Motif Ekspedisi Pamalayu Oleh Kerajaan Singhasari Pada Masa Kertanegara
MOTIF EKSPEDISI PAMALAYU OLEH KERAJAAN SINGHASARI
PADA MASA KERTANEGARA
Muslikh
Universitas Veteran Bangun Nusantara
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kembali pendapat Berg tentang ekspedisi Pamalayu yang mempunyai motif militer dan pendapat Krom dan Brandes yang menyatakan ekspedisi Pamalayu bermotif persahabatan. Metodologi yang dipergunakan bersifat diskriptif analitif yaitu dalam memecahkan masalah digunakan sumber-sumber yang telah ada dengan menganalisa berdasarkan pada teori yang telah dikemukakan pada telah pustaka. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatatif yaitu usaha untuk mencapai pengertian tentang suatu gejala sosial dengan menggunakan ungkapan dalam bentuk klaimat, artinya tidak dalam bentuk angka-angka. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sumber pustaka baik yang mempunyai pendapat bahwa ekspedisi Pamalayu bermotif militer maupun bermotif persahabatan.Berdasarkan kedua sumber yang berbeda itu, akhirnya nampak jelas bahwa motif ekspedisi Pamalayu bercorak militer, yaitu untuk menundukkan kerajaan Melayu. Hal ini sesuai dengan kedudukan raja Indonesia kuno yang dianggap penjelmaan dewa di dunia, sehingga raja dianjurkan untuk selalu memperluas wilayahnya.
Kata Kunci: Kerajaan Singhasari, Ekspedisi Pamalayu, Kertanegara
PENDAHULUAN
Dibanding dengan periode sejarah Indonesia Baru, periode sejarah Indonesia kuno banyak permasalahan yang belum dapat dipecahkan. Misalkan tentang latar belakang perpindahan pusat Kerajaan Hindu Mataram dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (Buchori, 1968:1-16), Pembagian Kerajaan Airlangga (Buchorhi: 1968:1-16), satu atau dua dinasti yang memerintah di Jawa Tengah pada abad ke VIII-IX (Bambang Sumadio, 1968:1-26). Selain hal-hal di atas juga ada persoalan motif ekspedisi Pamalayu pada masa pemerintahan Kertanegara dari Singhasari.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli mengnai motif ekspedisi Pamalayu. Sebagian berpendapat bahwa motif ekspedisi Pamalayu sebagai ekspedisi militer (Krom,N.J, 1950:187), sedang sebagian ahli berpendapat bahwa ekspedisi Pamalayu bermotif perdamaian (Berg,C.C., 1969:70-80). Bahkan masih dipersoalkan kegiatan mana dalam masa pemerintahan Kertanegara yang disebut dengan Pamalayu (Berg,C.C., 1969:14).
Berdasarkan sumber Negara Kertagama dan Pararaton, Pamalayu adalah peristiwa pengiriman pasukan Singhasari ke Melayu untuk menundukkan Kerajaan Melayu pada tahun1275 atas perintah Kertanegara, Raja Singasari (Prapantja, 1953:37;J.Pasdmapuspita, 1966:27). Di dalam kedua sumber tersebut disebutkan bahwa pada tahun 1275 raja kertanegara mengirimkan tentaranya ke Melayu pengiriman pasukan ini dikenal dengan sebutan Pamalayu. Selain itu dijelaskan dalam beberapa sumber bahwa Kerajaam Melayu mengalami puncak kejayaan pada masa raja Adityawarman
Berdasarkan pada kedua sumber tersebut, N.J. Krom (1950:164) J.L.A.Brandes (Berg,C.C. 1968:5) dan H. Kern (Berg, 1969:5) berpendapat bahwa yang disebut dengan ekspedisi Pamalayu adalah kegiatan pengiriman pasukan Singhasari ke Kerajaan Melayu pada tahun 1275 atas perintah kertagama. Jadi ekspedisi tersebut bersifat militer.
