ORANGTUA BAPTIS DAN PERANNYA BAGI ANAK ROHANI

DALAM LINGKUNGAN

GEREJA MASEHI INJILI DI HALMAHERA (GMIH)

 

Eppi Manik

Program Studi Pendidikan Agama Kristen, Universitas Halmahera

 

ABSTRAK

Orang tua baptis tidak hanya berperan sebagai saksi ketika dilaksanakan pembaptisan terhadap anak, namun juga menjadi mitra orang tua kandung dalam melakukan pembinaan kerohanian anak. Penelitian ini dilaksanakan dalam lingkungan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) untuk mengetahui tingkat pemahaman orang tua baptis terhadap peran dan tanggungjawabnya serta bagaimana pelaksanaan dan kendala yang dihadapi. Dilakukan wawancara terhadap 30 orang responden jemaat GMIH yang sudah menjadi orang tua baptis. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pemahaman orang tua baptis adalah sedang hingga tinggi. Tanggungjawab yang dilaksanakan oleh orang tua baptis berupa berdoa dan menasihati anak Baptis. Kendala yang dihadapi oleh orang tua Baptis dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya adalah kesibukan, jarak yang jauh dengan anak Baptis serta rendahnya perhatian orang tua kandung.

Kata kunci: GMIH, orang tua baptis, pemahaman, tanggungjawab

ABSTRACT

Baptist parents are not only acted as witnesses when children are baptized, but also become partners of biological parents in carrying out spiritual guidance for children. This research was conducted in the Evangelical Christian Church in Halmahera (GMIH) to find out the level of understanding of the Baptist parents on their roles and responsibilities as well as how the implementation and obstacles faced. Interviews were conducted to 30 respondents from the GMIH congregation who are now being baptized parents. The results showed that the level of understanding of godparents was moderate to high. The responsibility conducted by baptized parents are praying and advising Baptist children. The obstacles faced by Baptist parents in conducting their roles and responsibilities are busyness, long distances with Baptist children and the low attention of biological parents.

Keywords: GMIH, baptized parents, understanding, responsibility

 

PENDAHULUAN

Baptis atau sering juga disebut dengan Baptisan Kudus merupakan salah satu sakramen yang diterima oleh seorang Kristen. Seseorang yang telah menerima Baptisan Kudus memiliki makna telah dimeteraikan sebagai bagian dari persekutuan gereja dan menjadi bagian dari karya penyelamatan Yesus. Karya penyelamatan Yesus yang adalah tanda kasih Allah kepada setiap individu yang berdosa dinyatakan melalui Baptisan kudus. (Sinode Gereja Kristen Imanuel 2017)

Dalam tradisi sejumlah Gereja, seperti Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH), ketika seorang anak dibaptis, maka tidak hanya orang tua kandung yang mendampingi sang anak untuk menerima Baptisan namun juga orang tua baptis (sarani). Orang tua baptis merupakan orang-orang yang telah menjadi anggota sidi jemaat dari suatu gereja. Orang tua baptis dianggap mampu menjadi orang tua rohani guna membimbing anak baptis hidup seturut dengan Firman Tuhan (Salapa 2017). Setelah bertumbuh menjadi remaja dan dewasa, orang tua Baptis tetap akan dikenal sebagai papa dan mama sarani bagi si anak, demikian pula si anak tetap akan menjadi anak sarani bagi orang tua. (Novaldy 2015)

John Calvin, sebagai salah satu tokoh peletak dasar-dasar pemahaman ajaran Kristen Protestan memiliki pemikiran tentang orang tua saksi baptisan. Enam Belas Dokumen Dasar yang ditulis oleh Calvin mencantumkan pokok mengenai orang tua saksi baptisan dan secara khusus diuraikan dalam pokok teologinya tentang baptisan, khususnya baptisan anak-anak (Tata Gereja 1541). Syarat utama yang diberikan Calvin ialah bahwa para saksi (bapak–ibu sarani) haruslah seorang Protestan dan bersedia bertanggungjawab atas pendidikan iman anak. (Debellya 2016)

