Manajemen Konflik Reader Response Terhadap Matius 10:34-39 Tentang Cara Yesus Menata Konflik
MANAJEMEN KONFLIK
READER RESPONSE TERHADAP MATIUS 10:34-39
TENTANG CARA YESUS MENATA KONFLIK
Remelia F. Dalensang
Richard Djiko
Universitas Halmahera Tobelo
ABSTRAK
Tulisan ini lahir dari pergumulan Gereja dalam menghadapi situasi umat yang kompleks. Salah satunya ialah konflik yang hampir tidak dapat dikendalikan. Tidak dapat dipungkiri dampak konflik sering menjadi faktor utama rusaknya kerukunan dan kedamaian hidup. Manajemen konflik dibutuhkan sehingga dapat meminimalkan dampak konflik tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana cara Yesus menata konflik berdasarkan kajian biblis terhadap Matius 10:34-39. Sehingga dapat menjadi titik pijak Gereja dalam menangani konflik. Reader Response dipakai sebagai metode dalam kajian ini. Pembaca berperan aktif dalam menentukan makna teks tanpa menghilangkan ataupun menambahkan makna di luar konteks dari teks itu. Dari hasil kajian biblis ini dapat diketahui bahwa cara Yesus menata konflik ialah dengan kesetiaan, ketulusan, melepaskan keegoisan, menunjukkan kerendahan hati, saling menerima dan membuka hati bagi orang lain. Cara Yesus menata konflik dapat menjadi contoh yang baik bagi para pengikut-Nya, baik secara pribadi maupun organisasi. Yesus berupaya menata konflik secara internal yakni dari diri-Nya sendiri. Ia dapat menempatkan diri dengan baik ketika Ia berada atau pun terlibat dalam konflik.
Kata Kunci: Cara Yesus Menata Konflik, Reader Response
Pendahuluan
Konflik sering dipandang sebagai suatu hal yang merusak tatanan hidup bermasyarakat maupun bergereja. Realitanya bukan konflik yang merusak melainkan dampak dari konflik itu. Konflik dapat dikendalikan dan diatur oleh pribadi maupun kelompok yang mengalaminya. Dari kaca mata sosiolog, konflik diperlukan untuk menata kehidupan yang lebih baik. Pada dasarnya tidak ada manusia yang hidup tanpa konflik. Jika konflik itu diperlukan, maka apakah konflik harus diciptakan? Siapa yang menciptakan atau yang menjadi sumber konflik? Siapa yang bertanggung jawab untuk megendalikan atau menata konflik?
Pada saat konflik itu terjadi, orang atau pun kelompok tentunya akan berupaya menyelesaikan konflik dengan melakukan perdamaian atau rekonsiliasi. Terkadang rekonsilisasi hanya merupakan simbolisasi tanpa penghayatan atau permenungan untuk dapat menyelesaikan konflik serta dampaknya. Akhirnya, dampak dari konflik yang tidak terselesaikan dengan baik dapat membuat konflik itu berkepanjangan dan mempengaruhi hubungan satu sama lain. Karena itulah diperlukan dasar untuk menciptakan rekonsiliasi itu. Alkitab dapat menjadi dasar utama untuk terwujudnya rekonsiliasi.
Satu sisi Alkitab menyaksikan atau menceritakan tentang konflik. Namun di sisi lain, Alkitab juga dapat digunakan sebagai dasar untuk terwujudnya rekonsiliasi. Banyak bagian Alkitab yang membahas tentang konflik dan rekonsiliasi. Dalam tulisan yang singkat ini, tidak mungkin semua bagian Alkitab tersebut dibahas dan dikaji. Karena itu, tulisan ini hendak mengkaji secara khusus Matius 10:34-39, untuk mengetahui bagaimana Yesus menciptakan, mengendalikan, menata dan menyelesaikan konflik.
