WEDANG RONDE DAN MULTIKULTURALISME

MASYARAKAT SALATIGA

 

Amanda Widyasari

Sunardi

Pendidikan Sejarah UKSW Salatiga

 

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya. Terbentang ribuan pulau dan ratusan suku bangsa menyebabkan tiap-tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Keanekaragaman tersebut dapat dilihat dari berbagai macam upacara tradisional, tradisi, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya yang dapat disebut sebagai kebudayaan. Salatiga mempunyai kuliner khas bernama wedang ronde. Minuman hangat ini bukan murni berasal dari Salatiga melainkan mendapat pengaruh dari budaya Cina. Dalam tradisi orang Cina, wedang ronde secara khusus dikonsumsi secara bersama-sama pada festival Lampion atau Lantern Festival atau 15 hari setelah Imlek atau festival Dongzhi. Festival ini dalam rangka peringatan hari terdingin saat Imlek. Dari hal kecil dan sederhana ini dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran mengenai toleransi dalam multikulturalisme Salatiga, karena meskipun wedang ronde mempunyai akar budaya Cina tetapi dapat diterima baik bahkan mengalami modifikasi rasa sesuai lidah masyarakat Salatiga. Masalah mengenai siapa pemilik atau asal darimana wedang ronde tidak dipermasalahkan baik dari orang Jawa maupun orang Cina. Semua dapat diterima dan dinikmati dengan baik.

Kata Kunci : wedang ronde, budaya Cina, budaya Jawa, multikulturalisme, Salatiga

 

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya. Terbentang ribuan pulau dan ratusan suku bangsa menyebabkan tiap-tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Keanekaragaman tersebut dapat dilihat dari berbagai macam upacara tradisional, tradisi, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya yang dapat disebut sebagai kebudayaan. Semua kebudayaan ini masih dapat dilihat dan dinikmati hingga sekarang karena adanya pewarisan budaya secara turun temurun melalui lisan maupun tulisan.

Di Jawa Tengah terdapat satu kota bernama Salatiga yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya. Meskipun hanya kota kecil, tetapi dapat dijumpai berbagai macam suku seperti suku Dayak, Batak, Ambon, Papua, Sangir, Sunda, Betawi, Jawa, dan sebagainya. Keanekaragaman juga dapat dilihat dari situs-situs sejarah yang ada dari zaman pra-aksara, Hindu-Buddha, Islam, masa kolonialisme bangsa Barat, termasuk pula budaya Cina. Terdapat peninggalan-peninggalan bangunan sejarah di sepanjang kota Salatiga. Selain peninggalan berupa bangunan fisik terdapat pula satu peninggalan sejarah yang dapat dinikmati oleh masyarakat, yaitu dari segi kuliner. Salatiga mempunyai kuliner khas bernama wedang ronde. Minuman hangat ini bukan murni berasal dari Salatiga melainkan mendapat pengaruh dari budaya Cina. Dari hal kecil dan sederhana ini dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran mengenai toleransi dalam multikulturalisme Salatiga, karena meskipun wedang ronde mempunyai akar budaya Cina tetapi dapat diterima baik bahkan mengalami modifikasi rasa sesuai lidah masyarakat Salatiga. Masalah mengenai siapa pemilik atau asal darimana wedang ronde tidak dipermasalahkan baik dari orang Jawa maupun orang Cina. Semua dapat diterima dan dinikmati dengan baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan budaya Cina dan Jawa melalui wedang ronde dan multikulturalisme masyarakat Salatiga.

LANDASAN TEORI

Definisi Kebudayaan

Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikian ke-budaya-an itu dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pendapat lain yang mengupas kata budaya itu sebagai suatu pengembangan dari majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi. (Koentjaraningrat 1962 : 77)

Koentjaraningrat (1962 :76-78) mengemukakan bahwa definisi kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang diatur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Kata “kebudayaan” sendiri berasal dari kata Sanskerta, buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Wujud Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai idea, kebudayaan sebagai tingkah laku, dan kebudayaan sebagai benda fisik (Tri Widiarto, 2007: 12-14).

a.     Kebudayaan sebagai Idea

Wujud kebudayaan sebagai idea menempati kedudukan yang utama dan dapat berupa pikiran, gagasan, renungan, telaahan, cita-cita, konsep, teori, dan sebagainya.

b.     Kebudayaan sebagai Tingkah Laku

Wujud kebudayaan sebagai tingkah laku dapat berupa kegiatan atau aktivitas manusia dalam pergaulan di masyarakat.

c.     Kebudayaan sebagai Benda Fisik

Wujud kebudayaan fisik dapat berupa hasil karya manusia berbentuk benda sehingga bersifat konkret, dapat dilihat, dirasakan, dipegang, dan sebagainya.

