METODE PAIRED STORYTELLING UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR BERCERITA SISWA KELAS VII A SMP N 2 NGRAMPAL SEMESTER GASAL TAHUN PELAJARAN 2016/2017

 

Sri Puwani

Guru SMP Negeri 2 Ngrampal

 

ABSTRACT

The purpose of this research is to improve: motivation and learning result in storytelling by paired storytelling methods. This research is a classroom action research (CAR) conducted in SMP Negeri 2 Ngrampal, Sragen in odd semester of the 2016/2017 academic year. The subject is a class VII A with totaling 32 students. The research process was conducted in two cycles which include four stages, namely the planning stage, the implementation stage, the observations stage, as well as the stage of analysis and reflection. Based on the results of this results of this research can be concluded: there is increased motivation and learning result in storytelling by paired storytelling methods in class VII A in SMP N 2 Ngrampal in odd semester of 2016/2017 academic year. Increased motivation from initial conditions 31,25% to 91% on cycle II. Inscreased learning result indicated by mean scored from initial conditions 62,6% to 85% on cycle II, and the number of students who scored above the KKM on the initial conditions 28% to 87,5% on cycle II.

Kata Kunci: paired storytelling methods, learning motivation, learning results, storytelling, students.

 

PENDAHULUAN

 Kemampuan bercerita merupakan salah satu kemampuan berbahasa lisan yang penting untuk dikuasai oleh siswa SMP. Pentingnya kemampuan berbicara/bercerita dalam komunikasi diungkapkan oleh Ellis, dkk. (dalam Supriyadi, 2005: 178) bahwa apabila seseorang memiliki kemampuan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional. Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antarindividu. Adapun keuntungan profesional akan diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan serta mendeskripsikan. Kemampuan berbahasa lisan tersebut akan memudahkan siswa berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain (Nurhadi, 1995: 342).

Pembelajaran bercerita di sekolah mengalami permasalahan. Salah satunya adalah siswa mengalami kesulitan dalam menyampaikan ide yang ada dalam pikirannya. Kemampuan berpikir mereka belum terlatih untuk mengorganisasikan, mengonsepkan, mengklarifikasikan, menyampaikan perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam meruntutkan ceritanya.

Permasalahan pembelajaran bercerita tersebut juga dialami siswa kelas VII A SMP N 2 Ngrampal. Motivasi dan hasil belajar bercerita siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Ngrampal masih belum menampakkan hasil yang optimal. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, motivasi belajar mereka masih rendah. Setiap penulis menyampaikan materi bercerita selalu mendapat respons yang kurang menggembirakan dari siswa. Ada 22 siswa atau 68,75% siswa bermotivasi rendah. Mereka mengeluh mengalami kesulitan sehingga suasana pembelajaran kurang kondusif. Selain itu, mereka tidak memperhatikan penjelasan guru dan lebih banyak bicara dengan teman semejanya. Mereka membuat gaduh kelas, mengganggu teman, bahkan ada yang keluar kelas. Ditambah lagi ketika mereka ditugasi bercerita di depan kelas, mereka banyak alasan dan tidak mau tampil bercerita. Apabila mereka sudah tampil, mereka diam dengan alasan lupa apa yang mau diceritakan.

Rendahnya hasil belajar bercerita dapat dilihat dari hasil unjuk kerja siswa. Hal ini teridentifikasi dari nilai unjuk kerja bercerita siswa pada ulangan pertama semester gasal siswa yang mencapai KKM hanya 9 siswa dengan rerata nilai kelas 62,6. Hal ini menunjukkan hanya 28% siswa yang mencapai batas ketuntasan (75) dan rerata kelas belum mencapai batas ketuntasan tersebut. Selain dari nilai tersebut, indikator lain yang menunjukkan bahwa kemampuan bercerita siswa masih rendah adalah sebagian besar sikap siswa masih kurang tepat sewaktu bercerita, kelancaran bercerita siswa masih kurang, bahasa yang digunakan masih kurang baik dan benar, serta cerita yang disampaikan masih kurang runtut.

Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan metode paired storytelling yang memberi kesempatan kepada siswa untuk tampil bercerita di hadapan teman-temannya secara berpasangan. Metode ini merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif. Dengan metode ini, guru dapat mengefektifkan waktu pembelajaran karena siswa diminta tampil berbicara di depan kelas dengan salah seorang temannya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Karuru (2003: 803-804) bahwa guru akan terlatih mengoperasikan dengan baik perangkat pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan dengan pembelajaran kooperatif.