Metode
Tulisan ini akan mengkaji Matius 10:34-39 dengan menggunakan metode Reader Response (Respon Pembaca). Reader Response merupakan satu dari sekian banyak metode penafsiran Alkitab. Pemilihan metode ini tidak berarti bahwa metode ini paling baik dibandingkan dengan metode lain. Pada dasarnya tidak ada metode tafsir yang terbaik, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan atas metode ini ditentukan oleh objek dan tujuan penafsirannya. Metode ini dikembangkan pada tahun 1995 oleh George Aichele dan kawan-kawan.[1] Metode ini sangat menekankan peran pembaca. Pemaknaan terhadap teks ditentukan oleh nilai, sikap dan tanggapan pembaca. Dalam artian bahwa pembaca yang menentukan atau membuat makna teks.[2]
Metode tafsir membantu pembaca untuk menemukan makna teks bagi kehidupan saat ini. Penggunaan metode Reader Response dalam penafsirkan Alkitab, menuntut pembaca untuk berperan aktif dalam menentukan makna teks bagi kehidupan saat ini. Karena itu, yang dimaksudkan dengan reader atau pembaca di sini ialah orang atau pun komunitas yang membaca teks dan berupaya memaknai teks dalam konteks yang dialami saat ini. Jadi siapa saja dapat menjadi reader atau pembaca, asalkan memiliki objek dan tujuan yang jelas. Tetapi, untuk kepentingan tulisan ini maka penulis yang akan bertindak sebagai reader atau pembaca.
Pembaca dapat mengkiritisi serta mengkontekstualisasikan makna teks sesuai dengan pengetahuannya (ini juga berlaku bagi pembaca yang lain ketika hendak menafsirkan teks). Proses pembacaan terhadap teks merupakan proses penciptaan makna. Penciptaan makna oleh pembaca tentunya tidak terlepas dari konteks teks tersebut. Hal ini dilakukan agar makna teks yang dihasilkan dapat memuaskan secara intelektual. Kelemahan yang paling mendasar dari metode ini ialah subjektivitas pembaca. Karena pembacalah yang menentukan makna teks, sehingga konteks atau situasi sosial bahkan pengalaman hidup pembaca dapat mempengaruhi dalam menentukan makna teks. Makna teks pun akan beragam. Pemutlakan terhadap makna teks dapat menghasilkan sikap yang tidak adil pada wacana yang dikembangkan teks. Apa pun alasannya, pembaca tetap harus memperhatikan konteks dari teks agar kesarampangan tafsir tidak terjadi dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk maksud tersebut, maka pembaca harus menyadari bahwa dalam melakukan proses penafsiran, pembaca berinteraksi dengan teks masa lalu. Pembaca hanyalah merupakan titik pijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak ini membantu pembaca untuk memahami apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh teks. Karena itu, pembaca tidak bisa memaksa bahwa teks berbicara sesuai dengan konteks atau pun kemauan pembaca.Terlepas dari subjektivitasnya, metode ini sangat lentur dan dinamis. Tidak ada satu pun pembaca yang dapat mengklaim bahwa ia telah menemukan satu-satunya makna teks. Teks menjadi terbuka untuk dipahami dalam beragam arti, makna dan sudut pandang. Metode ini juga dapat membantu pembaca untuk menghasilkan penafsiran yang orignal tanpa tergantung pada penafsir yang lain (tafsiran atau referensi yang sudah ada).
Dalam menafsirkan teks dengan menggunakan metode ini, pembaca dapat melalui beberapa tahap:
- Pembaca bebas untuk melangkah maju atau mundur tergantung pada apa yang sedang dicari atau dipertanyakan oleh pembaca, tanpa mengabaikan konteks dari teks.
- Pembaca bisa saja memperoleh pandangan-pandangan baru atas teks yang sedang dibaca.
- Jika dalam pembacaan teks, pembaca merasa ada bagian yang hilang atau tidak jelas dalam teks, maka pembaca dapat mengisi bagian-bagian yang hilang atau tidak jelas itu, untuk memberikan rasa puas dalam membaca teks dan mengembangkannya.
- Pembaca juga bisa menyatakan ketidaksetujuannya terhadap teks yang sedang dibaca.[3]
Kajian Matius 10:34-39
Teks Terjemahan Baru
34 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. 35 Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, 36 dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. 37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. 38 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. 39 Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.
