PEMIKIRAN KONFUSIANISME

TENTANG BENTUK KENEGARAAN CINA TRADISIONAL

DAN TINJAUAN PENDIDIKANNYA

Suharman

Staf Pengajar Program Studi Sejarah IKIP PGRI Wates

ABSTRAK

Tulisan Ini berjudul Pemikiran Konfusiuanisme Tentang Bentuk Kenegaraan Cina Tradisional dan Tinjauan Pendidikanya. Pemikiran Konfusianisme adalah pemikiran dari para pendukung dan murid-murid Konfusius yang didasari oleh wawasan politik pada jamannya. Secara Teoritis pemikiran tersebut mendasari pemikiran-pemikran penyelenggaraan ketatanegaraan Cina Kuno. Kajian ini lebih difokuskan pada permasalahan bagaimna pemikiran Konfusianisme tentang Gagasan-gagasan bentuk kenegaraan Cina tradisional. Agar di peroleh pemahaman secara deskriptif maka dilakukan suatu metode studi literature. Langkah yang ditempuh dengan melakukan identifikasi terhadap buku-buku sejarah dan sastra Cina yang memuat tentang karya-karya penulis Cina Kuno. Dari hasil Ananlisis diperoleh suatu gambaran bahwa secara structural bahwa Negara Cina Kuno dipandang sebagai pusat dunia. Artinya Cina waktu sebagai pusat peradaban dunia yang tertua. Berikutnya ajaran Mandat Dewa Langit sangat mewarnai terhadap konsep lahirnya Bentuk Negara Kesatuan Cina Kuno. Selain itu Lahirnya Bentuk Negara kesatuan Cina Kuno Juga diawali dengan pemikiran tentang Konsep Negara Penguasa (Government By Men) dan Negara Keluarga (Famiily State).Kemudian dat dipahami pemikiran bentuk Negara kesatuan di Cina Kuno itu sebagai wujud untuk mengatasi adanya kekacauan dalam situasi Pemerintahan Cina Kuno pada Masa Dinasti Chou.

Kata Kunci: Pemikiran Konfusianisme, Negara Kesatuan, Negara Kekuasaan, Negara Keluarga. Ajaran Konfusius.


LATAR BELAKANG MASALAH

Pemikiran Konfusinisme Tentang Bentuk kenegaraan Cina Tradisional adalah suatu ide atau gagasan atau pemikiran dari para pendukung aliran konfusianisme didasari oleh wawasan politik yang terjadi dan berkembang pada jamannya. Yang secara konseptual pemikiran tersebut melandasi pemikiran- pemikiran penyeleng-gara Negara pada system ketata-negaraan Cina Kuno.

Literatur Cina Klasik yang khusus memaparkan pemikiran bentuk kenegaraan secara sistematik, luas dan menyeluruh seperti seperti halnya Respublica karya Plato ataupun Il-Principe Karya Machavelli, hampir dikatakan tidak ada. Namun ide atau hasil pemikiran tentang bentuk kenegaraan atau system pemerintahan Negara banyak dimiliki oleh bangsa Cina kuno yang tersebar dalam karya-karya sastra , filsafat dan sejarah Cina kuno (H.Paul Clide, 1965: 40).

Gagasan-gagasan atau ide-ide ini muncul ketika di Cina sedang terjadi kekacauan dalam bidang politik-militer bahkan kekacauan itu meluas dalam bidang social ekonomi, bahkan pula meluas secara total hampir menggoncangkan masyarakat Cina Kuno. Lahirnya gagasan-gagasan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam memerintah Negara, sehingga timbul apa yang dikenal sebagai “ Seratus Aliran Fikiran” (The Hundred schools Of Thought) (Litek TekTjeng, 1977: 271).

Dari berbagai gagasan atau ide-ide tentang bentuk kenegaraan yang muncul pada masa Cina Kuno tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah hasil pemikiran seorang tokoh yang bernama Konfusius (551-479 S.M.). Tokoh ini dapat dikatakan paling terkemuka dibanding tokoh-tokoh yang lain. Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana pemikiran konfusia-nisme tentang bentuk kenegaraan Cina Tradisional dan tinjauan pendidikannya ? Agar dapat memperoleh pengetahuan atau gambaran tentang pemikiran konfusianis-me ditempuh melalui studi literatur. Dari berbagai literatur yang mengungkap tentang sejarah Cina berhubungan dengan pemikiran Konfusianisme. Setelah dilakukan suatu identifikasi maka dihasilkan pembahasan sebagai berikut ini.

