Pendidikan Modern Pribumi Masa Pergerakan Nasional
PENDIDIKAN MODERN PRIBUMI MASA PERGERAKAN NASIONAL
Ageng Sanjaya
Dosen Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
ABSTRAK
Pendidikan adalah salah satu senjata perjuangan yang digunakan masyarakat Indonesia dalam meraih kemerdekaan ketika sebelumnya rakyat berjuang dengan berperang dengan mengorbankan ratusan nyawa pejuang. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana perjuangan tersebut dilakukan. Perjuangan tersebut dibungkus dalam suatu pergerakan yang menggunakan pendidikan sebagai alat perjuangannya. Diantaranya ada Muhammadiyah dan Taman Siswa yang memiliki sejarah panjang menggambarkan bagaimana seharusnya pendidikan di Indonesia. Tidak hanya melawan kolonial, besar harapan bahwa pendidikan “pribumi†ini dapat menjadi refleksi bagaimana seharusnya pendidikan bagi rakyat Indonesia dalam menghadapi tantangan global dewasa ini.
Kata Kunci: Pergerakan Nasional, Taman Siswa, Muhammadiyah.
PENDAHULUAN
Memasuki abad 20-an Indonesia dihadapkan dalam era baru perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Terbatasnya sarana pendidikan dan kesehatan serta tingginya diskriminasi sosial antara kaum pribumi, pendatang, dan kaum eropa membuat berkobarnya perjuangan fisik di berbagai daerah. Pasca diterapkannya politik etis muncul golongan cendekiawan yang menggeser posisi pemimpin perjuangan fisik dan menawarkan perjuangan dengan cara yang lebih efektif. Golongan cendekiawan ini lahir dari golongan priyayi yang mendapat pendidikan modern Eropa, yang masih tetap mewarisi beberapa perangkat kebudayaan elite tradisional. Golongan elite modern ini pula yang kemudian menjadi agen pembaharuan dan pelopor dari gerakan nasional.
Dalam memperjuangkan cita-cita nasionalnya itu digunakan modus operandi baru dengan membentuk organisasi dan pers sebagai salah satu media komunikasi modern. Memang, sebagaimana sering dikatakan, antara organisasi pergerakan nasional dan pers merupakan dua hal yang tak terpisahkan, dimana satu kehadirannya, secara organik dan komplementer, membutuhkan yang lain (Kartodirdjo, 1999:113-14). Golongan elite modern inilah yang mempelopori kesadaran untuk berjuang dengan cara yang baru, mereka memberikan kesadaran untuk berjuang dalam satu kesatuan. Mereka berjuang dalam berbagai bidang, baik politik, kesehatan, budaya, terutama pendidikan, tujuannya satu yaitu untuk mendapat penghidupan yang lebih layak dibawah kolonialisme Belanda. Secara spasial aksi tersebut tidak terbatas di Jawa namun juga meliputi aksi-aksi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya (Suhartono, 2001: 4). Aksi-aksi tersebut selain sebagai tuntutan atas kehidupan yang lebih baik juga merupakan tonggak perjuangan mencapai kemerdekaan.
Perlahan gerakan organisasi-organisasi tersebut melahirkan momentum baru dalam pembabakan sejarah di Indonesia. Berbagai permasalahan baru yang muncul bersamaan dengan berkembangnya pendidikan modern kolonial akhirnya muncul gagasan dari golongna elit baru untuk menciptakan pendidikan modern pribumi yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu. Pendidikan modern inilah yang melatarbelakangi lahirnya pendidikan nasional di Indonesia.
Peranan Politik Etis dalam perkembangan Pendidikan di Indonesia
Penderitaan dan keterpurukan yang dialami masyarakat Indonesia akibat kolonialisme Belanda selama bertahun-tahun melahirkan keprihatinan tersendiri. Tidak hanya di kalangan pribumi maupun priayi Indonesia semata namun kritik sosial juga dilontarkan oleh kaum eropa terhadap kebijakan-kebijakan kolonial Belanda yang menyengsarakan. Van Deventer menuangkan keprihatinannya dalam sebuah artikel yang dimuat di majalah Belanda, De Gids tahun 1899 dengan judul “Hutang Kehormatanâ€. Di dalam tulisannya itu ia menjelaskan bahwa orang Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya (Suhartono, 2001:16). Oleh karena itu sudah sewajarnya bila kebaikan budi orang Indonesia itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui Trias Politica. Buah pikiran Van Deventer tersebut kemudian menjadi isu penting sejak termuat dalam pidato Raja Belanda. Peristiwa-peristiwa ini kemudian dipandang sebagai gebrakan ide yang baru yang kemudian diterapkan dalam sebuah kebijakan di Hindia Belanda yang biasa dikenal dengan istilah Politik Etis.