Perubahan Sosial Budaya

Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang terjadi dalam hubungan interaksi antar individu, kelompok, atau organisasi yang menyangkut struktur sosial, nilai, norma, dan peranan (Koentjaraningrat 1962: 149).

Secara mendasar, istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact dalam bahasa asing, mempunyai berbagai arti diantara berbagai sarjana antropologi, tetapi semuanya berpaham bahwa proses sosial yang disebut akulturasi itu timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda. Reaksi dari individu dapat bermacam-macam. Ada yang mengambil alih atau menerima beberapa unsur kebudayaan asing, tetapi ada juga yang menolak. Bagaimana pun ada unsur kebudayaan asing yang lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaaan itu sendiri. Perubahan sosial budaya dibagi menjadi (Koentjaraningrat 1962: 142-149) :

a.    Asimilasi

Gejala asimilasi (assimilation) dalam masyarakat dapat terjadi apabila terdapat berbagai golongan manusia yang mempunyai latar belakang hubungan yang berbeda-beda dan yang saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan berbagai golongan tadi berubah sifatnya yang khas dan juga unsurnya berbah menjadi unsur kebudayaan campuran.

b.    Difusi

Difusi adalah proses penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan dari satu individu ke individu yang lain dan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain.

c.     Akulturasi

Secara mendasar, istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact dalam bahasa asing, mempunyai berbagai arti diantara berbagai sarjana antropologi, tetapi semuanya berpaham bahwa proses sosial yang disebut akulturasi itu timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda. Reaksi dari individu dapat bermacam-macam. Ada yang mengambil alih atau menerima beberapa unsur kebudayaan asing, tetapi ada juga yang menolak. Bagaimana pun ada unsur kebudayaan asing yang lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaaan itu sendiri.

Definisi Multikulturalisme

Multikulturalisme menunjuk pada kemajemukan budaya dan akhirnya multikulturalisme juga mengacu pada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut. Menurut H. A. R. Tilaar (Tilaar, 2004: 93-94), multikulturalisme adalah upaya untuk menggali potensi budaya sebagai kapital yang dapat membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko.

Foklor

Kata folklor (James Danandjaja, 1994:1-2) adalah pengindonesiaan kata Inggris foklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Folklor dibagi menjadi tiga macam yaitu :

1.     Folklor Lisan (verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan, yang termasuk ke dalam folklor lisan antara lain:

a.     Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, titel kebangsawanan

b.     Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, pameo

c.     Pertanyaan tradisional (teka-teki)

d.     Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, syair

e.     Prosa rakyat seperti legenda, mitos, dongeng

f.      Nyanyian rakyat

2.     Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan misalnya kepercayaan rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, perta rakyat, dan lain-lain.

3.     Folklor bukan lisan (non verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan, misalnya arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional, gerak isyarat tradisinal, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat.

HASIL PENELITIAN

Biografi Sosial Politik Salatiga abad XVIII-XX (Sebagai Tempat Lahirnya Wedang Ronde dan Multikulturalisme Salatiga)

Keberadaan wedang ronde (Tri Widiarto, dkk. 2006: 20-22) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kota Salatiga, dalam studi sejarah dikenal istilah Biografi Kota, yaitu menunjuk pada kaitan antara perkembangan dan keberadaan suatu kota yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap suatu peristiwa di dalamnya.

Demikian juga keberadaan Salatiga dewasa ini yang berkaitan dengan wedang ronde tidak lepas dari bentangan sejarah pada masa lampau. Sejarahnya ini dapat ditelusuri melalui peninggalan-peninggalan sejarah pada masa pra-aksara, masa pengaruh Hindu-Buddha, masa pengaruh Islam, masa kolonial Belanda, dan juga termasuk di dalamnya pengaruh budaya Cina. Jadi kota Salatiga merupakan kota yang mempunyai perjalanan sejarah yang lengkap dan menyebabkan Salatiga menjadi kota yang multikulturalisme.

