MEMAHAMI KEHADIRAN SISWA SEBAGAI SUBJEK PENDIDIKAN BERDASARKAN PEMIKIRAN MARTIN BUBER

 

Pranazabdian Waskito

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Umbu Tagela

Dosen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

 

ABSTRAK

Pemahaman guru akan siswa sebagai subjek di dalam pendidikan diperlukan. Pertanyaan, “apakah manusia itu?” diperlukan untuk menciptakan proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Artikel ini menggunakan pemikiran filsafat Martin Buber untuk memahami siswa sebagai subjek pendidikan. Pemikiran Aku-Engkau dapat untuk menciptakan relasi antar subjek dalam pendidikan. Relasi ini akan menciptakan dialog yang memanusiakan antara guru dengan siswa, serta memunculkan kesadaran bahwa mendidik adalah panggilan. Siswa sebagai pribadi utuh mendapatkan perhatian khusus.

Kata kunci : Subjek Pendidikan, Guru-Siswa, Relasi, Aku-Itu, Aku-Engkau, Dialog.

 

Pendahuluan                                                            

Pemahaman guru terhadap hakekat siswa sebagai manusia dibutuhkan. Kekurangpahaman guru memandang manusia di dalam mendidik berakibat pada gagalnya pendidikan. Guru yang tidak memiliki dasar pemahaman siswa sebagai manusia secara utuh akan menyebabkan pada cara mengajar siswa, cara membangun relasi dengan siswanya, cara menghargai siswa, dan cara mengevaluasi proses pendidikan yang telah diberikan. Bahkan, dapat juga guru melihat siswa sebagai ancaman bagi dirinya. Alih-alih, siswa yang didik juga tidak merasakan pendidikan yang dapat ‘mengena’ hatinya.

Pada dasarnya, siswa di dalam pendidikan bukanlah objek. Siswa bukan objek karena siswa adalah manusia yang dinamis, memiliki daya cipta, dan dapat berkembang. Jika siswa dianggap objek, maka dapat diandaikan siswa bukanlah manusia, melainkan makhluk lain. Tumbuhan dan hewan memang dinamis, tetapi tidak memiliki ke-khasan, yakni akal budinya. Beda halnya dengan manusia. Siswa punya akal budi dan dapat menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Pendidikan sebagai proses melihat siswa adalah subjek.

Jika siswa sebagai subjek di dalam pendidikan, maka guru perlu berusaha di dalam mendidik agar siswa tetap berada posisinya sebagai subjek. Usaha memanusiakan manusia di dalam pendidikan sangatlah penting. Usaha memanusikan manusia ini dinamakan humanisme. Humanis menjadikan sesama manusia adalah sahabat bagi manusia yang lain (Mudji Sutrisno, 2014: 118). Humanisme di dalam pendidikan berarti, benar-benar menghargai sesama sebagai manusia yakni siswa itu sendiri.

Usaha mendidik juga merupakan suatu relasi antar manusia (suatu interaksi), di mana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (interaksi pendidikan) sama-sama punya kepentingan untuk membuat situasi itu bermakna (Umbu Tagela, 2006: 7).

Mendidik, bukanlah sebatas masuk kelas lalu hanya memberikan soal-soal dan tugas. Materi yang disampaikan guru jika perlu hingga dapat menyentuh hati siswa. Relasi antar guru dan siswa yang utama, bukan materi yang diberikan.

Guru dapat berefleksi dengan mulai bertanya “apakah manusia itu?” kemudian, “bagaimana mencipatkan relasi dengan manusia?”. Pemikiran filsuf Martin Buber dapat dijadikan landasan guru untuk menciptakan relasi yang dapat memanusiakan manusia. Usaha untuk menjadikan subjek pendidikan dapat ditinjau dari pemikiran Martin Buber. Maurice Friedman dalam pengantar menjelaskan Buber’s anthropology for therories of knowledge, social philosophy, language and speech, art, education, and psychotherapy (Buber, 1965: xx). Pada artikel ini batasan ada di pendidikan, yakni siswa sebagai subjek dan implikasinya bagi pendidik, yaitu dalam relasinya dengan si-subjek itu sendiri. Buber memandang manusia sebagai pribadi yang utuh dan berusaha mencoba menyentuh manusia itu dengan sebuah relasi.

Subjek Pendidikan

Menurut Umbu Tagela (2006: 19) pendidikan adalah kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan tentang manusia. Titik tolak di dalam pendidikan menempatkan manusia sebagai subjek.

Manusia sebagai subjek artinya tidak takluk kepada hukum-hukum alam, sehingga manusia bebas memberi bentuk kepada bahan-bahan, sedangkan di sisi lain, binatang merupakan objek (hal. 15).

Perbedaan antara manusia dengan mahkluk lainnya sangatlah jelas. Manusia sebagai subjek pendidikan adalah mahkluk ciptaan yang memiliki tanggung jawab.

“Kualami diriku berdiri sendiri, suatu identitas tersendiri, bukan melulu suatu penampakan dari suatu keseluruhan. Kualami diriku sebagai pusat tersendiri, bertindak sendiri, menyetujui atau menolak argumentasi orang lain. Aku sendiri yang memilih di antara kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Aku memutuskan dan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatanku. Aku dipuji, dicela, dihukum dan karena orang lain pun mengakui aku bebas dan bertanggung jawab. Bukan alam yang membuat aku bergerak dan bertindak. Tanggung jawabku tidak dapat digeser kepada sesuatu yang bukan aku. Aku berbicara dengan kamu dan kamulah yang menjawab. Bukan alam yang memberikan jawaban atas pertanyaanku. Apabila kamu semakin berdiri sendiri, maka jawabanmu pun semakin original dan serba baru (Snijders, 2014: 85).”

Siswa tidak dapat dianggap siswa jika tidak ada guru. Sebaliknya, guru, tidak dapat menjadi siswa jika tidak ada guru. Maurice Friedman memaparkan man becomes man with the other self (Buber, 1965: xviii). Guru perlu memahami hadirinya sesama, yaitu siswa, menganggap sebagai subjek pendidikan, bukan objek di tiap situasi. Bukan hal yang mudah, melainkan perlu pemahaman dan refleksi.

Kalimat Martin Buber “all real is meeting! (Buber, 1958: 11)” menjadi patokan. Realitas pada proses mendidik adalah proses pertemuan. Kehadiran guru tidak dapat digantikan dengan apapun karena jika begitu akan dianggap tidak sesuai dengan kenyataan (realita). Maka, guru pun tidak dapat meniadakan siswa-siswa yang ada dihadapannya. Mutlak, hubungan dengan sesama perlu dimunculkan.

Bahasan kehadiran sesama yakni siswa perlu dilihat secara jeli. Penulis menghadirkan beberapa pandangan tokoh yang membahas kehadiran sesama untuk menciptakan kerangka berpikir yang lebih luas dan mendalam. Gabriel Marcel, Emanuel Levinas, Martin Buber akan terlebih dahulu dibahas dibagian awal untuk semakin mendalami arti sesama sebagai subjek pendidikan yakni, siswa.

Sesama manusia dalam hal ini siswa merupakan suatu-multi dimensi. Gabriel Marcel, filsuf setelah Buber yang membahas hubungan antar manusia membahas arti kehadiran sesama secara penuh. Menurut Marcel,

…Hubungan manusia dengan sesamanya, yang berkuncikan kata-istilah “kehadiran” (presence, yang sebenarnya juga dapat berarti: “kesadaran penuh untuk memperhatikan/mendengarkan orang lain”, jadi juga “bersikap tenang”, “simpatik”; lawannya absence, tak memberikan komentar apa-apa, tidak hadir, atau juga bisa berarti: masa bodoh acuh tak acuh, tak peduli) (Slytto, 1988: 26).

Siswa sebagai subjek pendidikan berdasarkan pandangan Marcel, terkait mengganggap bahwa siswa itu ada bersama-saa dengan guru. Relasi yang diciptakan timbal balik. Guru dengan penuh ketenangan dan kewibawaan berusaha mencapai relasi tersebut. Justru dengan inilah ungkapan guru menjadi guru karena ada siswa, dan siswa ada guru maka disebut siswa. Terjawablah hubungan ini dari subjek atau antar subjek untuk berpartisipasi (Snijders, 2014: 46). Guru dan siswa bersama-sama menciptakan iklim mendidikan secara aktif dan antusias, saling memanusiakan, sebagai contoh dalam latar proses mengajar di kelas.