Sebagai pencetusnya, Van Deventer kemudian menganjurkan programnya yang berisi tiga hal pokok yakni edukasi, irigasi dan transmigrasi yang biasa dikenal dengan trias van deventer. Ia ingin memperbaiki irigasi agar memajukan pertanian. Menganjurkan transmigrasi dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang terlalu padat penduduknya. Pula meningkatkan pendidikan massa untuk mendukung semua usaha perbaikan (Nasution, 2011: 16). Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, program politik etis dibuat lebih berorientasi terhadap keuntungan pemerintahan Belanda semata. Ide politik etis ini masih berat sebelah dan terlebih sebagai penjajahan gaya baru kolonial Belanda di Indonesia. Meskipun demikian perubahan politik baru ini telah melahirkan harapan baru dengan lahirnya golongan elite untuk merealisasikan cita-citanya. Dengan dikeluarkannya kebijakan politik etis ini menandai munculnya kesempatan bagi golongan bumi putra untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pengajaran dan pendidikan barat.
Seperti yang dikutip dalam Balai Pustaka (1986:108) dijelaskan bahwa pemerintah mendasarkan kebijakan pendidikannya pada dua hal berikut, (1) pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera. Untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah. (2) pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan bagi kebutuhan mereka. Dari kedua dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadaan pendidikan dalam politik etis berorientasai pada kebutuhan tenaga bermutu tinggi bagi keperluan ekonomi dan birokrasi dan kebutuhan tenaga pendidikan kelas rendah bagi kebutuhan industri dan sektor lainnya.
Bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar dibeberapa sekolah kelas satu (Nasution, 2011: 17). Meskipun demikian bahasa Belanda tak kunjung menjadi bahasa rakyat. Alasannya karena tidak ingin mengganggu adat dan kebiasaan orang indonesia alasan lain lebih karena adanya ketakutan orang-orang Peribumi akan merasa sejajar dengan golongan elite eropa apabila mereka menguasai bahasa, kebudayaan, teknologi dan organisasi barat. Alhasil munculah kastanisasi pendidikan dalam penyelenggaran pendidikan modern Belanda ini. Politik pengajaran kolonial yang diskriminatif membedakan sekolah untuk anak-anak bumiputra yang disebut sekolah rendah bumiputra Hollands Inlandsceh School (HIS) dan anak-anak Belanda yang disebut Europsche Lagere School (ELS) (Suhartono, 2001: 22).
Pada dasarnya pendidikan modern barat yang diadakan di Indonesia dijalankan sesuai dengan politik negara Belanda didorong adanya kepentingan negara penguasa diatas tanah jajahannya tersebut.Pada dekade pertama abad XX sudah banyak orang bumiputra yang pandai baca tulis Belanda meskipun hanya terbatas golongan bangsawan dan priyayi jawa pada saat itu. Banyak diantara golongan priyayi tersebut yang progresif ikut serta memajukan pendidikan pribumi. Politik etis berakhir dengan dikendalikan oleh kebutuhan perusahaan-perusahaan swasta akan tenaga kerja murah yang tinggi. Dibalik segala maksud tersebut kebijakan politik etis telah menjadi sarana menghasilkan cendekia muda yang progresif menularkan pendidikan dan semangat kebangkitan pribumi dalam melawan kolonialisme Belanda selama berabad-abad.