Keunggulan lain metode paired storytelling dalam proses pembelajaran bercerita adalah siswa tampil bercerita secara berpasangan sehingga diharapkan siswa tidak merasa takut, malu, ataupun lupa dengan apa yang akan disampaikan. Dengan demikian, mereka dapat saling memotivasi dan menumbuhkembangkan kerja sama dan kekompakkan pada diri siswa. Berkaitan dengan hal ini, Nugraha, Anita Lie, dan Monica Santoso (1996: 1) menerapkan metode ini untuk pembelajaran Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi, hasilnya adalah siswa bekerja sama dalam suasana pembelajaran kooperatif sehingga prestasi mereka menjadi meningkat. Mereka menambahkan bahwa peningkatan tersebut disebabkan siswa belajar dalam suasana yang kooperatif sehingga mereka dapat saling memotivasi dan memberi rasa percaya diri sewaktu berbicara.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut ini. 1) Apakah penerapan metode paired storytelling dapat meningkatkan motivasi belajar bercerita bagi siswa kelas VII A SMP N 2 Ngrampal semester gasal tahun pelajaran 2016/2017? 2) Apakah penerapan metode paired storytelling dapat meningkatkan hasil belajar bercerita bagi siswa kelas VII A SMP N 2 Ngrampal semester gasal tahun pelajaran 2016/2017?

Landasan Teori

Landasan teori yang akan dijelaskan dalam penelitian ini ada tiga, yaitu hakikat motivasi belajar, hakikat bercerita, dan hakikat metode paired storytelling. Berikut pemaparan ketiga landasan teori tersebut.

Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah motive berasal dari kata “motion” yang berarti gerak atau sesuatu yang bergerak. Motif dalam Berawal dari kata motif itu motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif dapat menjadi aktif pada saat-saat tertentu terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat diperlukan. Purwanto (2006: 70-71) berpendapat, bahwa setiap motif itu bertalian erat dengan suatu tujuan dan cita-cita. Makin berharga tujuan itu bagi yang bersangkutan, makin kuat pula motifnya sehingga motif itu sangat berguna bagi tindakan atau perbuatan seseorang.

Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2007: 73), menyebutkan bahwa motivasi sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting yaitu: bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia (walaupun motivasiitu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia, Motivasi di tandai dengan munculnya, rasa/”feeling” yang relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, efeksi dan emosi serta dapat menentukan tinggkah-laku manusia, Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan dan tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah tenaga pendorong untuk berprestasi dengan mengerahkan segenap kemampuannya guna mencapai tujuan yang dicitakan atau yang diinginkan. Dengan demikian, siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi memiliki sikap positif terhadap tugas-tugas yang menjadi kewajibannya sehingga meraih prestasi tinggi. Untuk mengukur motivasi belajar siswa, dijabarkan indikator motivasi belajar menjadi lima, yaitu: 1) siswa bertanya, 2) siswa menjawab, 3) siswa memberi pendapat, 4) siswa bekerja sama, dan 5) siswa memiliki perhatian/minat pada pelajaran.

Bercerita atau storytelling diidentikkan dengan mendongeng. Larkin (2000: 1) menjelaskan ”Storytelling is the art of orally sharing a story or experience to an audience, usually face to face (to distinguish this “art” from writting stories, or making a movie or a theatrical presentation”. Dengan kata lain, bercerita merupakan sebuah seni berbicara yang menceritakan sebuah cerita atau pengalaman kepada pendengar dan biasanya dilakukan secara tatap muka. Berbeda dengan Larkin, National Storytelling Association (dalam Dewi, 2006: 432) menjelaskan bahwa bercerita sebagai kemampuan bahasa lisan dengan atau tanpa gerakan fisik dan gesture yang bertujuan membangkitkan imajinasi sebuah cerita secara spesifik kepada pendengar. Jadi, dari kedua pendapat tersebut, bercerita atau mendongeng dapat dikatakan sebuah seni sekaligus kemampuan individu menceritakan sebuah cerita ataupun pengalaman secara lisan yang mampu membangkitkan daya imajinasi pendengarnya.

Cara untuk mengukur kemampuan bercerita dapat dilakukan melalui berbagai tingkatan. Nurgiyantoro (2001: 291-292) menjelaskan tingkatan-tingkatan tersebut. Pertama, tes kemampuan berbicara tingkat ingatan. Pada tingkat ini umumnya lebih bersifat teoritis, menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tugas berbicara, misalnya tentang pengertian, fakta, dan sebagainya. Kedua, tes tingkat pemahaman. Seperti halnya dengan tes tingkat ingatan, tes kemampuan berbicara tingkat pemahaman juga masih lebih bersifat teoritis, menanyakan berbagai masalah yang berhubungan dengan tugas berbicara. Tes tingkat pemahaman dapat pula dimasukkan untuk mengungkap kemampuan siswa secara lisan. Ketiga, tes tingkat penerapan. Pada tingkat ini tidak lagi bersifat teoritis, melainkan menghendaki siswa untuk praktik berbicara. Tes tingkat ini menuntut siswa untuk mampu menerapkan kemampuan berbahasanya untuk berbicara dalam berbagai situasi dan masalah tertentu.

