MENYOAL DISAIN MATERI PEMBELAJARAN

DI PERGURUAN TINGGI

Jefry Oxianus Sabarua

Dosen FKIP-Universitas Halmahera di Tobelo

Materi pembelajaran merupakan suatu bahan ajar yang disajikan dosen untuk diolah dan kemudian dipahami oleh mahasiswa dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, materi pembelajaran merupakan salah satu unsur atau komponen yang penting artinya untuk mencapai tujuan.

Dalam tautan makna yang sama Subroto (1997) menga-takan, “materi pembelajaran merupakan gabungan antara penge-tahuan, ketrampilan dan sikap”.

Kualitas materi pembelajaran ditentukan oleh value contribution objective, artinya seberapa besar sumbangan materi terhadap pencapaian tujuan. Materi pembelajaran yang dipilih untuk mengajar harus mengacu pada tujuan. Namun tidak berarti PBM nyaris tanpa pengembangan, sebab pengembangan materi juga harus dipersiapkan oleh dosen, baik dalam bentuk pendalaman, perluasan maupun yang sifatnya nutturant effect.

Dalam hubungan dengan hal tersebut di atas, Arikunto (1983) mengatakan, dasar yang dipakai dalam memilih materi pembelajaran adalah: “(1) Tujuan, (2) Keadaan mahasiswa, (3) Situasi setempat, dan (4) Tersedianya waktu dan fasilitas”.

Lebih lanjut Samana (1992) mengatakan bahwa, dasar pemilihan materi pembelajaran adalah: “(1) Tujuan Instruksional, (2) Tingkat perkembangan dan intelektual, (3) Pengalaman dan (4) Alokasi waktu”.

Problem yang dihadapi dosen adalah begitu banyaknya materi yang harus diajarkan dengan waktu yang terbatas. Di samping masalah tersebut, para dosen juga sering mengalami kesulitan di dalam mengorganisasikan materi pembelajaran yang akan diajarkan.

Berkenaan dengan hal tersebut Ibrahim dan Syaodin (1991/1992) mengemukakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan materi pembelajaran yaitu: “(1) Tujuan peng-ajaran, (2) Pentingnya bahan, (3) Nilai praktis, (4) Tingkat perkembangan mahasiswa dan (5) Tata urutan”.

Sebagai salah satu komponen sistem instruksional, materi pembelajaran menduduki posisi yang penting sekali. Dengan materi-materi inilah pada akhirnya mahasiswa berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Telah dikatakan di depan bahwa antara materi pembelajaran dan tujuan instruksional terdapat hubungan yang erat sekali. Apabila tujuan telah diturunkan dari tujuan-tujuan yang lebih besar dan tujuan yang paling atas diturunkan dari kebutuhan/masalah yang akan diatasi, maka kegiatan yang segera harus diselesaikan adalah perumusan materi pembelajaran.

Seberapa luas dan banyak materi yang harus dipelajari mahasiswa tergantung pada seberapa luas lingkup tujuan yang harus dicapai. Pada gilirannya lingkup tujuan instruksional akan ditentukan oleh besar kecilnya sistem instruksional yang dirancang/dikembangkan.

Besar kecilnya sistem istruksional tersebut tak dapat dile-paskan dari besar kecil serta luas lingkup permasalah-an/kebutuhan yang harus diatasi.

PENENTUAN MATERI PEMBELAJARAN

Reigeluth dan Merrill (1974) mengatakan bahwa teori perencanaan instruksional berurusan dengan 4 aspek pembelajaran yaitu:

–     Cara-cara mengorganisir pembelajaran

–     Cara-cara menyajikan/menyampaikan pembelajaran

–     Cara-cara memotivasi mahamahasiswa, dan

–     Cara-cara mengelola kegiatan pembelajaran.

Penentuan materi-materi apa yang harus dipelajari adalah satu dari keempat aspek tersebut (aspek pertama).

Penentuan ini tak dapat dilepaskan dari tujuan dan masalah yang diatasi, karena ketiganya harus sinkron dan ajeg. Apabila tujuan belum dirumuskan, materi pembelajaran dapat ditentukan lewat analisis tugas. Kegiatan analisis ini bisa dilakukan di berbagai tingkat.

