TRADISI SEKATEN DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA

SEBUAH REFERENSI KEARIFAN BUDAYA LOKAL

Dwi Susilowati

SMK Negeri 2 Sukoharjo

ABSTRACT

Sekaten Traditional Ceremonial as a traditional culture value which now still held by almost Surakarta people, have traditional culture that form the background of that ceremonial. The traditional culture which contains on Sekaten Traditional Ceremonial in Surakarta was built from culture value and people supports context. A problem comes when a nation heve left their personality from the norms and east life. Displacement from traditional culture to global traditional absolutely mean transform to the different culture from the original culture. When this world have belief a new culture that is a global culture, so the questions are where is the culture comes from? And where is the culture is going to?

Keywords: Sekaten, Traditional Culture, Culture Value, Global Culture.


PENDAHULUAN

Kebudayaan daerah merupakan sumber budaya yang tidak pernah habis untuk digali dan harus selalu digali untuk melengkapi keberadaan kebudayaan Nasional di Indonesia. Demikian ini seirama dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan memiliki banyak bentuk kebudayaan dan peninggaalan bersejarah. Peninggalan sejarah tersebut sebagai corak khas budaya bangsa yang bernilai tinggi yang dapat menumbuhkan kebanggaan dan rasa cinta tanah air.

Banyak ragam dan corak budaya di Indonesia yang dikagumi wisatawan. Salah satu budaya daerah yang merupakan aset budaya Nasional adalah Upacara Tradisi Sekaten. Budaya tersebut dilaksanakan di Keraton Kasunanan Surakarta yang telah berjalan dalam jangka waktu yang relatif lama.Oleh karena itu, tentu akan mengalami perubahan, penambahan, dan pengurangan. Begitu pula dengan bentuk dan prosesi pelaksanaan upacara akan mengalami perubahan dan pergeseran dengan tetap menjaga nilai, tujuan, maupun kesakralannya.Perayaan Sekaten di Surakarta merupakan budaya rakyat milik bersama atau umum bagi para pendukungnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya antusias masyarakat yang masih merayakan dengan khidmad selama satu minggu.

Secara lughawi (etimologi atau tata bahasa Arab), Sekaten berasal dari kata ”Syahadatain”; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten yang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Surakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulud Nabi Muhammad S A W. Perayaan ini diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu. Hal itu dilaksanakan mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.

Dimensi kesejarahan yang sering dilupakan oleh masyarakat, bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680 kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten. Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Kota Surakarta dan sekitarnya yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tetapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan hasil dari sinergisasi dan akulturasi (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten (http://kommpak.com/index.php/-12/05/2007/sekaten-sebuah-proses-akul-turasi-budaya-dan-pribumisasi-islam/).

Keraton Kasunanan Surakarta me-rupakan sebuah kerajaan Islam. Dalam agama Islam, Nabi Muhammad S A W. merupakan Rasul pembawa ajaran Islam di muka bumi, sehingga hari kelahiran beliau diperingati oleh umat Islam, karena Nabi Muhammad S A W. sebagai pembawa kebenaran. Selain itu dalam ajaran Islam disebutkan bahwa orang harus selalu bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah. Oleh sebab itu, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, Keraton Kasunanan Surakarta mengemasnya dalam bentuk upacara tradisional. Salah satu budaya tradisional yang hingga saat ini tetap dipertahankan keberadaannya adalah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi ini merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut sebagai wujud rasa syukur yang diadakan setiap tahun sekali dalam penyelenggaraan Sekaten. Perayaan Sekaten ini diadakan setiap 12 Mulud atau 12 Robiul Awal.