PEMIKIRAN KONFUSIANISME TEN-TANG NEGARA KESATUAN

Mengenai hasil pemikiran bentuk kenegaraan yang berkembang dalam politik penyelenggaraan Negara Cina kuno antara lain ada tiga konsepsi, yaitu Negara Kesatuan, Negara keluarga dan Negara Penguasa. Hakekat yang menjiwai dan mendasari ketiga hasil pemikiran tersebut menurut Konfusianisme adalah adanya ajaran keselarasan (harmoni). Apabila terdapat keselarasan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan apabila manusia masing-masing orang bertindak dan berprilaku serta menjalankan tugasnya sesuai dengan kedudukannya, maka tak akan terjadi perebutan kekuasaan dan Negara manapun akan hidup tentram (Lie Tek Tjeng, 1977:272). Selanjutnya agar memudahkan dalam pemahaman dari masing-masing konsepsi atau hasil pemikiran bentuk kenegaraan tersebut akan diuraikan satu persatu dari ketiga bentuk konsepsi tersebut.

Konsepsi Negara Kesatuan adalah merupakan konsepsi bentuk Negara yang pertama dari hasil pemikiran Konfusianis-me. Pengertian kesatuan ini yang dimaksud adalah kesatuan yang meliputi politik, social budaya dan kesatuan wilayah. Jika ditelusuri tentang hasil pemikiran Negara kesatuan ini berangkat dari ajaran Konfusius. Konfusius mengajarkan bahwa: “ Karena langit (Tien) tidak mempunyai dua Matahari, demikianlah rakyat tidak mempunyai dua Raja”. Seluruh rakyat Cina mengakui satu kekuasaan tertinggi pada seorang Raja (Kaisar). Kaisar Cina memerintah berdasarkan mandat dewa langit atau Tien Tze (Paul H. Clyde, 1965: 45) Hasil pemikiran tentang bentuk kenegaraan ini Jelas dipengaruhi oleh keadaan geografis Cina yaitu sebagai wilayah yang berujud Negara darat (continental) yang begitu luas. Batas-batas alam sekelilingnya ternyata turut membantu pembentukan negara Cina sebagai satu kesatuan wilayah. Disebelah Utara, Barat, dan Selatan terdapat gurun pasir dan pegunungan yang tinggi yang memisahkan Cina dari Negara-negara sekitarnya. Disebelah Timur, dan Tenggara terdapat lautan yang menjadi batas alam yang efektif, karena waktu itu laut belum difungsikan untuk komunikasi. Cina sebagai Negara kesatuan tersebut dalam ungkapan Cina Kuno dinyatakan “ Seluruhnya dibawah langit” (Fung Yu-Lan, 1960: 26).

Secara structural Negara Cina dipandang sebagai pusat dunia dan disebut dengan istilah (Chung Kuo) Chung artinya pusat atau tengah, sedangkan Kuo artinya negara. Chung Kuo (Negara) sebagai pusat kerajaan diperintah langsung oleh kaisar Cina. Disekelilingnya terletak negara-negara taklukan atau disebut Wai-Kuo. Diluar lingkungan ini disebut Negara-negara bangsa bar-bar. Da- lam hubungan ini Kaisar Cina dapat dibandingkan dengan bintang kutub yang dikintari oleh bintang-bintang lain, ialah raja-raja taklukan. ChungKuo dan WaiKuo merupakan satu organisasi yang tidak terpisahkan, sedang-kan Negara-negara bangsa bar-bar tidak termasuk didalam organisasi tersebut. Kaisar Cina juga hanya bersedia menjalin hubungan dengan Negara-negara yang raja yang dipertuan (Sie Tjoen Lay, 1960:13).

Ajaran mandat dewa langit (doctrine of heaven’s Mandate) menjelas-kan pula masalah pergantian tahta kekua-saan. Kaisar sebagai mandataris Dewa Langit (Tien) memerintah langsung dibawah pengawasan (control) Dewa Langit (Tien). Bila seorang Kaisar ternyata sudah tidak mampu lagi memerintah Negara dengan baik, Dewa langit akan menarik kembali mandatnya dan kemudian menyerahkan mandate tersebut kepada raja yang lebih berhak. Maka menjadi tugas raja yang baru untuk membrontak dan menggulingkan Kaisar dan mengang-kat dirinya ke atas tahta Kekaisaran (Paul H. Clyde,1965: 45).

Ekspansi dibenarkan pula oleh ajaran Mandat Dewa langit, apabila ekspansi tersebut bermaksud membawa kesejahteraan rakyat. Rakyat taklukan juga wajib tunduk, sebab penakluk adalah pemegang mandat Dewa Langit (Tien). Sebaliknya suatu penaklukan dapat dilawan, bila ternyata ekspansi terbut tidak membawa perbaikan pada kehidupan rakyat. Mencius, salah seorang penganut Konfusianisme terbesar di Cina mengata-kan: “Dewa Langit (Tien) memandang dan mendengar seperti rakyat memandang dan mendengar “. Prinsip politik ini mendasari atas kehadiran Pemerintahan Dinasti Mongol (1280 – 1368) dan Dinasti Manchu (1644 -1912) yang begitu lama berkuasa di daratan Cina . Masa Kekusaan asing ini dapat bertahan lama dan membawa kemakmuran bagi bangsa Cina. Kemudian Cina menggulingkannya kekuasaan asing tersebut setelah mereka kehilangan Mandatnya dari Dewa Langit.(Paul H. Clyde, 1965: 46).