Perikop ini tdak dapat dilepaspisahkan dengan perikop sebelumnya. Kepada siapa dan pada saat apa Yesus mengatakan pernyataan-Nya itu? Penting untuk dilihat bahwa peristiwa ini terjadi pada saat Yesus melakukan pelayanan-Nya di Galilea. Sebagai seorang guru yang mengajar dan melayani, Yesus melakukan pelayanan dan pengajaran-Nya dengan cara yang berbeda dari guru-guru dan ahli Taurat pada saat itu. Ia dikenal sebagai guru yang baik, konsisten dan juga kreatif. Apa yang diajarkan-Nya, itulah yang dilakukan-Nya. Ia perhatian terhadap murid-murid dan orang-orang di sekitar-Nya. Bahkan Ia mengajar dengan sangat kreatif, karena Ia mengambil contoh kehidupan sehari-hari sehingga mudah dimengerti (misalnya lalang di antara gamdum, domba yang hilang, tentang seorang penabur dan lain sebagainya).
Sebagai seorang guru yang mengajar dan melayani, Yesus juga mempunyai murid yang dengan setia mengikuti dan menyaksikan semua pengajaran dan pelayanan-Nya. Matius melaporkan bahwa pada saat Yesus memulaikan pelayanan-Nya di Galilea, Ia memanggil murid-murid yang pertama (Mat 4:18; dan seterusnya). Selain mengajar dan melayani kepada orang banyak, Ia juga memberikan kuasa kepada murid-murid-Nya untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan (Mat 10:1). Yesus yakin murid-murid-Nya dapat melakukan atau melanjutkan pengajaran dan pelayanan-Nya. Karena itu, Ia memberikan mereka kuasa dan mengutus mereka dengan berbagai nasehat bahkan peringatan (Mat 10-11).[4]
Dengan demikian, Matius 10:34-39 merupakan pernyataan Yesus yang ditujukan kepada murid-murid-Nya. Dimana pada saat itu, Yesus hendak mengutus murid-murid-Nya untuk melakukan pelayanan dan pengajaran. Ia tidak hanya memberikan kuasa melainkan peringatan terhadap hal-hal yang akan mereka alami dalam melakukan tugas penginjilan yang dipercayakan kepada mereka. Yesus menghendaki agar murid-murid-Nya selalu siap sedia dalam melaksanakan tugas. Segala tantangan bahkan hambatan haruslah dihadapi dengan berani. Jika demikian, apa maksud perkataan Yesus bahwa”Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang”. Apakah pernyataan ini juga merupakan nasehat dan peringatan kepada murid-murid-Nya? Pernyataan Yesus ini cukup tegas dan keras. Kata “Aku” di sini jelas menunjukkan kepada Yesus. Yesus dengan tegas mengatakan bahwa kedatangan-Nya ke dalam dunia bukan untuk membawa damai melainkan pedang atau pertentangan (bdk. Luk 12:51). Yesus mengakui diri-Nya sebagai pembawa pertentangan dan pemisah. Apa makna perkataan ini kepada murid-murid-Nya?
Sepintas pernyataan Yesus ini agak membingungkan, karena bertolak belakang dari inti pelayanan serta pengajaran-Nya. Ia mengajarkan tentang kasih, perdamaian dan pengampunan. Tetapi, toh Ia sendiri mengatakan diri-Nya sebagai pembawa pertengkaran dan pemisah. Terkait dengan ini, tentunya ada beberapa penafsir yang berupaya menarik benang merah sehingga inti pengajaran dan perkataan Yesus ini dapat dipahami. de Heer berpendapat bahwa dengan mengatakan demikan, Yesus tidak menunjuk atau memaksudkan diri-Nya sebagai pembawa pertentangan dan pemisah. Perang yang dimaksudkan Yesus ialah merupakan akibat dari kedatangan-Nya ke dalam dunia. Sebenarnya kedatangan Yesus ialah untuk menciptakan perdamaian bagi manusia dan sesamanya. Tetapi, pemberitaan Injil pada dunia yang berdosa tidak mudah, sehingga mengakibatkan perang dan perselisihan.[5] Senada dengan itu, Leon Morris berpendapat bahwa Yesus datang ke dunia sebagai Raja damai, yang membawa damai bagi manusia. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Kedatangan-Nya justru membawa pedang dan pemisah yang merupakan simbol konflik. Konflik itu terjadi antara orang yang menerima dengan yang menolak Injil. Ini merupakan konsekuensi mengikut Raja damai. Intinya mengikut Yesus akan mengalami konflik dan perpecahan.[6] Dengan demikian, menurut beberapa penafsir “pedang” yang dimaksudkan Yesus ialah akibat atau konsekuensi dari pemberitaan Injil dan menjadi pengikut-Nya.
