PENDEKATAN ETNOGRAFI RUANG KELAS

DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DAN BUDAYA

Tri Widiarto

Jurusan Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRACT

The Classroom Ethnography Encounter term firstly introduced by Martyn Hammersley in a book entitled: Classroom Ethnography (Modern Educational Thought) in 1980. Basically Classroom Ethnography Encounter is learning strategy which covers and optimizes classroom and public diversion potency as learning media and soorces. This learning method is quite relevant in Indonesia due to one function of historical and cultural teaching is to give understanding about ethnical differences in Indonesia.

PENDAHULUAN

Istilah Pendekatan Etnografi Ruang Kelas pertama kali diperkenalkan oleh Martyn Hammersley dalam sebuah bukunya yang berjudul: Classroom Ethnography (Modern Educational Thought) pada tahun 1980. Secara sederhana pengertian Pendekatan Etnografi Ruang Kelas adalah Strategi pembelajaran dengan mengikutsertakan dan mengoptimalkan semua keberbedaan potensi ruang kelas, sekolah dan potensi keberbedaan dalam masyarakat untuk dijadikan media dan sumber belajar. Latar belakang pemikiran Martyn Hammerrsley dalam Studi Etnografi Ruang Kelas adalah untuk menjembatani perbedaan budaya di kota-kota besar Amerika Serikat antar ; warga kulit putih dengan kelompok minoritas, kelompok perkotaan dengan kelompok buruh, dan kelompok industri dan pertanian(Martyn H 1980: 72) . Meskipun konsep Pendekatan Etnografi Ruang Kelas tersebut diterapkan di Amerika Serikat, tetapi ada beberapa hal yang perlu dikaji kemungkinannya diterapkan di Indonesia

SITUASI INDONESIA SAAT INI

Dalam tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kesadaran nasional Indonesia cenderung melemah, tetapi sebaliknya kesadaran primordialisme dan sektarianisme cenderung menguat (Esther Arianti 2003: 1), pendapat tersebut diperkuat oleh Suyatno Kartodirdjo, bahwa anarki yang menyertai reformasi Indonesia saat ini menunjukkan adanya adanya fenomena historis tentang terkoyaknya kesadaran nasional dan wawasan kebangsaan (Suyatno Kartodirdjo 2003:11). Djoko Suryo menyebutnya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia goyah ketika menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik yang mengarah pada konflik bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan).

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tendensi semacam itu ialah pertama, pembangunan bangsa ini lebih diprioritaskan pada pemberdayaan politik dan ekonomi semata yang bermuara pada pengkultusan hedonisme. Kedua, kurang diperhatikannya pembangunan sosial budaya, ini berakibat masyarakat indonesia mengalami disintegrasi kebudayaan, satu sama lain saling tarik-menarik kepentingan dan kurang menguntungkan dalam pergaulan antar budaya, etnis dan agama.

Merujuk pada kenyataan tersebut, nasionalisme semakin kurang mengakar pada akar kebudayaan bangsa, diakui banyak pihak bahwa faktor budaya dapat menjadikan faktor perekat bangsa.

Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa pengajaran Sejarah Nasional Indonesia dan Kebudayaan dapat memperkuat kesadaran nasional, bahkan pengajaran sejarah nasional dan Kebudayaan seharusnya berusaha membangun kebudayaan nasional sebagai basis kehidupan bangsa. (Sartono Kartodirdjo 1993: 241).

Berdasarkan pendapat dari Sartono Kartodirdjo tersebut, maka salah satu media yang cukup tepat untuk mengatasi disintgrasi bangsa tersebut adalah melalui bidang pendidikan, yaitu pengajaran Sejarah Nasional Indonesia dan Kebudayaan (baik tingkat SD, SLTP dan SMU/ SMK). Tetapi dalam kenyataan selama ini pengajaran sejarah dan Kebudayaan masih bersifat hafalan dan kurang menekankan segi afektif, oleh karena itu tujuan utama pengajaran untuk mewujudkan kesadaran nasional belum sepenuhnya terwujud. (Sartono Kartodirdjo 1996:3).

LANDASAN FILOSOFIS (DALAM RANGKA ETNOGRAFI RUANG KELAS)