Sanksi politik juga dapat terjadi jika rakyat dikehendaki agar mengamalkan kasih mereka kepada kasih semesta. Dalam Kitab Mo-Tzu terdapat tiga bab yang berjudul “Ketunggalan sikap dengan atas-an“, yang didalamnya Mo-Tzu menerang-kan teorinya mengenai asal mula Negara. Menurut teori ini , kekuasaan penguasa suatu Negara berasal dari dua macam sumber: yaitu kehendak rakyat dan kehendak Tuhan. Selanjutnya tugas pokok penguasa adalah mengawasi kegiatan rakyat, memberi ganjaran kepada mereka yang mengamalkan kasih semesta dan menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang tidak mengamalkannya. Agar dapat melakukan tugas ini secara efektif, maka kekuasaannya harus mutlak. Dalam hal ini kita mungkin bertanya: Mengapa rakyat seharusnya secara sukarela memilih untuk dibawahi oleh kekuasaan mutlak semacam itu, tentu saja hal ini dapat dimengerti dalam upaya untuk mewujudkan kesatuan dan kebulatan kekuasaan yang kadang-kadang seorang pemimpin harus bersikap otoriter demi untuk kemakmuran rakyat.

Sedangkan bagi Mo Tzu , jawaban terhadap pertanyaan itu dinyatakan sebagai berikut: “bahwa rakyat menerima hadirnya kekuasaan mutlak,bukan karena lebih menyukainya, melainkan tidak ada pilihan lain. Menurut dia sebelum terciptanya suatu keadaan yang terorganisasi , rakyat hidup dalam keadaan alami”. Penguasa Negara yang pertama ditetapkan oleh kehendak rakyat, agar dapat menyelamatkan mereka dai anarkhi (Fung Yu – Lan, 1990: 76).

Loyalitas politik kepada negara didasarkan pula pada ajaran Mandat Dewa Langit. Ternyata hak illahi raja yang menuntut loyalitas mutlak rakyat kepada tahta seperti dalam konsep di Barat, tidaklah hidup dalam kerangka pemikiran Konfusianisme. Rakyat hanya wajib setia kepada Kaisar pemegang mandate dewa langit, sebaliknya harus tidak loyal kepada Kaisar yang telah kehilangan mandatnya. Hzun –Tzu, seorang guru Konfusianisme abad ke 3 S.M., mengatakan:” Rakyat adalah air dan Raja adalah perahu “ (Paul H. Clyde , 1965: 45). Dari pendapat itu dapat dimengerti bahwa air ibaratnya sebagai rakyat, dan perahu ibaratnya sebagai Raja, sehingga apabila suatu waktu air dapat mendukung perahu atau dapat menenggelamkan perahu, artinya bila dihubungakan pengertiannya dengan rakyat juga dapat diperbolehkan menghacurkan raja apabila raja itu memang betul-betul sudah tidak memegang mandate dari dewa langit.

Demikianlah konsepsi Konfusianisme mengenai negara kesatuan dipusatkan pada Kaisar (Raja) sebagai pemersatu Negara dengan kekuasaan yang bersifat mistis- kosmis dan etis. Oleh karena itu pelaksanaan pemerintahan raja sebagai penjelmaan kehendak Dewa Langit harus mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

PEMIKIRAN KONFUSIANISME TEN-TANG NEGARA KELUARGA (FAMILY STATE)

Hasil pemikiran yang kedua dari konfusianisme mengenai politik kenegaraan adalah bentuk Negara keluarga (Family State). Konfusianisme memandang Negara sebagai Kuo –Chia, artinya Negara adalah keluarga bangsa. Negara oleh Konfusius dipandang sebagai system keluarga, dimana hubungan antara Raja dan Rakyat, antara Raja dengan Para Menteri dan Pejabat Negara dipandang sebagai satu pola keluarga. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa Raja, Menteri, dan Pejabat dan Rakyat dalam komunikasinya diberlakukan sebagai system keluarga. Posisi Raja dalam hal ini dipandang sebagai orang tua dari seluruh rakyat, sehingga peran ayah sebagaimana dalam keluarga mempunyai posisi untuk mempersatukan keluarga. Demikian halnya seorang raja dalam suatu Negara tentu saja harus berperan sebagai pemersatu rakyat. Dalam konsep ini tentu saja akan berkembang kekuasaan pemerintahan Raja mengarah pada sifat paternalistik dan otokratis , sebab seperti halnya didalam keluarga kekuasaan ayah sudah barang tentu lebih besar dan lebih menentukan dari kekuasaan anaknya (Fung Yu – Lan, 1960: 39 dan Paul H. Clyde, 1965: 44-45).