Di pihak lain C.C. Berg berpendapat bahwa ekspedisi Pamalayu suatu ekspedisi persahabatan antara Singasari dengan Raja Melayu, bahkan juga dengan Raja Campa juga pada tahun 1228. Ekspedisi untuk menjalin persahabatan ini disertai dengan pengiriman arca Amoghapasa dari Raja Kertanegara kepada Srimat Sri Auliwarmadewa, Raja Melayu. Berg juga berpendapat bahwa sangat mungkin ekspedisi itu dikirim pada tahun 1229 (Berg.C.C 1969:14-18). Menurut Berg, dalam abad ke-13 daerah Asia Tenggara, termasuk kerajaan Singhasari, terancam politik peluasan wilayah Kekuasaan Kaisar Khubulai Khan dari Cina, yang ingin mengembangkan kekuasaannya di Asia. Untuk menghadapi ancaman ini maka Kertanegara berusaha menggalang persatuan antara raja-raja di Asia Tenggara, diantaranya dengan Raja Melayu dan Campa.
Dari uraian tersebut di atas ternyata belum ada titik terang pemecahan motif ekspedisi Pamalayu Kertanegara. Untuk membantu dalam pemecahan masalah inilah maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian persoalan motif ekspedisi Pamalayu Kertanegara.
METODOLOGI PENELITIAN
Sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam telaah pustaka maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Artinya dalam pemecahan masalah digunakan sumber-sumber yang telah ada dengan menganalisa berdasarkan pada teori yang telah dikemukakan pada telaah pustaka maupun pada perumusan masalah tersebut di muka. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu usaha untuk mencapai pengertian tentang suatu gejala sosial dengan menggunakan ungkapan dalam bentuk kalimat, artinya tidak dalam bentuk angka-angka.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sumber pustaka berupa hasil kesusastraan, prasasti, kitab hukum dan karya para ahli yang sesuai dengan persoalan yang sedang dibahas.
Hasil kesusastraan yang dipakai sebagai sumber data di sini adalah kitab Negarakertagama gubahan Prapanca, seorang pujangga yang hidup di Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, yang memerintah tahun 1350-1389. Data yang diambil dari kitab ini terutama yang menyebut tentang ekspedisi Pamalayu pada pupuh XLI:5, dan yang menyebut tentang politik serta agama yang dianut Kertanegara pada pupuh XLII, XLIII, dan XLIV. AGAMA YANG DIANUT Kertanegara pada pupuh XLII, XLIII, dan XLIV. Kita Negarakertagama yang digunakan dalam penelitian ini salinan Theodore G. Th. Pigeaud, Java in The 144 century, dalam huruf latin dengan bahasa jawa kuno. Disamping itu juga digunakan Negarakertagama yang diperbaruhi ke dalam bahasa indonesia oleh Slamet Muljana.
Prasasti-prasasti yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah prasasti-prasasti yang berasal dari Kertanegara yang diduga ada hubungannya dengan ekspedisi Pamalayu atau latar belakangnya. Prasasti Joko Dolog atau Prasasti Akshobya, tahun 1289 dan Prasasti Camundi tahun 1292. Dari prasasti-prasasti tersebut penulis tidak menggunakan secara langsung teks aslinya, tetapi menggunakan salinannya.
Proses Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan studi kepustakaan. Oleh sebab itu pengumpulan data diperoleh dari naskah, buku-buku karya para ahli yang tersimpan dari museum.
Secara umum jalannya penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan tahap analisa data serta penyelesaiannya.
Dalam tahap pengumpulan data dilaksanakan kegiatan yang meliputi studi pustaka ke perpustakaan dan museum. Studi pustaka dimaksudkan untuk memperoleh data yang diperlukan dari naskah-naskah dan karya para ahli. Perpustakaan yang diduga terdapat bahan-bahan yang diperlukan.
Dari daftar inventaris data tadi diadakan pembahasan serta analisis dengan pendekatan teori-teori seperti yang telah diketengahkan dalam tinjauan pustaka dan rumusan yang masalah. Analisis terhadap hasil penelitian ini bersifat kualitatif, artinya analisis tidak didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan angka, melainkan dinyatakan dalam bentuk pernyataan (kalimat). Analisis bertitik tolak dari klasifikasi pokok masalah yang muncul dalam penelitian mula-mula diadakan interpretasi pada suatu permasalahan tertentu, kemudian hasil ihterpretasi tersebut digunakan untuk menganalisis terhadap pokok masalah yang akan dicari pemecahannya.
