Modernisasi (Suatu Analisis Fenomenologis)
MODERNISASI
(SUATU ANALISIS FENOMENOLOGIS)
Rio Adi Kurniawan
Mahasiswa Progdi BK-FKIP-UKSW Salatiga
ABSTRAK
Seperti yang kita ketahui kata Modernisasi sudah bukan menjadi kata yang asing bagi setiap manusia, malah seakan modernisasi seakan menjadi gaya kehidupan yang utama, Modernisasi menguasai dan menggenggam Bangsa Indosesia. Bagi Negara Maju modernisasi sudah menjadi hal yang biasa saja anggapannya. Bangsa Indonesia terlalu terpaku pada budaya ke baratan dan penduduknya terlalu membanggakan gaya hidup dan trend yang sekarang serba ke baratan, dengan bangganya memamerkan gaya cara berpakaian, cara model kehidupan yang padahal semestinya kurang baik jika diterapkan di Indonesia. Sejalan dengan waktu perubaha-perubahan zaman yang semakin di kuasai oleh bersainnya, sistem teknologi, informasi terus bersaing pesat dan berkembang dengan dasyatnya. Penjajahan di Bngsa Indonesia bukanlah seperti jaman penjajahan dahulu, tetapi pada saat ini penjajahan arus Modernisasi yang semakin mengkat bangsa Indonesia, di barengi dengan bertumbuhnya kebudayaan barat yang menjadi gaya hidup penduduk Bangsa Indonesia.
Kata kunci: modernisasi
PENDAHULUAN
Dalam bukunya yang berjudul “The structure of scientific Revolution†Thomas S,Kuhn (1962) mengmukakan bahwa proses pergeseran dominasi suatu paradigma lama oleh paradigma baru selalu mempersoalkan teknik dan metode-metode penelitian yang lazim digunakan. Dalam tautan makna demikian Kuhn sangat terpengaruh oleh sejarah perkembangan ilmu-ilmu eksakta yang diterima secara mutlak setelah terbukti tekhnik dan metode penelitian yang digukana lebih manjur untuk memecahkan masalah yang sebagai normai science (paradigma) yang berupaya menghindari persoalan baru sebagai akibat keraguan atas pola dan teknik serta metode yang digunakan.
Dalam kerapatan makna yang demikianlah modernisasi ditempatkan sebagai suatu obyek ilmu sosial untuk dianalisis keberadaannya dalam konteks kemanfaatannya untuk kehidupan manusia. Atas pijakan yang demikian Kuncaraningrat (1974) mengatakan modernisasi adalah “ usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konsentelasi dunia sekarangâ€. Takrif ini mendiskripsikan adanya kesulitan dalam membuat periodisasi modernisasi. Hal senada dikemukakan oleh Turner (2000) “sulit menentukan determinasi secara periodik tentang modernisasi, sebab perubahan demi perubahan silih berganti dalam kurun waktu yang berbedaâ€. Pandangan ini mendiskripsikan pada kita bahwa modernisasi pada dirinya merupakan suatu fenomena sosial hasil kreativitas manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dimuka bumi. Dalam analisis sosial modern kadang-kadang sulit membedakan antara fenomena modernisasi dengan fenomena post modernism, lantaran sulitnya indicator penentu makna setiap simbol yang digunakan (Harvey,1989).