Hasil pemikiran Konfusius dapat juga disebut filsafat social yang menginginkan suatu Negara kesatuan untuk keseluruhan daerah Cina dan seluruh peradaban manusia. Dasar pemikiran tersebut dilandasi oleh hasil pemikiran tokoh-tokoh Cina kuno, yaitu suatu pembentukan pemerintahan yang telah terbukti kebaikkannya dengan didasarkan azas peraturan kuno dan kesemuanya itu sampai sekarang masih dipakai di Cina. Menurut Konfusius, bahwa dalam upaya menghasilkan moral yang baik, tidak akan dapat dicapai dengan kekuatan Raja, Kaum Bangsawan, atau kelas-kelas lainnya. Melainkan hanya dapat dicapai dengan cara mengadakan upacara-upacara tradisional. Pengolah terhadap sifat-sifat yang ideal itu harus diserahkan kepada kaum cendekiawan atau para sarjana. Melalui para sarjana itu mulai dipelajari tradisi-tradisi ritual yang mengutamakan keluarga.

Inti kesejahteraan masyarakat dan Negara terletak pada keluarga. Oleh karena itu dalam kehidupan keluarga anak harus berlaku sebagai anak dan ayah harus berlaku sebagai ayah. Anak harus patuh dan menaruh hormat kepada ayah. Ayah harus dapat memimpin keluarganya dengan baik. Kalau ketentraman kelarga tercapai, maka ketentraman masyarakat dan Negara akan tercapai pula. Untuk mencapai ketentuan tersebut maka konfusius memberikan ajaran-ajarannya kedalam kitab suci Su – Sie yang meliputi empat pasal sebagai berikut:

Bagi pengikut Konfusius berpenda-pat bahwa manusia dapat mencapai keharmonisan yang terbaik antara langit dan bumi itu terletak pada kekuatan manusia itu sendiri, bukan lagi pada fenomena-fenomena alam dengan dunia supernaturalnya.

Kelima hubungan tersebut akan mengikat tali persaudaraan yang dapat memungkinkan hidup bersama dalam suasana selalu bekerja sama. Kerja sama berarti adanya keharmonisan antara semua individu-individu dan semua anggota masyarakat dan Negara. Bahkan bukan hanya keharmonisan antar individu, tetapi juga adanya keharmonisan antara manusia dengan kekuatan-kekuatan alam seperti dewa-dewa dan spirit-spirit. Kekuatan alam akan bertanggung jawab terhadap kerja sama usaha manusia dalam setiap pekerjaan. Dewa dan spirit akan bersenang hati kalau manusia hidup dalam suasana keharmonisan.

Hidup yang benar itu akan dicapai dengan melaksanakan pemakaian kelima kebajikan yaitu seperti berbuat baik, kebenaran,sopan satun, kebajikan dan kesetiaan hidup yang benar itu yang sederhana, keluarganya bahagia, dan mempunyai relasi social yang harmonis. Dengan demikian filsafat social Konfusius cenderung kea rah praktek realisme yang bersifat keduniawian bagi orang Cina. Konfusius tidak begitu mendalami tentang kehidupan supernatural, yaitu suatu kehidupan manusia setelah mati. Menurut Konfusius yang terpenting dalam realitas kehidupan didunia harus betul-betul diperdalam dan dipraktekan, sehingga akan tercipta suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur ideal.

Sebagaimana juga dinyatakan oleh Nio Joe Lan bahwa system social Cina adalah juga system keluarga. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa system keluarga di Cina telah berkembang menjadi system kemasyarakatanyang sangat kompleks, namun yang paling teratur di dunia.

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dasar metafisis hubungan kekeluargaan dalam system social Cina berpangkal pada hubungan antara Yang dan Yin. Yang adalah prinsip lelaki, sedangkan Yin adalah prisip perempuan. Seluruh alam semesta dan segala peristiwanya terccipta kareena hubungan kedua prinsip tersebut. Langit, terang, selatan, sifat aktif adalah perwujudan kekuatan Yang, sedang bumi, gelap, utara, sifat pasif adalah perujudan kekuatan Yin. (Nio Joe Lan, 1952:47).