Tingkatan-tingkatan tes di atas tentunya harus memenuhi berbagai aspek yang ada dalam penilaian kemampuan berbicara, seperti tekanan/intonasi, kelancaran, hubungan antarunsur, keakuratan, ketepatan struktur dan kosakata, serta kewajaran urutan. Kemudian, menurut Jakobivitas dan Gordon (dalam Nurgiyantoro, 2001: 290), masing-masing aspek tersebut diberi bobot dengan skala rentang 0 sampai dengan 10.

Penilaian yang digunakan untuk mengukur kemampuan bercerita adalah tes unjuk kerja yang dilengkapi dengan lembar penilaian observasi (pengamatan) terhadap kemampuan bercerita siswa. Pengamatan dilakukan sewaktu siswa tampil bercerita di depan kelas. Guru memberi penugasan kepada siswa untuk tampil bercerita di hadapan teman-temannya.

Metode paired storytelling dikembangkan sebagai pendekatan interatif antara siswa, guru, dan bahan pengajaran (Lie, 2008: 71). Ditambahkannya, guru yang menggunakan metode ini dalam pembelajarannya harus memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Dalam kegiatan pembelajaran dengan metode paired storytelling, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Buah-buah pemikiran mereka akan dihargai sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Lie (2008: 71) menjelaskan bahwa metode ini dapat digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Kelompok berpasangan di atas akan memiliki kelebihan dan kekurangan. Lie (2008: 46) menjelaskan kelebihan dan kekurangannya sebagai berikut. Kelebihan metode ini antara lain: 1) meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, 2) kelompok model ini cocok untuk tugas sederhana. 3) setiap siswa memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berkontribusi dalam kelompoknya, 4) interaksi dalam kelompok mudah dilakukan, dan 5) 0embentukan kelompok menjadi lebih cepat dan mudah.

Selain kelebihan di atas, metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu: 1) banyak anggota kelompok yang kurang memahami tugasnya dalam kelompok sehingga banyak siswa yang melapor. Oleh karena itu, guru perlu memonitor mereka, 2) karena jumlah anggota kelompok hanya dua, ide yang muncul hanya sedikit, 3) apabila dalam kelompok ada perbedaan pendapat dan terjadi perselisihan, maka tidak ada penengahnya.

Kerangka Berpikir Penelitian

Pembelajaran bercerita yang selama ini dilakukan oleh guru adalah siswa diminta tampil bercerita di depan kelas secara individu. Tampil berbicara di depan kelas secara individu dilaksanakan setelah siswa membaca sebuah wacana. Wacana tersebut dipahami kemudian diceritakan di depan kelas. Adapun dalam pelaksanaannya guru hanya meminta beberapa siswa yang tampil bercerita karena alokasi waktu yang terbatas.

Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan sebuah metode yang dapat memotivasi mereka untuk aktif bercerita di depan kelas. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan metode paired storytelling. Metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk menggali kemampuan menceritakan sebuah cerita baik yang telah diperdengarkan maupun yang pernah dialami atau dibaca. Kemudian, pengalaman belajar tersebut diceritakan di depan kelas secara berpasangan pula. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bercerita di depan kelas. Selain itu, mereka juga tampil berdua sehingga mereka tidak malu dan tidak grogi serta waktu pembelajaran bercerita akan lebih efektif.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kelas VII A SMP N 2 Ngrampal, Sragen, yang beralamat di Desa Bener, Kec. Ngrampal, Kab. Sragen. Dipilihnya kelas ini sebagai tempat penelitian adalah karena peneliti mengajar di kelas ini. Selain itu, motivasi dan hasil belajar siswa pada materi bercerita masih rendah sehingga dibutuhkan tindakan perbaikan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar mereka. Tahap persiapan hingga pelaporan hasil penelitian dilakukan selama lima bulan, yakni mulai bulan Juli sampai dengan November 2015. Berikut tabel rincian kegiatan waktu dan jenis kegiatan penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP N 2 Ngrampal, Sragen semester gasal tahun ajaran 2016/2017. Jumlah siswa kelas VII A adalah 32 siswa yang terdiri dari 14 siswa perempuan dan 18 siswa laki-laki. Objek dalam penelitian ini adalah motivasi belajar bercerita, hasil belajar bercerita, dan metode paired storytelling.

Prosedur penelitian ini mengikuti alur penelitian PTK. Menurut Arikunto (2010: 16) dalam pelaksanaan PTK ini, mekanisme kerjanya diwujudkan dalam bentuk siklus yang tercakup empat kegiatan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian tindakan kelas ini terdiri dari data utama dan data pendukung. Sumber data utama adalah siswa kelas VII A SMP Negeri 2 Ngrampal semester gasal tahun pelajaran 2016/2017. Data utama diperoleh dari daftar nilai siswa dan catatan harian siswa. Adapun data pendukung berasal dari teman sejawat atau guru sebagai mitrakolaborasi yang menjadi observer.