MODERNISASI DAN PROBLEM SOSIAL
Hidup dengan cara berupaya menyesuaikan diri dengan konsentelasi zaman merupakan hak sekaligus pilihan personal atas nilai-nilai yang dianggap baru dan sesuai dengan keinginannya. Hak asasi dan pilihan yang merupakan keputusan pribadi tidak jarang berbenturan dengan tradisi atau kebiasaan hidup untuk masyarakat. Hal yang modern dan biasanya belum tentu dapat diterima di kota kecil dan sebaliknya (Sukamto, 1988). Masyarakat manapun tentu memiliki kebiasaan hidup atau tata nilai budaya, adat istiadat tertentu yang tidak mudah luntur akibat deraan arus perubahan yag terjadi. Dalam tautan yang demikian Abraham (1991) mengatakan biasanya modernisasi dimulai atau bergulir dari Negara super power selalu mengikuti perubahan yang terjadi pada Negara-negara maju. Negara berkembag sendiri sulit untuk mengkristalisasi nilai-nilai baru lantaran kentalnya anutan masyarakat pada nilai budaya setempat. Belum lagi ditambah persoalan heterogenitas nilai budaya yang kadang menyulitkan proses adaptasi secara menyeluruh. Dalam kerangka pikir seperti itulah Abdullah (1978) mengatakan sebagai bangsa kita mesti memiliki pertahanan diri agar tidak mudah hanyut di dalam alam modernisasi. Hal yang sama oleh mantan Gubernur Jawa Tengah Ismail (1991) disebut dengan istilah “Jati diriâ€. Sebagai bangsa yang besar kita mesti memilki jati diri agar tidak teromabng ambingkan oleh tatanan nilai yang cenderung merusak keberadaan kita sebagai bangsa yag memiliki Pancasila sebagai dasar Negara (Selosumardjan, 1977).
Pada pilaha lain, terdapat fenomena sosial, berupa gaya hidup yang meniru gaya hidup orang barat, yang oleh Kuncaraningrat (1974) diseut “westernisasiâ€. Peniruan tanpa makna sebstansial biasanya dilakukan oleh anak muda untuk menunjukkan hebatnya dalam menyesuaikan diri, walaupun hal yang ditiru bertentangan dengan nilai dan kebiasaan hidup masyarakat disekitarnya. Sebagai misal, berpakaian seadanya, mencat rambut, melubngi celana, laki-laki melubangi telinga dan hidung, kumbul kebo,Narkoba, berbahasa seenaknya dan sebagainya. Pola hidup model begini memang merupakan hal biasa di Negara-negara Eropa dan Amerika, tapi di Indonesia adalah hal yang luar biasa kontroversialnya dengan keadaan masyarakat. Atas dasar itulah Selosumardjan (1990) mengatakan “kita mesti memiliki alat penangkal yang ampuh untuk menyeleksi deraan nilai-nilai bawaan zaman agar generasi muda kita tidak hayut dan luntur ideallismenya seabagi bangsaâ€. Berangkat dari kondisi obyektif seperti itulah maka pendidikan formal sebagai salah satu pusat kebudayaan mesti membenahi kurikulumnya agar dengan demikian generasi muda bangsa Indonesia dapat terhindar dari soal tiru meniru yang tidak perlu.
Persoalan penting lainnya berkenaan dengan paparan di atas adalah tingkah laku atau sikap dari otang tua atau generasi tua yang juga ikut-ikutan meniru model atau gaya hidup anak muda masa kini. Hal ini menjadi lebih penting lantaran posisi generasi tua adalah sebagai teladan bagi generasi muda. Jika hal ini tidak segera diatasi maka akan mendatangkan badai besar dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia umumnya (Anhar Gonggong, Kompas, 22 Januari 2000).