Pengadaan pendidikan barat masa Belanda bertujuan untuk memperoleh tenaga kerja murah bagi perusahaan swasta yang tengah berkembang di Hindia Belanda saat itu. Kastanisasi pendidikan yang diterapkan Belanda meghasilkan pendidikan yang tidak merata bagi semua golongan pribumi. Pendidikan modern hanya dapat dinikmati golongan bangsawan dan kaum elit baru berasal dari kalangan priyayi, sementara bagi rakyat pribumi yang jelata tak mendapat sedikitpun pengaruh kebijakan politik etis. Selain itu sistem pendidikan yang bersifat kebaratan dan sekuler seakan memisahkan rakyat pribumi dari akar bangsanya yang ketimuran. Hal ini memunculkan keprihatinan dikalangan elit baru. Keprihatinan inilah yang melakhirkan gagasan untuk memberikan pendidikan merata bagi golongan pribumi Indonesia dari berbagai kelas. Adanya gagasan inilah yang melahirkan tokoh-tokoh penggerak yang memperjuangkan kesetaraan memperoleh pendidikan bagi bangsanya.
Modernisasi Pendidikan Muhamammadiyah
Keberhasilan politik etis dalam pendidikan di Indonesia telah membawa dampak besar bagi kehidupan masyarakat indonesia, yang pertama perkembangan pendidikan yang semakin pesat melahirkan golongan elit baru yang peduli dan paham akan nasib bangsanya, yang kedua dengan dikenalkannya sistem pendidikan modern berarti ada upaya westernisasi bagi golongan pribumi terhadap budaya-budaya barat. Pendidikan barat masa Belanda menjadi ajang penanaman budaya barat bagi golongan elit baru dengan tujuan untuk menanamkan budaya nederlandcentris bagi anak-anak pribumi. Akibatnya mereka lebih mengungulkan budaya barat ketimbang budayanya sendiri. Anak-anak seakan tercabut dari akar budayanya sendiri dan tidak mengenal asal kebudayaan mereka. Sementara dalam konteks agama, dalam pendidikan Belanda memang bersifat sekuler dimana pelajaran agama tidak diajarkan dalam setiap murid. Hal ini menyebabkan anak-anak berfikir negatif terhadap islam. Mereka menganggap kehidupan umat islam kurang menyengkan. Pandangan itu didasarkan pada keseharian mereka di dalam kehidupan sehari-hari, dimana lembaga pendidikan Islam (Pesantren) dianggap sudah jauh ketinggalan dan tidak dapat dibanggakan lagi (Farid Setiawan, 2015: 139).
Berangkat dari anggapan demikian maka pendidikan modern model barat yang berkembang pada masa politik etis hanya menghasilkan lulusan yang bersifat, individualistik, elistis, intelektualis dan sama sekali tidak memperhatikan nilai dan moral ajaran agama. Pendidikan modern yang minim akan nilai budaya dan agama telah menjadi keprihatinan tersediri, selain itu diskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh Belanda pada pembahasan sebelumnya juga menjadikan banyaknya pribumi golongan bawah yang tidak dapat mengenyam pendidikan sama sekali sehingga hidupnyapun berakhir sebagai buruh kelas rendah bagi Belanda. Kenyataan yang demikian menjadikan kegelisahan disebagian ulama dan golongan elit baru menengah perkotaan, salah satunya Ahmad Dahlan.
Lahir dengan nama Muhammad Darwis adalah sosok yang tumbuh dari lingkungan keislaman yang kukuh. Ia lahir dan dibesarkan disalah satu wilayah di Yogyakarta yang disebut dengan Kampung Kauman. Kampung Kauman sendiri oleh G.F Pjiper digambarkan sebagai wilayah yang berada di dekat dengan Masjid Besar dan masyarakat yang tinggal didalamnya merupakan rakyat yang taat, orang-orang islam beriman, dan menjalankan perintah agama dengan serius. (G.F. Pjiper, 1987: 1-2). Suasana kampung kauman yang tertutup akan pengaruh budaya Barat tidak memungkinkan Ahmad Dahlan mengenyam pendidikan Barat. Waktu itu siapa yang memasuki sekolah Gubermen dianggap kafir atau kristen. Sebab itu Ahmad Dahlan mendapat pendidikan, khususnya keagamaan dari ayahnya sendiri (Weinata Sairin, 1995: 38-39).