Suatu keluarga akan harmonis tenteram, apabila masing-masing anggota keluarga setia dan bertindak sesuai dengan fungsi masing-masing. Demikian juga Negara akan teratur baik, bila tiap-tiap unsure Negara menjalankan kewajibannya dengan baik. Ketika Konfusius ditanya mengenai pemerintah yang baik, ia menjawab: Chun-chun, Chen-chen, fu-fu, tze-tze,yang berarti raja harus bersikap menjadi raja, bila menteri bersikap sebaagai menteri, bila ayah bersikap sebagai ayah, anak bersikap sebagai anak. Moralitas kekeluargaan adalah Hsiao (kebaktian). Berbakti kepada orang tua memang suatu hal yang wajar. Tetapi bagi bangsa Cina Hsiao (kebaktian) mempunyai arti yang lebih mendalam, hingga menjadi semacam agama. Di cina oraang paling celaka adalah oraang yang mendapat kutukan “enkau anak yang tidak berbakti” dalam bahasa Cina disebut put-hsiao. Jadi dalam pengertian tersebut bahwa menjadi kewajiban setiap orang untuk menjaga nama baik orang tua. Orang tua mengandung arti yang luas, mencakup leluhur, masyarakat, bangsa, dan Negara. Menjaga nama baik orang tua dimaksudkan agar setiap orang menjaga baik-baik setiap tindakan perbuatannya, hingga tidak menodai nama leluhur, bangsa, dan negara Cina. Setiap kali orang Cina menasehati anak-anaknya:”Ingatlah akan nama baik orang tuamu”(Nio Joe Lan, 1961:107). Bagi seorang raja realisasi Hsiao diberikannya dalam bentuk pengabdiannya pada rakyat. Hal ini sesuai dengan ajaran Meng Tse (Mencius), murid Konfusius yang menyatakan:”Min Wei Kuei” artinya “Rakyatlah yang utama”. Pada suatu waktu Mencius menyatakan bahwa Chieh dan Chou telah kehilangan kerajaannya karena mereka telah kehilangan rakyatnya;artinya mereka kehilangan kepercayaan rakyat. Untuk memperoleh dukungan rakyat haruslah mendapat kepercayaan rakyat, caranya dengan memberikan kepada rakyat apa yang disukainya, bukan apa yang mereka benci. Raja yang mengabdikan dirinya untuk melayani kepentingan rakyat, tidak saja berarti melakukan kewajibannya sebagai warga masyarakat/Negara, lebih luhur lagi Raja telah melakukan kewajibannya sebagai warga alam semesta (kosmos) atau Tien-min (Fung Yu lan, 1960:17).

PANDANGAN KONFUSIUS TENTANG NEGARA PENGUASA (GOVERNMENT BY MEN)

Kedudukan kaisar/raja sebagai mandataris dan putera Dewa Langit (Tien Tze) membawa timbulnya konsepsi kekua-saan yang tak terbatass (absolutisme) padda Rja/Kaisar. Dalam perjalanan sejarah kemudian dikembangkan gagasan bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah oleh penguasa (government by men) dan bukannya pemeritahan oleh hokum (rule of law). Pemerintahan oleh orang atau penguasa, dalam hal ini adalah raja dipandang lebih fleksibel, sedang pemerintahan yang didasarkan oleh hokum (rule of law) dianggap kaku. Berbeda dengan konsep Barat yang memandang absolutisme sebagai pangkal kesewenang-wenangan. Sedangkan dalam pandangan Konfusius menganggap bahwa absolutisme memungkinkan Raja bertindak dengan lebih berperrikemanusiaan, suatu hal yang tidak mungkin bila raja dibaatassi oleh hukum (H. Paul Clyde, 1965:46).

Meskipun absolutisme bersifat otoriter, namun absolutisme tak pernah menempatkan kedudukan neaa di atas manusia dan sebaliknya Negara selalu memberikan perhatian kepada individu-individu manusia. Dalam hal ini martabat manussia tetap dijunjung tinggi. Berbeda dengan pandangan Barat yang lebih menempatkan pribadi manusia sebagai individu perorangan, sedangkan Konfusius menempatkan manusia selalu dalam konteks social. Hal ini dalam tenggang rasa antar pribadi-pribadi sangatlah besar. Dalam Analecta (karya Konfusius) dikatakan:”Apa yang tidak saya inginkan orang lain berbuat pada saya, sayapun tidak ingin berbuat pada orang lain. “Oleh sebab itu absolutisme Cina mampu menjamin stabilitas hubungan manusiawi (Paul H.Clyde, 1965:55).

Dalam menjalankan pemerintahan-nya Kaisar dibantu oleh para menteri Negara, pejabat-pejabat negara yang bervariassi dalam gelar jumlah dan kekuasaannya. Pejabat-pejabat Negara tersebut terdiri dari para sarjana yang telah diuji pengetahuannya tentang ajaran Konfusianisme (sebagai tercantum dalam 5 klasik). Demikianlah Cina pada hakekatnya merupakan suatu Negara birokrat yang sentralistis (Centralized bureancentric state) yang dikuasai Scolar officials (Lie Tek Tjeg, 1977:282).

