Pendidikan Karakter Upaya Membangun Jatidiri Bangsa Menuju Generasi Emas 2045
PENDIDIKAN KARAKTER UPAYA MEMBANGUN JATIDIRI BANGSA MENUJU GENERASI EMAS 2045
Supriyono
FKIP Universitas Terbuka UPBJJ Purwokerto
ABSTRAK
Untuk memwujudkan tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa maka penekanan pendidikan karakter manjadi bagian yang sangat penting. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah kongrit bagaimana untuk mewujudkan pendidikan karakter sebagai upaya membangun jatidiri bangsa menuju generasi emas 2045. Perkembangan globalisasi menuntut agar mampu tetap menjaga jatidiri bangsa yang berasaskan Pancasila. Desakan globalisasi diharapkan diharapkan jangan sampai menjadikan jauh dari hakikat manusia sesungguhnya. Hal yang sangat mendasar adalah kemampuan untuk memegang teguh dan merefleksikan jatidiri bangsa dalam kehidupan sehari-hari agar mampu menjadi bangsa yang besar yang memiliki jatidiri. Fenomena di tengah masyarakat telah terjadi dengan maraknya perbuatan amoral, asusila, dan kriminalitas yang lain, merupakan sustu hal yang perlu disikapi secara sungguh-sungguh. Pembiaran hal tersebut akan sangat memungkinkan negara di ambang kehancuran. Langkah yang perlu dilakukan adalah menamankan pendidikan karakter sedini mungkin di tingkat usia dini. Oleh karena itu, rasa optimisme harus selalu digelorakan agar Indonesia selalu menjadi negara yang kuat dan maju.
Kata Kunci: Pendidikan karakter, jati diri , generasi emas
Pendahuluan
Masalah pendidikan selalu menjadi kajian yang penting untuk dibahas. Hal ini dikarenakan pendidikan dianggap memiliki peranan yang sangat vital dalam membangun peradaban suatu bangsa. Bangsa yang maju akan sangat ditentukan oleh mutu maupun kualitas pendidikan. Oleh karena itu, revitalisasi pendidikan menjadi harga mati bagi pemerintah jika ingin memajukan bangsa ini.
Upaya memajukan bangsa telah dilakukan dengan melakukan perubahan kurikulum pendidikan. Perkembangan dan perbaikan kurikulum dilakukan dengan menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan jaman.Perkembangan kurikulum sejak kemerdekaan dimulai dengan penerapan Kurikulum 1950 (Tanpa Manipol Usdek), Kurikulum 1962 (Memuat Manipol Usdek), Kurikulum 1969 (Tanpa Manipol Usdek) perubahan jam pelajaran, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006, hingga kurikulum 2013. Pemerintah berharap adanya perubahan kurikulum yang diberlakukan mampu menciptakan generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut selaras dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawabâ€.
Untuk memwujudkan tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa maka penekanan pendidikan karakter manjadi bagian yang sangat penting. Oleh karena itu, proses pendidikan harus mampu mengiplementasikan pendidikan karakter secara menyeluruh agar karakter generasi penerus bangsa yang diimpi-impikan dapat terwujud. Mewujudkan hararapan lahirnya generasi bangsa yang baik adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Oleh karena itu implementasi pendidikan karakter harus dapat diwujudkan.
Pendidikan karakter menjadi bagian yang sangat mendesak dalam kurikulum pendidikan saat ini. Pendidikan karakter diharapkan dapat diterapkan sedini mungkin kepada anak-anak.Dari proses pendidikan karakter yang diberikan kepada anak-anak diharapkan akan tercipta suatu generasi yang memiliki karakter kuat. Harapan adanya pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 adalah ruh dari pendidikan yang sesungguhnya (mebentuk generasi bangsa yang lebih baik)dapat terujud.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas diperlukan suatu langkah kongrit bagaimana untuk mewujudkan pendidikan karakter sebagai upaya membangun jatidiri bangsa menuju generasi emas 2045?
Pendidikan, antara harapan dan kenyataan
Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan semakin maraknya kasus amoral, asusila, dan kriminalitas memang sudah seharusnya menjadi hal yang perlu disikapi. Jika hal itu dibiarkan tidak tertutup kemungkinan bangsa ini telah di ambang kehancuran. Seperti yang disampaikan oleh Lickona (dalam Muslich, 2011: 35) terkait 10 tanda yang menunjukkan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa yakni (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) Pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas. (5) Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) Menurunnya etos kerja, (7) Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru/dosen, (8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) Membudayanya ketidakjujuran, dan (10) Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Langkah yang terbaik untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah dengan adanya pendidikan karakter yang diterapkan sedini mungkin di lembaga pendidikan. Pendidikan karakter menurut Saptono (2011:23) merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja yang tersusun secara sistematis untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandasakan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Adanya pembangunan karakter yang diberikan sejak dini akan memberikan pondasi dan menjadi benteng kokoh peradaban suatu bangsa.
