Pembelajaran Ekspresi Lisan Sastra Berbasis Konservasi Budaya Sebagai Nilai-Nilai Humanis
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN EKSPRESI LISAN SASTRA BERBASIS KONSERVASI BUDAYA
SEBAGAI UPAYA PENANAMAN NILAI-NILAI HUMANIS
Zuliyanti
Universitas Negeri Semarang
ABSTRAK
Sastra sangat berkaitan erat dengan kehidupan yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai humanis, nilai-nilai tradisional, identitas kultural, dan akumulasi pengetahuan lokal. Namun, sastra masih dipandang sebelah mata yang berdampak pada terpuruknya budaya dan nilai-nilai humanis di kalangan remaja. Keringnya nilai-nilai humanis dan budaya bangsa harus ditindaklanjuti dengan mengintegrasikannya dalam pembelajaran sastra, salah satunya dalam pembelajaran ekspresi lisan sastra. Minimnya model pembelajaran yang berbasis konservasi budaya menjadikan pencapaian pembelajaran ekspresi lisan dan penanaman nilai-nilai humanis belum maksimal. Pengembangan model pembelajaran tersebut mengacu pada karakteristik model, yaitu (1) prinsip menyenangkan, (2) motivasi, (3) pengalaman langsung, (4) pemodelan, (5) pembimbingan, (6) pengembangan, (7) panduan, (8) pembiasaan, (9) pembinaan, dan (10) keteladanan. Tahapan-tahapan model pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya dikembangkan menjadi beberapa komponen yaitu: (1) bagian pengantar, (2) tujuan dan asumsi, (3) sintagmatik, (4) sistem sosial, (5) sistem reaksi, (6) sistem pendukung, dan (7) dampak instruksional dan pengiring.
Kata Kunci: model pembelajaran, pembelajaran ekspresi lisan sastra, konservasi budaya, nilai-nilai humanis
PENDAHULUAN
Sastra adalah kajian menarik yang tidak pernah terlepas dari suatu budaya. Artinya, ketika belajar sastra sebenarnya telah dipelajari pula suatu budaya. Hal ini dikarenakan karya sastra adalah rekaman budaya masyarakat tertentu yang meliputi organisasi, lembaga, hukum, etos kerja, seni, agama, dan sebagainya (Setianingsih, 2012 dan Udu, 2015).
Muatan-muatan dalam sastra yang sangat berkaitan erat dengan kehidupan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi penikmatnya. Kisah kehidupan atau cerita yang ditampilkan dalam sastra adalah miniatur kehidupan yang dibangun dengan segenap budaya dari kehidupan penulisnya. Alasan tersebut menjadikan sastra sebagai sarana paling mujarab untuk mengenalkan, mengajarkan, dan melestarikan budaya-budaya bangsa yang mulai terkikis.
Posisi sastra yang sangat strategis untuk mengajarkan budaya bangsa ternyata tidak seimbang dengan kondisinya yang dipandang sebelah mata. Budaya bangsa yang makin tergeser dengan budaya bangsa lain menjadi gambaran nyata merosotnya jati diri bangsa. Kondisi tersebut terlihat dari berkembangnya budaya barat yang tidak sejalan dengan budaya ketimuran. Terpuruknya budaya dan nilai-nilai humanis di kalangan masyarakat terutama di kalangan remaja menjadi hal yang sangat memprihatikan. Dengan demikian, penanaman nilai-nilai budaya yang humanis sangat diperlukan dalam rangka menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas, berkarakter, dan berbudaya yang hanya dapat dilakukan melalui pendidikan.
Proses pendidikan tersebut sangat tepat jika dilakukan dalam pembelajaran sastra dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan humanis karena pembelajaran sastra merupakan media yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan budaya (Sulanjari, 2011; Sudaryanto, 2012; Khasanah, Winarno, dan Sutoyo, 2013). Pentingnya pendidikan tersebut didasari atas kenyataan betapa keringnya nilai-nilai moral dan budaya dalam pendidikan (Mustainah dalam Arafik 2012:175).
