MENYOAL REFORMA AGRARIA: PENTINGNYA RECOGNITIE

DAN PROTEKSI HAK KOMUNAL

PADA MASYARAKAT ADAT HIBUALAMO

Tri Arso

Staf Pengajar Prodi Hukum Universitas Hein Namotemo, Tobelo – Halmahera Utara

ABSTRAK

Persoalan reforma agraria (landreform) telah lama menjadi kebijakan dan strategi nasional yang dilakukan pemerintah sejak diberlakukannya UUD N0. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Namun pada kenyataanya masih banyak persoalan keagrarian yang belum terselesaikan dan menuntut akurasi pemikiran yang strategis sehingga berdampak signifikan mengatasi persoalan yang masih terjadi. Reforma agraria tidak hanya sekedar redistribusi tanah untuk penyediaan lahan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin saja, namun lebih luas juga harus mampu menjadi solusi terhadap ketimpangan struktur keagrarian, pengusaan dan pemanfaatan atas tanah. Recognitie dan proteksi hak komunal pada masyarakat hukum adat Hibualamo diharapkan tidak hanya menyangkut asset reform namun juga access reform yang membuka sumber peningkatan kesejahteraan rakyat berbasis keagrarian. Potret terkait persoalan pertanahan tersebut merupakan fenomena lemahnya pengaturan hak atas tanah dan ketimpangan struktur keagrarian yang berdampak pada rentannya masyarakat hukum adat akan terjadinya konflik budaya, sosial, ekonomi dan politik. Perlu adanya penyelarasan antara kaidah hukum adat dengan norma yuridis formal yang terkandung dalam ketentuan hukum positif, sehingga terjadi sintesa yang meciptakan formula sebagai dasar strategi mengatasi ketimpangan struktur keagrarian terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah. Akurasi dan efektifitas formula yang berdasar pada pemikiran terbarukan tersebut tidak hanya untuk mengatasi ketimpangan struktur keagrariaan saja tetapi juga merupakan a posteriori sebagai upaya validasi dan akurasi dalam menentapkan resolusi konflik yang tepat di masyarakat hukum adat terkait dengan reforma agraria tersebut.

Kata kunci: reforma agraria, hak komunal, recognitie, proteksi, a posteriori.

PENDAHULUAN

Halmahera Utara merupakan tempat peradaban suku-suku setempat bermula dan berada di bawah lembaga adat “HIBUALAMO”. Masyarakat Hukum Adat Hibualamo meliputi wilayah adat yaitu: Hoana Modole, Hoana Pagu, Hoana Towiliko, Hoana Boeng, Hoana Lina, Hoana Huboto, Hoano Mumulati, Hoana Gura, Hoana Morodina, Hoana Morodai dan Hoana Lololoda (Surat Keputusan Bupati Halmahera Utara Nomor. 189/133/HU/2015). HIBUALAMO sebagai komunitas masyarakat adat sangat menjunjung nilai-nilai kekeluargaan dengan slogan “ngone oria dodoto” yang berarti kita semua bersaudara. Secara geografis 11 Hoana (clan) tersebut tersebar dan menempati luas wilayah struktur pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara seluas 22.507,32 Km2 yang terdiri dari 17.555,71 Km2 (78%) wilayah laut dan 4.951,61 Km2 (22%) wilayah darat. Pemerintahan Kabupaten Halut terbagi dalam 17 Kecamatan yang terdiri dari 198 desa (Dokumen kantor pos Tobelo, daftar kode pos desa-desa di Kabupaten Halmahera Utara 2017).

Halmahera Utara merupakan salah satu daerah agraris dengan potensi alamnya yang besar terdiri dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan, peternakan, pertambangan, industri kecil dan kepariwisataan (Hein Namotemo, 2016:64-67). Secara sosiologis masyarakat hukum adat terbangun berdasarkan struktur genealogis (keturunan) dan teritorial (kedaerahan). Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis adalah masyarakat hukum adat yang anggotanya terikat dalam satu kesatuan berdasarkan satu asal kesamaan keturunan. Sedangkan masyarakat hukum adat terbangun berdasarkan struktur teritorial adalah masyarakat hukum adat yang anggotanya merasa terikat dalam satu kesatuan atas dasar kesamaan tempat tinggal di atas tanah sebagai inti teritorial yang didiaminya secara turun temurun dari nenek moyangnya. (Hilman Hadikusuma,1992:106).