MODERISASI SEBAGAI NILAI
Secara teoritis modernisasi lebih menyentuh aspek niai dan sikap manusia. Persoalan prinsip dalam konteks modernisasi di Indosesia adaah bagaimana merubah mentalitas bangsa ini agar sesuai dengan nilai dan sikap yang berkembang di dunia Internasional. Jika suku bangsa tertentu di Indonesia masih bangga disebut bersikap boros dan marah kalau dibilang pelit. Maka nilai dan sikap seperti demikian tidak sesuai dengan perkembangan zaman, karena nilai hidup yang benar adalah orang harus hemat dalam menata hidupnya. Jadi persoalannya bukan pada simbol tetapi pada soal tata nilai. Berbagai pola hidup, cara berpikir, berbicara, dan sebagian besar tamatan luar negeri terutama Eropa dan Amerika dalam pergaulan hidup di masyarakat kita dianggap kurag sopan atau kurang menghargai tata nilai budaya setempat. Pada hal sikap dan tutur kata mereka menunjukkan bukti kesetiaan mereka pada bangsa dan Negara untuk merubah pola hidup, tutur kata yang efisien dan efisiensi. Jika kondisi ini tidak berubah kita akan berputar-putar pada sumbu persoalan laten yang tidak kondusif bagi kemajuan bangsa ini memasuki abad millennium. Sampai kapankah kita memberi toleransi pada perkembangan nilai baru yang positif ? Berbagai deraan seperti krisis ekonomi, krisis sosial, gejolak sosial, krisis politk nampaknya belum cukup memberi pelajaran untuk kita waspada dan harus merubah diri. Kita tahu bahwa masalah SARA sangat sensitifbagi keutuhan bangsa, tapi dalam pelaksanaanya kita sengaja membuat statemen yang membimbing untuk bertikai. Pemerhati pendidikan mengatakan kurikulum harus dirubah, nyatanya tidak. Lalu apa yang kita kehendaki dari dunia yang semakin mengglobal ini. Modernisasi bagi kita hanya sekdar peniruan instrumental tanpa internalisasi yang bermakna. Dalam kondisi seperti ini, kita bukannya makin mampu mengatasi persoalan internal, tetap sebaliknya kita akan perlahan-lahan akan hancur lebur sebagai bangsa yang utuh. Dalam kaitan dengan hal itu Pangdam Wirabuana (Kompas, 7 Juli 2000) mengatakan kita saat ini sedang berada pada tahapan bunuh diri. Gejolak yang terjadi di Papua, Ambon, Tobelo, Halmahera, Ternate kelihatanya tidak memampukan kita untuk melalkukan intropeksi. Fenomenal-fenomenal sosial ini memberikan indikasi adanya tatanan nilai yang terkoyak akibat kesombongan SARA. Pada hal kita tahu bersama agama mengajarkan kepada kita untuk hidup rukun. Mengapa manusia di belahan bumi tercinta ini melakukan sebaliknya atas nama agama? Tata nilai modernisasi manakah yang dipakai untuk meperoleh sinergi bagi keutuhan wilayah Indonesia. Persoalan principal yang muncul adalah apakah manusia yang bertingkai tidak lagi memiliki tata nilai? Masih banyak pertanyaan serupa yang bisa diajukan untuk menggenapi peristiwa sosial yang dimaksud. Atas dasar itulah dapa dikatakan bahwa bangasa Indonesia belum siap memaknai modernisasi dalam konteks kehidupan yang sebenarmya.
Walaupun modernisasi sangat dianjurkan bahwa didorong secara antusias tidak tidak seorangpun diantara kita berasumsi bahwa modenisasi merupakan karunia yang steril. Kalau misalnya kemacetan fisik, alianasi psikis, kejelekan, hilangnya komunitas dan deskruksi lingkungan dihubungkan secra seentak dan berbeda dengan modernisasi, itu baru pada taraf pemahaman proporsional tentang hakikat perkembangan itu sendiri. Contoh lain,pertumbuhan ekonomi dapat juga diberi pengertian dari dua perspektif yang berbeda. Secara statistik sederhana dapat dipandang sebagai oeningkatan dalam GNP dan pendapatan perkapita. Dari pandangan modernisasi pertumbuhan ekonomi didefinisikan dengan proses peningkatan secra progresif tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk pada umumnya. Dalam arti ini, pertumbuhan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan GNP dan pendapatan pekapita tetapi juga standart hidup yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi secara statistik tidak dapat mendoronng modernisasi, karena itu ia tidak dapat merepresentasikan mobilisasi sosial dan ekspansi budaya.