Pada saat hari raya Islam, di dalam masjid diadakan penabuhan gamelan, agar orang – orang menjadi tertarik. Jika masyarakat sudah berkumpul lalu diberi pelajaran tentang agama Islam. Untuk keperluan itu para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamai Kyai Sekati. Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali lainnya yaitu pada hari lahir Nabi Muhammad S.A.W. dalam masjid dipukul gamelan. Ternyata banyak orang datang ke masjid untuk mendengarkan gamelan Sekaten (Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari) yang dibunyikan mulai pada tanggal 5 Robiul Awal pukul empat sore di Pendopo Masjid Agung. Dan pada puncak acaranya tepat tanggal 12 Robiul Awal diadakan Gerebeg yaitu upacara selamatan (hajatan sebagai pewarisan budaya leluhur) dengan dikeluarkannya gunungan (berupa makanan dan hasil bumi) dari keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan (kakung dan putri) yang bermakna keselamatan dan pembawa berkah.

HAKIKAT UPACARA TRADISI SEKA-TEN

Upacara tradisi merupakan bagian dari adat istiadat yang merupakan salah satu upaya masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dunia roh, dan sesamanya. Sebagai perwu-judan dari itu, Keraton Kasunanan Surakar-ta sekarang ini masih memiliki berane-karagam hasil kebudayaan. Hal tersebut masih tercermin dengan dilakukannya beberapa upacara tradisional, di antaranya: upacara Jamasan Pusaka, Sekaten, upacara Labuhan, upacara Garebeg Besar, Sesaji Mahesa, Lawung, dan lain sebagainya. Upacara tradisional tersebut masih terpelihara dengan baik.

Puger dalam bukunya Sekaten (2002: 1), menjelaskan tentang asal mula dan maksud perayaan yang diadakan tiap – tiap tahun baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Asal mula Sekaten dimulai pada zaman Demak, zaman mulainya Kerajaan Islam di tanah Jawa. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa pada waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad S A W. di Masjid Agung dipukul gamelan, sehingga orang berduyun – duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan pidato – pidato tentang agama Islam.

Salah satu bentuk tradisi yang masih dipertahankan ialah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata: (1) Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menye-leweng; (2) Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain: menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu meng-hambakan diri pada Tuhan; (4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menim-bang atau menilai hal – hal yang baik dan buruk; (5) Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat ajahat serta tahu batas – batas kebaikan dan kejahatan. (Handipaningrat: 3)

Soelarto dalam bukunya Garebeg di Kasultanan Yogyakarta (1993: 9) menjelaskan bahwa Upacara Sekaten diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada tanggal 12 Robiul Awal atau 12 Mulud. Perayaan Sekaten itu dilakukan selama satu minggu, dan sebagai puncak perayaan Sekaten adalah perayaan Garebeg (yang berasal dari kata anggrubyung yang berarti menggiring) dengan ditandai dikeluarkannya gunungan dari dalam keraton yang merupakan wujud syukur atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan definisi – definisi di atas dapat disimpulkan bahwa upacara tradisi merupakan ciri khas suatu bangsa baik dilakukan secara terbuka dan murni, maupun yang tetutup dan telah dikombinasikan dengan budaya pendatang yang masih dilestarikan oleh masyarakat, ada yang dianggap bermakna religius oleh masyarakat pendukungnya dan berfungsi sebagai pranata sosial penuh dengan simbol – simbol yang berperan penghubung antar dunia nyata dengan dunia gaib.

NILAI SIMBOLIS

Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.Simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai kemakmuran.

Nilai merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang selalu dihargai, dijunjung tinggi, dan selalu disejajarkan oleh manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai manusia dapat merasakan kepuasan, baik lahir maupun batin. Dengan nilai pula manusia akan mampu menentukan sikap, cara berfikir, meupun cara bertindak demi mencapai tujuan hidupnya.

The Liang Gie (dalam Sutarjo, 1998 ; 8), mendefinisikan nilai sebagai suatu cita – cita dan cita – cita mutlak yang terkenal dalam filsafat adalah hal yang benar, hal yang baik dan hal yang indah. Pengertian nilai secara sempit sering diasosiasikan sebagai etika tradisional yang ruang lingkupnya berkisar kepada kesejajaran antara yang baik dan yang buruk. Nilai adalah sesuatu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur atau pedoman, tuntutan yang baik dalam kehidupan masyarakat. Nilai berfungsi sebagai pengarah dan pendorong seseorang dalam melakukan perbuatan. Dengan demikian, nilai dapat menimbulkan tekad bagi yang bersangkutan yang diwujudkan dalam perbuatan sehari – hari.