Teknik pengumpulan data menggunakan tes unjuk kerja untuk mengetahui kemampuan bercerita siswa, observasi guru dan siswa, serta dokumentasi. Alat pengumpul data berupa butir soal tes unjuk kerja disertai lembar rubrik penilaian bercerita, lembar observasi terhadap guru dan siswa, serta dokumentasi.

Untuk menguji validitas data, peneliti menggunakan dua macam uji validitas, yaitu: trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode. Trianggulasi sumber data dengan membandingkan data yang bersumber dari siswa dan dari mitra kolaborator. Adapun trianggulasi metode digunakan dengan cara membandingkan data yang berasal dari butir tes, hasil observasi, dan dokumen. Analisis data dalam penelitian ini dimulai sejak awal sampai pengumpulan data dari hasil penelitian di lapangan dengan menggunakan teknik analisis data model analisis interaktif Miles dan Huberman (1992: 18). Tekni analisis ini terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1. reduksi data (data reduction); 2.sajian data (data display); dan 3. penarikan simpulan (conclution drawing). Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut. 1) Penilaian observasi pada akhir siklus mencapai minimal 85%. 2) Peningkatan nilai unjuk kerja bercerita rata-rata pada akhir siklus minimal mencapai 85%. 3) Ketuntasan belajar secara klasikal minimal mencapai 85%.

Hasil Tindakan dan Pembahasan      

Deskripsi Hasil Siklus I

1.     Perencanaan Siklus I

Pada tahap ini instrumen penelitian dengan menggunakan metode paired storytelling dengan literatur sudah dipersiapkan. Instrumen yang sudah dipersiapkan meliputi: rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yaitu materi bercerita, soal tes unjuk kerja, lembar observasi atau catatan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.

2.     Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Pertemuan pertama dilaksanakan pada Kamis, 13 Agustus 2015 yang diilaksanakan sesuai rencana tindakan dalam RPP. Adapun pelaksanaan siklus I pertemuan kedua Kamis, 20 Agustus 2015.                  

3.     Observasi Pembelajaran Siklus I

a.     Observasi terhadap Kinerja Guru

Observasi terhadap kinerja guru dilakukan dengan lembar observasi guru. Pada kegiatan awal, guru sudah cakap dalam mengintruksikan metode paired storytelling, melibatkan siswa untuk aktif sejak awal pembelajaran, yaitu dalam menyampaikan apersepsi menarik sehingga mendapat respons positif dari siswa. Pada waktu kegiatan diskusi, perhatian guru kurang menyeluruh pada setiap kelompok diskusi dan terlalu fokus pada kelompok yang aktif bertanya. Guru belum menggunakan waktu secara efisien, dan masih kurang baik dalam memberi motivasi.

Berdasarkan nilai kriteria pada dua puluh lima aspek observasi kinerja guru, guru sudah melaksanakan dua puluh satu aspek. Empat aspek belum dilaksanakan. Dengan demikian, guru mendapatkan nilai 84 dengan kriteria baik. Hal ini dapat diperjelas dengan tabel observasi kinerja guru sebagai berikut.

Tabel 1 Hasil Observasi Kinerja Guru Siklus I Pertemuan Kedua

Jumlah Aspek yang Diobservasi

25

Jumlah jawaban Ya

21

Jumlah Jawaban Tidak

4

Hasil/nilai

84

 Hasil observasi kinerja tersebut dibandingkan dengan tabel kriteria kinerja guru sebagai berikut.

Tabel 2 Kriteria Penilaian Kinerja Guru

No

Skor Rata-rata

Kriteria

1

50 < Skor rata-rata ≥ 65

Kurang

2

65 < Skor rata-rata ≥ 75

Cukup

3

75 < Skor rata-rata ≥ 85

Baik

4

85 < Skor rata-rata ≥ 100

Sangat baik

 

Berdasarkan tabel kriteria di atas, hasil kinerja guru ada pada angka 84. Nilai ini ada pada kriteria baik.

b.     Observasi terhadap Siswa

Hasil observasi terhadap motivasi belajar siswa dilakukan guru yang dibantu mitrakolaborasi diperoleh hasil sebagai berikut. Pada aspek siswa sering bertanya, ada 22 siswa yang sering bertanya atau 68,8% dari jumlah siswa. Pada aspek siswa menjawab, ada 20 siswa yang sering menjawab atau 62,5% dari jumlah siswa. Pada aspek memberi pendapat, ada 20 siswa yang memberi pendapat pada saat diskusi maupun klasikal atau 62,5%. Pada aspek bekerja sama, ada 20 siswa yang bekerja sama dalam diskusi atau 62,5% dari jumlah siswa. Pada aspek perhatian/minat siswa, ada 21 siswa yang menunjukkan perhatian atau minat terhadap pelajaran atau 65,6%.

Hasil observasi terhadap siswa dapat dijelaskan dengan tabel berikut.