Dengan melihat pentingnya nilai-nilai budaya dan aspek humanis yang terkandung dalam pembelajaran sastra, maka perlu digunakannya model pembelajaran yang tepat. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dilakukan dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran ekspresi lisan sastra yang dapat dikatakan belum mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Hal tersebut terlihat dari nilai yang dicapai mahasiswa, yaitu masih ada mahasiswa yang mendapat nilai BC (66-70), B (71-80) sekitar 85%, dan hanya ada sekitar 15% mahasiswa yang mendapat nilai AB (81-85) atau A (86-100). Berpijak dari kondisi tersebut, perlu dikembangkan model pembelajaran ekspresi lisan sastra yang berbasis konservasi budaya sebagai upaya penanaman nilai-nilai humanis bagi mahasiswa
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah Research and Development (R&D). Prosedur penelitian ini dilakukan dengan mengadaptasi dari pendapat Sukmadinata (2005:164) yakni suatu penelitian yang ditindaklanjuti dengan sepuluh langkah atau tahapan yang harus ditempuh peneliti dalam penelitian pengembangan. Namun, dalam penelitian ini langkah-langkah penelitian hanya terdiri dari enam langkah. Langkah-langkah tersebut meliputi: (1) observasi dan pengumpulan data, (2) merencanakan penelitian, (3) mengembangkan draf produk, (4) uji ahli/uji validasi, (5) revisi model, dan (6) penyusunan draf final, yaitu berupa model pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya sebagai upaya penanaman nilai-nilai humanis bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Lokasi penelitian ini adalah di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unnes. Sumber datanya diperoleh dari: (1) mahasiswa dan dosen pengampu matakuliah Pembelajaran Ekspresi Lisan Sastra dan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang dalam tahap analisis kebutuhan mahasiswa dan dosen.
Teknik pengumpulan data digunakan teknik wawancara, observasi, pengisian kuesioner, angket, tes lisan/tulis, dan dokumentasi. Sedangkan, instrumennya meliputi: panduan wawancara, lembar observasi, lembar kuesioner (dosen dan mahasiswa), lembar angket, soal tes, dan pengarsipan data. Analisis data akan dilakukan dengan cara: (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan data.
HASIL PENELITIAN
Hasil Analisis Kebutuhan Model Pembelajaran
Pengembangan model pembelajaran didasarkan pada kebutuhan dosen dan mahasiswa yang dijaring dengan teknik wawancara, pengisian kuesioner, dan observasi. Dari penjaringan data diketahui bahwa kebutuhan dosen terkait dengan pengembangan model pembelajaran adalah pada aspek keterbatasan referensi yang memuat materi ajar sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, materi ajar yang disampaikan masih minim dengan muatan-muatan nilai budaya dan nilai-nilai humanis yang semestinya menjadi hal yang sangat krusial dan dibutuhkan mahasiswa. Kebutuhan lainnya adalah pada minimnya model pembelajaran yang dipilih sehingga mahasiswa cenderung bosan sehingga menghambat kreativitas.
Dari hasil penjaringan juga diperoleh hasil bahwa mahasiswa dari aspek pembelajaran membutuhkan suasana pembelajaran yang menyenangkan, santai, dan tidak membosankan. Artinya, dalam pembelajaran harus didukung dengan suasana pembelajaran yang nyaman sehingga mahasiswa dapat menikmati perkuliahan dan dapat belajar dengan maksimal. Kondisi tersebut sangat dibutuhkan utamanya bagi pengembangan bakat dan kreativitas serta keterampilan mahasiswa dalam pembelajaran ekspresi lisan sastra. Selain itu, juga dibutuhkan motivasi belajar. Motivasi menjadi pendorong dan kekuatan semangat mahasiswa untuk dapat mengembangkan diri dan kreativitasnya. Pemberian motivasi oleh dosen kepada mahasiswa dapat mendorongnya untuk dapat bereksplorasi dan berekspresi seoptimal mungkin.
Mahasiswa dalam proses pembelajaran membutuhkan kesempatan untuk mengalami sendiri dan membutuhkan model pembelajaran untuk dapat memahami materi perkuliahan. Dari sisi materi ajar, dibutuhkan pengembangan materi ajar yang mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam hal ini materi setidaknya terintegrasi nilai-nilai budaya yang nantinya dapat dikembangkan dan dilestarikan mahasiswa sebagai pewaris budaya bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan penguatan budaya saat ini sangat diperlukan karena hampir sebagian generasi penerus bangsa telah melupakan budaya dan hampir tidak mengenal budaya bangsa sebagai warisan para leluhur. Kondisi yang demikian hendaklah disikapi dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam pembelajaran sebagai langkah penguatan konservasi budaya.