Simbolisme sangat menonjol pe-rannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini terlihat dalam upacara – upacara adat yang merupakan warisan turun – temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 1987: 10). Sejalan dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono, 1996: 630), bahwa “simbol atau lambang ialah: (1) sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya gambar tunas kelapa lambang pramuka, warna biru lambang kesetiaan; (2) simbol bisa berarti tanda pengenal tetap yang menyetakan sifat, keadaan, dan sebagainya, seperi peci putih dan serban ialah lambang haji.

Pembahasan tentang Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta lebih spesifik pada perayaan Sekaten pada tahun Dal. Penelitian ini juga mengungkapkan latar belakang sosial budaya munculnya tradisi Sekaten tahun Dal.Proses pelaksanaan Upacara Sekaten tahun Dal di Keraton Kasunanan Surakarta, serta makna dan pengaruh Upacara Tradisi Sekaten tahun Dal bagi masyarakat keraton pada khusus-nya dan masyarakat Surakarta pada umumnya. Upacara Tradisi Sekaten tahun Dal di Keraton Kasunanan Surakarta adalah sebagai bahan masukan untuk menambah keyakinan dan membentuk kepribadian masyarakat keraton, khususnya anggota kerabat Keraton Kasunanan Surakarta sebagai masyarakat yang berbudaya, agar lebih mengenali, menumbuhkan, dan mengembangkan nilai – nilai yang terkandung dalam kebudayaannya.

LETAK DAN KONDISI WILAYAH KERA-TON KASUNANAN SURAKARTA

Keraton Kasunanan Surakarta terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kotamadya Surakarta, daerah provinsi Jawa Tengah.Keraton Kasunanan Surakarta berada 100 m dari Kelurahan Baluwarti. Posisi Keraton sangat strategis, berada di tengah – tengah dalam wilayah Kelurahan Baluwarti. Keraton sebagai tempat tinggal raja, bukan hanya sebagai pusat politik dan budaya saja, tetapi juga merupakan pusat kerajaan. Khusus istilah Keraton di Surakarta merupakan tempat kediaman Raja atau Ratu, memiliki beberapa arti. Pertama berarti kerajaan atau negara, kedua berarti pekarangan raja yang meliputi wilayah di dalam tembok yang mengelilingi halaman bangunan yang unik karena ukurannya yang paling luas dibanding lainnya di lingkungan Keraton. Bangunannya bersifat khusus, monopoli Raja. Maka dari itu, penguasa Kadipaten tidak diperkenankan duduk di dhampar (tempat duduk berbentuk segi empat tanpa sandaran dan tanganan serta khusus untuk raja pada waktu pertemuan – pertemuan resmi), Maka alun – alun dan Sitihinggil hanyalah untuk nama – nama yang berhubungan dengan bangunan yang dimiliki Keraton.

Rangkaian prosesi pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten dimulai dengan persiapan upacara yang meliputi persiapan sesaji, pembacaan doa, dan membawa gamelan dari keraton menuju Masjid Agung. Perayaan Sekaten dimulai dengan dibunyikannya gamelan sekaten (Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari) pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul 16.00 WIB di Pendopo Masjid Agung. Dan pada puncak acaranya pada

