Perempuan dan Kekerasan
PEREMPUAN DAN KEKERASAN
Tatik Yuliasih
Mahasiswa Progdi BK-FKIP-UKSW Salatiga
ABSTRAK
Akar persoalan dari ketidakadilan posisi dan peran laki-laki dan perempuan adalah ideologi patriarkhi yang telah berurat akar dalam masyarakat akibat konstruksi sosial dan budaya. Ketidakadilan tersebut nampak dalam berbagai segi yaitu: proses marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi dalam proses politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak dan panjang (burden), seta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan di atas merupakan lingkaran setan yang saling terkait. Misalnya, marginalisasi ekonomi kaum perempuan justeru terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada suboradinasi, kekerasan terhadap kaum perempuan, yang akhirnya tersosialisasi dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan itu sendiri.
Kata kunci: perempuan, kekerasan
PENDAHULUAN
John Naisbit dan Aburdene (suami-istri) dalam bukunya Megatrends 2000 meramalkan bahwa dasawarsa 90-an adalah dasawarsa perempuan. Sebab pada dasawarsa ini akan terjadi peralihan peran yaitu peran laki-laki akan beralih ke perempuan khusunya di bidang manajemen dan kepemimpinan. Dengan demikian maka kaum perempuan akan lebih siap mengantisipasi dan memiliki kesempatan besar menduduki posisi puncak kepemimpinan.
Harus diakui bahwa ramalan John Naibit dan Aburdene ada benarnya jika kita melihat dari tampilnya beberapa pemimpin perempuan di Asia, misalnya Cory Aquino yang mampu mengerakan revolusi di Pilipina, Aung San Suu kyi sebagai pemimpin gerakan pro demokrasi di Myanmar, dan Indonesia diwakili oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP bahkan sekarang menjadi Wakil Presiden RI.
Namun, bersamaan dengan itu, pada dasawarsa yang sama, kita sungguh dibuat prihatin dengan maraknya kerusuhan dak kekerasan, tidak terkecuali kekerasan terhadap kaum perempuan. Kasus yang masih hangat dalam ingatan kita yang dapat dikedepankan disini adalah kasus Marsinah dan kasus pemerkosaan pada bulan Mei 1998. Kedua kasus tersebut telah mencoreng wajah bangsa kita di mata bangsa-bangsa lain (FanggidaE, 2003).
Namun kalau dicermati, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berlangsung pada saat kerusuhan, tetapi juga terjadi melalui proses dan bentuk (wujud) yang lain, dan itu merebak hingga sekarang. Sebelum kita memahami proses dan bentuk kekerasan, maka pertanyaan awal yang perlu dijawab adalah faktor apa yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung hingga sekarang?
Banyak faktor yang dikedepankan untuk menjelaskan penyebab kekerasan terhadap kaum perempuan. Namun menurut saya, ada dua akar utama penyebab kekerasan terhadap perempuan, yaitu (1) ideologi patriarkhi yang telah mengakar dalam masyarakat secara global dengan dukungan pemaham gender yang salah (bias), (2) mekanisme pembanguan eksploitatif
IDEOLOGI PATRIARKHI DAN BIAS GENDER
Patriarkhi adalah konsep yang pertama kali digunakan oleh Weber untuk mengacu kepada suatu sistem sosial dan politik tertentu dimana seseorang ayah, berkat posisinya dalam rumah tangga, bisa mendominasi anggota jaringan keluarga luasnya dan menguasai produksi ekonomi. Namun secara historis kata patriarkhi telah berakar dalam hukum Yunani dan Romawi dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga menguasai hukum dan ekonomi. Pada masa sekarang ‘patriarkhi†digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan berlanjut sampai dominasi peran laki-laki dalam semua lingkup lehidupan manusia yaitu politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup, bahkan agama. Dengan demikian maka relasi (posisi dan peran) antara perempuan dan laki dalam struktur kehidupan masyarakat berada pada posisi yang asimetris. Akibatnya adalah terjadi diskriminasi atau marginalisasi terhadap perempuan dalam segala bidang kehidupan.
Sistem patriarkhi lambat laun menyebabkan pemahaman yang bias terhadap posisi dan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pemahaman yang bias ini diistilahkan secara tepat oleh Masour Faqih sebagai “bias gender’, dan inilah faktor kedua yang turut memberi andil kekerasan terhadap perempuan. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya dalam masyarakat yang cenderung menganggap sifat-sifat gender adalah sifat-sifat kodrati manusia.
Pemahaman gender yang bias pada akhirnya menyebabkan ketidak adilan terhadap kaum perempuan dalam masyarakat. Dengan demikian ada kaitan yang erat antara pemahaman gender yang bias dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara luas. Oleh karena itu pemahaman gender yang bias perlu diluruskan.