Sebagai makhluk sosial, mahasiswa juga perlu dibekali dengan nilai-nilai humanis agar dapat menjalin hubungan yang harmonis dalam bermasyarakat. Diperlukan sebuah pembinaan khusus dari dosen atau pendidik untuk dapat menciptakan generasi penerus bangsa yang beretika, santun dalam bertutur kata, dan dapat menghargai serta menghormati dalam bermasyarakat. Pernyataan kebutuhan dosen dan mahasiswa tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perumusan prinsip pengembangan model pembelajaran dalam penelitian ini.
Karakteristik Pengembangan Model Pembelajaran Ekspresi Lisan Sastra Berbasis Konservasi Budaya sebagai Upaya Penanaman Nilai-Nilai Humanis
Model pembelajaran ini menekankan aspek intelektual dan emosional, yakni kreativitas berbahasa dan sikap yang berkarakter dalam mengembangkan nilai-nilai budaya dan penanaman nilai-nilai humanis. Pembelajaran dengan model pembelajaran ekspresi lisan sastra menuntut keaktifan peserta didik untuk dapat mengekspresikan sastra secara lisan. Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk mengasah kreativitas berbahasa dan kemampuan verbal peserta didik dalam menciptakan pertunjukkan yang menarik dengan mengekspresikan lisan sastra.
Karakteristik model pembelajaran ini didasarkan pada pengembangan prinsip-prinsip pembelajaran yang diperoleh dari hasil analisis kebutuhan. Adapun karakteristik model pembelajaran tersebut sebagai berikut.
(1) Prinsip Menyenangkan
Pembelajaran yang dilaksanakan dengan mengacu prinsip ini berarti dalam pembelajaran harus dapat diciptakan suasana belajar yang menyenangkan, nyaman, enak, dan tidak membosankan bagi mahasiswa. Karakteristik ini didasarkan pada kebutuhan mahasiswa akan rasa senang, nyaman, dan tidak membosankan saat pembelajaran berlangsung.
(2) Prinsip Motivasi
Dalam prinsip ini, pembelajaran dilaksanakan dengan pemberian motivasi belajar kepada mahasiswa di awal pembelajaran. Pemberian motivasi dimaksudkan agar dapat meningkatkan semangat belajar yang dapat dilakukan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran terlebih dahulu.
(3) Prinsip Pengalaman Langsung
Pembelajaran dengan mengacu pada prinsip pengalaman langsung berarti dalam pembelajaran mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengalami secara langsung melalui pemberian latihan mandiri dan individu dalam menguatkan nilai-nilai budaya dan menanamkan nilai-nilai humanis. Kegiatan tersebut dapat melatih mahasiswa mengenal lingkungan dan mengalami sendiri setiap kejadian sehingga dapat meningkatkan daya ingat dalam memahami materi pelajaran dan memberikan pengalaman belajar baru.
(4) Prinsip Pemodelan
Prinsip pemodelan berarti pembelajaran dilakukan dengan memberikan model atau contoh sebagai gambaran nyata kepada mahasiswa yang disaksikan secara langsung. Model tersebut merupakan gambaran nyata yang dapat direkam dalam memori mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat memahami materi dan mempraktikkannya secara langsung.
(5) Prinsip Pembimbingan
Pembelajaran dengan mangacu pada prinsip pembimbingan dilakukan dengan pemberian bimbingan oleh dosen kepada mahasiswa terutama saat mahasiswa praktik untuk mengekspresikan lisasn sastra. Pembimbingan dilakukan dengan tujuan untuk dapat membantu mahasiswa dalam mengekspresikan lisan sastra secara maksimal dan dapat mengembangkan kreativitasnya. Selain itu, mahasiswa dapat memahami dan mengembangkan nilai-nilai budaya dan humanis dalam kehidupan nyata.
(6) Prinsip Pengembangan
Prinsip pengembangan berarti bahwa materi ajar dikembangkan dengan menyesuaikan dengan kebutuhan, tetapi tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. Pengembangan materi ajar dapat dilakukan dengan mengintegrasikan muatan-muatan budaya dan nilai-nilai humanis untuk dapat menciptakan generasi penerus bangsa yang berbudaya dan beretika.