Masuknya Kuliner Wedang Ronde ke Salatiga

Kedatangan bangsa Cina sendiri ke Indonesia (Kong Yuanzhi, 2013: 5-8) dimulai sekitar tahun 1400-an (abad ke XV) yaitu dengan ditandai dengan pelayaran seorang Cina Muslim ke Samudera Hindia yaitu Laksamana Cheng Ho. Pelayaran ini dimulai ketika negara Cina berada pada dinasti Ming dengan tujuan untuk melakukan perniagaan langsung dengan negara-negara seberang laut termasuk Indonesia. Laksamana Cheng Ho juga pernah masuk ke pulau Jawa dan mendarat di kota Semarang. Selain melakukan perniagaan, disadari maupun tidak disadari ada unsur-unsur kebudayaan Cina yang masuk ke unsur kebudayaan Jawa, termasuk budaya kuliner wedang ronde. Maka di Semarang terdapat kuil Sam Poo Kong untuk mengenang Cheng Ho dan kawasan Pecinan yang kental dengan ciri khas budaya Cina.

Pada abad ke-XVIII (hasil wawancara dengan Eddy Supangkat) banyak orang Cina yang berangsur-angsur datang ke Jawa Tengah di Solo, Yogyakarta, dan Salatiga. Di Salatiga khususnya orang-orang Cina memusat di Jalan Jenderal Sudirman yang dikenal dengan Pecinan Salatiga dan mulai bertempat tinggal di Salatiga. Kebudayaan Cina dan Jawa pun mulai mengalami interaksi dan pertemuan unsur-unsur kebudayaan, misalnya dilihat dari kuliner wedang ronde. Penjual wedang ronde di Salatiga mulai muncul sekitar tahun 1940-1950-an.

Filsafat Wedang Ronde

Wedang ronde (hasil wawancara dengan Theresia Yuwono, M. M) merupakan kuliner yang unik berasal dari Cina dengan nama asli tāngyuán 汤圆 berarti tāng 汤 adalah sup dan yuán 圆adalah bulat. Jadi wedang ronde merupakan kuliner yang menyerupai sup dengan ronde (bulat). Wedang ronde sendiri berasal dari negara Cina. Dalam tradisi orang Cina, wedang ronde secara khusus dikonsumsi secara bersama-sama pada festival Lampion atau Lantern Festival atau 15 hari setelah Imlek atau festival Dongzhi. Festival ini dalam rangka peringatan hari terdingin saat Imlek. Wedang ronde mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Cina. Pada saat festival ini berlangsung, dalam sebuah keluarga akan bersama-sama berkumpul dan minum wedang ronde untuk menghangatkan badan. Biasanya jika ada anggota keluarga yang tinggal di luar kota akan pulang ke kampungnya agar bisa bersama-sama minum wedang ronde.

Wedang ronde (hasil wawancara dengan Theresia Yuwono, M. M), terbuat dari tepung ketan yang diberi air sehingga menjadi adonan. Adonan tersebut dibentuk menjadi bola-bola yang diberi isi wijen atau kacang. Tepung ketan yang lengket setelah dicampur dengan air mempunyai makna bahwa dengan merayakan festival Dongzhi setiap anggota keluarga akan rukun, harmonis, saling menghangatkan sehingga tercipta kerekatan keluarga. Wedang ronde di Cina mempunyai cita rasa asli yang khas. Bola-bola ketan (ronde) selalu berisi wijen hitam yang nantinya akan menyerupai pasir, bukan berisi kacang tanah. Kuahnya terbuat darri campuran jahe dan gula. Penyajiannya pun dihidangnya semangkuk kuah jahe dan bola ketan tanpa agar-agar atau kolang-kaling seperti di Salatiga. Dari segi cita rasa, di Cina tidak memakai banyak rempah-rempah karena memang bukan negara penghasil rempah-rempah seperti Indonesia. Jadi rasanya jika dibandingkan dengan wedang ronde di Salatiga menjadi kurang berasa (hambar) dan lebih lembut (jahe dan gula dipakai hanya sedikit saja) sehingga kuahnya bening. Tidak seperti di Salatiga yang rasa jahenya tajam, ada yang memakai daun pandan sehingga kuahnya berwarna coklat.