Sebagai seorang ulama Ahmad Dahlan merasa prihatin akan sekulerisme yang berkembang dalam pendidikan modern barat terhadap kaum pribumi. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. (Leyan Mustapa, 2015: 133). Ahmad dahlan memiliki cita-cita untuk memasukan pendidikan Islam pada sekolah-sekolah modern. Guna mewujudkan cita-citanya Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Budi Utomo tahun 1909. Kedekatannya dengan anggota organisasi ini memuluskan jalannya untuk mengajar pelajaran agama islam di sekolah Belanda (Farid Setiawan, 2015: 140). Ahmad Dahlan menjadi guru di sekolah-sekolah Kweekschool Yogyakarta meskipun pelajaran itu masih bersifat ekstra kurikuler (Weinata Sairin, 1995: 49). Tidak cukup sampai disitu Ahmad dahlan memiliki gagasan baru untuk mendirikan sekolah yang diorganisir secara teratur mengingat kesempatan belajar disekolah modern hanya diperuntukan bagi golongan elit kelas atas. Gagasan tersebut baru terealisasi 1 Desember 1911, ia membuka sekolah agama di Kauman dengan metode Barat, yaitu menggunakan kursi, bangku, serta kelas (M.T Arifin, 1987: 43). Ahmad Dahlan menggabungkan sistem pendidikan pesantren dan sekolah Belanda. Sayangnya gagasan ini ditanggapi acuh oleh masyarakat kauman pada saat itu.
Sebagai seorang yang teguh, Ahmad Dahlan terus melanjutkan gagasannya dengan terus mengembangkan sekolah yang dinamainya Madrasah Ibtidaiyyah Diniyah Islamiyah. Berbekal pengalaman organisasi yang telah ia dapat dari Budi Utomo, SI, dan Jami’atul khair, Ahmad Dahlan mantap mendirikan sebuah organisasi bagi penyebaran fahamnya. Menurut Bambang Harymurti (1985, 5) pertimbangan utama didirikannya organisasi ini adalah agar sekolah yang didirikannya bisa berjalan terus tanpa bergantung pada si Pendiri. Sehingga pada 18 November 1912 secara resmi didirikan organisasi Muhammadiyah. Kehadiran pendidikan Muhammadiyah dengan sistem baru merupakan elemen modern di dalam Kraton Yogyakarta. Muhammadiyah telah menjadi sebuah pembaharuan islam tidak hanya dalam bidang sosial tapi juga terutama dalam bidang pendidikan. Usaha-usaha Muhammadiyah lain, di samping mengembalikan ajaran Islam kepada sumbernya yaitu al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah juga bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam secara modern serta memperteguh keyakinan tentang agama Islam, sehingga terwujudlah masyarakat yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar luas di seluruh Indonesia (Leyan Mustapa, 2014: 131).
Dalam perkembangannya pemerintahan Belanda menaruh curiga terhadap organisasi Muhammadiyah ini sehingga permintaan pengurus kepada Gubernur Jenderal agar mendapat badan hukum, dengan surat tanggal 20 Desember 1912 baru dikabulkan tahun 1914 dan hanya berlaku untuk pembentukan di Kota Yogyakarta saja. Sikap akomodatif membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapatkan subsidi pemerintah. Walaupun menerima subsidi, tidak berarti Muhammadiyah menjadi sub-ordinat pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Belanda memberlakukan Ordonansi Guru dan Haji, Muhammadiyah tampil di barisan terdepan menentang pemberlakuan Ordonansi tersebut. Muhammadiyah aktif melakukan tekanan politik dan menggalang kekuatan berbagai elemen sosial dan politik melawan pemberlakuan Ordonansi Guru. Muhammadiyah senantiasa berjuang dalam jalur yang telah mereka ciptakan. Muhammadiyah menjadi pioner pembaharuan penidikan islam yang cukup berpengaruh dalam bidang pendidikan di Indonesia, pembaharuan pendidikan yang diserukan Ahmad Dahlan tak hanya mempengaruhi Yogyakarta sebagai basis gerakannya, namun juga sampai ke berbagai wilayah di pelosok tanah air. Perpaduan sistem Pesantren dan pendidikan modern Belanda yang diusung Muhammadiyah menjadikannya eksis sampai masa kemerdekaan bahkan sampai saat ini.
