang disentuh. Pada jenjang kognitif Bloom’s selanjutnya setelah penerapan, adalah tingkat berpikir tinggi (analisis, sintesis, dan evaluasi) yang sangat membantu pemecahan masalah. Berpikir divergen dan evaluasi pada kategori operasi model pembelajaran Guildford, setara dengan berpikir tingkat tinggi model Bloom, sehingga bentuk-bentuk pertanyaannya pun tidak asing bagi guru-guru SD maupun siswa.
Pembelajaran kreatif dalam penelitian ini menggunakan dasar pemikiran menekankan pembelajaran berbasis pengembangan kognitif tingkat tinggi Bloom’s, tetapi disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa kelas V sekolah dasar terutama disesuaikan juga dengan penerapannya untuk kehidupan sehari-hari. Pembelajaran harus mampu memberikan rangsangan untuk mendorong siswa berekspolrasi, menyusun rancangan, melaksanakan, dan melakukan peninjauan ulang secara berkelanjutan dibantu dengan media pembelajaran yang sesuai. Proses belajar mengajar yang dikembangkan melalui tahap-tahap tersebut, mendorong perkembangan berbagai aspek berpikir kreatif.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang secara umum atau biasa dilaksanakan pada saat sekarang ini. Teori belajar yang dianut dalam pembelajaran konvensional adalah teori belajar behavioristik. Seperti yang dinyatakan Saekhan Muchit (2008: 57) teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di indonesia. Tidak hanya itu, berdasarkan pengamatan peneliti, pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah dasar pada umumnya masih beranggapan bahwa materi yang dipelajari adalah apa yang ada di dalam buku bukan apa yang ada di sekitar siswa ataupun apa yang dialami siswa.
Pembelajaran konvensional masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap siswa sebagai individu yang tidak memiliki potensi dan bakat. Selain itu, pembelajaran yang dilaksanakan masih percaya pada mitos tentang belajar. Menurut Ronald Gross (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 204) enam mitos tentang belajar adalah: (1) belajar itu membosankan dan tidak menyenangkan, (2) belajar hanya berkenaan dengan materi dan keterampilan yang diberikan di sekolah, (3) pembelajar harus pasif, menerima dan mengikuti yang diberikan guru, (4) dalam belajar, si pembelajar harus berada di bawah perintah dan aturan guru, (5) belajar harus sistematis, logis, dan terencana (6) belajar harus mengikuti seluruh apa yang telah ditentukan.
Ciri-ciri pembelajaran konvensional/ tradisional menurut Depdiknas (2008) adalah (1) menyandarkan pada hafalan, (2) pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru, (3) siswa secara pasif menerima informasi dari guru, (4) pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, (5) memberikan tumpukan informasi pada siswa, (6) cenderung terfokus pada satu bidang tertentu, (7) waktu belajar siswa sebagian besar dihabiskan untuk mengerjakan buku tugas, mendengarkan ceramah, dan mengisi latihan, (8) perilaku dibangun berdasarkan kebiasaan, (9) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan, (10) hadiah dari peri laku baik adalah pujian/nilai rapor, (11) siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut hukuman, (12) perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik, (13) pembelajaran terjadi hanya di dalam ruangan, (14) hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
Proses pembelajaran konvensional juga dilakukan dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus (pendekatan deduktif). Sebagai contoh, siswa dijelaskan sebuah rumus tanpa tahu dari mana rumus itu berasal. Guru dengan begitu percaya diri memberikan contoh penggunaan rumus tersebut sedangkan siswa memperhatikan cara dan langkah-langkah yang digunakan guru.Setelah itu, siswa diwajibkan menyeesaikan soal-soal yang berhubungan dengan rumus yang diberikan. Kemudian diakhiri dengan evaluasi yang sarat dengan hafalan. Dari evaluasi inilah satu-satunya cara penilaian yang dilakukan.
Menurut Saekhan Muchith (2008: 57) tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran konvensional ditekankan pada proses memperluas atau penambahan pengetahuan siswa, sedangkan proses belajar menuntut siswa agar memiliki kemampuan mengungkapkan kembali pengetahuan dan pemahaman yang sudah dipelajari baik dalam tempo waktu yang singkat maupun waktu dalam jangka panjang, yang diperoleh melalui berbagai cara dalam belajar.
Kemampuan Awal Siswa
Masing-masing individu (siswa) memiliki tingkatan intelektual yang berbeda-beda. Intelektual atau kecakapan merupakan kemampuan dalam mengenal, memahami, menganalisis, menilai, memecahkan masalah dengan menggunakan rasio atau pemikiran.
Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan rendah adalah perilakunya tidak terarah dan hanya mengikuti meniru teman-temannya, tingkah lakunya tidak terkoordinasi, sikap jasmaniah kurang baik, memiliki daya adaptasi yang rendah, perilaku tidak berorientasi pada kesuksesan, mempunyai motivasi yang rendah, melakukan segala sesuatu sangat lambat, kegiatan yang dilakukan tanpa pemahaman.
Begitu pula dengan orang yang memiliki kecakapan matematika rendah, mereka cenderung tidak menyukai pelajaran matematika, lambat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, tidak menyukai pelajaran yang mengandung operasi hitung, dalam belajar tidak terarah, lebih menyenangi pelajaran hafalan, dalam tidak memperhatikan petunjuk yang diberikan untuk menyelesaiakan persoalan,kurang teliti, dan lebih cepat puas dengan hasil yang diperoleh.
Kemampuan adalah seperangkat kompetensi yang dimiliki oleh individu. Individu siswa terdiri dari berbagai latar pengetahuan, sifat, kebiasaan belajar, latar keluarga, pola asuh, kemampuan belajar yang terlihat dari prestasi belajar, dan sebagainya. Kemampuan belajar anak secara umum diketahui melalui hasil belajar anak. Hasil belajar anak diukur oleh guru melalui; ulangan harian, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dan ulangan sumatif. Hasil belajar tersebut cenderung mewakili kemampuan belajar, karena diukur melalui berbagai cara dan secara terus menerus, sehingga hasilnya dapat diandalkan untuk menentukan tingkat kemampuan belajar anak.
Tingkat kemampuan anak berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain: kerajinan, kecerdasan, sikap belajar, lingkungan belajar, dan sebagainya. Siswa yang memiliki kecerdasan tinggi, kerajinan belajar, sikap belajar positif, dan lingkungan yang kondusif memiliki kemungkinan memperoleh hasil belajar tinggi, demikian pula sebaliknya.
Anak berkemampuan tinggi juga memiliki kemudahan dalam beradaptasi terhadap segala bentuk pembelajaran yang dikembangkan guru, baik pengembangan untuk peningkatan hasil belajar maupun dalam peningkatan kemampuan kemampuan lainnya.
Kerangka Berpikir
Kemampuan anak menerapkan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah akan menjadi kunci keberhasilan dalam hidup, dan berbagai hal dapat diperoleh anak dari pemecahan masalah. Aktivitas pemecahan masalah akan menstimulasi dan mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir dan bernalar. Aktivitas pemecahan masalah tidak hanya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap, pemecahan masalah juga menyediakan kesempatan kepada orang dewasa dan guru mengamati cara anak-anak mendekati masalah. Model Pembelajaran Kreatif Bloom menekankan pembelajaran berbasis pengembangan kognitif tingkat tinggi, terutama analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketiga jenjang kognitif Bloom sesuai untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran konvensional ditekankan pada proses memperluas atau penambahan pengetahuan siswa, sedangkan proses belajar menuntut siswa agar memiliki kemampuan mengungkapkan kembali pengetahuan dan pemahaman yang sudah dipelajari baik dalam tempo waktu yang singkat maupun waktu dalam jangka panjang, yang diperoleh melalui berbagai cara dalam belajar. Tujuan lain dari pembelajaran konvensional adalah mengomunikasikan atau mentransfer pengetahuan kepada siswa, guru memindahkan pengetahuan dan informasi yang mereka miliki kepada siswa yang dianggapnya belum memiliki pengetahuan apa-apa. Paradigma baru pendidikan menghendaki pembelajaran memberikan pengalaman belajar secara langsung dan jenjang berpikir tingkat tinggi sehingga hasil belajar siswa lebih bermakna dan berwawasan luas. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sementara, bahwa model pembelajaran kreatif lebih sesuai untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Dengan demikan ada perbedaan antara model pembelajaran kreatif dan konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah.
Kemampuan adalah seperangkat kompetensi yang dimiliki oleh individu. Individu siswa terdiri dari berbagai latar pengetahuan, sifat, kebiasaan belajar, latar keluarga, pola asuh, dan kemampuan belajar yang dapat lihat dari evaluasi hasil belajar. Kemampuan anak diukur oleh guru melalui; ulangan harian, pekerjaan rumah, tugas-tugas, atau ulangan sumatif. Hasil belajar tersebut cenderung mewakili kemampuan belajar, karena diukur melalui berbagai cara dan secara terus menerus, sehingga hasilnya dapat diandalkan untuk menentukan tingkat kemampuan belajar anak. Ciri-ciri perilaku anak dilihat dari kemampuan tinggi, antara lain: mudah beradaptasi, bergaul, dan ceria, nilai prestasi tinggi, nilai di atas rata-rata, pekerjaan lengkap, rapi teratur, minat terfokus dan teratur, percaya diri, tujuan realistis dan bertahap, menyukai pekerjaan yang realistis, rasional,peduli dan positif terhadap sekolah, imajinasi tertata dan rasional, prakarsa sendiri.
Adapun ciri-ciri anak berkemampuan rendah antara lain : sulit beradaptasi, sulit bergaul, dan murung, nilai rendah pada tes prestasi, nilai di bawah rata-rata, pekerjaan sehari-hari tak lengkap, mudah memahami jika minat, harga diri rendah, minat luas, tujuan tidak realistis, tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan, acuh dan negatif terhadap sekolah, prakarsa sendiri kurang, tetapi berkembang jika terstimuli, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan karakterisitik kemampuannya, anak berkemampuan tinggi dan anak-anak berkemampuan awal rendah berbeda secara signifikan terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika
Model pembelajaran adalah merupakan bentuk rekayasa atau proses yang menjadikan orang untuk belajar. Model pembelajaran yang berbeda diterapkan terhadap seseorang atau sekelompok orang cenderung menghasilkan intensitas belajar yang berbeda. Misal dua kelompok subjek yang homogen, satu dikenai model pembelajaran kreatif dan yang satu kelompok dikenai pembelajaran konvensional, maka kedua kelompok tersebut keadaan tingkat belajarnya cenderung berbeda. Apalagi jika pebelajar memiliki kemampuan yang berbeda secara signifikan.