Dalam teori sejarah, arti pengkajian sejarah yang hakiki adalah, pertama, mencari dan memperoleh pengetahuan tentang masa silam dan menghasilkan kepuasan intelektual. Kedua, pengkajian sejarah mengajarkan kepada manusia, bagaimana manusia harus bertindak yang tepat dalam menghadapi situasi tertentu. Ketiga, sejarah harus dipandang sebagai masa lampau, kini dan masa depan, hal ini merupakan arah bagi manusia untuk menjadikan arif dan bijaksana, karena sudah belajar masa lampau untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kali. Dari sinilah lahir pepatah: Historia Magistra Vitae, sejarah bertindak sebagai guru kehidupan (FR Ankersmit:1987). Sedangkan arti Pengajaran Sejarah budaya dalam arti yang sebenarnya untuk saat ini adalah usaha untuk merekonsruksi kembali pengajaran sejarah dan budaya yang telah dipolitisir (A.Y Soegeng: 2002). Mengacu pendapat tersebut tampaknya masih segar dalam ingatan kita Prof. Dr. Nugroho Notosusanto sejarawan yang mampu menciptakan mitos dan membius masyarakat (termasuk guru dan dosen sejarah) dengan Gerakan 30 September 1965, selama satu generasi pasca peralihan kekuasaan Sukarno ke Suharto. Pendapat tersebut sudah semestinya harus diluruskan, melalui studi yang komprehensif dengan melibatkan pendekatan budaya.

Pada abad ke-21 ini masyarakat berubah dengan cepat dan radikal, dalam hal ini guru (sejarah dan budaya) diperhadapkan pada masalah utama dapatkah ia mengikuti arus kemajuan jaman, ataukah ia akan tergilas oleh perubahan jaman, khususnya pemahamannya tentang pendekatan dalam pengajaran sejarah dan budaya. Guru sejarah dan budaya diperhadapkan pada kemampuan penelitian tentang pendidikan sejarah dan budaya yang memadai saat ini, berarti guru harus mampu membuat perencanaan pengajaran.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengajaran sejarah dan budaya dengan mengikutsertakan pengalaman siswa(mahasiswa) dan guru (dosen) lebih mempunyai makna, daripada pengajaran sejarah hanya bersifat texs book. (Soetomo WE:2003, Esther Arianti: 2003, Edy Suwiryo: 2001)

Merujuk hal tersebut, maka guru sejarah harus peka untuk mencari dan menemukan pendekatan pengajaran sejarah dan budaya yang inovatif berdasarkan kaiadah-kaidah ilmu sejarah dan kajian budaya . salah satu pendekatan yang tepat adalah Pendekatan Etnografi Ruang Kelas. Sebab Pendekatan Etnografi Ruang Kelas berusaha mengoptimalkan sumber belajar yang ada dalam masyarakat, sekolah dan kelas. Sehingga pengajaran sejarah dan budaya tidak bersifat hafalan belaka.

LANGKAH-LANGKAH IDENTIFIKASI (PENDEKATAN ETNOGRAFI RUANG KELAS)

Sebelum seorang guru menerapkan Pendekatan Etnografi Ruang Kelas, dalam pembelajaran sejarah dan Budaya, ia perlu melakukan identifikasi terhadap lingkungan masyarakat, sekolah dan ruang kelas. Secara khusus identifikasi tentang perbedaan-perbedaan yang ada (misalnya: perbedaan etnis, sosial, ekonomi, agama, bahasa ibu). Dari perbedaan inilah yang harus dimanfaatkan untuk memperkaya pengajaran sejarah dan budaya. Adapun langkah identifikasi yang dimaksud adalah:

Identifikasi Latar Belakang Siswa

· Guru harus memahami dulu keadaan sosial para murid. , Beberapa murid barangkali berasal dari daerah perkotaan, pedesaan ataupun berasal dari daerah industri dan, pertanian.(masing-masing memiliki karakteristik sendiri yang dapat digunakan sebagai bahan pelajaran). Dalam teori Etnografi Ruang Kelas diterangkan; semakin tinggi perbedaan sosial siswa,diharapkan semakin kaya bahan sejarah yang akan dikupas , karena masing-masing siswa membawa keberadaan sosialnya masing-masing.

· Latar belakang siswa yang lain, adalah menyangkut latar belakang etnis siswa, beberapa sekolah memiliki murid yang beragam etnisnya (Batak, Sunda, Jawa, Ambon, Irian dst). Dalam teori Etnografi Ruang Kelas semakin beragam etnis siswa dalam kelas (sekolah), maka semakin tinggi nyata materi pembelajaran sejarah dan Budaya

Identifikasi latar Belakang Guru

· Identifikasi guru dapat meliputi perbedaan etnis, tingkat pendidikan, bidang ilmu dan sosial budaya. Latar belakang guru yang beragam tersebut, sebaiknya dapat diambil manfaatnya semaksimal mungkin untuk pembelajaran sejarahdan Budaya. Antara lain perbedaan bidang ilmu para guru dapat dijadikan sumber diskusi Etnografi Ruang Kelas, misalkan Pokok bahasan: Kehidupan Masyarakat Pra- Sejarah Indonesia, guru Ekonomi dapat membahas segi ekonomis masyarakat Pra Sejarah Indonesia, sedangkan guru geografi dapat membahas faktor-faktor geografis pemukiman manusia Pra Sejarah Indonesia, sedangkan guru sejarahdan budaya akan membahas perkembangan peradaban masyarakat Pra-Sejarah Indonesia, adapun guru PPKn akan membahas kaidah-kaidah moral dalam kehidupan manusia Pra Sejarah Indonesia.