Pemerintahan dan susunan Negara Cina yang birokratis telah mendapat bentuk yang tetap sejak massa Dinasti Han dan dinassti-dinasti berikutnya tinggal meneri-ma saja bentuk dan susunan ini, sekalipun terdapat perubahan-perubahan dan tam-bahan kecil-kecil dimana perlu dan berlangsung hingga akhir pemerintahan Dinassti Manchu pada abad 20.

TEORI ASAL MULA NEGARA MENURUT KONFUSIANISME

Mengenai teori asal mula Negara ini disampaikan olh pengikut Konfusu yang bernama Mo Tzu. Menurut teorinya, bahwa kekuasaan penguasa suatu Negara berasal dari dua sumber: kehendak rakyat dan kehendak TUhan. Selanjutnya tugas pokok penguasa ialah mengawasi tindakan rakyat, member ganjaran kepada rakyat yang mengamalkan kasih semesta dan menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang tidak mengamalkannya. Agar dapat melaksanakan tugas ini secara efektif, maka kekuasaannya harus mutlak. Menurut Mo Tzu, bahwa rakyat menerima haddirnya kekuasaan semacam itu karena tidak ada pilihan lain. Menurut dia, sebelum tercipta-nya suatu keadaan yang terorgsnisasi, rakyat hidup secara alami (Fung Yu Lan, 1990:76). Mengenai kondisi sesuai keadaan alam ini menurut Mo Tzu digambarkan “ Setiap orang mempunyai ukurannya sendiri mengenai yang betul dan yang salah. Bila terdapat satu orang terdpaat satu ukuran, tetapi bila terdapat dua orang terdapat dua ukuran. Bila hadir sepuluh orang, maka hadir sepuluh ukuran. Lebih banyak oraang yang hadir, maka lebih banyak ukuran yang ada. Setiap orang memandang dirinya sendiri beul dan orang lain salah”. Sehingga keadaan ddemikian ini menye-babkan dunia dalam keadaan kacau balau sehingga manusia bersikap seperti bina-tang. Mereka menyadari bahwa segenap kekacauan di dunia disebbkan oleh kenyataan bahwa tidak ada penguassaa politik, karena itu mereka memilih manusia yang paling bijak serta paling cakap didunia dan mmenetapkannya ebagai Putera Tuhan. Menurut pendapat Mo Tzu bahwa “penguasa Negara yang pertama ditetapkan oleh kehendak rakyat, agar dapat menyelamatkan rakyat dari anarkhi”.

Konsep yang disampaikan oleh Mo Tzu itu selanjutnya mendasari terbentuk-nya Negara totaliter di Cina. Nmaun perlu dimengerti bahwa konsep Negara totaliter Negara Cina berbeda dengan konsep Negara totaliter ari Barat. Negara totaliter yang tercipta di Cina benar-benar dapar mengakhiri adanya kekacauan disebabkan tidak adanya kesatuan ukuran dalam suatu Negara, system totaliter itu mengakhiri kekacauan yang terjadi adanya kerancuan tentang betul dan salah.

Nampaknya dalam mengatasi ke-kacauan suatuu Negara maka menurut Mo Tzu nampaknya tanpa memperhatikan cara enguasa mendapatkan kekuasannya, hal ini sesuai dengan perintahnya “begitu mendengar suatu hal yang baik atau buruk maka orang harus melaporkannya kepada atasannya. Apa yang dipandang betul oleh atasan, semua orang harus memandang-nya betul. Apa yang dipandang salah oleh atasan, semua orang harus memandang-nya salah”. Hal inilah yang mendasari kete-tetapan yang diputuskan oleh Mo Tzu:”hendaknya senantiasa mengambil sikap tunggal dengan atasan, jangan mengikuti bawahannya”(Fung YU Lan, 1990:77)

TINJAUAN PENDIDIKAN TENTANG PEMIKIRAN KONFUSIANISME TERHA-DAP BENTUK KENEGARAAN CINA TRADISIONAL.

Pemikiran konfusianisme terhadap bentuk kenegaraan Cina Kuno ternyta memberikan wacana yang lebih luas tentang hasil pemikiran sistem kenegaraan yang berkembang dewasa ini. Dalam system kenegaraan yang berkembang dewasa inipun mendapat pengaruh pula nilai-nilai dari hasil pemikiran Konfusianis-me terutama melalui para pendukung dan penerus dari pengikut ajaran Konfusianis-me.

Sebelum membahas nilai-nilai pedi-dikan yang terkandung dalam hasil pemi-kiran Konfusianisme tentang bentuk kene-garaan Cina tradisionalisme kiranya perlu diketahui pula peranan Konfusius dalam pendidikan. Ditinjau dari segi historis maupun filosofis ternyata peranan Konfu-sianisme dalam pembinaan dan pendidikan bangsa Cina sangat menentukan.