Tugas yang dianalisis bisa berarti tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk melaksanakan pekerjaan (job) tertentu atau bisa juga tugas dalam arti kegiatan belajar yang tentunya diarahkan kepenguasaan kemampuan melaksanakan tugas-tugas/pekerjaan tersebut. Romiszowski (1981) menyebut yang pertama job analysis sedangkan yang kedua sebagai subject analysis. Analisis pertama akan menghasilkan sejumlah tugas-tugas dan tugas-tugas tersebut masih dipecah lagi ke dalam bagian tugas dan unsur tugas. Analisis kedua akan keluar dengan sejumlah topik dan sub topik. Pada kedua analisis tersebut pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: apakah ada manfaatnya dipelajari ? bila tidak ada sebaiknya ditinggalkan.

Sekalipun nampak terpisah, kedua analisis tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan. Pekerjaan, tugas maupun bagian-bagian tugas tersebut tentunya menuntut adanya kemampuan untuk melaksanakannya. Untuk memberikan kemampuan tersebutlah materi yang sesuai diidentifikasi.

Langkah pokok yang harus ditempuh dalam analisis tugas adalah pengidentifikasian semua tugas, sub tugas dan unsur tugas serta penyusunan ke dalam urutan yang logis dan tepat. Atas dasar identifikasi dan susunan tersebut materi-materi dipilih dan disusun.

Analisis terhadap kebutuhan menghasilkan sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang terpilih untuk diatasi berubah menjadi masalah. Secara tak langsung sebenarnya kita telah pula merumuskan tujuan yang dicapai. Bisa tujuan nasional, tujuan tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional.

Ada tiga cara penentuan materi pembelajaran yakni:

1. Delphi method, yakni penentuan materi pembelajaran didasarkan pada kesepakatan para ahli.

2. Logical mehod, yakni penentuan materi pembelajaran didasarkan pada logika

3. Value contribution method, yakni penentuan materi pembelajaran didasarkan pada seberapa besar nilai sumbangan materi tersebut pada pencapaian tujuan (Umbu Tagela, 2000)

PENYUSUNAN MATERI PEMBELAJARAN

Pertanyaan kedua yang perlu dijawab adalah bagaimana materi-materi yang telah diidentifikasi tadi disusun ? Oleh karena tidak semua tujuan dapat dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan maka tujuan-tujuan itu harus dicapai secara bertahap. Demikian pula materinya, harus disajikan dalam sajian yang logis dan tepat.

Oleh karena tidak ada hukum/aturan yang pasti bagaimana membuat urutan tujuan dan materi instruksional yang baik, Gagne menyarankan agar penyusunan materi pembelajaran menerapkan prinsip “dari mudah ke sulit, dari yang simple ke yang kompleks dan dari yang bersifat umum (general) ke yang khusus (specific)”.

Ada 3 kemungkinan urutan sajian materi yang dapat ditempuh, tergantung pada hakekat tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Urutan tersebut bisa bersifat berjenjang (hierar-chis), berurutan (procedural) atau kombinasi keduanya.

Erat kaitannya dengan ini dikenal pula adanya berbagai struktur kurikulum pembelajaran: kurikulum spiral, kurikulum berstruktur piramid, kurikulum inti beserta pilihannya, dan kurikulum yang menekankan pemecahan masalah (inguiry centred curriculum).

Ada beberapa cara untuk menyusun sekuen materi pembelajaran, yaitu:

1) Sekuen Kronologis. Untuk menyusun materi pembelajar-an yang mengandung urutan waktu, dapat digunakan kronologis. Peristiwa-peristiwa sejarah perkembangan historis suatu institusi, penemuan-penemuan ilmiah dsb. Dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis.

2) Sekuen kausal. Masih berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah sekuen kausal. mahasiswa dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau pendahulu dari pada suatu peristiwa atau situasi lain. Dengan mempelajari sesuatu yang menjadi sebab atau pendahulu, para mahamahasiswa akan menemukan akibatnya. Menurut Rowntree (1974) sekuen kausal cocok untuk menyusun materi pembelajaran dalam bidang meteorologi dan geomofologi.