Karakter yang dibangun merupakan kebajikan-kebajikan yang berlaku dimasyarakat. Kebajikan-kebajikan tersebut terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain (Hasan, dkk. 2010: 3). Menurut Thomas Lickona orang yang berkarakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimaniestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan karakter mulia lainnya. Dari pembentukan karakter yang ditanamkan melalui pendidikan, bangsakita diharapkan mampu mencipatakan generasi yang unggu, mulia, dan berakhlak.
Implementasi pendidikan karakter di berbagai jenjang pendidikan menjadi hal yang tidak dapat abaikan. Setelah M. Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan generasi emas 2045 pada tanggal 2 Mei 2012, maka orentasi pendidikan dalam tujuannya membangun generasi yang kuat seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas adalah menjadi komitmen segala unsur elemen di negara ini. Oleh karena itu, pada pelaksanaannya pendidikan karakter harus diberikan sejak dini. Karena jika pendidikan karakter tidak diberikan sejak dini, maka impian untuk mewujudkan generasi emas tahun 2045 adalah hal yang sulit untuk diwujudkan. Freud menyatakan bahwa kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Artinya bahwa untuk membentuk generasi dimasa yang akan datang tentu sangat dipengaruhi oleh pondasi yang kuat pada diri anak-anak.
Pendidikan karakter menfokuskan pendidikan pada upaya mengubah perilaku moral manusia ke arah yang lebih baik. Tentu perlu adanya komitmen bersama dalam mewujudkan pendidikan karakter tersebut. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen yang dipegang teguh oleh berbagai pihak, baik siswa, guru, orang tua, masyarakat, maupun pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya keselarasan antara tujuan pendidikan dengan implementasi pendidikan yang berlangsung. Keselarasan yang terjalin didunia pendidikan akan sangat mendukung terwujudnya pendidikan yang bermutu.
Namun, keselarasan dalam proses pendidikan tampaknya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Khususnya terkait permasalahan evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan, yaitu adanya ujian nasional. Keberadaan ujian nasional sebagai suatu sistem evaluasi yang diberlakukan untuk menentukan kelulusan siswa tanpa sadar telah menggeser dari tujuan pendidikan karakter yang seungguhnya. Permasalahan yang kursial terkait dengan adanya ujian nasional tanpa sadar telah menciptakan budaya baru dalam pendidikan kita. Jika ditelaah lebih jauh bebrapa tahun terakhir sistem pendidikan dengan adanya penerapan Ujian Nasional telah mentelanjangi bangsa kita dari carut-marutnya pendidikan dan moralitas masyarakat kita. Dampak adanya Ujian Nasional tanpa disadari telah mengarahkan pendidikan semakin jauh dari subtansi pendidikan itu sendiri. Banyaknya kasus kecurangan yang dilakukan terkait ujian nasional menunjukkan bahwa moralitas pelaku pendidikan sesungguhnya patut untuk dipertanyakan.
Ketika sistem pendidikan yang diterapkan terdapat kesenjangan antara tujuan dan harapan, maka justru akan menjauhkan pendidikan dari nilai-nilai moral yang subtansial, tentunya hal ini akan berdampak pada generasi bangsa yang diciptakannya. Jika pendidikan yang diterapkan lebih menitik beratkan pada aspek kognisi maka pada akhirnya akan terciptanya generasi bangsa yang instan, loyo, hanya memikirkan hasil dari pada proses dan lain sebagainya. Artinya bahwaapabila pada tataran implementasi pendidikan yang berlangsung masih terdapat disorentasi antara tujuan pendidikan dan program evaluasi yang diberikan maka subtansi pendidikan itu sendiri sulit untuk dicapai. Sisetm pendidikan yang berjalan pada saat ini seharusnya mendukung orentasi pendidikan karakter, bukan sebaliknya mengkesampingkan subtansi dari pendidikan karakter itu sendiri.