Analisis selanjutnya dilakukan dengan cara menghubungkan motif ekspedisi Pamalayu menurut berita Negarakertagama dan Pararaton dengan kedudukan raja menurut kitab hukum Manawa Dharmasastra dan kitab hukum Hindu Budha yang lain, serta prasasti-prasasti, agama yang dianut oleh Kertanegara dalam pemerintahan. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan tentang motif ekspedisi Pamalayu Kertanegara.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Ekspedisi Pamalayu yang dteliti disini menyangkut persoalan apakah motif ekspedisi Pamalayu itu militer atau suatu persahabatan. Untuk membahas permasalahan tersebut perlu diajukan suatu pertimbangan bahwa apa yang dilakukan oleh Kertanegara dalam tindakannya yang berupa pengiriman ekspedisi ke tanah Melayu itu terkait erat dengan masalah- masalah yang menyangkut pada diri Kertanegara. Artinya Pamalayu merupakan suatu ide Kertanegara, sedangkan ide seseorang sangat dipengaruhi situasi yang berada di sekitar lingkungannya. Situasi yang dimaksud menyangkut pandangan masyarakat terhadap kedudukan raja, situasi politik pada waktu itu, unsur kepercayaan yang dianut, secara umum menyangkut pola kebudayaan yang berkembang di Lingkungan Kertanegara.
Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan Kerajaan Singhasari atas perintah Kertanegara pada tahun 1275, mempunyai motif yang masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. Henurut C.C. Berg dan W.F. Stutterheim ekspedisi Pamalayu merupakan ekspedisi persahabatan antara kerajaan Singhasari dengan raja Melayu. Sedang menurut N.J. Krom. H. Kern dan J.L.A. Brandes berpendapat bahwa ekspedisi Pamalayu bercorak militer yang dilakukan atas perintah Kertanegara ke Melayu untuk menundukkan kerajaan Melayu.
Dari dua motif ekspedisi Pamalayu yang diungkapkkan para ahli ini, masing-masing mempunyai landasan yang cukup kuat berdasarkan temuan-temuan yang mereka dapatkan
1. Motif Perdamaian
Adanya motif perdamaian dalam ekspedisi Pamalayu diungkapkan oleh Berg dengan pembahasan sebagai berikut: (C.C. Berg, 1969).
a. Menurut Berg Prapanca penulis Negarakertagama memberikan keterangan yang keliru mengenai beberapa kenyataan tentang ekspedisi Pamalayu. Tidaklah mungkin baru tahun 1292 Kertanegara melakukan keputusannya untuk menaklukkan Melayu dengan mengirimkan pasukan militer. Hal ini disebabkan dalam bulan kedua tahun 1292 Kertanegara telah meninggal. Sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk mengalami masa kemenangannya.
b. Ketika Kertanegara mengirimkan orang-orangnya ke Melayu (Pamalayu) Jaya Katwang dari Daha menyerbu Tumapel sekaligus berhasil membunuh Kertanegara. Wijaya salah seorang perwiranya dapat meloloskan, diri yang akhirnya dapat menjatuhkan Jaya Katwang, sehingga menjadi raja. Beberapa hari sesudah kemenangan Wijaya datanglah utusan dari Melayu untuk kembali ka Jawa, dengan membawa dua puteri seorang sampai pada kesimpulan bahwa ekspedisi Pamalayu disini tidaklah mungkin merupakan ekspedisi yang bercorak militir, namun ekspedisi dengan tujuan persahabatan.
2. Motif militer
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1286 terhadap Kerajaan Melayu (Reid, Anthony 2001). bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan (Slamet Muljana, 2006). Ekpedisi Pamalayu yang dilakukan Kertanegara tahun 1292 adalah mempunyai motif penaklukan secara militer. Hal ini didasarkan oleh bukti-bukti yang ditemukan dan didukung oleh Kern, Korm dan Brandes. Semuanya berpendapat bahwa ekspedisi Pamalayu bermotif penaklukan. Pendapat tersebut seperti dalam pembahasan berikut ini (Nugroho Notosusanto, 1984).