Legitimasi pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat Hibualamo membawa konsekwensi pada perlindungan Hak ulayat (beeschikkingrecht) atas kehidupannya. Hak ulayat adalah hak komunalistik yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai peraturan perundang-undangan (UU No 21 Tahun 2001). Hak ulayat sebagai hak tanah komunal tersebut dibedakan fungsinya menjadi hak ulayat persona dan publik. Hak ulayat Persona adalah hak tanah komunal yang ketermanfaatannya diperuntukan kepada individu dalam masyarakat hukum adat. Sedangkan Hak ulayat publik adalah hak atas tanah komunal yang berfungsi sebagai pengendali sosial, kebersamaan dan kekeluargaan dalam pola interaksi sesuai peraturan yang mengikat antar anggota masyarakat hukum adat tersebut (Boedi Harsono, 1999:215). Kenyataan yang terjadi banyak persolan muncul terkait dengan hak komunal tersebut, tidak jarang masyarakat hukum adat terusir dari tanah yang telah didiaminya turun temurun puluhan bahkan ratusan tahun lamanya. Di sisi lain banyak juga yang tersingkir oleh kepentingan pembangunan, investasi, invasi, industrialisi yang terlegitimasi oleh hukum positif atau karena rekayasa politis (Disarikan dari Notulen sarasehan “Menyoal Tanah Ulayat” di Gamsungi, Tobelo tanggal 18 September 2016, Forum Masyarakat Hukum Adat Hoana Mumulati). Lebih jauh berdampak pada persoalan tanah huni, hilangnya akses dan aset produksi yang berhubungan dengan keagrarian.

Fenomena lain di daerah perkotaan, seiring perkembanagan dan pembangunan daerah, pola hidup serta industrialisasi dengan perubahan corak produksi yang semakin kompleks dan heterogen menimbulkan benturan nilai serta kepentingan yang menyebabkan banyak persoalan terkait hak komunal tersebut. Pengakuan dan pemanfaatan atas tanah tidak lagi hanya bisa ternaungi atas hak komunal saja karena seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan intensitas migrasi penguasaan atas tanah ulayat bergeser karena harus berbagi dengan para pendatang dari luar masyarakat hukum adat setempat, yang dimungkinkan dengan ketentuan hukum positif yang berlaku. Pemanfaatan dan penguasaan atas tanah semakin beragam dan menimbulkan banyak persoalan terkait dengan legalitas tanah tersebut (Wawancara dengan Hein Namotemo, Mantan Bupati Halmahera Utara 2005-2015, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nasional).

Beberapa persoalan konkrit penguasaan dan pemanfaatan tanah muncul di semua komunitas masyarakat hukum adat Hibualamo. Di atas tanah hak komunal telah terjadi sengketa tanah, konflik tanah, pemanfaatan tanah secara ilegal baik antar perseorangan, perseorangan dan komunitas dengan lembaga berbadan hukum atau perusahaan, antar masyarakat hukum adat dan antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat. Persoalan tersebut tidak hanya berdampak pada persoalan individual tetapi juga meluas secara sosio politik. Menurut data di Pengadilan Negeri Tobelo sejak tahun 2011 – 2014 tercatat puluhan gugatan kasus tanah komunal memenuhi agenda persidangan baik perdata dan pidana, yaitu meliputi penguasaan tanah tanpa hak, sengketa batas, sengketa tanah waris, pengambilalihan tanah, jual berkali-kali dan sertifikat ganda (Arsip Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tobelo tahun 2011 s.d. tahun 2014). Belum lagi persoalan terkait tata ruang dan orientasi pembangunan yang melibatkan pemerintah daerah dan perusahaan, yang sering kali harus berbenturan dengan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu. Potret terkait persoalan pertanahan tersebut merupakan fenomena lemahnya pengaturan hak atas tanah dan ketimpangan struktur keagrarian yang berdampak pada rentannya masyarakat hukum adat akan terjadinya konflik budaya, sosial, ekonomi dan politik.