Kemampuan awal adalah seperangkat kompetensi yang dimiliki oleh individu sebelum pebelajar mengikuti program pembelajaran. Individu siswa terdiri dari berbagai latar pengetahuan, sifat, kebiasaan belajar, latar belakang keluarga, pola asuh, dan kemampuan belajar, yang dapat dilihat dari seperangkat evaluasi yang diterapkan.
Masalah terjadi jika individu tidak dapat mensinkronkan atau terjadi kesenjangan antara yang harapan dan kenyataan. Aktivitas pemecahan masalah akan menstimulasi dan mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir dan bernalar. Pemerolehan hasil pemecahan masalah akan mendorong kepercayaan dan kemampuan diri. Rasa percaya diri, bahwa siswa dapat berpikir, juga menyiapkan kesempatan untuk bertukar ide dan belajar bekerja secara lebih efektif dengan temannya.
Ketiga indikator di atas menggambarkan bahwa kemampuan memecahkan masalah dipengaruhi oleh bekal kemampuan awal yang dimilik siswa dan model pembelajaran yang digunakannya. Dengan terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap peningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
Hipotesis Penelitian
(1) Ada perbedaan pengaruh model pembelajaran kreatif dan konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika. (2) Ada perbedaan pengaruh kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika. (3) Ada interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian
Berdasarkan hasil sampling, sekolah dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen. Adapun sekolah yang dijadikan tempat penelitian terdiri dari 6 SD Negeri, yaitu SDN1 Kutosari, SDN1 Selang, SDN 5 Panjer , SDN 1 Kebumen, SDN 1 Tamanwinangun, SDN 3 Panjer. Sekolah yang dijadikan tempat eksperimen (kelompok eksperimen) adalah SDN1 Kutosari, SDN1 Selang, dan SDN 5 Panjer , sedangkan sekolah yang dijadikan pembanding (kelompok kontrol) adalah SDN 1 Kebumen, SDN 1 Tamanwinangun, dan SDN 3 Panjer.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Eksperimen. Menurut Suharsimi Arikunto (2003: 272) penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat “sesuatu” yang dikenakan pada subjek selidik. Jenis eksperimennya adalah eksperimen developmental. “Eksperimen developmental justru ditujukan untuk menguji, mengecek, atau membuktikan hipotesis tentang hubungan sebab akibat” (Sutrino Hadi, 2000:465).
Penelitian ini, bermaksud ingin mengetahui ada tidaknya akibat dari pembelajaran kreatif (treatment) terhadap pemecahan masalah matematika, serta membandingkan pengaruh pembelajaran kreatif (treatment) dengan pembelajaran konvensional (control) pada hasil belajar pemecahan masalah matematika. Caranya dengan membandingkan kelompok eksperimen yang diberi perlakuan yaitu penerapan pembelajaran kreatif dengan kelompok pembanding (kelompok kontrol) dengan menerapkan pembelajaran konvensional
Desain Penelitian dan Variabel Penelitian
Desain adalah suatu rencana, kerangka untuk mengkonseptualisasikan struktur relasi variabel-variabel suatu kajian penelitian. Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan model Post test only control group design dengan satu macam perlakuan. Penggunaan desain model ini berdasarkan alasan bahwa sampel yang digunakan dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol telah diambil secara acak dan diasumsikan benar–benar sebanding.
“Variabel bebas (independent variable) adalah sebab yang dipandang sebagai sebab kemunculan variabel terikat (…)” (Fred N.Kerlinger, 2006: 58). Dalam penelitian ini ada dua variabel bebas yaitu model pembelajaran kreatif (variabel treatment) dan model pembelajaran konvensional (sebagai variabel control), sedangkan kemampuan awal siswa adalah variabel atribut.
Variabel terikat dipandang (atau diduga) sebagai akibatnya” (Fred N. Kerlinger, 2006: 58). Dalam penelitian ini variabel terikatnya (dependent variable) adalah kemampuan memecahan masalah matematika.
Populasi Sample dan Sampling
“Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian” (Suharsimi Arikunto, 2003: 102). Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V semester 2 SD Negeri di Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen tahun pelajaran 2008/2009. Secara keseluruhan populasi terdiri dari 63 Sekolah Dasar Negeri.
“Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti” (Suharsimi Arikunto, 2002: 104). Sampel dalam penelitian ini diperoleh secara acak dengan teknik acak berlapis seperti dijejalskan dalam teknik sampling. Adapun banyaknya sampel ditetapkan sebanyak 6 kelas V Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kebumen.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik acak berlapis/bertahap, (multistages cluster random sampling). Menurut Bambang Prasetyo dan Lina Miftakhul Jannah (2007: 133) teknik penarikan sampel banyak tahap digunakan jika sifat/karakteristik kelompok pada populasi cenderung heterogen. Populasi yang dalam penelitian ini adalah siswa kelas V semester 2 SDN di Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen tahun pelajaran 2009/2010 bersifat heterogen. Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kebumen dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan hasil UASBN 2009/2010, yaitu kelompok hasil UASBN tinggi (27% dari populasi), kelompok hasil UASBN sedang, (46% dari populasi), dan kelompok hasil UASBN rendah (27% dari populasi) Dari 63 SD Negeri, masing-masing dipilih secara random (acak) dari ketiga kelompok tersebut. Kelompok tinggi, dirandom dan diambil 2 SD,masing-masing 1 SD untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Demikian halnya dengan kelompok sedang 2 SD, dan kelompok rendah 2 SD, masing-masing 1 SD untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi dan teknik tes (test). Teknik dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk (1) memperoleh data tentang nama-nama sekolah dasar negeri yang ada di Kecamatan Kebumen (2) memperoleh data tentang nama-nama siswa yang akan menjadi sampel penelitian, dan (3) untuk mendapatkan data nilai UASBN tahun 2009.
Teknik tes yang digunakan ada dua macam. Untuk memperoleh data kemampuan awal siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada materi matematika kelas V semester 1 menggunakan tes objektif bentuk pilihan ganda dengan 4 opsi. “Bentuk pilihan ganda, adalah soal atau kalimat belum lengkap yang didampingi oleh 4 atau 5 kemungkinan jawaban, di mana hanya ada satu jawaban yang benar” (Ruseffendi, 1992: 356). Seperti dijelaskan Y. Padmono (2002: 26) tes merupakan cara untuk memperoleh informasi tentang kemampuan aspek tertentu yang berbetuk serangkaian pertanyaan atau tugas yang harus dikerjakan oleh subjek (testie) sehingga menghasilkan suatu informasi tentang keadaan (kemampuan) subjek yang dapat dibandingkan dengan suatu ukuran tertentu atau kelompok tertentu yang ditetapkan. Tes awal bertujuan untuk memperoleh data tentang kemampuan awal matematika siswa kelas V. Tes ini dikerjakan oleh subjek pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil tes awal pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dibuat peringkat diambil 27% kelompok subjek berkemampuan tinggi dan 27% kelompok subjek berkemampuan rendah.
Tes akhir (post test) akan diadakan secara terpisah terhadap masing-masing kelompok dalam bentuk tes yang sama. Data dari hasil post-test akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Tipe tes yang digunakan adalah tipe tes esai atau karangan, dengan bentuk esai terstruktur, karena tes akhir dalam bentuk permasalahan.
Saefuddin Azwar (2000: 118) selanjutnya menyatakan, bahwa beberapa pedoman yang dapat dipertimbangkan dalam pemberian skor tes tipe karangan adalah sebagai berikut: (1) buat terlebih dahulu pedoman pemberian skor yang berisi garis besar atau pokok jawaban yang dikehendaki, (2)tentukan angka atau bobot untuk setiap item yang dapat didasarkan pada banyaknya pokok jawaban atau tingkat kesukarannya, (3) sebelum melakukan pemeriksaan jawaban, sebaiknya pemeriksa tidak mengetahui siapa pemiliknya, (4) periksalah jawaban terhadap item pertama untuk seluruh siswa, baru dilanjutkan pemeriksaan terhadap nomor berikutnya. Jadi pemberian skor dilakukan siswa demi siswa untuk setiap item, bukan item demi item untuk setiap siswa. Hal ini sangat menolong pemeriksa dalam memberikan skor yang lebih proporsional pada setiap item sesuai kualitas jawaban yang diberikan, (5) jangan melakukan pemeriksaan jawaban dan memberikan skor sewaktu dalam keadaan yang tidak tenang, lelah, atau dalam keadaan tergesa-gesa.
Teknik Analisis Data
Perangkat tes yang telah disusun sangat perlu untuk diuji kelayakannya sebelum digunakan untuk penelitian. Uji kelayakan dimaksudkan agar soal-soal yang digunakan saat tes adalah soal yang baik dan berkualitas. Uji kelayakan tersebut meliputi: (1) validitas butir, ( 2) daya beda, dan (3) Reliabilitas tes.
Skor tes akhir bentuk esai yaitu pemecahan masalah, uji kelayakan yang
dilakukan adalah keterandalan/ reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha seperti halnya analisis instrumen bentuk objektif. Perbedaannya, pada item bentuk esai skornya tidak dikotomi.
Sebelum sampel diberikan perlakuan, perlu dianalisis dahulu melalui uji normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan rata. Hal itu perlu dilakukan agar penelitian berangkat dari awal yang sama. (1) Uji kesetaraan, uji kesetaraan, (2) uji normalitas, dan uji homogenitas.
Analisis Varians Dua arah
Desain faktorial dalam penelitian ini menggunakan desain faktorial 2×2, menurut Fred N. Kerlinger (2006: 496) gambaran desainya adalah sebagai berikut:
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas, dengan satu variabel aktif yaitu pendekatan pembelajaran (kreatif model Bloom dan konvensional), dan satu variabel atribut yaitu kemampuan awal matematika. Siswa dikelompokkan dalam kategori kemampuan awal matematika tinggi dan kemampuan awal matematika rendah, kemudian dimasukkan dalam b1 dan b2. Dalam memasukkan secara acak ke dalam k1 dan k2. Tahapan yang dilakukan adalah (1) Memasukan kelompok kemampuan awal matematika tinggi (b1) kedalam kelompok k1 dan k2 , (2) Memasukan kelompok kemampuan awal matematika rendah (b2) kedalam kelompok k1 dan k2. Dari tahapan tersebut dapat diasumsikan bahwa karatreistik siswa yang ada dalam kelompok k1 dan k2, sebelum eksperimen adalah sama.