Konfusianisme dapat juga ajaran-nya disebut aliran Yu-Chia (mereka yang berilmu), sebab anggota-anggota aliran ini terdiri dari para guru, pelajar, ahli pikir dan cendekiawan. Mereka pergi berkeliling sebagai tutor untuk mengajar. Pada waktu itu tugass pendidikan dipandang bukanlah sebagai tugas dari pemerintah. Pendidikan lebih bersifat individual dan privat. Kadang-kadang para tutor menyelenggarakan pendidikan atau sekolah untuk masyarakat secara Cuma-cuma (gratis).

Empat buku merupakan pengantar singkat mengenai isi Lima Buku. Agar dapat memahami lima klasik terlebih dahulu harus membaca empat buku tersebut, masih harus ditambahi membaca komentar-komentarnya yang terdiri dari ribuan jilid.sejarah Cina yang sangat luas harus pula dikuasai. Jadi kesarjanaan Konfusius untuk memperolehnya memerlu-kan kerjaa kerass dan sungguh-sungguh meminta ketekunan. Jadi pengetahuan Konfusius pada waktu itu merupakan pengetahuan yag sangat mahal.

Tujuan kesarjanaan(Konfusian) adalah mampu mengetrapkan phrase-phra-se klassik dalam setiap pemecahan pro-blem-problem politik/kenegaraan, hingga setiap penyelenggaraan kenegaraan mem-punyai landasan filosofis. Bagi mereka yang telah berhasil meraih kesarjanaan terbuka jalan karier yang lapang. Mereka yang telah lulus ujian dalam ujian Negara akan diangkat menjadi pejabat Negara atau pegawai negeri, dan ini merupakan suatu martabat yang sangat terhormat. Ujian Negara ada tiga tingkat, kelulusan pada tingkat pertama membuka kemungkinan untuk mengikuti tingkat berikutnya.

System ujian tersebut mengem-bangkan Konfusianisme secara vertikal dan horizontal. Secara vertical ajaran Konfusia-nisme berhasil memasuki istana dan akhirnya menjadi ajaran kenegaraan Cina. Secara horizontal Konfusianisme meresap keseluruh rakyat dan menjadi Way of life atau pandangan hidup rakyat Cina. Pada tahun 136 S. M. pada masa Dinasti Han Konfusianisme diproklamassikan sebagai ajaran Negara. Klasik-klasik Konfusianisme dan komentar-komentarmya merupakan puja Negara (Encyclopedia Britanica, 1970:305). Dalam hal ini klasik-klasik Konfusian dapat diperbandingkan dengan kitab Negara Kertagama dari Majapahit. Untuk mengembangkan ajaran kenegaraan tersebut pada tahun 124 SM didirikan Universitas Nasional di Peking dengan jurusan-jurusan yang sesuai dengan klaisik-klasik dalam Konfusianise. Teks-teks klasik menjadi bahan pengajaran pada semua jenjang pendidikan.

Pada masa Dinasti Tang oleh Kung Ying-ta (Seorang keturunan Konfusius) ajaran kenegaraan Konfusianisme secara resmi dikondifikasikan menjadi Karya Konfusianisme. Karya besar ini disebut The 13 Classic of Kung Ying-ta (S.L Cardozo, 1959:13)

Sebagai way of life rakyat Cina, maka ajaran Konfusianisme menjadi pola tingkah laku setiap orang, seluruh asspek kehidupan diukur dengan kode Konfusianis-me. Kadang-kadang ajaran-ajaranna sangat detail, misalnya dibicarakan contoh-contoh sikap orang akan tidur, panjang kemeja malam dan lain-lain. Pendek kata setiap orang dimungkinkan untuk menjadi bijaksana, dapat mengendalikan diri pribadi sesuai dengan keadaan dan waktu (Paul H. Clyde, 1965:32)

Ajaran Konfusianisme sangat humanis, martabat dan kedudukan seorang dinilai dan diukur dalam hubungannya dengan sesama manusia. Pola hubungan dengan sesama manusia berkembanng menurut system keluarga. Disamping 5 hubungan kekeluargaan seperti disebut diatas, terdapat pula 5 keutamaan yang harus menjiwai hubungan kekeluargaan.

Apabila antara lima pola hubungan manusia dan lima keutamaan manusia dapat berkembang seiring sejalan, menurut Konfusianisme akan terbentuklah suatu keluarga, masyarakat, Negara/bangsa yang harmonis dan bahagia. (Paul H. Clyde, 1965:33)

Studi Konfusianisme , khususnya mengenai hail-hail pemikiran Konfusius tentang bentuk kenegaraan Cina Kuno dan system pendidikannya memberikan nilai inspiratif yang tinggi pada upaya Pembina-an bangssa dan Negara Indonesia. Seperti Konfusianisme menjadi dasar pengem-bangan konsepsi-konsepsi kenegaraan dalam kehidupan politik Cina tradisional, demikian pula Pancasila merupakan konsepsi sentral bagi seluruh aspek kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia.