Raja Kertanegara adalah seorang raja Singhasari yang terkenal, baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Dalam bidang politik ia terkenal sebagaiseorangraja yang mempunyai gagasan perluasanCakrawala mandalake luarpulau Jawa,yang meliputidaerahseluruh Dwipantara. Dalam bidang keagamaan ia sangat menonjol dan dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Tantrayana.
Pada awal pemerintahannya ia berhasil memadamkan pemberontakan Kalana Bhaya (Cayaraja). Dalam pemberontakan itu Kalana Bhayamati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1270. Pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi untuk menaklukkan Melayu. Pada tahun 1280 baginda raja membinasakan durjana yang bernama Mahisa Rangkah, dan pada tahun 1284 menaklukkan Bali, rajanya ditawan dan dibawa ke Singasari. Demikianlah maka seluruh daerah-daerah lain tunduk dibawah kekuasaan raja Kertanegara, yaitu seluruh Pahang, seluruh Melayu, seluruh Gurun, seluruh Bakulapura, tidak perlu disebutkan lagi Sunda dan Madura, karena seluruh pulau Jawa tunduk dibawah kekuasaan raja Kertanegara.
Pahang terletak di Malaysia, Melayu terletak di Sumatra Barat, Gurunnama pulau di Indonesia bagian timur, dan Bakulapura atau Tanjungpura terletakdi bagian barat daya Kalimantan. Rupa-rupanya yang dimaksud oleh pengarang Nagarakertagama dengan nama-nama itu ialah seluruh wilayah Malaysia, seluruh Sumatra, seluruh kalimantan dan Indonesia bagian timur, seperti ternyata dari bagian lain dari Kitab Nagarakertagama. Kekuasaan raja Kertanegara atas seluruh nusantara itu, entah benar atau hanya secara simbolis, dinyatakan pula dalam prasasti yang tertera pada bagian belakang area Camundi dari desa Ardimulyo (Singasari) yang berangka tahun 1292. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa area Bhattari Camundi itu ditahbiskan pada waktu Sri Maharaja (Kertanegara) menangdiseluruh wilayah dan dukkan semua pulau-pulau yang lain.
Tindakan Raja Kertanegara untuk meluaskan kekuasaannya keluar Jawa itu rupa-rupanya didorong oleh ancaman dari daratan Cina, dimana sejak tahun 1260 berkuasa kaisar Shih-tsu Khubilai Khan, yang pada tahun 1280 mendirikan dinasti Yuan. Khubilai Khan segera memulai dengan minta pengakuan kekuasaan dari negara-negara yang sebelumnya mengakui kekuasaan raja-raja Cina dari dinasti Sung. Kalau tidak mau mengirimkan upeti dengan upeti dengan baik-baik, mereka. dipaksa dengan kekuatan senjata. Demikianlah maka Birma, Kamboja, dan Campa dikirimi utusan menuntut pengakuan kekuasaan, kemudian diserbu tentara Mongol karena negara-negara tersebut tidak mau tunduk begitu saja. Meskipun serangan itu tidak selamanya berhasil, tetapi negara-negara itu memandang lebih aman untuk akhirnya mengirimkan juga utusan dengan upeti kepada Khubilai Khan.