Terlepas dari masalah pro dan kontra adanya ujian nasional, penulis hanya ingin mengatakan bahwa adanya ujian nasional menjadikan aspek kognisi mendominasi tujuan pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Padahal jika dilihat dari esensi keberadaan pendidikan karakter adalah perpaduan tiga aspek kompetensi yang sakling kait mengkait. Jika tujuan pendidikan adalah menciptakan generasi dengan komptensi sikap, keterampilan dan pengetahuan yang baik maka titik berat dalam pendidikan yang akan diterapkan disekolah adalah evaluasi secara menyeluruh yang mampu merefleksikan ketiga aspek kompetensi tersebut dalam diri siswa.
Pendidikan Karakter pada hakikatnya memiliki tujuan untuk menciptakan manusia yang memiliki karakter yang baik. Pendidikan karakter merupakan suatu proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab.Thomas Lickona (2012: 85) menekankan tiga komponen karakter yang baik yakni Moral knowing (pengetahuan tentang moral), Moral feeling (perasaan tentang moral), dan Moral action (perbuatan moral). Ketiga bagian komponen karakter tersebut memiliki hubungan yang saling mengait satu dengan lainnya. Menurut Lickona karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Karakter tersebut diharapkan akan mewujud menjadi suatu kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati dan kebiasaan dalam tindakan.
Moral knowing (pengetahuan tentang moral) dijabarkan dalam aspek Moral awareness (kesadaran moral), Knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), dan Self knowledge (Pengetahuan pribadi)
Moral awareness (kesadaran moral)
Pada tataran manusia yang telah mampu menggunakan akal pikiran dan nuraninya adalah perlu mengetahui tanggung jawab moral mereka. Oleh karena itu kesadaran moral menjadi bagian yang sangat penting dimiliki oleh seseorang. Sebelum melakukan suatu tindakan penting bagi seorang individu menggunakan pikiran mereka untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral.
Knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral)
Selain memiliki kesadaran moral, seseorang juga dituntut untuk memahami nilai-nilai moral yang berlaku. Nilai-nilai moral sangat erat kaitannya dengan penilaian nurani kita. Artinya nilai-nilai moral dapat kita rasakan ketika direfleksikan kembali pada diri kita, apa yang disukai atau baik untuk diri kita, ataupun apa yang tidak baik atau buruk untuk diri kita. Nilai-nilai moral dapat diwujudkan sebagai seluruh cara yang terkait dengan pembentukan pribadi yang baik.
Self knowledge (Pengetahuan pribadi)
Mengevaluasi diri sendiri secara kritis merupakan prasyarat yang harus dilakukan untuk membangun pengetahuan moral. Evaluasi diri sendiri dimaksudkan untuk mengulas dan mengevaluasi perilaku kita secara objektif.
Pemahaman dan pengetahuan tentang moralitas ternyata belum cukup untuk menjadi jaminan seseorang melakukan tindakan yang baik. Baik tindakan baik kepada diri sendiri mauipun tindakan baik kepada orang lain. Oleh karena itu, Moral feeling (perasaan tentang moral) menjadi komponen penting yang dimiliki seseorang agar mampu melakukan tindakan moral yang baik. Moral feeling (perasaan tentang moral) memiliki aspek yang terkait dengan Conscience (nurani), Self esteem (percaya diri), Empathy (merasakan penderitaan orang lain). Loving the good (mencintai kebenaran), Self control (mampu mengontrol diri), Humility (kerendahan hati).
Oleh karena itu, untuk mewujudkan terciptanya perasaan moral yang baik, perlu adanya social-emotional learning yakni pendidikan untuk moralitas dan pendidikan untuk kompetensi emosi sosial. Harapannya dari pendidikan ini akan memberikan pemahaman yang mendalam dan utuh mengenai karakter moral. Selain itu pada ujungnya dari pendidikan ini diharapkan anak-anak diberi kesempatan dan kompetensi untuk mempraktikkan karakter moral mereka dengan cara yang mendalam (Nucci & Narvaez, 2014:387).
Adanya pengetahuan tentang moral, dan perasaan tentang moral dalam diri seseorang diharapkan nantinya akan mewujud dalam Moral action (perbuatan moral). Tindakan perilaku moral ini akan dapat terwujud secara baik apabila dalam diri individu memiliki Compentence (kompetensi), Will (Keinginan), dan Habit (kebiasaan). Salah satu kompetensi yang penting untuk dimiliki adalah kompetensi untuk menjaga keselarasan diri dengan masyarakat, maupun diri dengan alam. Kempetensiyang dimiliki seseorang belum lengkap apabila belum didukung oleh adanya keinginan. Menjadi orang baik bukan menjadi hal mudah, walaupun secara fitrah manusia telah memiliki kebaikan itu sendiri. Perlu adanya keinginan kuat sebagai perwujudan pergerakan energi moral agar kita melakukan suatu tindakan yang baik.