Apabila realisasi konsepsi hidup bernegara Cina tradisional banyak didukung oleh system pendidikan tutorial yang ditangani oleh gur-guru Yu Chia, juga system pendidikan Nasional Pancasila berfungsi mengembangkan warga Negara Indonesia secara pribadi dan social menjaddi bangsa yang sadar akan kebangsaan dan kebudayaan nasionalnya, yakni Indonesia.

Dengan bertitik tolak pada pokok-pokok pikiran diatas, diharapkan Studi Konfusisnisme dapat memperluas perspektif upaya pengembangan system Pendidikan Nasional Pancasila, hingga memperteguh keyakinan akan terwujudnya Tujun Nasional bangsa Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

KESIMPULAN

Dari uraian melalui pembahasan Pemikiran Konfusianisme tentang Bentuk Kenegaraan Cina Tradisional dan Tinjauan Pendidiannya memiliki pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Pemikiran Konfusius tentang Bentuk Kenegaraan kesatuan berangkat dari hasil pemikiran bahwa “ Karena Langit (Tien) tidak mempunyai dua raja “. Disamping itu juga didasari oleh pemikiran bahwa secara geografis waktu itu Cina Mempunyai wilayah Negara daratan yang selanjutnya berkembang menjadi Negara continental. Melalui kondisi itu akhirnya menghasilkan konsepsi atau hasil pemikiran tenttang Negara kesatuan.

2. Timbulnya pemikiran bentuk Negara kesatuan itu juga dipengaruhi oleh persepsi bahwa waktu itu masyarakat dan pemerintah Cina Kuno sebagai negeri Chung – Kuo atau sebagai” Negara Tengah” atau Negara pusat, sebab diluar Negara Cina Kuno disebut sebagai Negara Ba-bar.

3. Dalam ajaran Konfusius dibenarkan seorang raja kecil melakukan pemberontakan jikalau raja diatasnya ternyata tidak mampu memegang mandat dari langit. Ajaran Mandat dari langit mendasari lahirnya konsep konsep Negara kesatuan, raja yang berkedudukan sebagai putra dewa langit, juga berperan sebagai pemersatu bangsa Cina. Hubungan antara raja dengan rakyat harus menjelma hubungan metafisis antara Yang dan Ying.

4. Pemikiran tentang Negara keluarga memandang bahwa Negara Cina sebagai Kuo-Chia , artinya Negara adalah keluarga bangsa. Keluarga bangsa akan menjadi harmonis dan tentram, apabila masing-masing anggota diresapi oleh Shiao (bhakti). Rakyat merealisasikan baktinya dalam menjaga nama baik bangsa sedang raja mewujudkan baktinya dengan cara mewujudkan kesejahteraan rakyat.

5. Pemikiran Konfusianisme terhadap bentuk Negara penguasa dijiwai oleh semangat kekeluargaan,berbeda dengan konsep Barat sebab lahirnya absolutisme Cina tidak mengarah kesewenang-wenangan, sebab raja posisinya sebagai orang tua rakyat atau orang tua keluarga bangsa harus menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat bangsa.

6. Dari hasil analisis tentang pemikiran Konfusianisme terhadap bentuk kenegaraan Cina Tradisional mengan-dung nilai-nilai pendidikan yang sangat berguna sebagai pembanding dalam rangka pendidikan kepribadian antar bangsa dalam langkah lintas budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Cardozo, Mr, 1959, Sejarah Tiongkok , Balai Pendidikan Guru, Bandung.

Creel, H.G. 1989, Alam Pikiran Cina Sejak Konfusius sampai Mao Zedong (terjemahan Soejono Soemargono), Tiara wacana, Yogyakarta.

Clyde, Paul H, 1965, The Far East, prentice Hall Inc, New York.

Dawson, Raymond , 1992, Kong Hu Chu Penata Budaya Kerajaan Langit (Terjemahan Joko Suyono) , Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Encyclopaedia Britanica, 1970, Volume VI

Hidayat Z.M, 1984 , Masyarakaat dan Kebudayaan Cina Indonesia, Transito , Bandung.

Lie Tek Tjeng, 1977, Studi wilayah Pada umumnya, Asia Timur Pada Khususnya, Jilid II , Penerbit Alumni, Bandung.

Nio Joe Lan , 1961, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, Keng po, Jakarta.

Sie Tjoen Lay, 1959, Sejarah Tiongkok (Chung –Kuo), Jilid I BPG, Bandung.