Demikian pula mobilitas sosial dapat dimaknai sebagai proses keterlibatan yang lebih besar dalam kelompok-kelompok sekunder. Pola-pola baru sosialisme antisipatoris dan pembentukan kelompok referensi baru yang terpisah dari yang tradisional seperti keluarga, kekerabatan dan komunikasi lokal. Ia membutuhkan keterlibatan demokrasi atau partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Sementara ekspansi budaya dimaknai sebagai proses penyempitan bidang aksi yang bersifat preskriptif. Perluasan rentangan alternative-alternatif dan memulai pla-pola sosialisasi dan tingkah laku yang baru. Perubahan budaya yang signifikan dapat terjadi dalam kerangka tradisi dan tanpa kehilangan nilai-nilai dan institusi –institusi pribumi. Dengan demikian ada berbedaan antara ekspansi budaya dengan peningkatan budaya. Modernisasi mustahil tanpa transfer dan dan asimilasi secara massif baik, lembaga, institusi, nilai, atau prosedur.
Dalam tautan makna yang sama Abraham (1991) engemukakan ada tiga ciri modernisasi: Pertama. Modernisasi endogen. Modernisasi ini diibaratkan sebagai proses modernisasi evolusioner yang dialami Eropa Barat dan Amerika Utara yang didorong oleh kekuatan-kekuatan sosial yang diperkuat oleh konstelasi sejarah yang unik. Kematian feodalisme perluasan industrial dan ekspansi koloni telah mndorong ke arah pertumbuhan ekonomi dan mobilisasi sosial. Dinamika modernisasi endogen secara parsial dapat dijelaskan menurut tema prinsip perubahan imanen dari sorokin, Kedua Modernisasi yang diarahkan. Artinya suatu perubahan yang disengaja yang mebdorong direncanakan dan dipimpin oleh badan administrasi Negara yang terpusat. Modernisasi diarahkan pada organisasi peencanaan pusat yang menentukan kesan dan strategi pembangun. Modernisasi juga diartikan sebagai bentuk penekanan pada kekayaan/ kemakmuran atau redistribusi keuntungan yang pernah dialami. Modernisasi dimaknai juga sebagai mobilisasi massa rakyat yang kurang membutuhkan kekuasaan. Modernisasi juga berarti tindakan preskriptif menurut tema nilai-nilai tradisional yang diganti dengan pola tingkah laku yang diperlukan sesuai dengan etika pembangunan baru yang di anut. Ketiga, Modernisasi Hibrida, Bentuk modernisasi ini sering disebut sebagai modernisasi akulturatif yng menggabungkan tindakan yang mengarah kepada proses revolusioner. Faktor ekstern dan kontak dengn budaya lain memainkan suatu peranan penting.
MODERNISASI DAN WESTERNISASI
Usaha suatu bangsa utuk menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia, merupakan suatu proses modernisasi. Pada saat Negara Romawi menentukan konstelasi dunia pada abad ke 2 SM banyak kerajaan disekitar laut Mediteran, di Eropa Tengah dan Utara dengan sadar berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan dunia yang ditentukan olrh kehidupan ekonomi,politik, dan kebudayaan Negara Romawi. Setiap Negara dalam proses menyesuaikan diri selalu menjaga kekhususannya atau jati dirinya. Ketika abad ke 4, muncul kerajaan-kerajaan besar di India, Cina menentukan konstelasi dunia. Banyak kerajaan di Asia termasuk Indonesia (Nusantara) dengan sadar menyesuaikan diri dengan kehidupan ekonomi dan politik dan kebudayaan kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya atau Majapahit tetap mempertahankan kekhususannya, karena kedua kerajaan di Nusantara ini berbeda dengan kerajaan di India dan Cina. Pada abad ke 20 konstelasi dunia ditentukan oleh Negara-negara besar yang telah mencapai kemajuan ekonomis atau the developed world. Sebelum perang dunia ke II Negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Setelah perang dunia ke II muncul pula Negara-negara lain seperti Jepang, Uni Soviet. Negara-negara lain belum mencapai kemajuan dalam berbagai hal. Karena itu Negara-negara lain yang disebut Negara dunia ketiga, senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan Negara-negara maju. Jika tidak Negara-negara yang tergolong terbelakang akan kandas terdesak oleh kekuatan raksasa yang sedang menguasai dunia. Dalam banyak hala Negara-negara rakasa menggunakan kebudayaan untuk menguasai dunia seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut oleh Korten (1996) disebut sebagai upaya korporasi internasional mengusai dunia. Atas dasara itu, maka kita dapat membedakan proses usaha untuk menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia yang dikomandoi oleh Negara-negara adi daya, dan usaha meniru gaya pola hidup kebarat-baratan. Pada dimensi pertama identitasatau jati diri, identitas diri atau kekhususan telah, luntur atau hanyut oleh deraan kemajuan dan keinginana untuk meniru.