(7) Prinsip Panduan
Pembelajaran dengan mengacu pada prinsip panduan berarti bahwa dalam proses pembelajaran dibutuhkan dan ditunjang dengan sumber pustaka yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. Panduan yang bervariasi dapat memberikan tambahan informasi dan pengetahuan kepada mahasiswa terutama pada materi ajar ataupun nilai-nilai lain yang dibutuhkan oleh mahasiswa sebagai bekal kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat.
(8) Prinsip Pembiasaan
Penerapan prinsip pembiasaan dalam proses pembelajaran sangat diperlukan untuk menjadikan mahasiswa terbiasa sehingga dapat lebih mahir dan terampil untuk menguasai kompetensi yang hendak dicapai. Dalam hal ini mahasiswa dibiasakan untuk mengekspresikan lisan berbagai karya sastra. Pembiasaan lainnya yaitu pada perilaku yang baik dan berperilaku humanis dalam kehidupan sehari-hari. Pembiasaan sikap tersebut dapat menghilangkan sekat-sekat perbedaan dan menciptakan pribadi yang dapat menerima perbedaan di setiap lingkungan kehidupan.
(9) Prinsip Pembinaan
Pembelajaran dilakukan dengan memberikan pembinaan kepada mahasiswa untuk bersikap aktif dalam pembelajaran. Keaktifan tersebut tidak terlepas dari pembinaan dan pengawasan dosen sebagai fasilitator dalam pembelajaran.
(10) Prinsip Keteladanan
Dalam prinsip ini, pembelajaran dilakukan dengan memberikan teladan kepada mahasiswa selama proses pembelajaran baik dalam hal praktik mengekspresikan lisan sastra maupun dalam bersikap humanis seperti sikap menerima, menghargai, toleransi, dan tenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat. Keteladan yang lainnya adalah sikap untuk menghargai budaya yang kemudian dapat melestarikannya dengan baik.
Model Pembelajaran Ekspresi Lisan Sastra Berbasis Konservasi Budaya sebagai Upaya Penanaman Nilai-Nilai Humanis bagi Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Pengembangan model pembelajaran ekspresi lisan sastra ini didasarkan pada studi literatur, hasil analisis kebutuhan, dan prinsip-prinsip pengembangan model pembelajaran. Draf model pembelajaran berupa langkah-langkah pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya. Penyusunan draf model terdiri atas beberapa komponen, yaitu (1) pengantar, (2) asumsi dan tujuan, (3) sintagmatik, (4) sistem sosial, (5) prinsip reaksi, (6) sistem pendukung, dan (7) dampak instruksional dan pengiring.
(1) Bagian Pengantar
Model pembelajaran ini menekankan aspek intelektual dan emosional, yakni kreativitas berbahasa dan sikap yang berkarakter dalam mengembangkan nilai-nilai budaya dan penanaman nilai-nilai humanis.
(2) Asumsi dan Tujuan
Pengembangan model pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya didasarkan pada kebutuhan dosen dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unnes. Model pembelajaran ini dapat dijadikan sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan humanis sehingga tercipta generasi cerdas dan berbudaya.
(3) Sintagmatik
Perumusan tahapan-tahapan pembelajaran dengan model pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya dan humanis didasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan model. Tahapan-tahapan tersebut, meliputi: (1) pembentukan konsep, (2) penampilan, (3) diskusi dan evaluasi, dan (4) simpulan. Pada tahap pembentukan konsep, mahasiswa memahami materi pembelajaran yang lebih menekankan aspek pengetahuan. Tahap kedua, mahasiswa diminta untuk menampilkan pembacaan atau mengekspresikan karya sastra secara lisan. Dari kegiatan tersebut mahasiswa mendiskusikan penampilan mahasiswa lain dengan memberikan masukan dan saran. Pada tahap terakhir, dosen dan mahasiswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
(4) Sistem Sosial
Pada bagian ini dipaparkan situasi atau suasana dan norma-norma yang berlaku dalam model pembelajaran. Paparan tersebut didasarkan pada hasil analisis kebutuhan pengembangan model.
(5) Prinsip Reaksi
Bagian reaksi merupakan bagian yang berisi petunjuk penggunaan model pembelajaran oleh pengguna model. Pendeskripsian petunjuk tersebut dimaksudkan agar pengguna mengetahui cara penerapan model dengan benar sehingga dapat memberikan dampak yang maksimal.