3) Sekuen struktural. Bagian-bagian materi pembelajaran sesuatu mata kuliah telah mempunyai struktur tertentu. Penyusunan sekuen materi pembelajaran mata kuliah tersebut perlu disesuaikan dengan strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih dahulu mengajarkan pemantauan dan pembiasan cahaya. Masalah cahaya, pemantulan-pembiasan dan alat-alat optik tersusun setara struktural.

4) Sekuen logis. Materi pembelajaran juga dapat disusun berdasarkan urutan logis. Rowntree (1974) melihat perbedaan antara sekuen logis. Menurut sekuens logis materi pembelajaran dimulai dari bagian yang sederhana kepada yang kompleks, tetapi menurut sekuen psikologis sebaliknya dari yang kompleks kepada yang sederhana. Menurut sekuen logis materi pembelajaran disusun dari yang nyata kepada yang abstrak, dari benda-benda kepada teori, dari fungsi kepada struktur, dari masalah bagaimana kepada masalah mengapa.

5) Sekuen spiral, dikembangkan oleh Bruner (1960). Materi pembelajaran dipusatkan pada topik atau pokok bahan tertentu. Dari topik atau pokok tersebut bahan diperluas dan diperdalam. Topik atau pokok bahan ajaran tersebut adalah sesuatu yang populer dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam dengan bahan yang lebih kompleks dan sophisticated.

6) Rangkaian belakang (backward chaining), dikembangkan oleh Thomas Gilbert (1962). Dalam sekuen ini mengajar dimulai dengan langkah terakhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi langkah:

a. Pembatasan masalah

b. Penyusunan Hiptosis

c. Pengumpulan data

d. Pengetesan Hipotesis

e. Interpretasi hasil tes

Dalam mengajar mulai dengan langkah E, kemudian dosen menyajikan data tentang sesuatu masalah dari langkah A sampai D, dan mahasiswa diminta untuk membuat interpretasi hasilnya (E). Pada kesempatan lain, dosen menyajikan data dan meminta untuk mengadakan pengujian hipotesis (D) dan seterusnya.

7) Sekuen berdasarkan hierarki belajar. Model ini dikembangkan oleh Gagne (1965) dengan prosedur tujuan-tujuan khusus utama dianalisis, dan prosedur suatu hierarki bahan ajaran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai mahamahasiswa, berturut-turut sampai dengan perilaku terakhir.

EFEKTIVITAS, EFISIENSI DAN RELEVANSI

Perbincangan tentang efektivitas (mangkus), efisiensi (sangkil) dan relevansi (penad) dalam bidang pendidikan sangat penting untuk dipahami oleh semua orang yang terlibat dan melibatkan diri dalam bidang pendidikan. Konsep-konsep tersebut sering diucapkan oleh siapa saja yang berminat dalam bidang pendidikan dengan pemahaman yang variatif tentang aspek utilitas dari aplikasi ketiga konsep itu dalam operasionalisasinya.

Makna kebahasaan dari efektif adalah berhasil guna, termasuk hasil yang memuaskan. Efektivitas dapat diukur dengan membandingkan antara jumlah mahamahasiswa (peserta) dengan tujuan yang hendak dicapai melalui tes dengan menggunakan angka prosentase. Hal ini bisa diamati pada mahamahasiswa mulai dari tahun pertama, apakah ia aktif hingga menyelesaikan studi.

Selain hal tersebut di atas, efektivitas dapat diukur dengan cara: Pertama, efektif, bila ditinjau dari segi mahasiswa misalnya: dengan biaya yang sama, tetapi hasil belajar meningkat dan dengan biaya yang kurang tapi hasil belajar sama. Demikian juga jika jumlah mahasiswa yang gagal makin sedikit. Kedua efektif, bila ditinjau dari segi penyelenggara yakni; jumlah mahasiswa bertambah, tapi beban cost yang ditanggung penyelenggara tidak bertambah. Waktu mengajar atau melatih tidak banyak, tapi mahasiswa punya kesempatan mengambil spesialisasi. Ketiga efektif dari segi ruangan. misalnya jumlah ruangan terbatas atau berkurang tapi semua aktivitas tertampung. Keempat efektif dari segi sumber belajar yakni: makin banyak dosen dan mahasiswa yang memanfaatkan sumber belajar, dan cara penggunaan sumber belajar yang efsien. Kelima efektif dari segi masyarakat, masyarakat makin menghargai penyelengara, calon mahasiswa makin bertambah dan Animo masyarakat dan orang tua mengikutsertakan anaknya untuk belajar di lembaga pendidikan makin meningkat.