Jawa juga tidak luput dari incaran. Utusan Khubilai Khan mulai datang pada tahun 1280 dan 1281, menuntut supaya ada seorang pangeran yang dikirim ke Cina sebagai tanda tunduk kepada KekaisaranYuan. Ancaman itulah yang mengubah pandangan raja Kertanegara. Kalau sebelumnya kekuasaan raja-raja di Jawa hanya diarahkan ke lingkungan pulau Jawa (yawadwipamandala) saja, maka untuk menghadapi Khubilai Khan yang hendak meluaskan kekuasaannya keluar daratan Cina sampai kepulau-pulau di selatannya, Kertanegara haruslah memperluas wilayah mandala-nya sampai keluarpulau Jawa. Iapun mengadakan hubungan persahabatan dengan Campa. Petunjuk tentanga danya hubungan itu terdapat dalam prasasti PoSah dekat Phanrang yang berangkat tahun 1306, yang menyebutkan bahwa salah seorang permaisuri raja Campa ialah putri dari Jawa bernama Tapasi. Demikian pula pada waktu tentara Khubilai Khan hendak menambah perbekalan di Campa dalam perjalanannya ke Jawa, raja Jaya Singhawarmman III menolak tenara Cina itu mendarat. Berita lain mengatakan bahwa pada tahun 1318, pada waktu Campa hendak merebut kembali daerah-daerah dibagian utara dari kekuasaan Annam, dan sekaligus juga membebaskan diri dari kekuasaan Annam, Che Nang, anak Jaya Singhawarmman III, perlindungnn ke Jawa.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berdasarkan sumber Negarakertagama dan Pararaton, Pamalayu adalah peristiwa pengiriman pasukan Singhasari ke Melayu untuk menundukkan Kerajaan Malayu pada tahun 1275 atas perintah Kertanagara, Raja Singhasari (Prapantja, 1953:37; J.Padmapuspita, 1966:27). Berdasarkan pada kedua sumber tersebut, N.J.Krom (1950:164) J.L.A. Brandes (Berg,C.C.1969:5) dan H.Kern (Berg,1969:5) berpendapat bahwa yang disebut dengan ekspedisi Pamalayu adalah kegiatan pengiriman pasukan Singhasari ke Kerajaan Melayu pada tahun 1275 atas perintah Kertanagara. Jadi ekspedisi tersebut bersifat militer.
Dari ulasan Berg tentang ekspedisi Pamalayu dan prasasti Camundi, terlihat bahwa ia selalu mengingkari sumber yang ada. Sumber tersebut diputarbalikkan, diberi tafsiran menurut pemahamannya, sehingga menghasilkan peristiwa sejarah yang sulit dipahami. Jika berpijak pada sumber-sumber yang ada, nampak jelas bahwa motif ekspedisi Pamalayu bercorak militer, yaitu untuk menundukkan kerajaan Malayu. Berita yang disebut dalam sumber tersebut memang sesuai dengan kedudukan raja Indonesia kuna, serta agama yang dianut oleh Kertanegara dibandingkan dengan pendapat C.C.Berg tersebut. Menurut pandangan masyarakat Indonesia Kuna, raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, oleh karena itu, ia sebagai pelindang dunia dan mempunyai kekuasaan mutlak (Gilder, Robert Heine;1982:16-17). Raja dianjurkan untuk selalu meluaskan wilayah kekuasaannya (G.Pudjadan Tjokorda Rai Sudharta, 1978:382-385), sehinggaia dapat mencapai kekuasaan yang meliputi seluruh dunia, yaitu sebagai raja cakra wartin (Soemarsaid Hoertono,1985:83).
DAFTAR PUSTAKA
Berg, C.C., 1931. Kidung Harsa Wijaya, B.K.I. Deel 88.
_______, 1969, Kertanegara’s Malaisie Affair Indonesia.
________, 1995.Gambaran Jawa Pada Masa lalu, Jakarta; Gramedia Pustaka.
Boechori, 1968. Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.1-2, Maret-Juni.
________, 1976. “Some Consideration of The Problems of the shife of Mataram’s Centre of Government from Central to East Java in the 10th Century AD”. Berita Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, No.10, Jakarta.
Gildern, Robert Heine, 1982. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer, Jakarta: Rajawali.
G. Pudjaa dan Tjokorda Rai Sudharta, 1977/1978. Manawa Dharmasastra.
Gottschalk, Luis, 1975, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta; Universitas Indonesia.
J .Padmapuspita, 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
Krom, N.J., 1950. Zaman Hindhu. Pembangunan, Jakarta.
Koentjaraningrat, et al., 1984. Kamus Istilah AntropoloÂgi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mulyana, Slamet, 1965. Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Majapahit. Jakarta: Balai Pustaka.
_______________, 2006, Tafsir Sejarah Nagara Kertagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara
Moertono, Humarsaid, 1985. Negara dan Usaha Bina Negara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Notosusanto, Nugroho, 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen P & K.
Prapantja, 1953. Negarakertagama, diterjemahkan oleh Slamet Mulyana. Jakarta: Siliwangi.
Reid, Anthony (2001). Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities”. Journal of Southeast Asian Studies,halaman 295-313.
Yusuf, Jumasri, 1983. Naskah Kuno Koleksi Museum Nasional. Museum Nasional.