(6) Sistem Pendukung
Pada bagian ini dipaparkan sistem pendukung yang berupa sarana, alat, dan bahan yang diperlukan dalam penerapan model pembelajaran.
(7) Dampak Instruksional dan Pengiring
Bagian ini berisi paparan tentang dampak instruksional dan pengiring. Paparan pada dampak instruksional berupa paparan hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik secara langsung setelah mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran yang telah dikembangkan. Sedangkan paparan yang termasuk dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang diperoleh dari proses pembelajaran yang dialami oleh peserta didik secara langsung.
PENUTUP
Pengembangan model pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya didasarkan pada kebutuhan dosen dan mahasiswa. Kebutuhan dosen terkait dengan pengembangan model pembelajaran dan materi ajar. Sedangkan kebutuhan mahasiswa dalam pengembangan model ini meliputi kebutuhan suasana pembelajaran yang menyenangkan, motivasi belajar, kesempatan untuk mengalami sendiri, dan pengembangan materi ajar dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan humanis sebagai bekal bersosialisasi dalam masyarakat.
Karakteristik model pembelajaran ini dapat disimpulkan sepuluh prinsip pengembangan model pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya yaitu (1) prinsip menyenangkan, (2) motivasi, (3) pengalaman langsung, (4) pemodelan, (5) pembimbingan, (6) pengembangan, (7) panduan, (8) pembiasaan, (9) pembinaan, dan (10) keteladanan.
Model pembelajaran berupa langkah-langkah pembelajaran ekspresi lisan sastra berbasis konservasi budaya. Penyusunan draf model terdiri atas beberapa komponen, yaitu (1) pengantar, (2) asumsi dan tujuan, (3) sintagmatik, (4) sistem sosial, (5) prinsip reaksi, (6) sistem pendukung, dan (7) dampak instruksional dan pengiring.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI.
Andayani. 2015. Problema dan Aksioma. Yogyakarta: Deepublish.
Azami, Yasin Syafii. 2014. “Nilai-Nilai Humanis dalam Karakter Tokoh Wayang Semar dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islamâ€. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Budiningsih, Asri C. 2010. “Strategi Pembelajaran Nilai yang Humanisâ€. Dimuat dalam Majalah Ilmu Pendidikan Dinamika Pendidikan No.2/Th.XVII/Oktober 2010.
Buys, Laurie and Evonne Miller. 2009. â€Enhancing Social Capital in Children via School-Based Community Cultural Development Projects: A Pilot Studyâ€. Dimuat dalam International Journal of Education & the Arts, Volume 10 Number 3, January 11, 2009. http://www.ijea.org/ diunduh Selasa, 16 Februari 2016.
Gagne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Litle, Brown and Company.
Joyce, Bruce & Weil Marsha. 1992. Models of Teaching. London: Allyn and Bacon.
Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Magnis-Suseno, F. 2001. “Kebangsaan yang Humanis.†Makalah Semnas. Yogyakarta: USD.
Marzali, Amri. 2014. “Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesiaâ€. Dimuat dalam Jurnal Humaniora, Volume 26 No. 3 Oktober 2006, halaman 251-165.
Nuryatin, Agus, dkk. 2016. Buku Panduan Pilar Humanis Universitas Konservasi. Semarang: Unnes.
Setianingsih, Anjar. 2012. “Pembelajaran Sastra Tradisonal di Sekolah Guna Menumbuhkan Kecintaan terhadap Kebudayaan Indonesiaâ€. Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI. Halaman 95-104.
Siregar, Eveline dan Hartini Nara. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sudaryanto. 2012. “Bagai Kacang Lupa Kulit: Cerita Anak dan Hilangnya Karakter Bangsaâ€. Dimuat dalam Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY HISKI, halaman 159-163.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sulanjari, Bambang. 2011. “Tembang dan Model Pengajarannyaâ€. Jurnal Volume 1, 25-38.
Udu, Sumiman. 2015. “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti sebagai Media Komunikasi Kultural dalam Masyarakat Wakatobiâ€. Dimuat dalam Jurnal Humaniora Volume 27, No 1 Februari 2015, hal. 53-66.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Winataputra, Udin S. 2001. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: PAU-PAI Universitas Terbuka.