METODOLOGI PENELITIAN

1.   Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum non doktrinal atau penelitian hukum sosiologis (socio legal reseacrh), yaitu suatu pendekatan untuk mempresentasikan keterkaitan antar konteks di mana hukum itu berada dan sejauh mana hukum tersebut dijalankan serta berpengaruh terhadap dinamika dan perkembangan konteks komunitasnya (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 121). Institusi hukum dilihat sebagai bagian dari totalitas sistem sosial yang berada dalam keadaan kait mengkait dengan variable sosial lainnya. Dengan demikian yang ditekankan di sini adalah membuat deskripsi tentang realitas sosial dan hukum serta berusaha memahami dan menjelaskan logika keterhubungan logis antar keduanya (Bambang Sunggono, 2007: 42).

2. Pendekatan Masalah dan Kerangka Berpikir

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah socio legal research, maka pendekatan yang dilakukan adalah: pertama, melakukan studi dan analisis implementasi perundang-undangan dan kebijakan secara kritikal dan dijelaskan makna serta implikasinya terhadap subjek hukum. Kedua, penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam tata kelola pemerintahan dan masyarakat hukum adat yang ada.

Persoalan hukum yang menjadi obyek penelitian terkait dengan recognitie dan proteksi hak komunal dalam implementasi reforma agraria (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No 10 tahun 2016). Recognitie dan proteksi hak komunal dilihat sebagai entitas hukum yang mempunyai keterkaitan dan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi reforma agraria. Recognitie dan proteksi hak komunal merupakan upaya menempatkan nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat pada penyelenggaraan politik hukum yang berlandaskan pada hukum positif. Bila terjadi keselarasan antara norma hukum adat dengan hukum positif maka implementasi reforma agraria akan berjalan dengan baik sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang ditetapkan dan meminimalisir munculnya ekses atau persoalan baru sebagai efek sampingnya.

3. Referensi Bahan Hukum

3.1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hirarki mulai dari UUD 1945 sampai peraturan perundang-undangan yang terendah yang terkait dengan Reforma Agraria, antara lain:

2.1.1. Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan sumber daya Alam;

2.1.2. UUD N0. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

2.1.3. UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, diubah UU 19 tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah pengganti UU no 1 tahun 2004 tentang peubahan atas UU no 41 tahun 1999;

2.1.4. UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

2.1.5. UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

2.1.6. Peraturan Pemerintah No 38 tahun 1963 tentang Badan-Badan Hukum yang dapat mempuyai Hak Milik Atas Tanah;

2.1.7. Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah;

2.1.8. Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015 tentang Kementrian Negara dan Tata Ruang;

2.1.9. Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional;

2.1.10. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

3.2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, serta hasil simposium yang dilakukan pakar terkait dan signifikan dengan pokok bahasan reforma agraria.

3.3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan Wikipedia.

PEMBAHASAN

Reforma Agraria (landreform) adalah sebuah kebijakan politik hukum yang merupakan gerakan sosial yang tidak hanya berorientasi pada penanggulangan sengketa dan perombakan struktur keagrarian tetapi lebih jauh menyasar pada pengurangan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, mempertahankan sumber-sumber ekonomi, perbaikan kualitas hidup, hingga peningkatan ketahanan pangan (Kpa.or.id ; April 2015; Menyoal “Reforma Agraria”Jokowi-JK, Artikel). Dalam konteks masyarakat hukum adat Hibualamo, implementasi reforma agraria tersebut harus diarahkan untuk menjawab persoalan yang terjadi secara menyeluruh di 11 Hoana (clan), komunitas masyarakat hukum adat Hibualamo yang ada.