Tabel 3 Hasil Observasi terhadap Siswa Siklus I Pertemuan Kedua

No.

Aspek yang Diamati

Jumlah

Persentase

1

Bertanya

22

68,8%

2

Menjawab

20

62,5%

3

Memberi pendapat

20

62,5%

4

Bekerja sama

20

62,5%

5

Perhatian/Minat Siswa

21

65,6%

Rata-rata

20,6 (21)

65,6%

Hasil tes unjuk kerja bercerita siswa dapat dijelaskan dengan tabel berikut.

Tabel 4 Hasil Tes Unjuk Kerja Bercerita Siklus I

No.

Keterangan

Jumlah

Persentase

1

Nilai tertinggi

84

84%

2

Nilai terendah

48

48%

3

Nilai rata-rata kelas

72

72%

4

Jumlah siswa yang tuntas

20

62,5%

5

Jumlah siswa yang tidak tuntas

12

37,5%

 

4.     Analisis dan Refleksi Siklus I

Secara kualitatif kinerja guru dalam pembelajaran bercerita dengan metode paired storytelling sudah baik dengan nilai 84, guru sudah cakap dalam mengintruksikan metode tersebut dan mampu memotivasi siswa dalam pembelajaran. Namun demikian, masih terdapat kelemahan yaitu guru kurang dapat menguasai kelas dengan baik karena guru kurang menyeluruh dan hanya fokus pada kelompok yang aktif bertanya dan kurang tegas mensikapi siswa yang tidak fokus dalam belajar. Selain itu, guru juga masih kurang mengefesienkan waktu pembelajaran dan masih kurang baik dalam memberi motivasi karena hanya diberikan pda awal pembelajara.

Secara umum motivasi belajar siswa rata-rata ada 21 siswa yang sudah bermotivasi tinggi atau 65,6%. Mereka sudah bertanya, menjawab, memberi pendapat, bekerja sama, dan memiliki perhatian atau minat dalam pembelajaran bercerita. Namun, angka tersebut belum mencapat indikator keberhasilan tindakan.

Berdasarkan hasil tes unjuk kerja bercerita, refleksi terhadap hasil tes sebagai berikut. Jumlah siswa yang tuntas ada 20 siswa atau 62,5%, sedangkan 9 siswa lainnya belum tuntas. Nilai tertinggi 84, nilai terendah 48, dengan nilai rata-rata kelas mencapai 72.

Setelah dilaksanakan siklus I dapat diketahui hal-hal yang merupakan kelebihan siklus I, antara lain:

1)    Penerapan metode paired storytelling dapat memotivasi belajar siswa dalam proses pembelajaran, yaitu siswa menjadi bertanya, menjawab, bekerja sama, dan minat dalam pembelajaran.

2)    Penerapan metode paired storytelling dapat merangsang siswa untuk termotivasi pembelajaran dengan lebih baik.

3)    Motivasi dan hasil belajar yang dicapai pada siklus I telah mengalami peningkatan dibanding kondisi awal. Namun, masih belum mencapai indikator keberhasilan tindakan.

Hal-hal yang merupakan kelemahan siklus I sebagai berikut.

1)    Guru kurang dapat menguasai kelas, perhatian guru kurang menyeluruh dan hanya fokus pada kelompok yang aktif bertanya dan kurang tegas menyikapi siswa yang tidak fokus dalam belajar.

2)    Guru kurang baik dalam memberi motivasi karena tidak memberi tambahan nilai bagi siswa yang bercerita dengan baik.

3)    Guru belum mengefesienkan waktu dengan baik.

4)    Masih banyak siswa yang jarang bertanya, menjawab, memberi pendapat, bekerja sama, dan memiliki perhatian atau minat dalam pembelajaran bercerita.

5)    Mayoritas siswa masih belum tampil bercerita dengan runtut, ekspresi, mimik, dan intonasi yang tepat.

Berdasarkan hasil refleksi di atas dapat diketahui bahwa hasil yang dicapai pada siklus I belum mencapai indikator keberhasilan tindakan sehingga penelitian dilanjutkan pada siklus II dan perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan sebagai berikut.

1)    Guru lebih proaktif keliling pada setiap kelompok diskusi (tidak hanya pada satu kelompok) sehingga perhatian dapat menyeluruh pada setiap siswa.

2)    Guru akan memberi motivasi dengan memberi pujian dan tambahan nilai bagi siswa yang mengerjakan tugas/membuat resume materi dengan baik dan siswa yang aktif tanya jawab pada waktu diskusi kelas.

3)    Guru menjelaskan kembali pentingnya bercerita dengan mimik dan intonasi yang tepat.

