PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MELALUI RELIGIOUS CULTURE DALAM MEMBENTUK KARAKTER SISWA
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MELALUI RELIGIOUS CULTURE
DALAM MEMBENTUK KARAKTER SISWA
Aziz Hamidi
SMK Negeri 2 Sukoharjo
ABSTRAK
Pendidikan agama khususnya pendidikan agama Islam pada dasarnya harus mencakup tiga aspek secara terpadu, yaitu: (1) knowing, yakni agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktekkan ajaran dan nilai-nilai agama; dan (3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidupnya sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran agama. (Muhaimin, 2009: 305-306). Mengingat pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia, maka kegiatan pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Untuk mewujudkan ketiga aspek di atas diperlukan perubahan paradigma pendidikan agama di sekolah. Muhaimin (2006: 129) menyatakan bahwa terdapat perubahan paradigma pendidikan agama di sekolah yaitu bahwa pendidikan agama bukan hanya tugas guru agama saja, tetapi merupakan tugas bersama antara kepala sekolah, guru agama, guru umum, selururh aparat sekolah, dan orang tua murid. Jika pendidikan agama sebagai tugas bersama, berarti pendidikan agama itu perlu atau bahkan harus dikembangkan menjadi budaya sekolah. Penelitian ini berangkat dari sebuah keprihatinan dan sekaligus harapan. Mengapa berbagai persoalan seputar pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih belum terselesaikan dengan baik, dan hanya sebagian kecil sekolah yang mampu melakukan pengembangan dengan melakukan berbagai inovasi. Salah satu bentuk pengembangannya adalah dengan mewujudkan budaya religius di sekolah. Pewujudan budaya religius dipahami sebagai langkah strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Agama Islam di sekolah.Sebagaimana yang dinyatakan Watik (1999: 87), bahwa sumber daya manusia yang berkualitas menyangkut tiga dimensi, yaitu: (1) dimensi ekonomi, (2) dimensi budaya, dan (3) dimensi spiritual (iman dan taqwa). Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan juga perlu mengacu pada pengembangan nilai tambah pada ketiga dimensi tersebut.Bentuk pengembangannya dapat dilakukan melalui proses-proses sebagai (1) pembudayaan, (2) pembinaan iman dan taqwa, dan (3) pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses pembudayaan ialah proses transformasi nilai-nilai budaya yang menyangkut nilai-nilai etis, estetis, dan nilai budaya, serta wawasan kebangsaan dalam rangka terbinanya manusia berbudaya.
Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Religious Culture, Karakter Siswa
Arus globalisasi dan kemajuan teknologi tidak selamanya berdampak positif, ternyata ada juga dampak negative-nya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di mancanegara, saat ini bisa kita saksikan di dalam rumah kita sendiri melalui layar televisi, internet dan fasilitas teknologi informasi lainnya yang secara langsung atau tidak dapat mempengaruhi perkem-bangan jiwa anak-anak diusia remaja yang memiliki kecenderungan untuk mencoba-coba sesuatu, tidak sabar, mudah terbujuk dan selalu ingin menampakkan egonya.
Bila dasar-dasar agama yang dimi-liki anak-anak kita sangat lemah, maka dikhawatirkan anak-anak kita itu meniru secara total segala perbuatan yang dilaku-kan oleh orang-orang di mancanegara tanpa memperhatikan baik buruknya serta manfaat dan madlaratnya. Bahkan pada sebagaian anak remaja/pelajar hal-hal yang menurut agama tidak boleh dilakukan (haram/berdosa) tetapi dikalangan anak-anak remaja/pelajar hal itu sudah dianggap lumrah, misalnya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, cara berpakaian yang mempertontonkan aurat, tawuran antar pelajar bahkan rasa hormat terhadap orang tua dan guru sudah hampir pudar. Mereka menganggap bukanlah cinta sejati yang penuh pengorbanan bila tidak mengumbar seks, tidaklah dikatakan moderen jika berpakaian harus menutup seluruh tubuh, tidaklah dikatakan setia kawan jika tidak ikut tawuran bahkan lebih parah lagi jika mereka beranggapan bahwa bila memperlakukan orang tua dan guru dengan penuh rasa hormat adalah perilaku ortodok dan ketinggalan zaman, na’udzu billahi min dzalik.