Dalam pendidikan karakter, perilaku baik yang dilakukan oleh seseorang harus menjadi suatu pengalaman yang dapat dibentuk sebagai suatu kebiasaan. Artinya perilaku tersebut harus diulang-ulang dalam konteks kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, anak-anak diharapkan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kebisaan yang baik, banyak melakukan perilaku yang baik dalam hal menjadi individu yang berkarakter baik.
Peran Guru dalam Pendidikan Karakter
Melekatnya pendidikan karakter pada Kurikulum 2013 menjadi bagian penting dalam perkembangan kurikulum pendidikan kita. Jika pada kurikulum sebelumnya urusan pendidikan karakter itu menjadi bagian terpisah-pisah antar mata pelajaran, atau dengan kata lain pendidikan karakter hanya menjadi tanggung jawab guru agama dan pendidikan kewarganegaraan, maka pada Kurikulum 2013 pendidikan karakter menajadi tanggung jawab semua guru. Artinya bahwa semua guru kelas maupun guru bidang studi memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal memberikan pendidikan karakter.
Proses pendidikan karakter seperti inilah yang diharapkan dapat diimplementasikan dalam kurikulum 2013. Pendidikan karakter bukan lagi diberikan secara parsial, melainkan diberikan secara menyeluruh dalam setiap kegiatan pembelajaran. Untuk mewujudkan subtansi pendidikan karakter pada kurikulum 2013 maka peran semua guru sangat vital. Guru harus mampu menjadi teladan maupun contoh untuk anak-anak. Oleh karena itu guru harus mampu memposisikan diri secara bijak untuk memberikan pendidikan yang memanusiakan. Artinya pendidikan yang mampu memberikan pencerahan tentang hakikat kemanusiaan itu sendiri. Pendidikan yang mampu menghilangkan penindasan, pedidikan yang humanistis yakni pendidikan yang menjunjung tinggi cinta kasih, dan solidaritas sejati. Guru harus mampu menghilangkan pendidikan yang menciptakan kondisi penindasan antar sesama atau dehumanisasi. Oleh karena itu, guru harus mampu bersikap kritis untuk mengenali sebab musabab permasalahan yang muncul untuk mencipatakan situasi yang baru yang memungkinkan usaha mencapai keutuhan kemanusiaan (Freire, 1999:438).
Menjadi guru harus mampu memposisikan diri menjadi pendidik yang sesungguhnya yaitu guru bagi manusia seutuhnya. Menurut Chatib (2013: 63) menjadi gurunya manusia adalah hal yang pokok untuk menciptakan generasi manusia yang sesungguhnya. Guru bukan sekedar menjadi guru anak-anak yang diperlakukan sebagai robot. Oleh karena itu guru harus mampu menjadi sang fasilitator, guru harus mampu mengajar dengan cara yang menyenangkan, guru harus memahami karakteristik sisa dan terus menjelajah kemampuan siswa, dan yang terpenting adalah guru harus mengajar anak-anak dengan hati.
Lebih lanjut Munif Chatib menyatakan bahwa pada hakikatnya anak-anak memiliki fitrah pada kebaikan. Namun terdapat tujuh sumber penyebab manusia berperangai buruk yakni melupakan Tuhan, bangga, riya, dan sombong, tidak bersyukur dan mudah putus asa, kikir dan berkeluh kesah, melampaui batas, tergesa-gesa, suka membantah (Chatib, 2013: 5). Sumber penyebab perilaku buruk itulah yang harus diantisipasi oleh seorang guru agar anak yang memiliki fitra pada kebaikan tetap konsisten untuk melakukan perilaku yang bermoral. Karakter seperti itulah yang diharapkan dapat terwujud dengan diterapkannya kurikulum 2013.
Pancasila sebagai Jatidiri Bangsa
Para founding fathers bangsa kita telah melatakan pancasila sebagai filsafat dasar bagi penyelenggaraan pendidikan nasional. Dari sinilah sebenarnya ideologi tersebut selayaknya menjadi tolak ukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Oleh karena itu, pancasila menjadi jati diri bangsa kita. Pancasila dilihat sebagai identitas jati diri bangsa memiliki lima aspek yang sangat penting yaitu aspek transendensi, humanisasi, kebinekaan, Liberasi/pembebasan atas penindasan sesama manusia, dan keadilan.