Dalam konteks ini maka kita perlu membedakan secara jelas anatara jenis kelamin dan gender. Menurut Mansour Fakih (1997), jenis kelamin dipahami sebagai pensifatan atau pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat secara kodrati. Secara kodrati, laki-laki memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma; sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan menyusui. Sifat-sifat kodrati yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara permanen tidak dapat mengalami perubahan sekaligus merupakan ketentuan biologis. Sedangakan konsep gender berarti sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dan sifat-sifat ini dapat diubah dan dipertukarkan. Misalnya, perempuan dipahami sebagai manusia yang lembut, emosional, dan keibuan. Sementara itu laki-laki dipahami sebagai makhluk yang kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Pensifatan atau pembagian yang bias ini merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya. Masyarakat, laun laun, mehamami pensifatan tersebut sebagai yang kodrati, dimana ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam interaksi dipahami dan diterima begitu saja oleh seseorang tanpa mempersoalkannya lagi. Akibat dari konstruksi sosial dan budaya yang demikian adalah perempuan mengalami ketidakadilan dalam proses kehidupannya. Konstruksi sosial dan budaya semacam di atas pada gilirannya melahirkan ketidak adilan dalam masyarakat (gender inequalities) baik bagi kaum laki maupun (terutama) bagi kaum perempuan.
MEKANISME PEMBANGUNAN YANG EKSPLOITATIF
Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, termasuk kekerasan terhadap perempuan disinyalir sebagai akibat dari kesenjangan sosial. Dalam konteks ini, maka kekerasan terhadap perempuan lebih disebakan oleh mekanisme pembangunan yang cenderung menekankan pada angka produktivitas dan pertumbuhan yang bersifat makro. Target angka menjadi ukuran kesuksesan, sementara peningkatan kualitas hidup individu menjadi urusan nomor dua. Dalam sistem seperti ini tidak ada jaminan bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki akses yang sama dalam memanfaatkan pembangunan dan dalam menentukan hidup bernegara.
Hal ini nampak secara jelas dalam pendistribusian posisi dan peran kepada laki-laki dan perempuan dalam proses pelaksanaan pembangunan bangsa. Laki-laki ditempatkan pada posisi yang menguntungkan di sektor publik-produktif sekaligus memiliki kekuasaan mutlak terhadap keluarga. Sebaliknya perempuan diposisikan pada sektor domestik, yang dinilai tidak produktif dan marginal. Konsekuensinya, masalah perempuan baru menjadi masalah publik jika mengancam produktivitas dan pertumbuhan nasional. Kekerasan terhadap perempuan dipandang sebagai masalah perempuan an sich dan bukan masalah masyarakat luas.
Dari keseluruhan penduduk Indonesia, mayoritas perempuan Indonesia berada pada struktur paling bawah. Ini bisa dijelaskan mengapa kekerasan terhadap perempuan seolah tidak terlihat dan dianggap bukan masalah nasional. Kekerasan lebih banyak mengena pada perempuan yang berasal dari kalangan bawah yang minim sumber daya materi. Mayoritas perempuan yang miskin (baik materi maupun wawasan) tak memiliki kemampuan untuk tampil sebagai individu dan dengan demikian tak berhak untuk diperlakukan sebagai individu/pribadi manusia.
Dalam posisi yang demikian maka tidak mengherankan jika muncul berbagai macam tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam maysarakat dan bangsa. Ini menjelaskan pula mengapa kekerasan terhadap TKW (penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan) tetap saja menjadi persoalan yang misterius, yang tidak jelas upaya penyelesaiannya. Sebab bila diselesaikan akan menjadi counter productif, negara kehilangan penghasilan dari pengiriman TKW (Tagela, 2006).
Jadi akar persoalan dari ketidakadilan posisi dan peran laki-laki dan perempuan adalah ideologi patriarkhi yang telah berurat akar dalam masyarakat akibat konstruksi sosial dan budaya. Ketidakadilan tersebut nampak dalam berbagai segi yaitu: proses marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi dalam proses politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak dan panjang (burden), seta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan di atas merupakan lingkaran setan yang saling terkait. Misalnya, marginalisasi ekonomi kaum perempuan justeru terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada suboradinasi, kekerasan terhadap kaum perempuan, yang akhirnya tersosialisasi dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka jelas bahwa kekerasan adalah salah satu bentuk saja dari ketidak adilan yang di alamai oleh perempuan. Konrad Lorenz sebagaimana dikutip oleh ST. Sunardi (1996) dalam buku “Keselamatan, Kapaitalisme, dan Kekerasan mengatakan bahwa kekerasan merupakan salah satu dari the big four naluri manusia (tiga lainnya adalah naluri lapar, seks, dan rasa takut). Sedangkan menurut Johan Galtung, kekerasan bertentangan dengan kebebasan manusia karena kekerasan ada bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmanih dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya (I. Marsana Windhu: 2002). Artinya kondisi struktural sosial yang tidak seimbang akan mengakibatkan tingkat dan dimensi potensial aktualisasi
Galtung menolak definisi kekerasan secara sempit. Menurutnya, kekerasan tidak hanya terjadi pada aspek fisis manusia, tapi juga menyangkut aspek mental manusia. Dalam kekerasan fisis, tubuh manusia disakiti secara jasmaniah bahkan sampai pada penghilangan nyawa manusia itu sendiri (Wieringa, 1999). Sedangkan dalam kekerasan mental, nampak pada proses indoktrinasi, ancaman, atau tekanan yang bermaksud meredusir, mengekang, atau membatasi daya fikir dan potensi seseorang.