Berdasar pada desain faktorial di atas, dapat diketahui cara untuk menganalisis data adalah menggunakan “(1) analisis varians dua arah, (2) Uji lanjut dengan uji Tukey” (Santosa Murwani, 2000: 60).
(1) Desain Analisis
Tabel 1. Desain AnalisisPenelitian
k2
|
k1
|
?b
|
n1 ?X11 ?X112 |
n2 ?X12 ?X122 |
nb1 ?Xb1 ?Xb12 |
|
n3 ?X21 ?X212 |
n4 ?X22 ?X222 |
Nb2 ?Xb2 ?Xb22 |
|
nk1 ?Xk1 ?Xk12 |
nk2 ?Xk2 ?Xk22 |
nT ?XT ?XT2 |
(2) Hipotesis Statistik
H0 : ?k1 = ?k2
H1 : ?k1 > ?k2
H0 : ?b1 = ?b2
H1 : ?b1 > ?b2
H0 : BxK = 0
H1 : BxK ? 0
(3) Kriteria Pengujian
Jika untuk Antar Baris Baris Fh > Ft maka ada perbedaan yang signifikan.
Jika untuk Antar Kolom Fh > Ft maka ada perbedaan yang signifikan.
Jika untuk interaksi Fh > Ft maka ada interaksi yang signifikan.
Apabila perbedaan itu ada, untuk mengetahui mana diantara , , , dan yang lebih tinggi secara signifikan, maka diadakan uji lanjut yaitu dengan uji Tukey, karena jumlah sampel tiap selnya sama.
Uji Tukye
Desain:
Tabel 2. Desain Uji lanjut
?b
|
k1
|
k2
|
n1
|
n2
|
n b1
|
|
n3
|
n4
|
n b2
|
|
n k1
|
n k2
|
|
Hipotesis statistik:
H0 : ?K1B1 = ?K1B2 ; H1 : ?K1B1 > ?K1B2
H0 : ?K1B1 = ?K2B2 ; H1 : ?K1B1 > ?K2B2
H0 : ?K1B1 = ?K2B2 ; H1 : ?K1B1 > ?K2B1
H0 : ?K2B1 = ?K2B2 ; H1 : ?K2B1 > ?K2B2
H0 : ?K2B1 = ?K1B2 ; H1 : ?K2B1 > ?K1B2
H0 : ?K1B2 = ?K2B2 ; H1 : ?K1B2 > ?K2B2
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Deskripsi data menyajikan gambaran tentang ukuran persebaran data yang telah dikumpulkan. Ukuran persebaran data yang disajikan mencakup nilai rerata (mean), nilai median, modus), dan ukuran persebaran skor, yaitu simpangan baku dan varians. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 19, 20, 21 dan 22 halaman 220 – 229.
Nilai akhir diperoleh dari hasil tes akhir yang dilakukan menggunakan instrumen soal yang telah dianalisis sebelumnya. Setelah dikumpulknn diperoleh data sebagai berikut. Kelompok eksperimen (Pembelajaran Kreatif), skor tertinggi yang diperoleh adalah 90 sedangkan skor terendah adalah 49. Dari hasil analisis diperoleh skor rata-rata dari kelompok eksperimen adalah 72,09 median sebesar 72,73 modus 74,17 simpangan baku sebesar 10,45, serta varians sebesar 109,18
Kelompok kontrol, nilai tertinggi yang diperoleh adalah adalah 88 nilai terendah adalah 38 Setelah dianalisis diperoleh skor rata-rata dari kelompok kontrol adalah 65,02 modus sebesar 67,61 median sebesar 66,11, standar deviasi sebesar 12,51 serta varians sebesar 156,43
Kelompok siswa berkemampuan matematika tinggi, nilai tertinggi yang diperoleh adalah 90 sedangkan nilai terendah adalah 45 Dari hasil analisis diperoleh rata-rata nilai dari kelompok siswa berkemampuan matematika tinggi adalah 72,96, modus sebesar 81, median sebesar 74, standar deviasi sebesar 11,57, serta varians sebesar 133,88
Kelompok siswa berkemampuan matematika rendah, nilai tertinggi yang diperoleh adalah 83 sedangkan nilai terendah adalah 38 Dari hasil analisis diperoleh rata-rata nilai dari kelompok siswa berkecakapan matematika rendah adalah 64,63, modus sebesar 66,06, median sebesar 65,43, standar deviasi sebesar 11,44, serta varians sebesar 130,80.
Kelompok siswa berkemampuan awal tinggi pada pembelajaran kreatif, nilai tertinggi yang diperoleh adalah 90 sedangkan nilai terendah adalah 55. Dari hasil analisis diperoleh rata-rata nilai dari kelompok siswa berkemampuan awal tinggi pada pembelajaran kreatif adalah 73,93, modus sebesar 80, median sebesar 75, standar deviasi sebesar 11,49, serta varians sebesar 131,99.