Seiring perkembangan waktu, tradisi orang tua Baptis bagi anak yang dibaptis tetap dilaksanakan khususnya oleh jemaat GMIH di Maluku Utara. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman tentang makna menjadi orang tua Baptis, tanggungjawab yang dilaksanakan serta kendala yang dihadapi oleh para orang tua Baptis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-April 2019 dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif untuk mendiskripsikan suatu gejala, peristiwa, dan kejadian yang terjadi secara faktual, sistematis, dan akurat. Penelitian kuantitatif berupaya mengintegrasikan dan menggeneralisasikan hasil penelitian yang dilakukan pada populasi yang diketahui memiliki persamaan. Analisis data deskriptif kuantitatif diarahkan dengan menggunakan sejumlah angka untuk pencarian mean, persentase atau modus (Sugiyono 2008). Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan wawancara secara purposive sampling. Purposive sampling adalah salah satu teknik non random sampling dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian (Hidayat 2017). Responden yang dipilih merupakan warga jemaat GMIH sejumlah 30 orang dan telah memiliki anak baptis (sarani). Tingkat pemahaman orang tua Baptis terkait peran dan tanggungjawabnya dianalisis dengan menggunakan skoring berdasarkan skala Likert dengan rentang 5, yakni skor 1 (sangat rendah), skor 2 (rendah), skor 3 (sedang), skor 4 (tinggi) dan skor 5 (sangat tinggi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menemukan bahwa tingkat pemahaman terhadap pemaknaan sebagai orang tua baptis yang meliputi peran dan tanggungjawab memiliki skor 3,6. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman orang tua berada dalam kategori sedang hingga tinggi. Para orang tua Baptis menyebutkan bahwa sebelum dilaksanakan pembaptisan, mereka selalu diberikan pelayanan penggembalaan oleh pendeta dan majelis jemaat. Dalam pelayanan penggembalaan, orang tua baptis diberikan pemahaman tentang makna, peran dan tanggungjawab sebagai orang tua baptis.

Salapa et al. 2017 menyebutkan bahwa peran orang tua baptis meliputi:

  1. Peran melalui pendidikan agama

Pendidikan agama dimulai dengan memperkenalkan Tuhan Yesus kepada anak baptis melalui pengajaran di sekolah minggu. Para orang tua baptis memantau kehadiran anak Baptis pada ibadah sekolah minggu. Orang tua baptis dapat mengingatkan kepada orang tua untuk mempersiapkan anak baptis untuk pergi sekolah minggu. Pada waktu-waktu tertentu yang lowong, orang tua baptis bercerita dengan anak baptis tentang Tuhan Yesus dengan segala kebaikannya serta mujizat yang dibuatnya.

  1. Peran dalam pengajaran norma kesusilaan

Peran lain orang tua baptis adalah mengajarkan norma kesusilaan kepada anak baptis yaitu budi, etika dan adat/kebiasaan. Norma Kesusilaan bersumber dari hati nurani sehingga seseorang anak baptis dapat membedakan suatu perilaku baik atau buruk. Norma kesusilaan merupakan aturan yang tidak tertulis, tetapi dilakukan karena kata hati nurani. Norma kesusilaan merupakan norma yang paling tua karena lahir bersamaan dengan kelahiran manusia atau keberadaan manusia. Norma kesusilaan terdapat dalam jiwa setiap manusia, termasuk dalam diri anak baptis, tanpa mengenal batas wilayah, bangsa, dan masyarakat. Oleh karenanya orang tua baptis penting menumbuh-kembangkan norma kesusilaan dalam diri anak baptis sehingga akan menjadi bagian dalam hidupnya. Seseorang yang melanggar norma kesusilaan akan dianggap sebagai orang yang a-susila atau a-moral. Norma kesusilaan itu sendiri muncul dari rasa kemanusiaan yang ada dalam diri manusia dan bagaimana orang tua baptis mengelola kejiwaan dari anak baptis sehingga nilai-nilai kemanusiaan muncul dan berkembang dan menjadi bagian yang penting dalam hidupnya. Sebagai contoh adalah berperilaku jujur, menghormati orang yang lebih tua dan tidak mengambil hak orang lain.