Pendidikan Partikelir Bercorak Nasionalis dalam Konsep Perguruan Taman Siswa
Disisi lain pendidikan modern bersifat netherlandsentris yang dikhawatirkan akan mengkikis rasa nasionalisme para pelajar dari golongan pribumi saat itu. Hal ini menjadi alasan lahirnya gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat dan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat indonesia pada saat itu. Atas dasar pemikiran tersebut lahirlah National Onderwijs Institut Taman Siswa di Tanjung Weg 32 (sekarang Jl. Gadjah Mada 32 Yogyakarta) pada tanggal 3 Juli 1922. Taman siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai perjuangannya (Darsiti Soeratman,1986: 77). Taman Siswa tidak hanya mengejar terciptanya kaum intelek namun juga golongan yang terdidik secara moral dan sosial. Taman Siswa diketuai oleh Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara.
Kekecewaan Ki Hajar Dewantara akan sistem pendidikan Belanda yang cenderung mencetak kaum intelek tanpa memanusiakan para pelajar membuat Ki Hajar bercita-cita menciptakan lembaga pendidikan yang lebih humanis. Mereka dituntut untuk lulus dari sistem ujian yang sangat ketat dengan banyak tuntutan, sehingga belajar tidak untuk perkembangan hidup dan kejiwaannya, sebaliknya mereka belajar untuk mendapat nilai-nilai yang tinggi dalam “school reportâ€nya atau untuk mendapat ijasah saja (Ki Hadjar Dewantara, 1964). Sayangnya sistem pendidikan ini masih digunakan di Indonesia justru ketika Indonesia telah merdeka dan bebas menentukan sistem pendidikannya sendiri. Ki Hajar Dewantara sebelumnya telah berjuang untuk kemerdekaan negerinya melalui bidang politik dan jurnalistik. Ki Hajar Dewantara aktif dalam pergerakan nasional sejak dari didirikannya Budi Utomo, Ki Hajar juga tergabung dalam Sarikat Islam dan merupakan salah satu dari tiga serangkai pendiri Indische Partij (Darsiti Soeratman,1986). Perhatiannya mulai tercurah pada bidang pendidikan setelah Ki Hajar bersama perkumpulan Selasa Kliwon. Diketuai oleh Sutatmo Surjokusumo bersama sahabatnya yang lain Ki Hajar berkumpul setiap Selasa Kliwon membahas segala macam permasalahan yang berkisar pada cita-citanya (Slamet Muljana, 2008: 104).
Perkumpulan ini juga membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan usaha-usaha menaikan derajat dan martabat bangsa Indonesia (Soeratman, 1983/1984: 85). Dari perkumpulan inilah lahir sebuah Perguruan Taman Siswa yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan pendidikan modern masa kolonial maupun pendidikan swasta yang kooperatif dengan pemerintahan kolonial. Taman Siswa bertujuan mengembangkan edukasi dan kultural. Selain itu Ki Hajar juga mengusung konsep ‘Cinta Kasih’ yang dicetuskan oleh Sutatmo Surjokusumo dam paham ‘sama rata sama rasa’ yang dipinjam dari Mas Marco. Ki Hajar berusaha menyatukan setiap konsep tersebut dalam pendidikan nasional yang ia sebut Perguruan Taman Siswa.
Pendidikan nasional menurut Ki Hadjar adalah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya (kultur-nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rak-yatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia (Dyah Kumalasari, 2010: 52). Taman siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional merupakan alat untuk membuat persemaian golongan nasionalis. Dalam menjalankan proses pendidikannya Taman Siswa menggunakan “Sistem Among†guna mencapai mencapai cita-cita tersebut lembaga taman siswa membuat semboyan yang harus mejadi pegangan setiap pendukung Taman Siswa. Semboyan tersebut adalah â€Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani†(seorang pendidik yang apabila berdiri di depan harus mampu memberi teladan yang baik, apabila berdiri di tengah harus dapat memberikan semangat dan kemauan, dan apabila berdiri di belakang harus dapat memberikan dorongan atau pengaruh yang baik terhadap peserta didik) (Sulistya, dkk. 2002: 33-34). Semboyan inilah yang nantinya dipakai sebagai semboyan pendidikan di Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa Taman Siswa mengusung konsep pendidikan nasional yang bersumber pada diri sendiri yaitu nasional dan kultural. Perguruan tanam siswa menanamkan cinta terhadap Bahasa dam kebudayaan nasional pada peserta didik, namun tidak buta terhadap kebaikan kebudayaan barat. Sifat-sifat yang baik dari kebudayaan barat diambil sebagai pelengkap pendidikan nasional. Dalam menerapkan pendidikan tersebut, Ki Hajar menolak bantuan pemerintahan kolonial. Ki Hajar Dewantara tetap pada pendiriannya yang bersifat non kooperatif terhadap Belanda. Ia pula berpendapat bahwa sudah sewajarnya pendidikan nasiona berdiri sendiri tanpa menerima bantuan belanda meski penyelenggaraan hanya sederhana sekalipun (Slamet Muljana, 2008: 108).