Namun, dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa kita sedang mengalami keterpurukan. hal ini dapat dilaihat maupun diukur dari hilangnya jatidiri bangsa kita sebagai bangsa yang besar. Maraknya pertikaian, kasus asusila, amoral, dan menjalarnya seks bebas dikalangan remaja menjadi bagian penting yang semakin menegaskan bahwa remaja generasi bangsa kita telah jauh dari kesejatian diri sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, perlu adanya langkah bersama yang dilakukan secara masif untuk membangkitkan kembali jati diri bangsa indonesia yang berlandaskan pada pancasila.
Langkah yang dapat dilakukan dan sangat vital adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, menitikberatkan pendidikan pada pendidikan akhlak menjadi sangat penting untuk membentuk generasi emas yang bertakwa, berakhlak mulia. Selain itu pendidikan juga harus mampu menciptakan generasi yang memiliki empati sosial yang besar terhadap sesama. Empati memiliki makna bahwa seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagaimana orang tersebut mengertinya dan menyampaikan pengertian itu kepadanya. Seseorang dikatakan memiliki empati jika mampu menghayati keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut polaacuan orang tersebut, dan mengkomunikasikan penghayatannya bahwa dirinya memahami perasaan, tingkah laku, dan pengalaman orang tersebut secara pribadi (Budiningsih, 2008:47).
Prinsip kerukunan dan prinsip hormat sangat penting ditanamkan pada anak-anak. Agar generasi Indonesia emas pada saatnya nanti akan tercipta sebagai generasi yang hidup dalam kedamaian dan saling menghormati. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun memiliki arti berada dalam keadaan yang selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan. Adapun prinsip hormat adalah untuk menciptakan keselarasan dan peran sosial dalam masayarakat. Kesadaran akan kedudukan sosial menjadi hal yang penting untuk dipahami setiap inividu. Pandangan terkait dengan prinsip hormat mendasarkan pada cita-cita tercapainya suatu tatanan masyarakat yang teratur baik, di mana setiap orang mengenal tepat dan tugasnya. Oleh karena itu setiap individu berkewajiban menjaga keselarasan dalam hubungan sosial yang terjalin (Suseno, 2001 39).
Pada akhirnya nanti apabila kehidupan berjalan secara selaras, maka persatuan, pembebasan penindasan dan rasa keadilan akan dapat terwujud secara baik. Hal ini lah yang sebenarnya menjadi jati diri bangsa Indonesia. Harapan tersebut tentunya menjadi sebuah impian yang indah untuk direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Generasi Indonesia emas 2045 menjadi suatu asa atau harapan baru untuk membangun bangsa yang hebat, bangsa yang maju dan bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki jati diri pancasila.
Penutup
Pendidikan karakter pada hakikatnya berusaha mewujudkan pendidikan yang mampu membentuk individu menjadi pribadi yang bermoral. Moralitas dengan berpedoman pada kearifan lokal yang menjati jatidirinya dalam interaksinya dengan masyarakat global. Perkembangan globalisasi menuntut agar mampu tetap menjaga jatidiri bangsa yang berasaskan pancasila. Jangan sampai desakan globalisasi menjadikan jauh dari hakikat manusia sesungguhnya. Hal yang sangat mendasar adalah kemampuan untuk memegang teguh dan merefleksikan jatidiri bangsa dalam kehidupan sehari-hari agar mampu menjadi bangsa yang besar yang memiliki jatidiri. Pada generasi Indonesia emas 2045 harapan itu dititipkan. Oleh karenanya, untuk mewujudkan harapan dan impian tersebut, semua elemen masyarakat harus berperan aktif dalam meraih cita-cita tersebut melalui pendidikan karakter.
DAFTAR RUJUKAN
Arismantoro dkk, 2008. Charakter Building. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Budiningsih, Asri. Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.
Chatib, Munif. 2013. Gurunya Manusia. Jakarta: Kaifa
Chatib, Munif. 2013. Orangtuanya Manusia. Jakarta: Kaifa
Freire, Pailo,dkk. 1999. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas.
Koesoema, Doni A. 2010. Pedidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Licona, Thomas. 2012. Educating for Characther. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2011. Pedidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Nucci, Larry P. & Narvaez, Darcia. 2014. Handbook of Moral and Character Education. Bandung: Nusa Media.
Nucci, Larry P. dan Darcia, Narvaez. 2014. Handbook of Moral and Character Education. Bandung: Nusa Media.
Saptono, 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter Wawasan, Strategi, dan Langkah Praktis. Jakarta: Erlangga.
Soedijarto, 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kibijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.