Deskripsi Hasil Siklus II

1.     Perencanaan Siklus II

Dalam siklus II ini dilaksanakan 2 x pertemuan berduarasi 4 x 40 menit dengan langkah-langkah pembelajaran hampir sama dengan siklus I, perbedaannya adalah pada materi yang disampaikan. Fokus materi siklus II ini adalah pada pendalaman dalam intonasi dan mimik bercerita. Siklus II dilaksanakan dengan berbagai perbaikan sebagai hasil refleksi dari siklus I.

2.     Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Pelaksanaan siklus II pertemuan pertama Kamis, 3 September 2015. Pelaksanaan siklus II pertemuan kedua Kamis, 10 September 2015. Pelaksanaan sesuai dengan RPP yang sudah direncakan pada siklus II ini.

3.     Observasi Pembelajaran Siklus II

Observasi atau kegiatan pengamatan dilaksanakan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Observasi terhadap kinerja guru dilakukan oleh guru mitrakolaborasi, sedangkan observasi terhadap siswa dilakukan oleh guru sebagai peneliti yang dibantu guru mitrakolaborasi.

a.     Observasi terhadap Kinerja Guru

Observasi terhadap kinerja guru dilakukan dengan lembar observasi guru. Pada kegiatan awal, guru sudah cakap dalam mengintruksikan metode paired storytelling, melibatkan siswa untuk aktif sejak awal pembelajaran, yaitu dalam menyampaikan apersepsi menarik sehingga mendapat respons positif dari siswa. Pada waktu kegiatan diskusi, perhatian guru sudah menyeluruh pada setiap kelompok diskusi. Guru sudah menggunakan waktu secara efisien, dan sudah baik dalam memberi motivasi.

Berdasarkan nilai kriteria pada dua puluh lima aspek observasi kinerja guru, guru sudah melaksanakan dua puluh tiga aspek. Tiga aspek belum dilaksanakan. Dengan demikian, guru mendapatkan nilai 92 dengan kriteria baik. Hal ini dapat diperjelas dengan tabel observasi kinerja guru sebagai berikut.

Tabel 5 Hasil Observasi Kinerja Guru Siklus II Pertemuan Kedua

Jumlah Aspek yang Diobservasi

25

Jumlah jawaban Ya

23

Jumlah Jawaban Tidak

2

Hasil/nilai

92

 

 Hasil observasi kinerja tersebut dibandingkan dengan tabel kriteria kinerja guru sebagai berikut.

Tabel 6 Kriteria Penilaian Kinerja Guru

No

Skor Rata-rata

Kriteria

1

50 < Skor rata-rata ≥ 65

Kurang

2

65 < Skor rata-rata ≥ 75

Cukup

3

75 < Skor rata-rata ≥ 85

Baik

4

85 < Skor rata-rata ≥ 100

Sangat baik

Berdasarkan tabel kriteria di atas, hasil kinerja guru ada pada angka 92. Nilai ini ada pada kriteria sangat baik.

 

b.     Observasi terhadap Siswa

Hasil observasi terhadap motivasi belajar siswa dilakukan guru yang dibantu mitrakolaborasi diperoleh hasil sebagai berikut. Pada aspek siswa sering bertanya, ada 30 siswa yang sering bertanya atau 94% dari jumlah siswa. Pada aspek siswa menjawab, ada 29 siswa yang sering menjawab atau 91% dari jumlah siswa. Pada aspek memberi pendapat, ada 28 siswa yang memberi pendapat pada saat diskusi maupun klasikal atau 88%. Pada aspek bekerja sama, ada 28 siswa yang bekerja sama dalam diskusi atau 88% dari jumlah siswa. Pada aspek perhatian/minat siswa, ada 29 siswa yang menunjukkan perhatian atau minat terhadap pelajaran atau 91%. Jumlah rata-rata motivasi siswa 28,8 (29 siswa bermotivasi tinggi) dengan rata-rata persentase mencapai 91%. Angka ini sudah melebihi indikator keberhasilan tindakan. Hasil observasi terhadap siswa dapat dijelaskan dengan tabel berikut.

Tabel 7 Hasil Observasi terhadap Siswa Siklus II Pertemuan Kedua

No.

Aspek yang Diamati

Jumlah

Persentase

1

Bertanya

30

94%

2

Menjawab

29

91%

3

Memberi pendapat

28

88%

4

Bekerja sama

28

88%

5

Perhatian/Minat Siswa

29

91%

Rata-rata

28,8 (29)

91%

Hasil tes unjuk kerja bercerita siswa dapat dijelaskan dengan tabel berikut.

Tabel 8 Hasil Tes Unjuk Kerja Bercerita Siklus II

No.

Keterangan

Jumlah

Persentase

1

Nilai tertinggi

92

92%

2

Nilai terendah

64

64%

3

Nilai rata-rata kelas

85

85%

4

Jumlah siswa yang tuntas

28

87,5%

5

Jumlah siswa yang tidak tuntas

4

12,5%

 

4.     Analisis dan Refleksi Siklus I

Secara kualitatif kinerja guru dalam pembelajaran bercerita dengan metode paired storytelling sudah baik dengan nilai 92, guru sudah cakap dalam mengintruksikan metode tersebut dan mampu memotivasi siswa dalam pembelajaran. Kelemahan pada siklus I sudah dapat diatasi.