Sistem pendidikan nasional telah menetapkan bahwa melalui proses pendi-dikanlah setiap warga negara akan dibina dan ditingkatkan keimanan dan ketaqwa-annya. Hal itu tidak akan tercapai tanpa adanya peranan agama karena hanya ajaran dan nilai-nilai agama yang dapat menuntun manusia untuk bertaqwa terha-dap Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran akan besarnya pengaruh agama bagi pe-ningkatan keimanan dan ketakwaan serta pembentukan moral warga negara telah menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran yang wajib bagi semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Keberadaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran didukung oleh UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Pendidikan agama memiliki peranan yang sangat besar karena pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. (UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003).
Maka harapan yang muncul ialah pelajaran agama dijadikan tumpuan untuk membentuk moralitas dan kepribadian war-ga negara yang religius. Moral adalah ke-terikatan spiritual pada norma-norma yang telah ditetapkan, baik yang bersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau berasal dari tradisi berpikir secara ilmiah. Keterikatan spiritual tersebut akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terha-dap nilai-nilai kehidupan (norma) yang akan menjadi pijakan utama dalam menen-tukan pillihan, pengembangan perasaan dan dalam menetapkan suatu tindakan. (Alim, 2006: 9).
Dewasa ini, masalah moralitas di kalangan generasi muda khususnya pelajar dan mahasiswa merupakan problema besar. Generasi muda adalah asset bangsa yang akan menentukan bagaimana masa depan bangsa. Kenyataannya sekarang, pelajar dan mahasiswa sebagai generasi terpelajar mudah terprovokasi sehingga terjadi tawuran di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Banyaknya kasus-kasus amoral yang dilakukan oleh generasi muda, seperti kasus narkoba, seks bebas, hamil diluar nikah, aborsi, dan lain-lain. Problema ini tidak akan dapat terpecahkan, melainkan dengan cara kembali kepada ajaran agama yang salah satu caranya dengan mengefektifkan pendidikan agama di sekolah.
Pembentukan kepribadian yang bermoral dan religius tidak cukup dengan mengandalkan mata pelajaran pendidikan agama yang mendapat alokasi waktu dua atau tiga jam pelajaran pada setiap minggunya. Apalagi adanya stigma yang berkembang bahwa keberhasilan pendidik-an agama peserta didik merupakan tanggungjawab guru agama menambah permasalahan dalam dunia pendidikan agama Islam di sekolah.
Menurut Malik Fadjar (2005: 195) bahwa pendidikan agama bukan merupa-kan kegiatan yang terpisah dari aspek-aspek kehidupan masyarakat luas. Sekolah hanya merupakan salah satu wahana yang barangkali bukan utama. Di luar sekolah banyak pihak yang tidak kalah penting peranannya yang ikut memberikan penga-ruh pelaksanaan pendidikan seperti keluar-ga dan lingkungan di masyarakat. Meski-pun lingkungan keluarga dan masyarakat juga sangat beperan bagi pembentukan kepribadian dan moral anak bangsa, akan tetapi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang memiliki sejumlah program kegiatan pendidikan secara terencana masih menjadi tumpuan untuk pembentuk-an watak dan moralitas anak bangsa.
Pendidikan agama khususnya pen-didikan agama Islam pada dasarnya harus mencakup tiga aspek secara terpadu, yaitu: (1) knowing, yakni agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktekkan ajaran dan nilai-nilai agama; dan (3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidupnya sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran agama. (Muhaimin, 2009: 305-306).
Mengingat pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia, maka kegiatan pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Untuk mewujudkan ketiga aspek di atas diperlukan perubahan paradigma pendidik-an agama di sekolah. Muhaimin (2006: 129) menyatakan bahwa terdapat perubah-an paradigma pendidikan agama di sekolah yaitu bahwa pendidikan agama bukan hanya tugas guru agama saja, tetapi merupakan tugas bersama antara kepala sekolah, guru agama, guru umum, selururh aparat sekolah, dan orang tua murid. Jika pendidikan agama sebagai tugas bersama, berarti pendidikan agama itu perlu atau bahkan harus dikembangkan menjadi budaya sekolah.
Semakna dengan pengertian pen-didikan sebagaimana terkandung dalam UU No. 2/2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) serta pilar-pilar pembelajaran, menurut Muhaimin bahwa setiap guru dan warga sekolah memiliki kewajiban untuk me-ngembangkan kekuatan spiritual keagama-an, dan menciptakan suasana belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Muhaimin, 2009: 312).
Upaya ini dapat dilakukan oleh guru melalui pengintegrasian imtak dengan materi pelajaran, proses pembelajaran, dalam memilih bahan ajar, serta dalam memilih media pembelajaran, dan semua warga sekolah memiliki kewajiban untuk mengembangkan komitmennya masing-masing bagi terwujudnya nilai-nilai agama dan akhlak mulia di sekolah. Menyikapi keadaan yang demikian, maka penyeleng-gara pendidikan agama Islam perlu menyi-asatinya dengan kegiatan-kegiatan lain di luar jam pelajaran di dalam kelas sebagai bentuk pengamalan dan upaya penanaman nilai-nilai keislaman kepada peserta didik. Hal itu dimaksudkan agar nilai-nilai keislaman itu menjadi sikap dan cara hidup yang tercermin dalam kepribadian peserta didik sehari-hari sehingga membentuk akhlak yang mulia. Adapun upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengem-bangkan budaya beragama di sekolah, arti-nya seluruh warga sekolah membiasakan diri mengamalkan ajaran-ajaran agama di sekolah supaya menjadi kultur atau budaya di sekolah tersebut.
Penyelenggaraan pendidikan aga-ma khususnya pendidikan agama Islam yang diejawantahkan dengan mengem-bangkan budaya agama dalam lingkungan sekolah patut untuk dilaksanakan. Pengem-bangan budaya agama di dalam lingkungan sekolah merupakan upaya untuk mena-namkan nilai-nilai ajaran agama kepada siswa dengan tujuan dapat memperkokoh keimanan serta menjadi pribadi yang memiliki kesadaran beragama dan ber-akhlak mulia. Untuk itulah pengembangan budaya agama sangat penting untuk dilak-sanakan karena kegiatan tersebut merupa-kan rangkaian kegiatan yang dapat mendu-kung tercapainya tujuan pendidikan nasio-nal dan dapat mempengaruhi sikap, sifat, dan tindakan siswa secara tidak langsung.
Di era globalisasi ini, menurut Harian Kompas sebagaimana yang dikutip Muhaimin (2009: 310) bahwa sekolah-sekolah yang bermutu dan memberi muat-an agama lebih banyak menjadi pilihan pertama di berbagai kota. Muatan agama tersebut merupakan dasar/pondasi hidup pribadi untuk menangkal pengaruh negatif di era globalisasi. Sekolah sebagai lembaga yang menawarkan jasa kepada pelanggan tentunya tidak ingin ditinggalkan oleh pelanggan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik yang sesuai dengan harapan-harapan para pelanggan. Salah satu harapannya adalah lembaga pendidikan memuat nilai-nilai agama yang cukup untuk membentuk kepribadian outputnya sehingga lembaga tersebut tetap menjadi pilihan orang tua siswa sebagai pelanggan tetap lembaga tersebut.
Pengembangan budaya agama di lingkungan sekolah mempunyai landasan yang kokoh baik secara normatif religius maupun secara konstitusional, sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk mengelak dari upaya tersebut. (Muhaimin, LKP2I, 2009: 305).
Landasan secara konstitusional dapat dipahami dari UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Dan perlu juga memperhatikan pengertian pendidikan agama Islam berikut:
“Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyi-apkan peserta didik untuk mengenal, me-mahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al Qur’an dan hadis, melalui kegiatan bimbingan, peng-ajaran, latihan, serta penggunaan pe-ngalaman. Dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam masyarakat hingga terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa.” (Depdiknas, 2003).
Pendidikan agama sebagai salah satu kegiatan untuk membangun pondasi keimanan dan ketakwaan yang kokoh, ternyata belum berperan secara maksimal. Kurang berhasilnya pendidikan agama di sekolah secara khusus dan di masyarakat pada umumnya adalah adanya pema-haman agama yang tidak dibarengi dengan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan nilai-nilai agama.
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama di sekolah masih mengalami banyak kelemahan, seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Buchori dalam Muhaimin bahwa pendidikan agama masih gagal disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dan mengabaikan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan agama dan pengamalannya. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral. (Muhaimin, 2009: 23).