Emmanuel Levinas justru menganggap wajah sesama (siswa) sebagai seruan etis (Snijders, 2014: 49-50). Manusia menemukan sesamanya dalam “wajah telanjang” yang mengatakan, “terimalah aku dan jangan bunuh aku”. Pada pendidikan dapat diterjemahkan siswa yang berkata, “ini aku, terimalah aku, didiklah aku!” Memahami siswa dari pandangan Levinas justru meniadakan keunikan dan kekhasannya, karena tahu bahwa memahami itu hal yang tidak mudah. Fokus terhadap sesama pada pemikiran Levinas mewajibkan dan mutlak. Wajah sesama perlu diakui sebagai tuan. Siswa, berdasarkan pemikiran Levinas mendapatkan tempat yang khusus. Sebagai pribadi, wajah-wajah siswa membutuhkan pengakuan.

Martin Buber sendiri menganggap orang lain sebagai anak kecil yang butuh untuk dibantu, dengan posisi ini manusia menyentuh dan membantu orang lain seperti anak yang membutuhkan bantuan (Hia, 2014: 307). Siswa seperti anak kecil yang butuh dibantu dalam pendidikan. Maka, Levinas melengkapi hal itu dengan mengatakan bahwa siswa itu wajib untuk dibantu. Dari sudut pandang pendidik, guru justru dipanggil untuk mengorbankan diri tanpa mengharapkan apa-apa karena harus menerima siswa. Itulah pemikiran Levinas dinamakan sebagai seruan etis (Snijders, 2014: 49-50).

Pandangan manusia sebagai subjek pendidikan secara utuh mutlak untuk menjadi bahan perenungan dan refleksi. Pandangan subjek pendidikan ini yang akan menjadi dasar untuk mendidik. Relasi dibutuhkan sebagai jembatan mendidik. Memanusiakan siswa merupakan tujuan dari relasi yang diciptakan. Untuk itu Martin Buber mengkontradiksikan dua gagasan penting tentang relasi. Gagasan pertama, relasi I-It (Aku-Itu). Kedua, adalah relasi I-Thou (Aku-Engkau). There is no I taken it itself, but only the I of the primary word I-Thou and the I of the primary word I-It (Buber, 1958: 4).

Aku-Itu

Relasi yang pertama adalah I-It, Aku-Itu. It merupakan kata ganti benda. Relasi ini sesama diperlakukan sebagai objek, atau lebih tepatnya menganggap sesama sebagai benda, tak bernyawa, tak berkembang, pasif dan bebas untuk diperlakukan secara semena-mena. Kata ganti seseorang dijadikan dengan Itu. Relasi ini bukan sebagai relasi yang utuh. Menurut Buber (1958: 3) menyatakan the primary word I-It can never be spoken with the whole being. Bahkan,

Sesamaku kuperlakukan seperti benda saja. Aku menggunakannnya sejauh Ia beruntuh bagiku. Aku mau membentuk Dia sesuai dengan kehendakku… Aku tak menghiraukan diri sesama sebagai unik dan otonom… (Snijders, 2014: 47).

Relasi ini sungguh tidak memanusiakan siswa. Guru semaunya sendiri dalam mendidik, tidak mau menghargai keunikan proses yang terjadi pada siswanya. Kreatifitas dapat padam. Pendidikan terasa hanya sekedar formalitas dan rutinitas belaka yang membosankan. Bahkan, relasi ini dapat memunculkan kebencian dari siswa yang haus akan didik.

Aku-Engkau

Sebelum masuk ke Aku-Engkau, menurut Snijders (2014: 47-48) ada relasi sebagai pengantara yakni, I-He/She atau Aku-Dia, tetapi relasi ini bersifat anonim tidak membenci dan tidak mencintai atau acuh tak acuh. Contohnya, hubungan antara orang dengan penjual karcis, yang tak mengenal siapa pribadi penjual karcis. Proses pendidikan, tidak menganjurkan relasi ini, walaupun secara fakta terjadi di dalam kelas-kelas yang pasif dan semu. Proses mendidik mengenal siswa sebagai pribadi utuh.

Pengenalan siswa sebagai pribadi dikategorikan sebagai relasi kedua, I-Thou, Aku-Engkau. Engkau sebagai subjek. Manusia sebagai pribadi, bukan benda. Siswa sebagai pribadi yang unik dan berkembang. The primary word I-Thou can only be spoken with the whole being (Buber, 1958: 3). Keutuhan proses pendidikan terjadi pada relasi ini. Snijders (2014: 48) menjelaskan manusia sebagai pribadi ingin diakui dalam keunikan dan kekhasannya. Siswa diangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia. Relasi ini dalam kebersamaan yang penuh cinta. Tanpa cinta pendidikan menjadi mustahil.