PROSESI DAN NILAI SIMBOLIS DA-LAM UPACARA TRADISI SEKATEN DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA

Upacara Tradisi Sekaten merupa-kan warisan budaya dari nenek moyang yang masih dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang. Upacara ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kelurahan Baluwarti pada khususnya dan masyarakat Surakarta pada umumnya. Pelaksanaan upacara ini hingga sekarang masih tetap dilaksanaan setiap tahunnya. Upacara Tradisi Sekaten merupakan suatu peristiwa tradisional yang sangat populer serta senantiasa menarik perhatian puluhan ribu pengunjung, tidak saja datang dari daerah sekitar Keraton Kasunanan Surakarta, bahwa pengunjung tidak hanya berasal dari kota Surakarta saja, namun daerah di sekitarnya seperti Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Karanganyar, dan Klaten. Bahkan akhir – akhir ini perayaan sekaten juga menarik perhatian banyak wisatawan dan orang asing. Namun meski demikian sangat disayangkan bahwa lama kelamaan perkembangannya menjadi seperti keramaian biasa, sebab para pengunjungnya kebanyakan sudah lupa atau sama sekali tidak mengerti akan arti yang sesungguhnya dari perayaan sekaten tersebut. Puger menjelaskan bahwa upacara ini merupakan momentum sebagai wilujengan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala limpahan nikmat dan karunia yang diberikan. Perayaan Sekaten dimulai pada tanggal 5 Robiul Awal dan Berakhir dengan Garebeg Mulud tanggal 12 Robiul Awal yang ditandai dengan keluarnya gunungan. Gunungan berasal dari kata gunung, terdiri atas berbagai jenis makanan dan sayuran yang diatur bersusun meninggi menyerupai gunung.

Pada hari pertama perayaan Sekaten tanggal 5 Robiul Awal diawali dengan dikeluarkan dua buah gamelan yang merupakan peninggalan zaman Demak dari dalam keraton. Dua buah gamelan itu dibawa dari dalam keraton lewat alun – alun kemudian dibawa ke Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari keraton diadakan selamatan dengan diberi doa terlebih dahulu dan diberi sesajen. Setelah diadakan serah terima dari utusan keraton kepada penghulu masjid, gamelan ditempatkan di Bangsal Pradonggo mulai dibunyikan ketika sudah ada utusan dari keraton yang memerintahkan untuk membunyikan gamelan tersebut bernama Kyai Guntur Madu, yaitu berada di sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan Pakubuwana IV, yaitu tahun 1718 Saka yang ditandai dengan sengkalan Naga Nitih Tunggal. Gamelan yang lainnya bernama Kyai Guntur Sari, berada di sebelah utara dan melambangkan syahadat Rasul. Kyai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo pada tahun 1566 Saka. Selama perayaan sekaten selama satu minggu, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari ditabuh secara bergantian.

Pada tanggal 5 Rabiul Awal tersebut, sebagai awal perayaan sekaten, yang lebih dulu ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dengan memperdengarkan gending Rambu. Rambu berasal dari bahasa Arab Robbuna yang berarti Allah Tuhanku. Rambu mengisyaratkan gending yang ditabuh khusus untuk penghormatan kepada Tuhan. Sedangkan Kyai Guntur Sari memperdengarkan gending Rangkung yang berasal dari bahasa Arab Roukhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi atau lebih tepatnya karata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata barang kakung yang menginterpretasikan pada sorang Nabi, Khalifah, dan Raja – raja Mataram yang kesemuanya laki – laki. Sedangkan G.P.H. Puger berpendapat bahwa gending – gending yang pertama dibunyikan, Rambu dan Rangkung adalah nama dua jin Islam yang berbincang dan sangat setuju atas usaha yang dilakukan Wali songo dalam penyebaran agama Islam melalui media gamelan.

Gamelan sekaten yang mulai dibunyikan pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore merupakan saat yang paling ditunggu – tunggu oleh banyak orang, sehingga masyarakat mulai berbondong – bondong datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan yang dipukul pertama kalinya. Menurut keperca-yaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. Namun G.P.H. Puger menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis. Diungkapkan bahwa pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut menandakan pada zaman dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan. Terbukti bahwa masyarakat dianjurkan makan sirih yang mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan tubuh. Karena kandungan sirih tersebut mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan tubuh. Karena kandungan sirih tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit, menyehatkan gigi, berfungsi dalam pencernaan, dan akan menyegarkan badan.

Selain itu, ada dua buah gamelan yang dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama perayaan sekaten. Gamelan tersebut tiap pagi mulai dibunyikan pada pukul sembilan, waktu Ashar dan Dzuhur berhenti, kemudian mulai lagi dan berhenti lagi waktu Maghrib dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul 12 malam. Bila perayaan sekaten jatuh pada hari Jumat, gamelan tidak dibunyikan mulai Maghrib sampai siang, karena hari Jumat merupakan hari mulia bagi orang Islam. Gamelan tersebut berhenti pada waktu – waktu sholat karena memberikan kesempatan kepada penabuh gamelan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk menjalankan kewajiban sholat. Sehingga fungsi perayaan sekaten sebagai syiar Islam tetap terpelihara.

Setelah perayaan sekaten berlangsung tujuh hari, maka tepat pada tanggal 12 Robiul Awal, yaitu hari lahir Nabi Muhammad SAW diadakan upacara Garebeg yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Gunungan dibuat beberapa hari sebelum perayaan Garebeg Mulud oleh abdi dalem khusus yang ditunjuk oleh sinuhun. Gu-nungan tersebut dikeluarkan dari keraton menuju Masjid Agung.

Upacara Garebeg merupakan pe-nyempurnaan dari upacara Hindu Rajawe-da, yaitu suatu upacara yang diadakan oleh seorang kepala negara di setiap permulaan tahun. Upacara Rajaweda dilakukan de-ngan tujuan untuk memohon berkah dewa bagi keselamatan negara dan pendu-duknya.

Sekaten adalah salah satu pe-rayaan tradisional bernuansa Islam yang diselenggarakan setiap tahun di alun-alun Surakarta. Keramaian yang berupa pasar malam ini selalu diadakan pada bulan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bila diperhitungkan menurut kalender Masehi, Sekaten jatuh pada tanggal dan bulan yang berbeda dari tahun ke tahun. Misalnya, Sekaten tahun 2009 jatuh pada bulan Maret.Biasanya orang akan berbondong-bondong pergi ke Sekaten untuk mencari hiburan di tempat- tempat permainan dan tontonan atau untuk berbelanja, karena ada bermacam-macam barang yang ditawarkan dengan harga murah (http://bulletin.alambahasa.-com/in/budaya-indonesia/95/sekaten/)

Sekaten menjadi sangat populer karena adanya tobong musik dangdut yang menghebohkan. Banyak orang membicara-kan pertunjukan dangdut itu. Biasanya mayoritas penonton pertunjukan dangdut itu kaum laki-laki. Semakin malam jumlah penonton semakin berjubel. Mereka ingin menyaksikan penyanyi dangdut yang aduhai. Menurut kaum laki-laki yang sudah menontonnya, penyanyi dangdut di Sekaten sangat berani, baik dari cara berpakaiannya yang menggoda maupun goyangannya yang cenderung erotis.

Perubahan dalam perayaan Seka-ten baik dari segi penataan, pengelolaan, barang yang diperjualbelikan, maupun jasa yang ditawarkan. Hal-hal yang baru pada waktu itu adalah adanya stan-stan yang menawarkan rumah-rumah hasil karya para developer, paket-paket liburan ke luar kota, barang-barang elektronik yang bervariasi, sarana-sarana komunikasi, sampai bermacam-macamnya sarana permainan anak, tenda-tenda fast food dan lain sebagainya. Orang-orang yang berdatangan pun banyak yang bermotor maupun bermobil. Arena Sekaten tampak berdebu dan kotor, meskipun sudah ada penataan dari pihak penyelenggara. Tarif parkir pun bervariasi tergantung pihak pengelola. Sekalipun sekarang orang harus mengeluarkan uang lebih banyak di Sekaten, tetap saja pasar malam ini tidak pernah sepi pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Sekaten punya daya tarik tersen-diri baik bagi wisatawan lokal,nasional, maupun internasional yang menandai keberadaan budaya global.

FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SE-KATEN

Perubahan zaman

Hidup di zaman modern seperti saat ini, orang cenderung berpikir ke arah materialistik dan kapitalistik daripada esensi budaya maupun religi. Kemajuan zaman tidak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi. Hal ini bisa terlihat dari canggihnya barang-barang yang diperjual-belikan. Ini juga mendongkrak harga tiket, retribusi, dan harga-harga produk lainnya. Akibatnya, tidak semua orang bisa menik-mati hiburan dari perayaaan yang dulu lebih dikenal sebagai pesta rakyat itu. Khususnya bagi rakyat kecil (rakyat yang kurang mampu) hal ini memberatkan sekali.

Majemuknya pandangan hidup ma-syarakat serta pola pikir modern

Ini merupakan penyebab utama berkurangnya kuantitas nilai kesakralan Sekaten. Bisa dilihat bahwa tidak semua orang yang berkunjung ke Sekaten beragama Islam, tidak semua orang Islam adalah orang Jawa dan tidak semua orang Jawa percaya atau menganggap pergi ke tempat itu sebagai tempat untuk mendapat berkah. Hal-hal seperti ini yang membuat kesakralan Sekaten berkurang.Proses Budaya Global terjadi dengan melakukan ekspansi nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya dengan pembungkusan ekspansi yang cantik, sehingga nilai-nilai yang pada awalnya bertentangan lambat laun akan ditoleransi dan akhirnya diterima sebagai sebuah budaya baru yang lebih mencerahkan.

Internalisasi sistem nilai di era globalisasi tidak terjadi secara paksa, di mana sistem nilai baru yang masuk ke dalam kebudayaan suatu masyarakat terja-di dengan sangat sopan, sehingga proses adopsi budaya terjadi secara perlahan tapi mematikan. Globalisasi menciptakan suatu kondisi di mana budaya baru yang dicap sebagai budaya modern dengan berbagai standar yang telah dikonstruksi dan dicitrakan memang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga terdapat keinginan dari internal masyarakat untuk mengadopsi dan menerapkan nilai budaya tersebut dalam kehidupan publik mereka hingga kehidupan pribadi sekalipun. Pada kondisi ini masyarakat tidak akan pernah merasa bahwa sistem nilai yang sedang mereka tiru merupakan sebuah kontruksi dominasi suatu sistem terhadap sistem yang lainnya. Masyarakat akan menjadi bangga jika mampu untuk bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai budaya baru dan meninggalkan budaya lama karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemajuan zaman.Kondisi inilah yang tengah berkembang di masyarakat Indonesia khususnya. Atmosfer perubahan budaya secara global ternyata berdampak secara cukup mengejutkan bagi kelangsungan budaya lokal warisan Nusantara (http://kommpak.com/index.-php/29/07/2007/budaya-global-dan-globalisasi-budaya/).

Keadaan di mana sipelaku diha-dapkan pada situasi dan alternatif yang kritis seperti itu telah menciptakan adanya anggapan bahwa budaya (lokal) tidak mampu menyaingi budaya (global) yang sedang mendunia. Namun demikian, bagi sebahagian orang tidak demikian, bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan (lestari) apabila sipelaku tidak membiarkan budaya (lokal)-nya itu tidak tertindas, tidak tradisional dan tidak terbelakang apabila terdapat upaya sipelaku memajukan atau melakukan perubahan (innovation) dan penerapan (invention) terhadap apa yang disebut dengan budaya lokalnya itu.

Suatu hal yang tak dapat dielak dan dipungkiri bahwa pola kehidupan manusia pada saat ini adalah bahwa manusia kini diperhadapkan pada situasi yang ambigu. Menolak dan menerima per-ubahan sosial sebagai dampak kemajuan. Opsi untuk menolak dihantui oleh resistensi dari dalam diri pribadi dan lingkungan yang secara phisikologis akan turut mem-pengaruhi penolakan itu. Yaitu adanya ketakutan terhadap anggapan sebagai person yang primitif, tradisional dan konvensional. Sementara untuk menerima perubahan itu juga menimbulkan benturan psikologis di mana seseorang pelaku itu dicap sebagai orang yang kurang (tidak) menghargai kebudayaannya.