Dalam tautan makna yang sama Soedijarto (1990) mengatakan bahwa efektivitas berkaitan dengan perkiraan tingkat instrumentalitas suatu proses untuk mencapai tujuan. Sampai seberapa jauh proses belajar mengajar yang dipilih akan dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Ada hubungan antara proses dan hasil. Untuk itu perlu dilakukan task analysis terhadap setiap tujuan yang ditetapkan. Misalnya:

a. Apakah para mahasiswa telah mempelajari hal-hal yang merupakan persyaratan dari dapat dicapainya tujuan.

b. Apakah cara belajar yang dialami mahasiswa sesuai dengan persyaratan untuk mencapai tujuan?

c. Apakah proses belajar mengajar cukup menggairahkan mahasiswa untuk mencapai tujuan yang ditetapkan?

EFISIENSI (SANGKIL)

Efisiensi dapat berarti berdaya guna atau keberdaya gunaan. Efisiensi hasil proses belajar biasanya dihitung dengan indeks prestasi. Indeks prestasi yang dicapai berasal dari tujuan dalam waktu yang telah ditentukan. Efisiensi bisa dihitung dari ativitas dan kepandaian mahasiswa atau juga dari program yang didisain. Ada juga yang mengukur efisiensi dengan Instructional cost indeks. Tingkat efisiensi dari suatu proses berkaitan erat dengan prinsip ekonomi, yaitu mengukur perbandingan antara upaya dan hasil. Misalnya sesuatu itu efisien jika hasil lebih besar dari upaya atau usaha. Indikatornya adalah:

a. Apakah proses belajar mengajar yang direncanakan memungkinkan dapat mencapai banyak tujuan

b. Apakah strategi belajar mengajar bervariasi atau tidak?

c. Apakah strategi belajar mengajar sederhana dan mudah dipahami atau tidak?

RELEVANSI (PENAD)

Mengukur sesuatu penad (relevan) atau tidak, kriterianya adalah sebagai berikut:

1. Relevansi epistemologi

Relevansi berkaitan dengan hakikat ilmu pengetahuan sebagai kumpulan teori dan cara memandang terhadap fenomena adalah hasil suatu proses. Proses obser-vasi, klasifikasi, generalisasi dengan menggunakan teori untuk memahami kenyataan melalui proses ilmu. Ilmu pengetahuan memperkaya kandungan teori bahkan metodologi, karena melalui serangkaian pengujian suatu unsur teori atau metodologi menjadi up to date atau usang. Menyadari hakikat ilmu pengetahuan yang demikian proses belajar dipandang secara epistemologi kurang relevan kalau hanya mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai hasil. Kalau itu terjadi ilmu pengetahuan akan menjadi mitos lantaran kebenarannya tidak pernah dipersoalkan. Oleh karena itu hampiran proses dalam mempelajari suatu bahan ajaran yang bersumber dari disiplin ilmu perlu ditempuh. Karena itu untuk mengukur kepenadan suatu proses belajar mengajar, indikatornya adalah:

a. Apakah para mahasiswa berkesempatan melakukan dan menghayati proses pertemuan atau perumusan suatu kesimpulan. Dalam bentuk lain dapat dikatakan apakah mahamahasiswa memperoleh kesempatan mengamati langsung fenomena di lingkungannya yang merupakan sumber suatu pengetahuan?

b. Apakah seluruh proses belajar mengajar yang diha-yati mahasiswa mengandung nilai yang menghargai proses ilmu pengetahuan dan tidak sekedar mengu-asai ilmu pengetahuan sebagai hasil? Atau apakah tolok ukur keberhasilan belajar meliputi juga kemam-puan proses?