Kelompok siswa berkemampuan matematika rendah pada pembelajaran kreatif, nilai tertinggi yang diperoleh adalah 82 sedangkan nilai terendah adalah 49. Dari hasil analisis diperoleh rata-rata nilai dari kelompok siswa berkemampuan matematika rendah pada pembelajaran kreatif adalah 63,81, modus 59 dan 61, median sebesar 61, standar deviasi 9,56, serta varians sebesar 91,39.
Kelompok siswa berkemampuan matematika tinggi pada pembelajaran konvensional, nilai tertinggi yang diperoleh adalah 88 sedangkan nilai terendah adalah 45. Dari hasil analisis diperoleh rata-rata nilai dari kelompok siswa berkemampuan matematika tinggi pada pembelajaran konvensional adalah 67,70, modus sebesar 70, median sebesar 70, standar deviasi sebesar 9,88, serta varians sebesar 97,68..
Kelompok siswa berkemampuan matematika rendah pada pembelajaran konvensional, nilai tertinggi yang diperoleh adalah 83 sedangkan nilai terendah adalah 37 Dari hasil analisis diperoleh rata-rata nilai dari kelompok siswa berkemampuan matematika rendah pada pembelajaran konvensional adalah 63,04 modus sebesar 55, median sebesar 65, standar deviasi sebesar 11,83, serta varians sebesar 150,42. Secara sederhana deskripsi data tertera pada tabel 5 di bawah ini.
Uji Persyaratan Analisis Data
Uji Normalitas
Uji Normalitas pada Pembelajaran Kreatif
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus:
Diperoleh
Kesimpulan: Terima Ho, Jadi populasi pembelajaran kreatif berdistribusi normal.
Uji Normalitas pada Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan perhitungan diperoleh :
Kesimpulan: Terima Ho, Jadi populasi pembelajaran Konvensional berdistribusi normal
Uji Normalitas pada Populasi Siswa Berkemampuan Awal Tinggi
Berdasarkan perhitungan diperoleh
Kesimpulan: Terima Ho, Populasi siswa dengan kemampuan awal tinggi berdistribusi normal
Uji Normalitas pada Populasi Siswa Berkemampuan Awal Rendah
Berdasarkan perhitungan diperoleh
Kesimpulan: Populasi siswa dengan kemampuan awal rendah berdistribusi normal.
Uji Homogenitas
F(0,05;53;53)= 1,577
Hasil perhitungan diperoleh:
= 1,433
Kesimpulan: Fh < 1,577,
Terima Ho. Keempat populasi homogen
Pengujian Hipotesis
Analisis Varians Dua Arah
Berdasarkan perhitungan anava terlihat
pada tabel rangkuman Anava di bawah ini
Tabel 3. Rangkuman Analisis Varians
Variasi |
Jk |
db |
Rk |
Fh |
Ft |
Pembelajaran (K) |
1220,0833 |
1 |
1220,08 |
12,1048 |
3,93244 |
Kemampuan awal (B) |
1950,75 |
1 |
1950,75 |
19,3539 |
3,93244 |
Interaksi TesAwal dan Pembelajaran (KB) |
611,56485 |
1 |
611,565 |
6,06751 |
3,93244 |
Dalam Kelompok (d) |
10482,519 |
104 |
100,793 |
|
|
Total |
14264,917 |
107 |
|
|
|
Simpulan :
1. Ho ditolak, karena Fh>Ft, Jadi ada perbedaan antara pembelajaran Kreatif dan pembelajaran Konvensional
2. Ho ditolak, karena Fh>Ft, Jadi ada perbedaan antara kemampuan tes awal tinggi dengan kemampuan tes awal rendah.
3. Ho ditolak, karena Fh>Ft,, Jadi ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan awal siswa
b. Uji Lanjut
Analisis lanjut pada penelitian ini menggunakan uji Tukey, karena banyaknya data setiap sel sama. Adapun hasil perhitungan tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Rangkuman Komparasi Ganda antar sel
No |
Ho |
Qo |
Q(0,05;27) Q(0,05;54) |
p |
Kesimpulan |
1 |
H0 : ?K1B1 = ?K1B2 |
|
3,875 |
>0,05 |
Tolak Ho |
2 |
H0 : ?K1B1 = ?K2B1 |
|
3,875 |
<0,05 |
Terima Ho |
3 |
H0 : ?K2B1 = ?K2B2 |
2,412 |
3,875 |
<0,05 |
Terima Ho |
4 |
H0 : ?K1B2 = ?K2B2 |
0,399 |
3,875 |
< 0,05 |
Terima Ho |
Simpulan:
1. Pembelajaran Kreatif untuk siswa yang berkemampuan awal tinggi lebih baik daripada pembelajaran kreatif untuk siswa berkemampuan awal rendah jika diterapkan untuk pemecahan masalah matematika di kelas V SD.
2. Pembelajaran Kreatif untuk siswa yang berkemampuan awal tinggi tidak lebih baik daripada pembelajaran Konvensional untuk siswa berkemampuan awal tinggi jika diterapkan untuk pembelajaran pemecahan masalah matematika di kelas V SD.
3. Pembelajaran Konvensional untuk siswa yang berkemampuan awal tinggi tidak lebih baik daripada pembelajaran Konvensional untuk siswa berkemampuan awal rendah jika diterapkan untuk pembelajaran pemecahan masalah matematika di kelas V SD.