Nilai Pendidikan Multikulturalisme dalam Filsafat Wedang Ronde untuk Masa Depan Salatiga

Salatiga bisa dijadikan sebagai contoh kecil mengenai toleransi dalam perbedaan dan multikulturalisme masyarakat. Salatiga terkenal dengan toleransi masyarakatnya terhadap perbedaan bahkan diberi penghargaan sebagai kota paling toleransi peringkat kedua se-Indonesia. Hal ini menarik jika dilihat dari kondisi Salatiga yang merupakan kota kecil yang dikelilingi oleh wilayah kabupaten Semarang. Dapat dijumpai berbagai suku, agama, ras yang ada dan tinggal di Salatiga tetapi dapat hidup berdampingan dengan damai. Upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan di pusat kota, gereja-gereja, masjid, dan tempat ibadah lainnya akan dijaga dengan baik tanpa ada satu apapun gerakan untuk memecah belah. Organisasi masyarakat yang radikal juga ditolak oleh masyarakat Salatiga dengan tokoh-tokoh agamanya. Meskipun kota kecil tetapi merupakan kota yang damai dan toleransi.

Keanekaragaman dan toleransi masyarakat Salatiga bisa dilihat pula dalam kuliner khas yaitu wedang ronde. Kuliner yang berasal dari Cina tersebut bisa terbilang malah eksis di Salatiga khususnya di Jalan Jenderal Sudirman, pusat kota Salatiga. Pendatang-pendatang dari luar kota tidak lupa akan mampir ke salah satu penjual wedang ronde di Salatiga. Di Salatiga, wedang ronde mengalami perubahan-perubahan dalam hal penyajian, varian rasa, dan ciri khas. Perubahan-perubahan tersebut tidak menjadi suatu sumber konflik antara orang Jawa dan Cina sebagai pemilik tradisi wedang ronde. Bahkan dapat dijumpai 2 (dua) versi wedang ronde yang mempunyai ciri khas tersendiri di Salatiga yaitu Wedang Ronde Mak Pari dan Wedang Ronde Jago. Semuanya dapat beriringan dalam ekonomi secara damai. Para konsumen juga tidak mempermasalahkan darimana asalnya wedang ronde tersebut. Konsumen hanya menyukai wedang ronde sja karena membuat tubuh hangat di tengah udara yang sejuk di Salatiga. Orang asli Salatiga sendiri pun tidak semuanya tahu tentang asal-usul wedang ronde. Padahal jika dilihat dari kondisi Indonesia sekarang ini, budaya Cina dan Jawa adalah konflik yang sering terjadi di masyarakat entah dalam konflik kecil maupun besar.

Toleransi yang terjadi di Salatiga merupakan contoh yang baik diterapkan oleh bangsa Indonesia. Tidak ada perbedaan perlakuan terhadap mayoritas dan minoritas. Semuanya diperlakukan dan mendapatkan hak yang sama. Harapannya juga toleransi seperti sekarang ini tidak hanya terhenti sampai hari ini saja tetapi akan terjadi seterusnya. Perbedaan budaya, agama, ras memang merupakan masalah yang mudah tersulut api konflik sehingga pemahaman-pemahaman tentang multikulturalisme dan toleransi perlu ditanamankan pada generasi muda kota Salatiga maupun dalam skala besar yaitu Indonesia. Dengan adanya toleransi maka perkembangan dan kemajuan bangsa akan melaju pesat serta masyarakat akan hidup damai, sejahtera dan harmonis tanpa ada ketakutan tentang disintegrasi bangsa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dipadukan dengan analisis data di atas, maka dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.     Wedang ronde merupakan kuliner yang unik berasal dari Cina dengan nama asli tāngyuán 汤圆 berarti tāng adalah sup dan yuán adalah bulat. Jadi wedang ronde merupakan kuliner yang menyerupai sup dengan ronde (bulat). Wedang ronde sendiri berasal dari negara Cina. dalam tradisi orang Cina, wedang ronde secara khusus dikonsumsi secara bersama-sama pada festival lampion yang dilaksanakan 15 hari setelah Imlek yang disebut dengan Festival Dongzhi. Festival ini dalam rangka peringatan hari terdingin saat Imlek. Wedang ronde mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Cina. Pada saat festival ini berlangsung, dalam sebuah keluarga akan bersama-sama berkumpul dan minum wedang ronde untuk menghangatkan badan. Biasanya jika ada anggota keluarga yang tinggal di luar kota akan pulang ke kampungnya agar bisa bersama-sama minum wedang ronde.