2. Relevansi psikologis

Interpretasi kepenadan secara psikologis berhubung-an dengan proses belajar mengajar sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Dari segi ini suatu proses belajar mengajar dianggap secara psikologis tidak penad kalau selama proses belajar mengajar mahasiswa tidak memperoleh cukup tantangan untuk berpikir. Hakikat berpikir sebenarnya selalu berorientasi pada pemecahan masalah. Tanpa adanya masalah yang dipecahkan kemampuan berpikir peserta sukar untuk berkembang. Wong (1974) mengatakan bahwa secara evolusioner berpikir adalah sarana penyesuaian untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi di lingkungannya. Bentuk yang sesuai untuk dikembangkan dari berpikir adalah scientific inquiry suatu bentuk reaksi manusia yang paling mangkus untuk menghadapi kesulitan dan berorientasi pada pemecahan masalah. Suatu proses pem-binaan dianggap penad secara psikologis kalau mahamaha-siswa dihadapkan pada pemecahan masalah dengan menggunakan paradigma ilmu pengetahuan. Untuk mengukur penad tidaknya suatu program secara spikologis, indikatornya adalah sebagai berikut:

a. Apakah mahasiswa dalam proses belajar mengajar selalu dihadapkan pada masalah yang harus dipelajari?

b. Apakah kemampuan memecahkan masalah secara sistematis diberi nilai penghargaan?

c. Apakah cara dosen menyajikan bahan ajar berorientasi kepada masalah atau berorientasi pada jawaban?

3. Relevansi sosial

Dimensi ketiga ini berkaitan dengan implementasi kedudukan dan fungsi penyelenggara sebagai lembaga sosial. Sebagai lembaga sosial Yayasan/Pimpinan sekolah berfungsi menyosialisasikan nilai-nilai yang merupakan cita-cita masyarakat. Proses belajar mengajar dipandang penad jika mahasiswa memperoleh kesempatan menghayati nilai-nilai yang dicita-citakan dalam proses pembinaan. Untuk meng-ukur penad tidaknya program secara sosial, indikatornya adalah:

a. Apakah nilai-nilai sosial yang dicita-citakan terkandung dalam situasi belajar mengajar?.

b. Apakah perilaku mahasiswa dalam kaitan dengan nilai-nilai, termasuk interaksi dengan rekan dan dosen implisit dalam unsur-unsur yang dinilai?

c. Apakah mahasiswa memperoleh kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam menghayati nilai-nilai tersebut?

Dalam tautan makna yang sama, untuk mengukur apakah tujuan tercapai secara efektif dan efisien, digunakan tiga hampiran, yakni, pertama, hampiran klasik, artinya apakah ketrampilan orang-orang yang bekerjasama dalam bidang pendidikan memadai? Kalau sudah memadai, maka hasil yang dicapainyapun akan efektif dan efisien, kedua, hampiran hubungan manusiawi, artinya apakah hubungan orang-orang yang bekerjasama dalam bidang pendidikan harmonis? Jika hubungan antara orang-orang yang bekerjasama harmonis, maka hasilnyapun akan efektif dan efisien. ketiga, hampiran tingkahlaku, artinya apakah ketrampilan dan harmonisasi hubungan orang-orang yang bekerjasama dalam bidang pendidikan, tinggi? Jika tinggi, maka hasil yang dicapainyapun akan efektif dan efisien. Biasanya hampiran yang dirujuk adalah hampiran tingkah laku.

DAFTAR PUSTAKA

Beauchamp, George A, 1975, Curriculum Theory, The KAGG Press Wilmette, Illinois

Brown, James W, (ed), 1984, Trends in Instructional Technology, ERIC Clearinghouse on Information Resources, Syracuse

Davies, Ivor K, 1981, Instructional Techniques, Mc Graw Hill Book Co, New York

Doll, Ronald C, 1974, Curriculum Improvement, Decision Making and Process, Ally and Bacon, Inc, Boston.

Gagne, Robert M, 1965, The Condition of Learning, Holt, Rinehart and Winston, New York

Hendyat Soetopo dan Sumanto W, 1982, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Bina Aksara, Jakarta.

Taba, Hilda, 1982, Curriculum Development: Theory and Practise, Harcourt Brace and World, Inc, New York

Tanner Daniel and Tanner laurel N, 1980, Curriculum Development, Mac Millan Publishing Co, Inc, New York

Umbu Tagela, 2000, Kurikulum dan Buku Teks, Widyasari Pres, Salatiga

 

Zais, Robert S, 1976, Curriculum Principles and Foundations, Harper & Row, Publisher New York