4. Pembelajaran kreatif untuk siswa yang berkemampuan awal rendah tidak lebih baik daripada pembelajaran Konvensional untuk siswa berkemampuan awal rendah jika diterapkan pada pembelajaran pemecahan masalah matematika di kelas V SD.
Pembahasan
Model Pembelajaran Kreatif “Bloom” menekankan pada pembelajaran berbasis pada pengembangan kognitif tingkat tinggi, utamanya analisis, sintesis, dan evaluasi. Utami Munandar menguatkan bahwa model tersebut banyak digunakan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi. Sementara model pembelajaran konvensional mengasumsikan bahwa proses pembelajaran adalah proses berlasungnya belajar di dalam kelas yang bercirikan menyandarkan pada hapalan, pemilihan informasi ditentukan oleh guru, siswa secara pasif menerima informasi dari guru. Ciri-ciri pembelajaran konvensional ini tidak membutuhkan berpikir tingkat tinggi. Pemecahan masalah merangsang dan mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir dan penalaran, sehingga pemecahan masalah matematika juga untuk meningkatkan keterampilan berpikir dan bernalar.
Sejalan dengan uraian-uraian pada paragraf-paragraf di atas, kebiasaan-kebiasan berpikir yang dilakukan siswa pada model pembelajaran kreatif dan model pembelajaran konvensional akan menghasilkan pola berpikir dan hasil belajar yang berbeda. Jadi benarlah bahwa hasil uji hipotesis menyatakan bahwa ada perbedaan pengaruh antara model pembelajaran kreatif dan model pembelajaran konvensional.Kemampuan awal sebagai seperangkat kompetensi yang dimiliki individu (siswa) yang terdiri dari berbagai latar belakang pengetahuan, akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Kemampuan awal subjek penelitian yang diperoleh dari hasil tes mata pelajaran matematika di kelas V semester genap, yang diambil 27% kelompok subjek berkemampuan awal tinggi, dan 27% kelompok subjek berkemampuan awal rendah, secara signifikan juga terdapat perbedaan pengaruh terhadap pembelajaran pemecahan masalah matematika, karena pemecahan masalah matematika memerlukan kemampuan berpikir tinggi. Anak berkemampuan tinggi memiliki kebiasaan-kebiasaan berpikir terfokus, terarah, dan mudah beradaptasi. Sebaliknya, anak –anak yang berkemampuan rendah memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berkebalikan dengan anak-anak berkemampuan tinggi
Model pembelajaran kreatif dan konvensional merupakan bentuk rekayasa pembelajaran atau proses pembelajaran yang menjadikan subjek untuk belajar. Kedua model ini memiliki karakteristik yang berbeda. Kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah yang dimiliki subjek penelitian sebagai seperangkat kompetensi individu memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda. Perbedaan proses pembelajaran dan karakterisitik yang berbeda antara kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah, dalam uji hipotesis meyakinkan adanya interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal subjek pada pemecahan masalah matematika.
Model Pembelajaran Kreatif dengan subjek berkemampuan awal tinggi menekankan memiliki ciri pembelajaran berbasis pada pengembangan kognitif tingkat tinggi, model tersebut banyak digunakan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi dan membutuhkan kemampuan subjek berpikir yang terfokus dan mudah beradaptasi secara signifikan lebih baik daripada model pembelajaran kreatif dengan subjek berkemampuan awal rendah yang memiliki cara berpikir yang sulit terfokus, dan sukar beradaptasi.
Sejalan dengan uraian paragraf sebelumnya model pembelajaran kreatif dengan subjek berkemampuan awal tinggi secara signifikan lebih baik daripada model pembelajaran konvensional dengan subjek berkemampuan rendah, karena pada pembelajaran konvensional dengan subjek berkemampuan rendah membiasakan subjek dengan hapalan, pemilihan informasi ditentukan oleh guru, siswa secara pasif menerima informasi dari guru, sehingga subjek sulit beradaptasi dan tidak terfokus.
Model pembelajaran kreatif dan model pembelajaran konvensional dengan subjek berkemampuan awal tinggi memiliki kebiasaan cara berpikir yang sama dengan model pembelajaran yang berbeda. Bagi anak-anak yang memiliki kemampuan awal tinggi model pembelajaran tidak cukup berpengaruh, sehingga model pembelajaran kreatif tidak lebih baik daripada model pembelajaran konvensional untuk siswa berkemampuan awal tinggi dengan model pembelajaran yang sama.
Model pembelajaran kreatif akan melatih anak belajar kritis, belajar menemukan, dan belajar menganalisis persoalan sehingga anak akan terbiasa memecahkan masalah. Namun karena kemampuannya terbatas, sehingga tidak mampu menyelesaiha masalah dengan waktu yang terbatas pula. Model pembelajaran konvesional membiasakan anak pasif, anak terbiasa menyelesaikan masalah sesuai contoh dari guru tidak terlatih menganalisis dan menyimpulkan. Uraian tersebut yakin bahwa model pembelajaran kreatif tidak lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional pada pembelajaran pemecahan masalah matematika untuk anak berkemampuan awal rendah.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat perbedaan pengaruh antara model pembelajaran kreatif dan model pembelajaran konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika kelas V SD. Model pembelajaran kreatif lebih baik daripada model pembelajaran konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika kelas V SD
2. Ada perbedaan pengaruh antara kelompok kemampuan awal tinggi dan kelompok kemampuan awal rendah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika kelas V SD. Siswa berkemampuan awal tinggi lebih baik daripada siswa berkemampuan awal rendah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika kelas SD.