Ketetapan pendirian Ki Hajar tersebut membawa permasalahan tersendiri dengan tidak adanya dana pada tahun permulaan, guru-guru yang dikumpulkan oleh Ki Hajar Dewantara lebih banyak bekerja untuk keyakinan dari pada untuk keuntungan meteri. Menyusun sebuah perkumpulan pelajar pun tidak mudah, karena sekolah ini tidak diakui, tetapi orang-orang yang sedikit berkuasa, termasuk anggota keluarga kerajaan, percaya pada eksperimen Ki Hajar Dewantara dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah itu (Van Niel, 1984: 288). Dengan mengusung pendidikan nasional yang humanis, Taman Siswa mulai berkembang di berbagai daerah. Perkembangan yang demikian pesat membuat gusar pemerintahan Belanda saat itu. Ketakutan akan perluasan pengaruh pendidikan nasional membuat pemerintah kolonial mengeluarkan berbagai ordonasi untuk menghambat perkembangan perguruan Taman Siswa. Tahun 1924, Ki Hajar Dewantara dikenakan pajak rumah tangga akibatnya barang-barang Taman Siswa dilelang di muka umum. Lelangan berjalan tapi mereka yang membeli barang-barang itu menyerahkan kembali kepada Ki Hajar.
Rintangan berikutnya adalah berupa “Ordonansi Sekolah Liar†yang muncul pada tanggal 1 Oktober 1932. Isi ordonansi itu adalah: sekolah partikelir harus minta izin lebih dahulu, guru- gurunya harus mempunyai izin mengajar, dan isi pelajarannya harus sesuai dengan sekolah negeri (Slamet Muljana, 2008: 109). Menghadapi hal tersebut Ki Hajar Dewantara bersama kalangan Taman Siswa melakukan protes dengan mengirim surat kepala pemerintah saat itu dan cara-carai lain. Pada 5 Februari 1933 mengalir protes dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa maksud kaum Imperialis tak lain hanya untuk menghambat kemajuan rakyat. Akhirnya pada tahun 1933, ordonansi tersebut dicabut (Darsiti Soeratman, 1986). Ada lagi rintangan lainya, yaitu adanya onderwijsverbod (larangan mengajar) selama 2 tahun (1934-1936). Sehingga ada 60 orang guru Taman Siswa menjadi korban, bahkan ada cabang yang ditutup sama sekali selama 1 tahun. Februari 1935, timbul masalah tentang tunjangan anak. Peraturan menetapkan bahwa mulai tahun 1935 tunjangan anak hanya diberikan pada pegawai negeri yang anak-anaknya sekolah pada sekolah negeri. Hal ini menyebabkan susutnya murid-murid di Peruguruan Taman Siswa. (Darsiti Soeratman, 1986: 107). Segala tantangan dan hambatan Perguruan Taman Siswa selama masa kolonial akhirnya dapat diselesaikan di akhir tahun 1938.
Perguruan Taman Siswa yang merupakan pendidikan nasional petama di Indonesia layaknya menjadi cerminan bagaimana sistem pendidikan yang dibutuhkan oleh bangsa indonesia. Konsepsi dasar Taman Siswa untuk mencapai cita-citanya adalah Kebu-dayaan, Kebangsaan, Pendidikan, Sistem Kemasyarakatan, dan Sistem Ekonomi Kerakyatan. Intinya ialah, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta menghindari terjadinya kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam antar warga negara (Dyah Kumalasari, 2010: 55). Taman Siswa layaknya menjadi harapan baru bagi masyarakat Indonesia tidak hanya pada masa kolonial Belanda ataupun masa awal kemerdekaan Indoensia, namun juga dapat menjadi cerminan bagaimana pendidikan yang sesuai bagi Indonesia ditengah carut marutnya pendidikan saat ini.