Tantangan yang justru dihadapi adalah sampai seberapa jauh mampu memadukan perubahan dengan kebudaya-an itu? Namun demikian, maksud utama-nya adalah bukan dengan menolak kebuda-yaan global yang sedang mendunia. Di sini dibutuhkan pemahaman dan pengertian untuk menerjemahkan perubahan itu sehingga tidak menimbulkan distorsi bagi kepribadian dan kebudayaan yang meng-gejala. Kekuatannya justru terletak pada diri sendiri bahwa apa yang akan dimaknai dari perubahan itu, dan seberapa mampu-kah menerjemahkannya ke dalam kebuda-yaan (http://www.silaban.net/2006/11/26/-budaya-lokal-vs-budaya- Situasi global-sanggupkah/)

SIMPULAN

Nilai simbolis yang terkandung dalam Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta Nilai simbolis terdiri: (1) adanya hidup itu harus ada bapak dan ibu yang semuanya pada dasarnya meru-pakan kehendak Tuhan (2) bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat ke-beranian serta kesucian; (3) manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah; (4) petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja Surakarta yang bertahta ; (5) pakaian jasmani dan rohani manusia; (6) keteguh-an hati dalam menghadapi masalah kehi-dupan dunia; (7) laki – laki dan perempuan yang bersatu dan terjadinya manusia baru; (8) kemakmuran dari sebuah kerajaan; (9) semangat hidup dan pertimbangan kewajiban lahir batin dengan Tuhan dan sesama manusia, (10) Mendatangkan berkah dan kemuliaan jati diri manusia yang diperoleh dari amal baik.

Simpulan, kita hidup di dunia yang beraneka ragam budaya atau gaya yang lahir dan berkembang. Kita bisa memilih salah satu, atau membuat budaya kita sendiri. Identitas, integritas dan pola pikir akan melahirkan suatu budaya baru lagi, entah apa namanya. Bisa budaya senapan, budaya rambut lurus atau budaya junkies.Bisa saja kan?

Seperti gejala lain di bawah langit, budaya global punya wajah mendua, baik dan buruk. Mengapa harus memakai istilah moral “baik” dan “buruk”? Itu karena apa yang terjadi dalam budaya global menyangkut tindakan manusia dengan implikasinya pada hidup bersama. Andai budaya global adalah peristiwa seperti gempa tektonik, dan bukan akibat tindakan manusia, tak ada soal baik dan buruk.

Tidak ada yang netral dalam budaya global dan globalisasi, selalu ada yang menang dan ada yang kalah, inilah ambivalen budaya global yang sangat terasa. Ambivalensi itu tidak akan lenyap. Itu menunjukkan, dalam proses budaya global terlibat simpang siur gejala yang tidak seragam, bahkan gejala satu bertentangan dengan gejala lain. Dan kita di Indonesia terlalu merayakan budaya global dan sama sekali belum cukup menganggap serius ambivalensi budaya global. Kita masih dalam eforia, dan itu terjadi di bidang teknologi, ekonomi, keuangan, politik, ataupun kultural.

DAFTAR PUSTAKA

Handipaningrat, Haji K.R.T. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.

Gans, Herbert. 1974. Popular Culture and High Culture.New York: Basi

Herusatoto, Budiono.1987. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. YogyakarYayasan Kanisius.c Books.

Koentjaraningrat. 1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Moeliono, Anton (penyunting). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Puger. G.P.H. 2002. Sekaten. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.

Sutarjo. 1998. Nilai Simbolis dan Religius dalam upacara Tradisional Bersih Desa. Penelitian Mandiri: UNS.

http://homosophonicus.multiply.com/journal/item/20/Budaya_Global

http://kommpak.com/index.php/29/07/2007/budaya-global-dan-globalisasi-budaya/

 

http://kommpak.com/index.php/12/05/2007/sekaten-sebuah-proses-akulturasi-budaya-dan-pribumisasi-islam/