Dalam konteks seperti ini, kita patut mewaspadai berbagai fenomena emperik yang menggoda bahkan secara sengaja disodorkan kepada kita sebagai suatu hal yang baru, pada hal didalamnya tersembunyi arus besar yang dapat menyesatkan kehidupan umat manusia seperti CD, Internet dan sebagainya. Bangsa kita belum siap untuk bermain dengan alat-alat teknologi canggih, karena belum mampu membedakan antara manfaat dan hiburan. Atas dasar itu pemerintahan sudah saatnya menentukansikap tegas terhadap berbagai hal yang diperkirakan dapat menjebak generasi muda kita pada perbuatan-perbuatan kurang terpuji sebagai hasil pengaruh dari teknologi itu sendiri.
ALTERNATIF SOLIUSI
Merujuk pada paparan-paparan di atas, berikut ini akan didiskrpsikan beberapa alternatif pemecahan hasil perenunggan dan pemahaman atas berbagai situasi problematis yang dihadapi akhir-akhir ini akibat derasnya arus modernisasi. Pertama. Memperkuat basis pendidikan dengan cara melakukan perubahan yang mendasar terhadap system pendidikan yang selama ini mengabdi pada kepentingan penguasa agar mengabdi pada kepentingan anak didik. Atas dasar itu, kurikulum, strategi belajar mengajar, media dan evaluasi pendidikan yang dilakukan harus mampu mengakomodasi kecakapan antisipasif pada anak modernisasi. Kedua. Memperkuat basis pendidikan agama, baik di dalam keluarga, lembaga-lembaga keagamaan maupun lewat pendidikan agama di sekolah, Ketiga. Memperkuat nilai budaya bangsa agar tidak luntur atau hanyut dala arus modernisasi dengan cara pemerintahan dengan segala kewenangannya harus melakukan seleksi terhadap berbagai produk teknologi yang masuk ke Indonesia, Keempat. Pemerintahan melakukan sosialisasi tentang berbagai dampak negative dari berbagai perubahan pola hidup, sikap atau tindakan baru cenderung negatif.
KESIMPULAN
Modernisasi mengandung nilai yang dapat diintepretasikan sesuai dengan keadaan suatu masyarakat tertentu. Baik buruknya suatu hal basuatu hal tergantung cara pandang masyarakat kita sesuai nilai, norma, etika yang berkembang dan diakrabi oleh suatu masyarakat. Atas pijakan yang demikinan maka persoalan modernisasi menjadi sanagt penting untuk di jadikan bahan pertimbamgan dalam menentukan pola hidup, siap dan tindakan setiap hari.
KEPUSTAKAAN
Abraham, M. Francis,1997, Modernisasi di Dunia Ketiga, Yogya: Tiara Wacana
Gonggong, Anhar,2000,Kompas,22 Juni 2000 Harvey, David,1989, The Condition of Postmodernity, Massachutsetts, Basil Blackwell Ltd.
Ismail,1991, Perkembangan di Jawa Tengah, Semarang, Pemda Tingkat I Jateng
Korten, David 1998, When Corporation Rule the World, Jakarta, Profesional Books
Kunt, Thomas. S, 1962, The Structure of Scientific Revolution, New York, Prentice Hall, Engliwood Cliffs.
Selosumardjan,1990,Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, FE. UI. Jakarta, FH.UI
Turner Bryan,2000, Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.