Studi ini merupakan kajian sosiologis empiris sebagai upaya telisik potensi kearifan lokal dan pemetaan masalah yang melingkupi masyarakat hukum adat Hibualamo. Pada kenyataannya, pengembangan dan pembangunan daerah dengan payung normatif hukum positifnya tidak tuntas menyelsaikan persoalan yang terjadi di masyarakat. Eksplorasi dan pembangunan daerah seringkali memunculkan persoalan baru yang berdampak pada kesenjangan sosio-kultural di masyarakat hukum adat. A posteriori dilakukan sebagai upaya validasi dan akurasi dalam menentapkan resolusi konflik yang tepat di masyarakat hukum adat terkait dengan reforma agraria yang dilakukan. Recognitie dan proteksi hak komunal masyarakat hukum adat tidak hanya berarti melestarikan kearifan lokal sosio-kultural masyarkat hukum adat saja tetapi juga membuka ruang kebuntuan hukum dalam rangka memberikan access reform bagi kesejahteraan rakyat sebagai tujuan politik hukum yang terkandung dalam reforma agraria. Program Nawacita sebagai visi nasional harus diterjemahkan dalam konteks daerah, sehingga implementasinya sesuai dan selaras dengan situasi dan kondisi daerah.

Beberapa persoalan yang menjadi alasan pentingnya studi ini dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Orientasi paling dasar dari reforma agraria ialah perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Hal ini terkait dengan penataan ulang bahwa aspek tanah, air, hutan dan udara sebagai sumber kesejahteraan rakyat tidak bisa dimonopoli penguasaannya dan harus didistribusikan sebagai hak komunal bagi penguatan kehidupan rakyat. Dalam kaitan ini perlu dilihat seajauh mana recognitie dan proteksi hak komunal yang tumbuh dalam masyarakat hukum adat secara konsisten dapat diakumulasi dan diadopsi menjadi dasar legitimasi dalam hukum positif.

2. Kejelasan legitimasi penguasaan yuridis maupun fisik atas tanah sangat krusial di beberapa masyarakat hukum adat Hibualamo. Sengketa dan konflik tanah yang bersumber pada ketidakjelasan kewenangan dan melampaui kewenangan perlu adanya kajian yuridis atas status dan batas kewenangan penguasaan tanah sesuai kaidah normatif aturan yang berlaku. Deteksi terhadap potensi konflik sebagai akibat ketidakjelasan legitimasi penguasaan atas tanah pada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu (perkebunan, hutan dan tanah negara) harus teridentifikasi dan terpetakan masalahnya; sehingga dari deteksi dan pemetaan masalah yang terinventarisasi dapat terumuskan formula problem solving yang efektif dan adil (win-win solution).

3. Reforma agraria bukan hanya sekedar redistribusi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan atas tanah oleh negara kepada rakyatnya (asset reform) melainkan juga pemberian akses dan integrasi dalam sistem ekonomi-politik serta permodalan (access reform) sehingga dimampukan untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan. Agar tujuan ini efektif maka sangat diperlukan identifikasi yang akurat terkait subyek dan obyek reforma agraria melalui inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dalam rangka landreform (sebagai upaya menjadikan tanah sebagai sumber produksi bagi kemakmuran rakyat). Feasibility study keterkaitan pengembangan fungsi dan guna tanah dengan mempertimbangkan esensi dan karakter masyarakat hukum adat sangat diperlukan untuk dasar sebuah kebijakan dan program yang ditetapkan kemudian.

4. Implementasi reforma agraria di masyarakat hukum adat Hibualamo membutuhkan kajian dan evluasi terhadap pemberian hak atas tanah kepada PT Perebunan Nusantara (PTPN), Perhutani atau perusahaan swasta dengan banyaknya persoalan yang muncul terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), persoalan lingkungan dan meyempitnya lahan sebagai sumber produksi dan tanah huni bagi masyarakat hukum adat (Notulen Rapat Tim Penyelsaian Lahan, Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Senin 8 April 2013). Sebagai contoh: konflik perusahaan tambang Nusa Halmahera Minerals (NHM) dengan masyarakat hukum adat Hoano Pagu (Mongabay.co.id), Sengketa okupasi tanah PT Perkebunan Nusantara (pesero) sebagai kawasan huni warga desa MKCM dan Kalipitu (Berita acara pertemuan PTPN XIV dengan Pemkab Halmahera Utara tanggal 14 Mei 2010), serta perkara ketidakjelasan penguasaan tanah komunitas eks penyandang kusta di dusun Gamdora, Gorua Selatan (Rencana Pemanfaatan Areal Perkebunan GMIH, dokumen Majelis Pekerja Sinone Gereja Masehi Injili di Halmahera, 30 Nopember 1987 dan wawancara dengan Masri, ketua RT eks penyandang kusta dusun Gamdora, Gorua Selatan, Tobelo).