Secara umum motivasi belajar siswa rata-rata ada 28,8 atau 29 siswa yang sudah bermotivasi tinggi atau 91%. Mereka sudah bertanya, menjawab, memberi pendapat, bekerja sama, dan memiliki perhatian atau minat dalam pembelajaran bercerita. Angka tersebut sudah mencapat indikator keberhasilan tindakan siklus II.

Berdasarkan hasil tes unjuk kerja bercerita, refleksi terhadap hasil tes sebagai berikut. Jumlah siswa yang tuntas ada 28 siswa atau 87,5%, sedangkan 4 siswa lainnya belum tuntas. Nilai tertinggi 92, nilai terendah 64, dengan nilai rata-rata kelas mencapai 85.

Setelah dilaksanakan siklus I dapat diketahui hal-hal yang merupakan kelebihan siklus I, antara lain:

1)    Penerapan metode paired storytelling dapat memotivasi belajar siswa dalam proses pembelajaran, yaitu siswa menjadi bertanya, menjawab, bekerja sama, dan minat dalam pembelajaran.

2)    Penerapan metode paired storytelling dapat merangsang siswa untuk termotivasi pembelajaran dengan lebih baik.

3)    Motivasi dan hasil belajar yang dicapai pada siklus II telah mengalami peningkatan dibanding siklus I. Angkanya pun sudah mencapai indikator keberhasilan tindakan.

Hal-hal yang merupakan kelemahan siklus II sudah dapat teratasi pada siklus II. Guru sudah dapat menguasai kelas, perhatian guru sudah menyeluruh, dan sudah tegas menyikapi siswa yang tidak fokus dalam belajar. Guru sudah baik dalam memberi motivasi dengan memberi tambahan nilai bagi siswa yang bercerita dengan baik. Guru sudah mengefesienkan waktu dengan baik. Pada sisi siswa, suda banyak siswa yang bertanya, menjawab, memberi pendapat, bekerja sama, dan memiliki perhatian atau minat dalam pembelajaran bercerita. Mayoritas siswa sudah tampil bercerita dengan runtut, ekspresi, mimik, dan intonasi yang tepat.

Berdasarkan hasil refleksi di atas dapat diketahui bahwa hasil yang dicapai pada siklus II sudah mencapai indikator keberhasilan tindakan sehingga penelitian dihentikan pada siklus II.

Pembahasan

Motivasi belajar siswa pada kondisi awal rendah. Siswa yang bermotivasi tinggi ada 10 siswa atau 31,25%, sedangkan 22 lainnya bermotivasi belajar rendah. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, jumlah siswa yang bermotivasi tinggi bertambah menjadi 21 siswa atau 65,6%, sedangkan yang lain bermotivasi rendah. Jumlah siswa bermotivasi tinggi semakin meningkat setelah diadakan tindakan siklus II. Jumlah siswa bermotivasi tinggi menjadi 29 siswa atau 91%, sedangkan 3 siswa masih rendah motivasinya. Peningkatan motivasi belajar bercerita kondisi awal dibandingkan dengan data motivasi belajar bercerita siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9 Peningkatan Motivasi Belajar Bercerita

No

Keterangan

Kondisi Awal

Siklus I

Siklus II

∑

%

∑

%

∑

%

1.

Motivasi belajar tinggi

10

31,25%

21

65,6%

29

91%

2.

Motivasi belajar rendah

22

68,75%

9

34,4%

3

9%

 

Peningkatan motivasi belajar tersebut juga diiringi pada peningkatan kinerja guru. Pada kondisi awal, kinerja guru pada materi bercerita ada pada kategori cukup dengan nilai 72. Setelah melaksanakan tindakan pada siklus I, kinerja guru meningkat menjadi kategori baik dengan nilai 84. Kinerja ini semakin meningkat pada siklus II menjadi sangat baik dengan nilai 92.

Dari uraian di atas, motivasi belajar siswa semakin meningkat dari kondisi awal ke kondisi akhir. Peningkatan yang signifikan terjadi pada kondisi awal ke siklus I. Peningkatan tersebut mencapai 34,4%. Peningkatan tersebut mencapai 25%. Penilaian observasi pada guru juga meningkat menjadi 92%. Hal ini sudah melampaui batas minimal pada indikator ketercapaian penilaian observasi sebesar 85%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode paired storytelling dapat meningkatkan motivasi belajar bercerita pada siswa kelas VII A SMP N 2 Ngrampal semester gasal tahun pelajaran 2016/2017.