2.     Salatiga bisa dijadikan sebagai contoh kecil mengenai toleransi dalam perbedaan dan multikulturalisme masyarakat. Salatiga terkenal dengan toleransi masyarakatnya terhadap perbedaan bahkan diberi penghargaan sebagai kota paling toleransi peringkat kedua se-Indonesia. Hal ini menarik jika dilihat dari kondisi Salatiga yang merupakan kota kecil yang di kelilingi oleh wilayah Kabupaten Semarang. Dapat dijumpai berbagai suku, agama, ras yang ada dan tinggal di Salatiga tetapi dapat hidup berdampingan dengan damai. Keanekaragaman dan toleransi masyarakat Salatiga bisa dilihat pula dalam kuliner khas yaitu wedang ronde. Kuliner yang berasal dari Cina tersebut bisa terbilang malah eksis di Salatiga khususnya di Jalan Jenderal Sudirman, pusat kota Salatiga. Perubahan-perubahan rasa dan ciri khas tidak menjadi suatu sumber konflik antara orang Jawa dan Cina sebagai pemilik tradisi wedang ronde. Bahkan dapat dijumpai 2 (dua) versi wedang ronde yang mempunyai ciri khas tersendiri di Salatiga yaitu Wedang Ronde Mak Pari dan Wedang Ronde Jago. Semuanya dapat beriringan dalam ekonomi secara damai. Para konsumen juga tidak mempermasalahkan darimana asalnya wedang ronde tersebut.

SARAN

Dalam menjaga dan melestarikan kuliner tradisional khususnya wedang ronde di Salatiga, pemerintah dan masyarakat dapat mengambil nilai-nilai kehidupan yaitu toleransi dalam multikulturalisme dalam wedang ronde. Nilai-nilai ini sangat berguna bagi kelangsungan hidup masyarakat Salatiga yang sudah hidup dalam toleransi sehingga keberlangsungan hidup toleransi dapat terjaga seterusnya. Meskipun hanya diambil dari satu kota kecil dan satu kuliner lokal tetapi dapat berdampak luas jika toleransi dalam multikulturalisme diterapkan.

Selain itu, pemerintah kota Salatiga dapat memberikan perhatian kepada kuliner ini sebagai salah satu aset wisata kuliner Salatiga. Dengan diperhatikannya kuliner ini dapat berpotensi menjadi daya tarik wisata kuliner sehingga akan meningkatkan pendapatan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Dakir, A.2011. Multikultural Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Jurahman, Yohanes, B. dkk. 2014. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Salatiga: Widya Sari Press.

Kartodirdjo, Suyatno, dkk. 2006. Pernak-Pernik Budaya Jawa. Salatiga: Widya Sari Press.

Koentjaraningrat. 1962. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbitan Universitas Jakarta.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Supangkat, Eddy. 2010. Galeria Salatiga. Salatiga: Griya Media

Syam, Nur. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tan, Melly G (editor). 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Tilaar, H. A. R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Masyarakat. Jakarta: Grasindo.

Ujan, Ander Ata, dkk. 2011. Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks.

Widiarto, Tri. 2002. Salatiga dan Pariwisata (Kajian Sejarah dan Budaya). Salatiga: Widya Sari Press.

Widiarto, Tri, dkk. 2006. Sejarah Perkembangan Universitas Kristen Satya Wacana (1956-2006). Salatiga: Widya Sari Press.

Widiarto, Tri. 2009. Psikologi Lintas Budaya Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press.

Widiarto, Tri. 2012. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga: Widya Sari Press.

Yuanzhi, Kong. 2013. Cheng Ho Muslim Tionghoa: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.