Demikian pula dengan pengem-bangan budaya agama yang berjalan di beberapa sekolah belum mengandung nilai-nilai ajaran agama, hanya berbentuk kegi-atan keagamaan yang dilaksanakan secara rutinitas semata tidak menyentuh rasa beragama yang menggugah kesadaran untuk dilakukan. Hal itu ditegaskan oleh Rasdianah dalam Muhaimin bahwa salah satu kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah adalah bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan pribadi. Di beberapa sekolah, pengem-bangan budaya agama masih merupakan tugas guru PAI saja, kurang dapat berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan non-agama. Sebagaimana pernyataan Mochtar Buchori dalam Muhaimin bahwa kegiatan keagama-an yang berlangsung selama ini lebih ba-nyak bersikap menyendiri, kurang ber-interaksi dengan kegiatan-kegiatan pendi-dikan lainnya. Cara kerja semacam ini ku-rang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu seharusnya guru agama bekerjasama dengan guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
Dengan adanya kenyataan seperti di atas, maka salah satu hal yang sangat penting dalam membangun budaya agama di sekolah adalah adanya kemampuan ma-najerial kepala sekolah dalam membangun kegiatan pengembangan budaya agama yang menerapkan fungsi-fungsi mana-jemen secara tepat sehingga tujuan pendidikan agama Islam dapat tercapai secara efektif dan efisien. Menurut Wahjosumidjo (2002: 96) bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi dalam bidang pendidikan merupakan se-orang manajer yang dituntut memiliki kemampuan untuk merencanakan, meng-organisasikan, memimpin dan mengen-dalikan organisasi agar tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dengan alasan-alasan seperti tersebut di atas, maka pengembangan dan peng-amalan budaya agama Islam dalam komunitas sekolah sangat penting untuk diimplementasikan.
Religious culture dalam konteks ini berarti pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat, yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran di sekolah, agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku siswa sehari-hari dalam lingkungan sekolah atau masya-rakat. Bentuk kegiatan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya adalah; membiasakan salam, membiasakan berdoa, membaca al-Qur’an sebelum pela-jaran dimulai, membiasakan kultum, mem-biasakan shalat dhuha, shalat dhuhur berjamaah, dzikir setelah shalat, me-nyelenggarakan PHBI, menyantuni anak yatim, acara halal bi halal, dan sebagainya.
Sasaran pengamalan budaya aga-ma Islam (religious culture) adalah siswa dan seluruh komunitas sekolah meliputi kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pega-wai sekolah, dan komite sekolah. Dalam pelaksanaannya program pengamalan bu-daya agama Islam di sekolah di bawah tanggung jawab kepala sekolah yang secara teknis dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan guru pendidikan agama Islam. Sedangkan pelaksanaannya adalah semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa).
Pelaksanaan pengamalan budaya agama Islam di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari segenap pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagaman serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan terlibat dalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan suatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.
Sebagai upaya sistematis menja-lankan pengamalan budaya agama Islam di sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, mukena, mimbar, dsb), alat peraga praktek ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islam, ruang multimedia, lab komputer, internet serta laboratorium PAI.
Penelitian ini berangkat dari sebu-ah keprihatinan dan sekaligus harapan. Mengapa berbagai persoalan seputar pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih belum terselesaikan dengan baik, dan hanya sebagian kecil sekolah yang mampu melakukan pengembangan dengan melakukan berbagai inovasi. Salah satu bentuk pengembangannya adalah de-ngan mewujudkan budaya religius di seko-lah. Pewujudan budaya religius dipahami sebagai langkah strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Agama Islam di sekolah.
Sebagaimana yang dinyatakan Watik (1999: 87), bahwa sumber daya manusia yang berkualitas menyangkut tiga dimensi, yaitu: (1) dimensi ekonomi, (2) dimensi budaya, dan (3) dimensi spiritual (iman dan taqwa). Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan juga perlu mengacu pada pengembangan nilai tambah pada ketiga dimensi tersebut.
Bentuk pengembangannya dapat dilakukan melalui proses-proses sebagai (1) pembudayaan, (2) pembinaan iman dan taqwa, dan (3) pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses pembudayaan ialah proses transformasi nilai-nilai budaya yang menyangkut nilai-nilai etis, estetis, dan nilai budaya, serta wawasan kebangsaan dalam rangka terbinanya manusia berbudaya.