Penutup
Politik etis mengusung pembaharuan dan pengajuan kehidupan masyarakat pribumi di bidang irigasi, transimgrasi, dan edukasi, namun pelaksanaannya masih berorientasi pada keuntungan Belanda. Sistem ini melahirkan golongan cendekia yang kemudian menyebarkan semangat perjuangan nasional di kalangan pribumi. Mereka melahirkan pembaharuan pendidikan modern pribumi yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat indonesia saat itu karena ketidak puasan terhadap pendidikan modern yang dibawa politik etis. Mengusung pendidikan untuk semua maka lahirlah sekolah-sekolah ala pribumi yang diesesuaikan dengan kondisi masyarakat. Yogyakarta merupakan salah satu kota tempat berkembangnya pendidikan partikelir tersebut. Yang pertama adalah lahirnya Muhammadiyah yang diusung oleh KH. Ahmad Dahlan yang ingin meluruskan syariat islam melalui pendidikan yang modern ala Muhammadiyah. Ahmad Dahlan kemudian menggabungkan sistem pendidikan tradisional ala pesantren dalam konsep pendidikan modern ala kolonial. Kemudian berikutnya ada Ki Hajar Dewantara yang memperkenalkan sistem Perguruan Taman Siswa yang mengusung tema nasionalis. Perguruan Taman Siswa ini memperkenalkan pendidikan yang berdasarkan atas kemanusiaan dan nasionalisme menggunakan sistem among dimana pendidikannya berusaha memanusiakan manusia untuk melahirkan cendekiawan yang lahir dan batin.
Kedua sistem pendidikan tersebut merupakan salah satu contoh perjuangan golongan elite baru dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan senjata pendidikan. Pendidikan yang diusung Muhammadiyah dan Taman Siswa merupakan konsep pendidikan nasional yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Keduanya tetap mempertahankan keberadaannya sampai saat ini meskipun dihadapkan dalam berbagai tantangan dan hambatan baik dari kalangan kolonial maupun dari dalam bangsanya sendiri. Mengingat Pendidikan di Indonesia saat ini masih carut marut. Kedua sistem pendidikan ini seharusnya mejadi refleksi bagaimana konsep pendidikan yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan budaya Indonesia saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi. 1975. Sejarah Pendidikan. Semarang: Toha Putra.
Agus Sulistya, V., dkk. 2002. Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya.
Bambang Harymurti. 1985. “Sebuah Pembaharuan,, Sebuah Tradisiâ€, dalam Rusli Karim, ed. 1986. Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali.
Darsiti Soeratman. 1984. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Balai Pustaka.
Dyah Kumalasari. 2010. Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Dalam Pendidikan Taman Siswa: Tinjauan Humanis-Religius. ISTORIA. No 1. Vol. VIII. 47-59.
Farid Setiawan. 2015. Genealogi dan Modernisas Sistem Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942. Yogyakarta: Semesta Ilmu.
Karim, M. Rusli. 1986. Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali.
Ki Hadjar Dewantara. 1964.“Madjelis Luhur Taman Siswa Yogyakartaâ€. Pidato. Kenang-Kenangan promosi Doktor Honoris Causa di UGM
Leyan Mustapa. 2014. Pembaharuan Pendidikan Islam Studi Atas Teologi Sosial Pemikiran Kh. Ahmad Dahlan. Pembaharuan Pendidikan Islam (JPPI). No 1. Vol 1. 129-142.
Mafidin. 2012. Studi Literatur Tentang Peran Muhammadiyah Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Di Indonesia. Tarbawi. No 1. Vol 1.
M.T, Arifin. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Pendidikan. Jakarta: Dunia Pustaka jaya.
Nasution. 2011. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Niel, Robert Van. 1984. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Ab. Zahara Deliar Noer. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pjiper. G.F., Tudjiman. 1987. Fragmenta Islamica: beberapa studi mengenai sejarah Islam di Indonesiaonesia awal abad XX. Jakarta: UI-Press.
Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Slamet Muljana. 2008. Kesadaran Nasional; Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional; Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Weinata Sairin. 1995. Gerakan Pembaruan Muhammadiiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.