Penulis yang bertindak sebagai reader, tidak menolak pendapat beberapa penafsir. Tetapi, bagi penulis apa yang diungkapkan Yesus dalam teks tersebut bukan hanya merujuk pada akibat atau konsekuensi dari pemberitaan Injil dan menjadi pengikut-Nya. Perkataan Yesus ini ditujukan kepada murid-murid-Nya untuk meluruskan pemahaman mereka (bahkan orang banyak pada saat itu). Kalimat “Jangan kamu menyangka”, memperlihatkan bahwa ada pandangan yang berkembang pada saat itu di kalangan para murid (bahkan masyarakat pada umumnya) tentang Yesus. Yesus datang membawa damai merupakan pemahaman yang melekat di kalangan masyarakat bahkan para murid. Pemahaman ini tentunya muncul dari pelayanan dan pengajaran Yesus yang penuh kasih, kelemah lembutan, bersahabat, tidak gampang marah atau pun bertindak kasar. Yesus berupaya mengklarifikasi dengan memberikan pemahaman baru bagi mereka. Tersirat Yesus hendak menunjukkan bahwa di balik sikap penuh kasih, kelemah lembutan dan bersahabat, Ia juga memiliki sikap tegas dan tidak berkompromi terhadap hal-hal yang salah dan merugikan.
Pedang merupakan simbol konflik. Perpecahan dan pertengkaran itu akibat dari konflik. Yesus berupaya memperlihatkan sisi lain dari diri-Nya yang tidak dipahami oleh murid-murid dan masyarakat pada umumnya. Ia mengakui diri-Nya sebagai pembawa konflik dan pemisah. Sepintas tidak ada penekanan bahwa konflik dan pemisahan itu akibat dari pemberitaan-Nya. Justru Ia menekankan pada diri-Nya sendiri. Sikap dan gaya pelayanan-Nya yang menimbulkan konflik dan pemisahan. Karena tidak semua orang dapat menerima apa yang dilakukan-Nya bukan apa yang diajarkan-Nya (bdk. ayat 37-39). Memang orang tidak akan dapat memahami Yesus tanpa ajaran-Nya, karena apa yang diajarkan itulah yang dilakukan-Nya. Yesus tidak mengajarkan konflik dan pemisahan. Tetapi, sikap dan gaya-Nya itu yang menimbulkan konflik dan pemisahan. Konflik dan pemisahan ini terjadi pada orang-orang yang menolak dan merasa dirugikan oleh sikap dan gaya Yesus. Misalkan dalam ketiga Injil Sinoptik, terlihat dengan jelas bagaimana kedatangan Yesus ke dunia membawa konflik bagi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi bahkan kelompok masyarakat lain yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan Yesus.