Beberapa persoalan pada masyarakat adat Hibualammo di atas menuntut penyelerasan sehingga di dapat kepastian hukum adanya recognitie dan proteksi terhadap persoalan penempatan dan pemenfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan sengketa. Upaya yang perlu dilakukan adalah antara lain:

1. Melakukkan telisik potensi dan faktor pendukung untuk pemberian hak komunal atas tanah pada Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

2. Mengidentifikasi peluang dan strategi untuk memanfaatkan sumber daya yang ada;

3. Melakukan kajian untuk penguatan regulasi dan penyelsaian konflik agraria.

4. Melakukan analisis terhadap ketimpangan dan penyimpangan kewenangan serta kesalahan prosedur yang terjadi dalam pemberian hak komunal.

5. Merumuskan formula kebijakan politik hukum yang implentatif-solutif terkait reforma agraria atas dasar hasil studi dan analisis yang dilakukan.

Secara nasional pemerintah sampai saat ini belum menemukan formula yang pas untuk mengimplementasikan janji-janji reforma agraria dalam Nawacita (kpa.or.id: Mei 2016: Reforma Agraria dalam Strategi Nasional Pemerintahan Jokowi, Artikel). Oleh sebab itu studi persoalan di daerah ini menjadi salah satu upaya untuk dapat mendukung dan terjadinya penyelarasan serta memberikan penguatan pelaksanaan rencana strategis nasional terkait implementasi reforma agraria. Sebagai salah satu acuan (dalam workshop tanggal 11 Mei 2016, di Istana Kepresidenan, Cipanas-Bogor) strategi nasional pelaksanaan reforma agraria meliputi 6 langkah, yaitu:

1. Penguatan kerangka regulasi dan penyelsaian konflik agraria.

2. Penataan, penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agraria.

3. Kepastian hukum dan legalisasi atas tanah obyek reforma agraria.

4. Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah obyek reforma agraria.

5. Pengalokasian sumber daya hutan untuk dikelola oleh rakyat.

6. Kelembagaan pelaksanaan reforma agraria pusat dan daerah.

 

Road Map Penyelarasan Upaya Reforma Agraria

PENUTUP

Dalam kerangka reforma agraria, negara mempunyai kewajiban di dalam menyelsaikan persoalan sengketa tanah dan melindungi hak warga negara melalui adanya kepastian hukum tidak hanya untuk asset reform tetapi juga access reform. Melalui studi yang dilakukan terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi untuk terciptanya sintesa keselarasan kearifan lokal hukum adat dengan penguatan hukum positif yang diberlakukan, yaitu:

1. Teridentifikasinya persoalan hak komunal atas tanah pada masyarakat hukum adat dan masyarakat kawasan tertentu pada 11 hoana di masyarakat hukum adat Hibualamo.

2. Terdeteksinya gap antara kebutuhan masyarakat dengan orientasi pengembangan daerah.

3. Perlunya kejelasan formula arah kebijakan dalam penataan tata ruang dan pemanfaatan lahan.

4. Adanya kepastian hukum dan putusan hukum tetap terkait recognitie dan proteksi hak komunal atas tanah melalui penerbitan surat penetapan hak atas tanah dari pemerintah yang berwenang.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar maju

Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Djambatan

Ibrahim, Johnny. 2008:Teori dan Methodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing

Namotemo, Hein. 2016. Higaro: Meretas Asa Mengagapai Harapan. Tobelo: Koridor Mitra Media

Sunggono, Bambang. 2007. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Perkumpulan HuMa dan Elsam

UNDANG-UNDANG/PERATURAN:

Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan sumber daya Alam;

UUD N0. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, diubah UU 19 tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah pengganti UU no 1 tahun 2004 tentang peubahan atas UU no 41 tahun 1999;

UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

Peraturan Pemerintah No 38 tahun 1963 tentang Badan-Badan Hukum yang dapat mempuyai Hak Milik Atas Tanah;

Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah;

Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015 tentang Kementrian Negara dan Tata Ruang;

Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional;

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

 

Surat Keputusan Bupati Halmahera Utara Nomor. 189/133/HU/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Hibualamo sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.