Menurut Hia (2014: 310-311), relasi Aku-Engkau akan mengangkat kelebihan dari manusia. Pada pendidikan siswa akan dianggap mampu berelasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan benda, dan dengan dunia luarnya untuk menemukan keutamaan hidup. Moralitas muncul ketika mencoba mendidik siswa dengan relasi Aku-Engkau, yakni tumbuhnya moralitas itu sendiri pada siswa yang dapat berguna untuk hidup siswa kelak. Relasi Aku-Engkau perlu dijaga pada proses mendidik, terlebih lagi pada proses kehidupan.

Dialog Guru-Siswa

Pendidikan tak lepas dari relasi. Guru berelasi dengan siswa. Siswa berelasi dengan guru. Pendidikan bukan hanya satu arah, melainkan dua arah. Sebuah dialog muncul. Dialog antar guru-siswa adalah hal yang mesti ada di dalam pendidikan. Relasi Aku-Engkau menjadi dasar. Menurut Buber (1958: 132),

“I-Thou relationship now comes to an end or assumes the quite different character of a friendship, it is plain that the specifically educative relation as such is denied full mutuality.”

Kesejajaran relasi antar subjek ini yang menghasilkan suatu dialog di dalam pendidikan atau di kelas saat proses pembelajaran berlangsung. Guru tidak hanya berbicara satu arah, melainkan melibatkan siswa juga. Sebagaimana Feurbach, filsuf yang mempengaruhi Buber menyatakan, true dialectic is not a monologue of the solitary thinker with himself, is a dialoge between I and Thou (Buber, 1965: 27). Komunikasi menjadi dua arah saling timbal balik dan mutual berkat relasi Aku-Engkau. Relasi ini juga hangat dan bersahabat.

Dialog yang terjadi juga bukan dialog secara dibuat-buat atau rekayasa. Tapi benar-benar murni dari perasaan dan pikiran yang muncul. Guru benar-benar mendengarkan siswa secara utuh dan penuh, lalu merespon secara tepat dan menyentuh juga. Kehangatan relasi ada di dalam dialog ini, maka Buber (hal. 19) dapat mengatakan, there is genuine dialogue. Pada dasarnya dalam pendidikan relasi antara guru dan siswa harus benar-benar murni. The relation in education is one of pure dialogue (hal. 98). Kemurnian relasi inilah yang membuka mata guru untuk melihat keunikan dan kekhasan siswa yang begitu luas dan susah terselami.

Menurut Buber, kesadaran yang kurang yang akan merusak dialog. Becoming aware, The limits of the possibility of dialogue are the limit s of awareness (hal. 10). Kesadaran ini dimunculkan melalui refleksi dan perenungan tiaps saat akan “apakah manusia itu?” untuk kembali memunculkan relasi Aku-Engkau yang telah tenggelam. Kembalinya relasi Aku-Engkau akan memunculkan kemurnian dalam dialog. Untuk menjaga kemurnian secara saksama dibutuhkan kondisi sadar seorang guru.

Sebuah Panggilan

Buber (1958: 28) menyatakan throught the Thou a man becomes I. Hanya karena ada siswalah guru dapat berfungsi secara utuh. Fuad Hassan (2014: 293) menafsirkan pemikiran Buber yaitu “tidak ada Aku yang ada pada sendirianya, suatu Aku hanyalah menjelma berhadapan dan bersama dengan suatu Kau.” Siswa-siswa ini yang mengakibatkan terpanggilnya jiwa guru untuk mendidik. Eksistensi siswa juga dijadikan dasar untuk menciptakan relasi yang memanusiakan.

“Relation is mutual. My Thou affect me, as I affect it (Martin Buber, 1958: 15).”

Siswa ibarat berteriak, “didiklah aku!” Karena itu, menjadi guru merupakan sebuah panggilan bagi sesama yakni siswa itu sendiri, sebagaimana Menurut Snijders (2014: 35-37) “Aku menjadi Aku karena Kamu, Aku dipanggil menjadi Aku-bagi-Kamu.”

 

Implikasi bagi Pendidikan

Menurut Buber (1965: 84), education must become a reality. Maksud dari realita Buber adalah menjadi sadar akan hubungan antar manusia sebagai subjek pendidikan itu sendiri yang seringkali dilupakan terlebih saat pengajaran. Realitas yang ada juga dapat diterjemahkan dengan beragam keunikan dan kekhasan tiap peserta didik. Apapun kondisi peserta didik, relasi yang memanusiakan tetap menjadi suatu yang perlu dilakukan karena relasi ini adalah prinsip utama. A principle of education, in a sense still to be clarified, can only be a basic relation which is fulfilled in education (hal. 93). Relasi diciptakan berdasarkan realitas. Benar-benar asli, murni, dan apa adanya, tidak dibuat-buat, tetapi bersifat memanusikan pribadi siswa.

Tentunya pendidikan dengan mengutamakan relasi ini akan tergerus dengan kemajuan teori-teori pendidikan yang modern. Jika pendidikan terbawa tanpa memiliki kekuatan dasar relasi akan sia-sialah pendidikan itu. Tidak ada proses memanusiakan manusia. Buber menggambarkan teori pendidikan modern,

“Modern educational theory, which is characterized by tendencies to freedom, misunderstands the meaning of this other half, just as the old theory, which was characterized by the habit of authority, misunderstood the meaning of the first half (hal. 89).”

Pribadi siswa tetap diutamakan pada proses mendidik, antara pribadi siswa dan guru. Pribadi dipandang sebagai suatu keseluruhan yang utuh. Sedangkan, guru juga tak boleh lupa mendidik dirinya sendiri menjadi semakin manusiawi.

The education of men by men means the selection of the effective world by a person and in him. The educator educates himself to be their vehicle (hal. 101);… but his concern is always the person as a whole (hal.104).

Beradasarkan pemikiran Buber, hanya relasi Aku-Engkau yang dapat mendidik siswa menjadi digdaya. Guru memerlukan perenungan dan refleksi agar relasi Aku-Engkau terus hidup dan menciptakan harmonisasi dalam pendidikan.

Penutup

Martin Buber mengajak guru berefleksi dalam proses mendidik dengan kembali ke dasar awal konsep relasi dasar yang jarang dibahas. Menciptakan relasi Aku-Engkau. Relasi dasar ini mengandaikan siswa sebagai subjek pendidikan sebagai Engkau, yakni pribadi yang utuh dan unik serta khas. Tantangan guru saat ini adalah kemajuan proses mendidik yang tergerus oleh kemajuan teknologi yang menggantikan dasar relasi dengan alat-alat canggih. Tentunya, kemajuan ini menjadi bahan renungan para guru untuk kembali menciptakan dialog yang murni dan asli sebagaimana Buber pikirkan. Tantangan berikutnya adalah keunikan dan kekhasan yang tak terpahami dari tiap peserta didik, sehingga Levinas tidak mengakui keberbedaan dan keunikan mutlak (Snijders, 2014: 50). Martin Buber hanya mengajak membangun relasi yang baik dan hangat dengan siswa. Cukup membangun relasi Aku-Engkau. Tetapi menciptakan relasi ini juga tidak mudah.

Relasi dasar guru-siswa adalah relasi yang asli. Guru juga perlu mengingat keterpanggilan dirinya untuk mendidik siswa-siswanya yang berteriak, “ini aku, didiklah aku!” Jika guru sadar akan panggilan, maka perenungan hakekat siswa sebagai subjek didik terus menjadi pergumulan hingga dapat benar-benar menjadi realitas, yakni dilakukan terhadap siswanya. Harkat dan martabat siswa sebagai pribadi yang utuh benar-benar dihargai melalui relasi Aku-Engkau. Relasi ini humanis, memanusiakan siswa. Setiap pertemuan antara guru dengan siswa menjadi nyata, seperti yang dikatakan Buber (1958: 11), “all real is meeting!”

DAFTAR PUSTAKA

Buber, Martin. (1958). I and Thou. New York: Charles Scribner’s Sons.

Buber, Martin. (1965). Between Man and Man. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Hassan, Fuad. (2014). Psikologi-Kita & Eksistensialisme: Pengantar Filsafat Barat, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Kita dan Kami. Depok: Komunitas Bambu.

Hia, Robeti. (2014). Konsep Relasi Manusia Berdasarkan Pemikiran Martin Buber. Melintas, 30.3.2014, 303-322.

Mudji Sutrisno. (2014). Membaca Rupa Wajah Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Slytto, Frans Syuni. (1988). Arti dan Prototipe Kehadiran Sesama Menurut Gabriel Marcel. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Snijders, Adelbert. (2014). Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Umbu Tagela. (2006). Pengantar Pendidikan. Salatiga: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP UKSW & Widya Sari Press.