Ada kelompok atau orang-orang tertentu yang merasa dirugikan akibat kehadiran Yesus. Yesus tidak hanya mengajarkan sesuatu yang baru melainkan melakukan hal baru yang tidak dapat diterima begitu saja oleh kaum rohaniawan Yahudi. Kaum rohaniawan itu terpaksa harus keluar dari “zona nyaman”. Mereka merasa dirugikan bahkan diremehkan dengan apa yang dilakukan Yesus. Ia berupaya merubah kebiasaan-kebiasaan buruk mereka yang merugikan masyarakat. Kaum rohaniawan itu hanya mengajarkan ajaran agama yang diselubungi kepentingan-kepentingan tertentu dan menuntut masyarakat untuk taat, tetapi mereka sendiri tidak taat terhadap apa yang diajarkan.[7] Pengajaran mereka tidak sejalan dengan tindakan mereka. Tidak hanya itu saja, tindakan mereka yang membuat strata sosial, tentunya meresahkan masyarakat kalangan menengah dan bawah. Diskriminasi terjadi di tengah masyarakat, yang kuat semakin kuat dan yang lemah semakin lemah. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada orang yang berani mengkritisi gaya hidup dan tindakan kaum rohaniawan itu. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa, hidup dalam keadaan damai tidak ada konflik, yang ada hanyalah kebisuan yang mengakibatkan konflik batin. Kebisuan itu pecah ketika Yesus hadir dengan tindakan yang tidak pernah dibayangkan oleh kaum rohaniawan. Tindakan Yesus itu menimbulkan konflik dan pemisahan bagi yang menolak serta berusaha melawan-Nya. Tindakan ini jelas sangat beresiko. Yesus tidak peduli dengan konsekuensi yang akan terjadi pada diri-Nya. Tindakan Yesus membawa konflik besar sampai Ia harus menanggung-Nya di kayu salib. Jelas bahwa “pedang” yang dibawa Yesus ialah “pedang keadilan”. Karena itu, Yesus memang datang membawa konflik bagi orang yang berlaku tidak adil, bagi yang suka mementingkan diri sendiri, bagi yang serakah dan bagi orang yang menolak-Nya.
Jika perkataan Yesus ini ditujukan kepada murid-murid-Nya ketika Ia hendak mengutus mereka, maka apa makna perkataan ini? Berdasarkan respon pembaca (dalam hal ini penulis) di atas, maka dapat dikatakan bahwa ungkapan Yesus ini hendak membekali para murid untuk melakukan pelayanan bahwa apa yang diajarkan itulah yang harus dilakukan. Mereka harus mampu untuk memecah kebiusaan ketidakadilan, keserahan dan keegoisan. Bahkan harus siap menghadapi penolakan. Pada dasarnya tindakan untuk memperjuangkan keadilan tidaklah mudah dan sangatlah beresiko, dapat menimbulkan konflik bagi yang menolak.
Menata Konflik versi Yesus
Adakah konflik yang membawa kedamaian? Bukahkan komflik sering berujung pada perpecahan atau pemisahan? Apakah konflik yang timbul akibat memperjuangkan keadilan dalam pemberitaan Injil bersifat kristiani atau mengandung nilai-nilai kristiani? Ini merupakan pertanyaan reflektif yang dapat direfleksikan secara bersama. Pada dasarnya tidak ada konflik yang membawa kedamaian. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik sering berujung pada perpecahan dan pemisahan. Itu realitas yang sering dihadapi pada masa kini. Tetapi, ketika mempelajari pernyataan dan sikap Yesus sebagaimana yang dikisahkan Matius, maka ini dapat merubah pandangan umum yang berkembang bahkan realitas yang terjadi saat ini.