3. Ada interaksi antara model pembelajara dengan kemampuan awal matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika. Pembelajaran kreatif dengan kemampuan awal tinggi lebih baik daripada pembelajaran kreatif dengan kemampuan awal rendah.
Pembelajaran kreatif dengan kemampuan awal tinggi tidak lebih baik daripada pembelajaran konvensional kemampuan awal tinggi Pembelajaran konvensional dengan kemampuan awal tinggi tidak lebih baik daripada pembelajaran konvensional dengan dengan kemampuan awal rendah
Pembelajaran kreatif berkemampuan awal rendah tidak lebih baik daripada pembelajaran konvensional berkemampuan awal rendah.
IMPLIKASI
1. Dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika di kelas V SD, untuk siswa yang berkemampuan tinggi cenderung lebih tepat menggunakan model pembelajaran kreatif (model Bloom) karena hasil uji hipotesis) menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan tinggi dalam hal kemampuan memecahkan masalah lebih baik daripada siswa yang berkemampuan rendah
2. Bagi siswa berkemampuan rendah pada penelitian ini lebih baik menggunakan model pembelajaran konvensional.
3. Pembelajaran kreatif lebih dapat berperan untuk mengembangkan pola berpikir anak daripada pembelajaran konvensional.
4. Sebelum mengajar, guru harus mengetahui kemampuan awal siswa, agar dapat menentukan model pembelajaran yang tepat.
5. Model pembelajaran kreatif yang tepat, mengantarkan siswa dapat berpikir konstruktif.
6. Model pembelajaran Konvensional dapat mematikan kreativitas anak.
7. Model Pembelajaran kreatif mengantarkan siswa agar dapat menemukan/ menciptakan sesuatu.
SARAN
1. Bagi para peneliti, perlu mengembangkan penelitian model pembelajaran kreatif ini, karena variabel kemampuan awal siswa, lebih tepat sebagai kovariabel, dan sebaiknya uji analisisnya menggunakan anakova.
2. Kepada para guru, bahwa penggunaan model pembelajaran kreatif Blommm membutuhkan waktu yang banyak, oleh karena itu untuk memantapkan pemahaman konsep-konsep matematika, siswa perlu diberi tugas tambahan untuk dikerjakan di luar jam belajar di kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, Anne dan Susana Urbina.1997. Psychology Testing, New York: Prentice-Hall International, Inc.
Bambang Prasetyo dan Lina Miftakhul Jannah. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Depdiknas.2008.Diakses dari http://ipotes.wordpress.com pada tanggal 09-1 – 2009
Devito, Alfred, 1989. Wellspring for Science Taching, Indiana: Creative Ventura, Inc.
E.T. Ruseffendi. 1989. Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito
Fisher, Robert, 1990. Teaching Children to Think, Maryland Avenue: Simon and Schuster Education.
Fred N. Kerlinger. 2006. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Good, L. Thomas dan Brophy, E. Jere. 1990. Educational Psychology A Realistic Approach, New York: Longman.
Guildford, JP, 1982, Psychometric Method. Delhi: McGraw Hill Publishing Co. Ltd.
Hurlock, B. Elizabeth, 1981, Child Development, Rogasuka: Mc Graw Hill.
Margaretha Mega Natalia dan Kania Islami Dewi. 2008. Seni Mengajar-kan Matematika. Bandung: Tinta Emas
M. Saekhan Muchith. 2008. Pem-belajaran Kontekstual. Semarang: Rasail Media Grup
Nana Syaodih Sukmadinata. 2007. Landasan Psikologi Proses Pen-didikan. Bandung: Rosdakarya
Noehi Nasution. 1992. Psikologi Pen-didikan. Jakarta: Depdikbud
Nurhilal,2008. Hubungan Partisipasi Sis-wa dalam PAKEM dan Motivasi Be-lajar dengan Ketuntasan Belajar IPA. Surakarta : Pascasarjana UNS.
Rose, Collin dan Malcolm J, Nichol, 1997, Accelerated Learning for The 21st Century-The Six Step Plan Unclok Your Master Mind, New York: Balacorte.
Ronald. E. Walpole. 1995. Pengantar Statistik Edisi ke 3. Jakarta: Gra-media Pustaka Utama
Ruseffendi E.T.1992. Pendidikan Ma-tematika3. Jakarta. Depdikbud.
Saefudin Azwar. 2008. Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
____________. 2000. Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Santosa Murwani. 2000. Statistik Terapan. Jakarta: UNJ
Sudjana. 1996. Metoda Statistika Edisi Ke 6. Bandung: Tarsito
Suharsimi Arikunto. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
________________.2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Sutrino Hadi. 2004. Metodologi Research Jilid 4. Yogyakarta: Andi Offset
Trisno, 2008. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Terpadu terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinaju dari Motivasi Belajar pada Siswa Sekolah Dasar. Surakarta : Pascasarjana UNS
Utami Munandar, 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta
Y. Padmono. 2002. Evaluasi Pengajaran. Surakarta: FKIP UNS.