Identifikasi Lingkungan Sekolah

· Secara fisik bangunan sekolah dapat berpengaruh bagi siswa dan guru dalam merespon proses belajar mengajar. Sekolah dengan bangunan fisik yang sehat menurut teori arsitektur akan menggairahkan untuk belajar, apalagi dilengkapi dengan prinsip-prinsip Etnografi Ruang Kelas, yaitu kelas di desain sesuai dengan kebutuhan matapelajaran, misalkan ruang kelas sejarah dan PPKn, ruang kelas geografi, ruang kelas biologi dan seterusnya, karena masing-masing kelas memiliki spesifikasi sesuai dengan spesifikasi jenis matapelajaran. (hal ini masih terlalu idealis untuk Indonesia, meskipun beberapa sekolah sudah melaksanakannya).

· Secara sosial, yaitu dimana sekolah berada, juga mendapat perhatian dari studi Etnografi Ruang Kelas. Studi di Amerika oleh Martyn Hammersley dalam “ Classroom Ethnography” , menyimpulkan bahwa sekolah di perkotaan lebih sulit dalam menamkan disiplin dibanding dengan sekolah di pedesaan. Nampaknya pendapat Martyn H tersebut tidak terlalu jauh dengan situasi di Indonesia. Melalui pendekatan etnografi ruang Kelas guru sejarah dan Budaya dihadapkan pada masalah tersebut.

APLIKASI PENDEKATAN ETNOGRAFI RUANG KELAS

Etnografi Ruang Kelas sebagai pendekatan pembelajaran sejarah dan budaya hanya merupakan cara dan strategi pengajaran sejarah dan budaya , oleh karena itu ia harus menggunakan metoda mengajar, dan juga perlu menggunakan pendekatan yang lain. Adapun metoda mengajar dan pendekatan yang sesuai dengan Pendekatan Etnografi Ruang Kelas adalah antara lain:

Pendekatan lain yang digunakan:

1. Pendekatan Ketrampilan Proses (PKP) dan CBSA

2. Pendekatan Quantum Learning

Metoda yang sesuai untuk Etnografi ruang kelas antara lain:

1. Metoda Proyek

2. Metoda diskusi , Ceramah bervariasi

3. Metoda Perkunjungan Studi

KESIMPULAN

Dari pembahasan singkat tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan sementara, antara lain:

1. Pendekatan Etnografi Ruang Kelas, merupakan pemikiran baru dalam pendekatan pembelajaran, seperti tersirat dalam judul bukunya martyn Hammersley yaitu: Classroom Ethnography (Modern Educational Thought).

2. Pendekatan Etnografi Ruang Kelas, secara empiris baru diterapkan di Amerika serikat(menurut pemahaman penulis saat ini karena keterbatasan literatur yang penulis baca). Untuk diterapkan di Indonesia masih memerlukan studi yang mendalam, khususnya menyangkut landasan filosofisnya.

3. Secara teoritik, pendekatan Etnografi Ruang Kelas cukup sesuai diterapkan untuk mengajarkan matapelajaran sejarahdan PPKn, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan kajian metodologisnya.

4. Dalam aplikasi di kelas, pendekatan Etnografi Ruang Kelas perlu dilengkapi dengan beberapa metoda mengajar bahkan perlu dilengkapi dengan beberapa pendekatan dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Djoko Suryo,Prof.Dr 2003. Pendidikan Sebagai Upaya Membangun Sikap Kebangsaan Melalui Nilai-Nilai Pluralitas Budaya Bangsa,Historika, vol.1 Pascasarjana Pend. Sejarah UNS Surakarta.

Esther Arianti,Dra, 2003, Relevansi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia Dengan Peninggalan Sejarah Sebagai Sumber Belajar, thesis Pascasarjana Pend. Sejarah UNS Surakarta

F.R Ankersmith, Ph.D 1987. Refleksi Tentang Sejarah, Gramedia, Jakarta

Hammersley, Martin, Ph.D.1980. Classroom Ethnography (Modern Educational Thougt), Open University Press, Milton Keynes, Philladelphia.

Sartono Kartodirdjo, Prof. Dr 1993, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah, Gramedia, Jakarta.

Suyatno Kartodirdjo, Dr. 2003. Perubahan Kurikulum Dan Revitalisasi Pembinaan Wawasan Kebangsaan. Historika, Vol. 1 No. 1 Pascasarjana Pend. Sejarah UNS Surakarta.

Soegeng, A.Y, Prof. Dr. 2002 Memahami Sejarah Bangsa Indonesia(Materi Pendidikan Pancasila). Widya Sari Press, Salatiga.