Konflik timbul dengan berbagai alasan. Tetapi, pada umumnya konflik terjadi akibat kedua belah pihak (perorangan maupun kelompok) yang berselisih paham atau pun memperjuangkan kepentingan masing-masing dan memaksa orang atau kelompok lain untuk mengikuti kehendaknya. Dalam teorinya, ada banyak jenis konflik. Mieu mengelompokkanya dalam 6 (enam) bagian: 1) Konflik laten, seperti “bom waktu” konflik ini tidak nampak (masih dapat dikendalikan) tapi pada waktu tertentu dapat meledak,; 2) Konflik terbuka, yang secara terang-terangan muncul melalui permusuhan dari orang atau pun pihak-pihak yang bertikai; 3) Konflik langsung, orang atau pihak-pihak yang bertikai berhadapan langsung untuk saling manghalangi demi mencapai tujuan masing-masing; 4) Konflik tidak langsung, orang atau pihak-pihak yang bertikai tidak berhadapan langsung tetapi tetapi saling menghalangi untuk mencapai tujuan masing-masing; 5) Konflik tanpa kekerasan, yang mana tidak berujung pada kekerasan fisik hanya berupa konflik gagasan, nilai dan norma; 6) Konflik kekerasan, menggunakan kekerasan untuk menjatuhkan bahkan menghancurkan lawan.[8]
Dalam kehidupan bermasyarakat maupun bergereja, konflik tidak dapat dihindari. Gereja sebagai sarana pewartaan Injil sering menjadi sumber maupun sasaran konflik. Dalam keadaan yang demikian, Gereja ditantang untuk menata konflik sehingga misi Allah dapat terus dikumandangkan. Gereja haruslah menjadi agen perdamaian. Konflik yang terjadi di kalangan Gereja tidak dapat dianggap sebagai konflik kristiani atau pun yang mengandung nilai-nilai kristiani. Sebab, bisa saja konflik itu sengaja diciptakan untuk memperjuangkan kepentingan orang atau kelompok tertentu. Pada umumnya, orang Kristen menjadikan kehidupan jemaat mula-mula sebagai contoh kehidupan yang penuh kasih dan saling berbagi tanpa konflik. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Rumbi. Dalam penelitiannya pada Kisah Para Rasul 2:41-47, ia menemukan bahwa adanya konflik dalam kehidupan jemaat mula-mula yang hampir berujung pada perpecahan. Secara historis, jemaat mula-mula diperhadapkan dengan situasi krisis karena adanya penindasan dari penguasa Romawi. Harta milik mereka disita, mereka dikucilkan bahkan terancam hukuman mati. Diperhadapkan dengan situasi yang demikian, Lukas menawarkan 2 (dua) solusi sebagai bahan pertimbangan; 1) bagi jemaat yang diperhadapkan dengan pilihan untuk melepaskan iman atau harta milik, maka ia mengusulkan untuk melepaskan harta milik; 2) bagi jemaat yang berkecukupan disarankan untuk menyumbangkan harta milik mereka untuk jemaat lain yang kehilangan harta akibat mempertahankan iman kepada Kristus. Diperhadapkan dengan pilihan tersebut dapat diduga bahwa jemaat mula-mula mengalami konflik, meskipun dalam teks tidak dikisahkan. Tetapi dari teks-teks sebelum dan sesudahnya, nampak bahwa jemaat mengalami konflik laten.[9]
Konflik itu ada pada jemaat mula-mula, tetapi dapat dikendalikan. Dalam ulasannya, Rumbi menemukan beberapa cara jemaat mengendalikan konflik yakni dengan pertobatan dan pembaruan, bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, pertemuan intensif dan komunikasi, menumbuhkan kesehatian, serta saling mengunjungi.[10] Cara-cara ini dapat dilakukan dengan kesetiaan, ketulusan, melepaskan keegoisan, menunjukkan kerendahan hati, saling menerima dan membuka hati bagi orang lain. Cara inilah yang dilakukan Yesus dalam menata konflik. Ia mengakui diri-Nya sebagai sumber konflik bahkan membiarkan diri-Nya menjadi korban konflik untuk pendamaian. Yesus berhasil mengendalikan konflik dengan cara-Nya sendiri, yang tentunya tidak mudah. Ia adalah sumber konflik tapi Ia juga mampu untuk mendamaikan konflik tersebut. Pendamaian terjadi ketika Yesus menerima orang yang menolak-Nya, ketika Ia dengan rendah hati membuka ruang komunikasi dengan orang yang menolak-Nya, melakukan pertemuan yang intensif meskipun sering terjadi ketegangan tetapi Ia dapat mengendalikan diri,[11] ketika Ia dengan setia melakukan kehendak Bapa-Nya untuk memperjuangkan keadilan,[12] ketika Ia dengan tulus memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas bahkan rela mengorbankan diri sampai mati.[13] Kesetiaan, kerendahan hati dan ketulusan Yesus yang menjadi kunci suksesan-Nya mengendalikan, menata dan menyelesaikan konflik.
Penutup
Konflik menjadi ancaman bagi kenyamanan, kedamaian dan kerukunan hidup manusia. Itulah sebabnya manusia berupaya untuk terhindar dari konflik. Tetapi, kenyataannya manusia tidak dapat menghindar dari konflik. Konflik dapat terjadi kapan dan di mana saja, yang dibutuhkan ialah keterampilan mengolah, mengendalikan dan menata konflik. Tentunya setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mengolah dan menata konflik. Cara Yesus mengolah dan menata konflik dapat menjadi contoh yang baik bagi para pengikut-Nya, baik secara pribadi maupun organisasi. Yesus berupaya menata konflik secara internal yakni dari diri-Nya sendiri. Ia dapat menempatkan diri dengan baik ketika Ia berada atau pun terlibat dalam konflik. Orang Kristen sebagai pribadi dan Gereja sebagai organisasi ditantang untuk dapat menunjukkan sikap dan cara dalam menata konflik. Ini menjadi catatan reflektif bagi kita secara bersama. Ketika kita diperhadapkan dengan situasi yang mengancam kenyamanan, kedamaian dan kerukunan hidup, maka sikap Yesus ini dapat menjadi teladan bagi kita untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan.
Daftar Pustaka
Amaladoss Michael, “Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus”, dalam Wajah Yesus di Asia, Ed. R. S Sugirtharajah, terj: Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Banawiratma. B. J, “Kristologi dalam Pluralitas Religius”, dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi 13, 2006
Kwok Pui Lan, “Racism and Ethnoccentrism in Feminist Biblical Interpretation”, dalam Searching the Scriptures A Feminist Introduction, Ed. by, Elizabeth S Fiorenza, (New York: Crossroad, 1993)
Malik J Alexander, “Mengakui Kristus dalam Konteks Islam”, dalam Wajah Yesus di Asia, Ed. R. S Sugirtharajah, terj: Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Panikkar. R, Dialog Intra Religius, Ed. By A Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
Philips Gerardette, Beyond Pluralism: Open Integrity As A Suitable Approach To Muslim-Christian Dialogue, (Yogyakarta: Interfidei, 2013)
Pieris John, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Analisa Kritis Aspek Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Keamanan, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004)
Ruck Anne, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)
Schumann Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: Grasindo, 1992)
Subandrijo Bambang, Eikon and Ayat: Points of Encounter Between Indonesia Christian and Muslim Perpectives on Jesus, pada Vrije Universiteit Amsterdam
Tindage Rudi, Damai Yang Sejati: Rekonsiliasi di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi, (Jakarta: Yakoma
[1] Daniel K. Listijabudi, The Gospelin Solentiname: Sebuah Upaya Memaknai Teks dari Respon Pembaca, Artikel dalam Jurnal Teologi UKDW journal-theo.ukdw.ac.id, Yogyakarta, 2006, h. 1
[2] Daniel K. Listijabudi, The Gospelin Solentiname, h.4
[3] Ricoeur, Paul. Terj.Mausnur Henry. Teori Interpretasi. Jogjakarta: IRCiSoD, 2012, h. 93
[4] Katarina & Krido Siswanto, Keteladanan Kepemimpinan Yesus dan Implikasinya Bagi Kepemimpinan Gereja Pada Masa Kini, Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, Volume 2, Nomor 2, Juli 2018, h.93
[5] de Heer, J. J, Tafsiran Injil Matius Pasal 1-22, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, h.34
[6] Leon Morris, Tafsiran Injil Matius, Surabaya: Momentum, 2016, h.25
[7]Bdk. Sarah Andrianti, Yesus, Taurat dan Budaya, https://www.sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/viewFile/51/50, 2013, h. 4-5
[8] W.C.J Mieu, Merajut Manajemen Konflik dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia, ed. A. Eddy Kristiyanto dan William Chang. Jakarta: Komisi Teologi KWI-Penerbit Obor, 2014, h.15
[9] Frans Paillin Rumbi, Manajemen Konflik dalam Gereja Mula-Mula: Tafsir Kisah Para Rasul 2: 41-47, Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Volume 3, Nomor 1, Januari 2019, h.11
[10] Frans Paillin Rumbi, Manajemen Konflik.., h. 16-18
[11] Matius 16:1-4; 21:23-27; 22:15-46; 23:1-36
[12] Matius 16:21-28; 17:22-23; 20:17-19; 26:1-5
[13] Matius 26:47-75; 27:1-61