Hasil belajar siswa pada materi bercerita semakin meningkat. Pada kondisi awal, hasil belajar siswa bercerita rendah. Nilai rata-rata siswa hanya mencapai 62,6. Nilai rata-rata yang di bawah KKM tersebut, diiringi dengan jumlah siswa yang tuntas hanya 9 siswa (72%), 23 lainnya belum tuntas. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 72 dengan jumlah siswa yang tuntas mencapai 20 siswa atau 62,5%. Hasil belajar bercerita semakin meningkat pada siklus II. Nilai rata-rata kelas menjadi 85 dengan jumlah siswa yang tuntas sebanyak 28 siswa atau 87,5%. Peningkatan hasil belajar bercerita kondisi awal dibandingkan dengan hasil belajar siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10 Peningkatan Hasil Belajar Bercerita

No

Keterangan

Kondisi Awal

Siklus I

Siklus II

∑

%

∑

%

∑

%

1.

Nilai rata-rata kelas

62,6

62,6%

72

72%

85

85%

2.

Jumlah siswa yang tuntas

9

28%

20

62,5%

28

87,5%

 

 Berdasarkan tabel di atas, ada peningkatan nilai bercerita. Peningkatan nilai rata-rata dari kondisi awal ke siklus I sebesar 9,5%. Nilai rata-rata siswa pada kondisi awal hanya 62,6 atau 62,6% meningkat ke siklus I menjadi 72 atau 72%. Peningkatan nilai rata-rata siswa signifikan terjadi dari siklus I ke siklus II mencapai 13%. Nilai rata-rata siklus I sebesar 72 atau 72% ke siklus II menjadi 85 atau 85%. Nilai rata-rata ini sudah mencapai batas minimal pada indikator ketercapaian tindakan sebesar 85%.

Peningkatan nilai rata-rata juga diiringi dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa. Peningkatan yang signifikan sebesar 34,4% terjadi dari kondisi awal 28% meningkat ke siklus I menjadi 62,5%. Pada kondisi akhir, siswa yang tuntas sudah mencapai 87,5%. Peningkatan dari siklus I ke siklus II mencapai 25%. Ketuntasan ini telah melampaui indikator ketuntasan belajar secara klasikal minimal mencapai 85%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode paired storytelling dapat meningkatkan hasil belajar bercerita pada siswa kelas VII A SMP N 2 Ngrampal tahun pelajaran 2016/2017.

Penutup

Berdasarkan hasil tindakan dan pembahasan pada Bab IV dapat disimpulkan bahwa.

1.        Ada peningkatan motivasi belajar siswa yang terjadi dari kondisi awal sebesar 31,25% menjadi 91% pada siklus II. Terjadi peningkatan motivasi belajar bercerita siswa sebesar 59,75%.

2.        Ada peningkatan hasil belajar siswa yang ditandai dengan dua peningkatan, yaitu:

a.     peningkatan nilai rata-rata bercerita dari kondisi awal sebesar 62,6% meningkat pada siklus II menjadi 85%. Terjadi peningkatan nilai rata-rata bercerita sebesar 22,4%,

b.     peningkatan ketuntasan belajar secara klasikal dari kondisi awal sebesar 28% meningkat pada siklus II menjadi 87,5%. Terjadi peningkatan ketuntasan belajar bercerita sebesar 59,5%.

Berdasarkan simpulan di atas, dapat disarankan: a) siswa meningkatkan motivasi dan hasil belajar bercerita; b) sekolah mendukung kegiatan belajar yang meingkatkan motivasi belajar dan prestasi sekolah, c) teman sejawat mengembangkan wawasan mengenai penerapan pembelajaran yang inovatif, dan d) perpustakaan menfasilitasi pengadaan sumber pustaka untuk penelitian tindakan kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dewi, Rishe Purnama. 2006. “Teknik Mendongeng dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar.” Kumpulan Makalah Konferensi Internasional (PBSI XXVIII-IKIP PGRI Semarang). Semarang: LPMP Jawa Tengah.

Karuru, Perdy. 2003. “Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses dalam Seting
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kualitas Belajar IPA Siswa SLTP
.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-9, No. 045: 789-805. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Larkin, Chuck. 2000. What is Storytelling? Dalam http://www.eldrbarry.net/ross/st_is.htm.

Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT Grasindo.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nugraha, Lisa, Anita Lie, dan Monica Santoso. 1996. Metode Pengajaran Paired Storytelling bagi Mahasiswa yang Belajar Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing. Dalam http://puslit.petra.ac.id/research/research%20 papers/letters/96/rp-ltr-96-01.htm.

Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra edisi ketiga. Yogyakarta: BPFE.

Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan: Landasan Penyusunan Buku Pelajaran Bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.

Purwanto, Ngalim, M.. 2000. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rieneka Cipta.

Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Berprestasi Mengajar. Jakarta: RajaGrafindo.

Supriyadi. 2005. “Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas Rendah Sekolah Dasar.“ Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. No. 2 (6): 178-195. Palembang: PSPB-Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.