Dengan nada yang berbeda namun bermakna sama, Mansour Fakih, seorang laki-laki yang peduli dengan gerakan gender, memahami kekerasan (violence) sebagai “serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorangâ€. Bahkan ia memberikan daftar terperinci tentang kekerasan terhadap perempuan, antara lain:
1. Kekerasan pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan pemaksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan itu seringkali tidak terekspresikan secara nyata disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya kerana takut terhadap suami, malu, dan keterpaksaan ekonomi, bahkan tidak ada pilihan lain.
2. Domestic violence, yaitu tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak (child abuse).
3. Genital Mutilation, yaitu bentuk penyiksaan yang mengarah pada alat kelamin. Misalnya penyunatan terhadap anak perempuan, dengan alasan yang bias gender dalam mayarakat yaitu untuk mengontrol perempuan.
4. Prostitution, yaitu kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat atau negara selalu menggunakan standart ganda terhadap pekerja seksual. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkap mereka, namun di sisi lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Pada satu sisi masyarakat menganggap mereka rendah dan tidak bermoral, namun di sisi lain banyak orang “mengunjungi†pusat kegiatan mereka.
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang.
6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Banyak perempuan yang menjadi korban akibat kebijakan ini. Dalam rangka mengontrol laju penduduk, maka perempuan dijadikan obyek dari program ini, meskipun semua orang tahu bahwa persoalan peledakan penduduk semata-mata bukan pada perempuan tetapi pada laki-laki juga.
7. Jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini seringkali terjadi di tempat kerja ataupun ditempat umum.
8. Pelecehan seksual (sexual and emotional harassment).
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa yang harus dilakukan untuk melawan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan akibat dari konstruksi sosial dan budaya yang tidak adil?. Apakah gerakan perempuan (feminisme) yang ada selama ini merupakan perjuangan yang sebatas pada perjuangan emansipasi perempuan dihadapan lak-laki atau gerakan melawan sistem dan struktur yang mengakibakan kaum perempuan menderita karena kekerasan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas maka lahir beberapa gerakan perempuan yang masing-masing memiliki pemahaman dan pendekatan yang berbeda. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner (1997) mengidentifikasikan gerakan-gerakan feminisme dalam tiga aliran utamam yaitu:
1. Feminisme liberal, yang menganggap persoalan kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak disebabkan oleh sistem atau sruktur sosial atau akibat ideologi patriarkhi, namun kesalahan perempuan sendiri. Oleh karena itu kerangka kerja feminisme liberal dalam menjawab persoalan perempuan adalah dengan menyiapkan kaum perempuan agar mampu bersaing dalam dunia yang penuh dengan persaingan bebas.
2. Feminisme radikal, yang memahami tindakan kekerasan laki-laki terhadap perempuan berakar pada jenis kelamin dan ideologi patriarkhi. Oleh karenanya jawaban atas persoalan ini bisa dilakukan dengan revolusi dan perlawanan personal yang justeru harus dimulai di dalam rumah sendiri.
3. Feminisme Sosialis. Aliran ini memahami kekerasan terhadap perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan dengan produksi. Persoalan perempuan selalu dikaitkan proses kapitalisme, suatu sistem yang membentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah akibat dari struktur yang tidak adil. Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan akan hilang manakala kaum perempuan ikut ‘memerangi’ konstruksi sosial dan budaya serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.
Ketiga aliran di atas sekalipun berbeda dalam analisis dan ideologi, namum ketiganya berangkat dari asumsi dan kesadaran yang sama bahwa kaum perempuan pada dasarnya di tindas dan dieksploitasi (Mosse, 1996). Oleh karena itu harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Sekalipun berbeda bentuk perjuangan, namun ketiganya sepakat bahwa tujuan akhir dari perjuangan perempuan adalah kesetaraan posisi dan peran laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham Fanggidae, 2003, Memahami Masalah Kesejahteraan Sosial, Jakarta, Puspa Swara
Julia Cleves Mosse, 1996, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka pelajar,
Marsana Windhu I, 2002, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogayakarta, Kanisius
Maria Pakpahan, 1997, Perempuan dan penindasan Serta Perlawanan (Kompas, 9 Mei)
Ratna Saptari, Brigitta Holzner, 1997, Perempuan, Kerja dan Perubahan sosial (Sebuah Pengantar Studi Perempuan), jakarta, Grafiti Press
Saskia Eleonoro Wieringa, 1999, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta, Garba Budaya
Sunardi, ST,1996, Keselamatan, Kapitalisme, Kekerasan (Kesaksian atas Paradoks-paradoks), Yogyakarta, LkiS
Tri Marhaenei PA, 1994, Wanita Pemimpin Politik di Asia, (Suara Merdeka, 2 Pebruari)
Tagela,Umbu, 2006, Kekerasan terhadap Perempuan di abad Mellenium, Makalah, tidak diterbitkan