  1. Peran dalam pengajaran tata krama

Tata krama atau sopan santun biasa juga disebut dengan etika telah ada dalam diri setiap manusia, telah menjadi syarat mutlak dalam kehidupan manusia bahkan menjadi meningkat dan berperan penting agar seseorang diterima di masyarakatnya. Pengajaran tata karma seringkali tentang hal sederhana, namun penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang tua baptis penting untuk mengajarkan tata krama sejak awal kepada anak baptis seperti menyebutkan “tolong” ketika membutuhkan bantuan dan mengucapkan “terima kasih” setelah diberikan bantuan.

Orang tua Baptis atau saksi Baptis sudah ada sejak masa gereja perdana. Saat awal kemunculan Saulus di tengah-tengah persekutuan persekutuan jemaat di Yerusalem. Pada saat itu Barnabas menjadi wali atau penjamin yang bersaksi tentang pertobatan Saulus. Pendapat ini tersirat dalam Kisah Para Rasul 9: 26 “Setibanya di Yerusalem Saulus mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid”, Kis 9:27 “Tetapi Barnabas menerima dia dan membawanya kepada rasul-rasul dan menceritakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus.” (Novaldy 2015)

Orang tua Baptis ialah mereka yang bersedia menjadi saksi dari anak Baptis dan bersedia memaknai dan menjalankan tugas dan fungsi mereka untuk bertanggung jawab atas pendidikan iman anak yang akan dibaptis. Berkaitan dengan hal ini, maka orang tua Baptis bukan hanya simbol atau tradisi yang terus di jalankan di beberapa gereja, tetapi juga menekankan pada peran seorang pendidik yang bertanggung jawab mendidik anak Baptisnya dalam pendidikan iman Kristen yang baik dan benar. Pendidikan iman anak Baptis harus diperhatikan dengan baik sesuai tahap perkembangan kepercayaannya. Lebih lanjut Fungsi dari orang tua baptis adalah sebagai penanggung jawab atas pendidikan iman anak seraninya. Sebagai pembimbing agar anak Baptis dapat mengerti tentang baptisannya dan mengenal Tuhan. (Novaldy 2015)

Gereja-gereja Protestan di Indonesia umumnya merupakan buah penginjilan dari gereja Belanda melalui para Zendeling dengan membawa tradisi adanya saksi baptisan. Menurut Novaldy (2015), dalam Tata Gereja Belanda 1691tentang Baptisan pada point 57 disebutkan: “Para Pelayan harus mengusahakan sedapat mungkin supaya seorang anak dibawa ayahnya untuk dibaptis. Selain itu, bila dalam jemaat tertentu orang percaya juga biasa mengundang wali atau saksi pada baptisan selain ayahnya sendiri, yang layak diundang ialah orang-orang yang menganut ajaran yang murni dan yang menempuh hidup yang saleh.” Oleh sebab itu tidak heran jika tradisi orang tua baptis terus berkembang di GMIH sebagai gereja buah penginjilan dari para zendeling Belanda, di bawah organisasi satuan Misi Utrecht atau yang sangat dikenal dengan sebutan UZV (Utrechtsche Zendings Vereeniging). GMIH memuat ajaran dengan aturan pelaksanaan baptisan serta adanya orang tua atau saksi baptisan pada bagian Pemahaman Dasar Iman GMIH. Tradisi ini tetap dipelihara oleh GMIH mengingat pentingnya peran orang tua saksi baptisan dalam pertumbuhan iman seorang anak.

GMIH memuat ajaran dengan aturan pelaksanaan baptisan dan keberadaan orang tua baptis. Tradisi ini tetap dipelihara oleh GMIH mengingat pentingnya peran orang tua saksi baptisan dalam pertumbuhan iman seorang anak. Dalam pandangan GMIH pelaksanaan Baptisan dilengkapi dengan orang tua saksi/baptis. Keberadaan orang tua baptis dimaksudkan untuk menjadi pembimbing rohani anak di samping orang tua (Salapa et al. 2017). Orangtua baptis bertanggung jawab terhadap perkembangan rohani anak baptisnya, bertanggung jawab memperkenalkan anak akan Tuhan Yesus Kristus dan segala pengajaran, sampai anak baptis menyatakan imannya secara dewasa dalam upacara sidi; sebagai tanda bahwa anak tersebut sudah bisa membedakan yang baik dari yang jahat dan bertanggungjawab secara dewasa imannya di hadapan Tuhan dan sesama. Kriteria untuk menjadi orang tua baptis adalah:

  1. Seorang yang sudah menyatakan iman secara dewasa (sidi), karena orang tua baptis bertanggungjawab mengajarkan kebenaran yang sepatutnya terhadap anak baptisnya.
  2. Seorang yang sealiran (Protestan) agar pengajaran yang akan diberikan kepada anak baptis tidak menyimpang dari teologia dan ajaran yang diakui GMIH. (Debellya 2016)

Pelaksanaan Peran dan Tanggungjawab Orang Tua Baptis

Berdasarkan wawancara yang dilakukan, para orang tua sarani melaksanakan peran dan tanggungjawabnya terhadap anak Baptis untuk membangun kerohanian anak dengan mendoakan dan menasihati. Sejumlah 37% responden menyatakan sering berdoa bagi kesehatan dan pertumbuhan rohani anak baptis. Sebanyak 33% responden menyatakan membangun rohani anak baptis dengan memberikan nasehat baik langsung kepada anak maupun kepada orang tua. Sejumlah 30% responden lainnya menyatakan membangun kerohanian anak baptis baik dengan mendoakan maupun dengan memberikan nasehat. Para responden menilai sejumlah orangtua kandung anak kurang perduli dengan pendidikan kerohanian anak sehingga peran orang tua baptis sangat penting untuk menopang kekurangan tersebut.

Gambar 1 Pelaksanaan peran orang tua baptis kepada anak baptis

Para orang tua Baptis menyebutkan terdapat sejumlah kendala dalam menjalankan peran dan tanggungjawab. Gambar 1 menyajikan persentase kendala yang dihadapi dalam melaksanakan peran sebagai orang tua baptis.

  1. Kesibukan

Para responden menyatakan bahwa permasalahan utama dalam melaksanakan peran sebagai orang tua baptis adalah kesibukan. Orang tua Baptis dengan berbagai kesibukan baik untuk pekerjaan sesuai profesi maupun untuk keluarga pribadi menyebabkan sering tidak memiliki kesempatan memberikan didikan dan pengajaran kepada anak Baptis secara langsung. Rutinitas kesibukan sehari-hari menyebabkan seringkali anak Baptis diingat hanya ketika momen-momen tertentu seperti saat menjelang hari raya natal. Namun demikian, beberapa orang tua Baptis menyatakan bahwa meskipn tidak memiliki kesempatan memberikan pendidikan dan pengajaran langsung kepada anak Baptis, doa tetap dipanjatkan bagi mereka.

  1. Jarak orang tua dan anak Baptis jauh

Berbeda dengan anak kandung yang tinggal dalam satu rumah sehingga bisa dengan mudah diperhatikan meskipun dalam kondisi sibuk, anak Baptis tidak tinggal bersama orang tua Baptis. Sejumlah anak Baptis diketahui berdomisili cukup jauh bahkan di luar kota yang berbeda dengan orang tua Baptis. Jarak yang cukup jauh memisahkan antara orang tua dan anak Baptis menjadi salah satu faktor kendala yang dihadapi. Keberadaan dalam satu daerah saja masih menjadi kendala dalam melakukan pendidikan dan pengajaran langsung oleh orang tua Baptis kepada anak Baptis, apalagi jika tinggal pada daerah yang berbeda. Hal yang bisa dilakukan hanya sesekali melalui melalui komunikasi telepon atau media sosial.