Namun demikian, urgensi nilai yang cukup mendapat posisi strategis da-lam konsep pendidikan nasional pada ke-nyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indo-nesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti: (1) buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang diguna-kan kurang mengarah pada integrasi keil-muan antara sains dan agama, (2) penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan pendidik, dan (3) lingkungan belajar (hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu proses pembelajaran. (Malik, 2005: 19)
Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) peserta didik secara utuh. Selama ini proses pembe-lajaran di sekolah pada umumnya belum mampu mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama, dan begitu sebaliknya.
Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu (integrasi keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem pendidik-an nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan antara konsep keilmuan tertentu dengan nilai-nilai religius yang sejatinya dimunculkan dalam setiap disiplin ilmu. (Republika, 15 Juni 2007)
Kekurangkeberhasilan pendidikan agama di sekolah secara khusus dan di masyarakat secara umum adalah masih lebarnya jurang pemisah antara pemaham-an agama masyarakat dengan perilaku religius yang diharapkan. Indikator yang sangat nyata adalah semakin meningkat-nya para pelajar yang terlibat dalam tin-dakan pidana, seperti tawuran, pengguna-an narkoba, pencurian, pemerkosaan, pergaulan bebas dan sebagainya. Bahkan Humas Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa tahun 2003-2004 terjadi tawuran antar pelajar sebanyak 19 orang pelajar SLTP dan 100 orang pelajar SLTA dengan korban luka ringan sebanyak 38 orang, luka berat 3 orang dan tewas 2 orang. (Republika, 15 Juni 2007). Jika realitas ini dibiarkan seperti apa adanya, maka bukan mustahil jika frekuensi tawuran dan tindakan pidana yang dilakukan para pelajar terus meningkat dalam setiap tahunnya. (Endin, 2005: 7)
Kenyataan ini sudah cukup untuk mendorong pakar dan praktisi pendidikan melakukan kajian sistematik untuk membenahi atau memperbaiki sistem pendidikan nasional yang saat ini sedang terpuruk. (Brighthouse, 1999: 5). Upaya internalisasi dan perwujudan nilai-nilai keagamaan dalam diri peserta didik perlu dilakukan secara serius dan terus-menerus melalui suatu program yang terencana. Upaya tersebut dalam kontek lembaga pendidikan tidak semata-mata menjadi tugas guru Pendidikan Agama Islam (PAI) atau guru PPKn saja tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, terutama kepala sekolah bagaimana dapat membangun kultur sekolah yang kondusif melalui penciptaan budaya religius di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dijadikan alternatif pendukung akan keberhasilan pendidikan agama khususnya di sekolah adalah pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam berbagai bentuk kegiatan, baik kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler yang satu sama lain saling terintegrasi sehingga mendorong terwujudnya budaya religius.
Pendidikan agama (Islam) di sekolah pada dasarnya berusaha untuk membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, terutama pada aspek pemahaman tentang agama. (Muhaimin, 2009: 262). Dengan kata lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama (Islam) bukan knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui) setelah diajarkan di sekolah, tetapi justru mengutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Hal ini sejalan dengan esensi Islam adalah sebagai agama amal atau kerja (praksis). Kesadaran akan besarnya pengaruh agama bagi pembentukan warga negara telah terwujud dengan menjadikan agama sebagai mata pelajaran yang wajib bagi semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Keberada-an agama sebagai mata pelajaran didu-kung oleh Undang-Undang 1945 dan Pan-casila sebagai dasar negara. Maka harapan yang muncul ialah pelajaran agama dijadikan tumpuan untuk membentuk moralitas dan kepribadian yang religius.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Watik Pratiknya. (1999). Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pengembangan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Brighthouse, J. & Woods, D. (1999). How to Improve Your School. New York: Routledge.
Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam SMA dan MA. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Endin Mujahidin. (2005). Pesantren Kilat Alternatif Pendidikan Agama di Luar Sekolah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Malik Fadjar. (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhibuddin Hanafiah, Arah Baru Pendidikan Islam, (Republika, 15 Juni 2007)
Muhammad Alim. (2006) Pendidikan Agama Islam, Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhaimin. (2009). Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
_________. (2006) Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
_________. (2009). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran: Upaya Reaktualisasi Pendidikan Islam. Malang: LKP2I.
_________. (2009). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Wahjosumidjo. (2002). Kepemimpinan , Kepala Sekolah Tinjauan Teoritis dan Permasalahannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3. Jakarta: Sinar Grafika.