  1. Perhatian orang tua kandung rendah

10% responden menyebutkan bahwa orang tua kandung memiliki perhatian yang rendah terhadap pendidikan kerohanian anak. Sejumlah orang tua kandung dinilai tidak menjadi teladan bagi anak dengan memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman keras hingga mabuk. Hal ini menjadi rentan dicontoh oleh anak sehingga dikhawatirkan anak juga akan memiliki kecenderungan masa depan yang suram oleh minimnya perhatian dan teladan buruk orang tua. Pada konteks ini, meskipun orang tua Baptis berupaya memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak Baptis, namun sulit untuk mengharapkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena intensitas interaksi orang tua Baptis kepada anak Baptis jauh lebih rendah dibandingkan orang tua kandung dengan anaknya. Keluarga inti yang mencakup anak dan kedua orang tua kandung menjadi unit paling utama dalam pengembangan karakter anak. …(2010) menyebutkan untuk mengatasi rendahnya perhatian orang tua, maka penting dilakukan penggembalaan yang cukup matang bagi orang tua sebelum dilaksanakannya baptisan sehingga orang tua memperoleh pemahaman yang memadai dalam mendidik iman anak.

Gambar 2 Kendala yang dihadapi orang tua Baptis dalam melaksanakan peran

Dalam melaksanakan peran sebagai orang tua Baptis, sejumlah 40% responden mengeluhkan kecenderungan orang tua Baptis sering dijadikan sasaran dimintai materi (hadiah) pada waktu-waktu tertentu seperti natal, ulang tahun dan kenaikan kelas. Sejumlah orang tua kandung menganggap merupakan hal yang lumrah bagi anaknya meminta sesuatu pada waktu-waktu khusus tersebut kepada orang tua Baptis. Hal ini mengakibatkan orang tua Baptis merasa terbebani karena tidak selalu memiliki cukup materi untuk diberikan. Beberapa responden yang merupakan orang tua Baptis mengaku cukup sering dihubungi anak Baptisnya yang masih anak-anak karena diarahkan oleh orang tua kandung untuk meminta hadiah saat momen-momen ulang tahun dan hari natal. Hal ini membuat orang tua Baptis merasa tidak nyaman dan merasa terbebani.

 

 

KESIMPULAN

Para orang tua Baptis memiliki tingkat pemahaman sedang hingga tinggi terhadap peran dan tanggungjawab yang dijalankan sebagai orang tua Baptis. Para orang tua Baptis melaksanakan tanggungjawab tersebut dengan berdoa dan menasihati anak Baptis. Kendala yang dihadapi oleh orang tua Baptis dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya adalah kesibukan, jarak yang jauh dengan anak Baptis serta rendahnya perhatian orang tua kandung.

SARAN

Orang tua baptis merupakan mitra orang tua kandung dalam membangun kehidupan rohani anak. Oleh karenanya sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara kedua orang tua dalam membina anak-anak baptis. Untuk mewujudkan hal ini, penggembalaan yang memadai sangat dibutuhkan pada saat hendak dilaksanakannya pembaptisan anak.

DAFTAR PUSTAKA

Aprianto. 2010. Peranan Pendamping Persiapan Baptisan Bayi/Anak sebagai Upaya Membina Kesadaran Orang Tua Dalam Pendidikan Iman Anak di Paroki St.Aloysius Gonzaga Mlati. Universitas Sanatha Dharma. Yogyakarta.

Debellya O.M. 2016. Relasi Paulus Dan Timotius Sebagai Model Relasi Bagi Orang Tua Saksi Baptis Dan Anak Baptis Di Gereja Masehi Injili Di Halmahera. (Master thesis, Duta Wacana Christian University, 2016). Retrieved from http://sinta.ukdw.ac.id

Hidayat A. 2017. Penjelasan Teknik Purposive Sampling Lengkap Detail [Internet]. [diunduh 2019 Mei 21].Tersedia pada https://www.statistikian.com/2017/06/penjelasan-teknik-purposive-sampling.html.

Novaldy S. 2015. Tinjauan Teologis Terhadap Pemahaman GPM Lahai Roi Lateri tentang Papa dan Mama Sarani.

Salapa R, Purwanto A, Waani FJ. 2017. Peran Orang Tua Baptis dan Mendidik dan Membina Anak Baptis (Studi di Desa Tuguis, Kecamatan Kao Barat, Maluku Utara). Holistik. Tahun X, No.20.

Sinode Gereja Kristen Imanuel. 2017. Pegangan Baptis Anak. Bandung.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung