PENDIDIKAN PESANTREN MENINGKATKAN

KARAKTER RELIGIUS DAN MANDIRI ANAK

 

Retno Wigati

SMP Dharma Lestari Salatiga

 

ABSTRAK

Pesantren identik dengan pondok pesantren merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Sebagai bagian lembaga pendidikan nasional, kemunculan pesantren diterima dengan baik oleh masyarakat kita. Dalam sejarahnya pesantren telah berusia puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun, dan disinyalir sebagai lembaga yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia (Madjid, 1997:3). Kekhasan dari pesantren adalah penanaman nilai karakter religius dan nilai karakter mandiri yang menjadi dasar Pendidikan. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pondok pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tidak dipungkiri bahwa fakta sejarah menjelaskan bahwa ulama mempunyai peran besar dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak sebelum negara ini terbentuk. Banyak tokoh – tokoh pendiri bangsa Indonesia terdiri dari golongan kaum ulama seperti Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis, Zainul Arifin, KH Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim. Pengaruh para tokoh ulama tersebut sangat besar dan kuat di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Kata kunci: Pesantren, karakter religius dan mandiri

 

Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya atau yang biasa disebut santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai dan mempunyai asrama atau pondok untuk tempat menginap para santri.

Pesantren identik dengan pondok pesantren merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Sebagai bagian lembaga pendidikan nasional, kemunculan pesantren diterima dengan baik oleh masyarakat kita. Dalam sejarahnya pesantren telah berusia puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun, dan disinyalir sebagai lembaga yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia (Madjid, 1997:3). Kekhasan dari pesantren adalah penanaman nilai karakter religius dan nilai karakter mandiri yang menjadi dasar Pendidikan. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pondok pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tidak dipungkiri bahwa fakta sejarah menjelaskan bahwa ulama mempunyai peran besar dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak sebelum negara ini terbentuk. Banyak tokoh – tokoh pendiri bangsa Indonesia terdiri dari golongan kaum ulama seperti Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis, Zainul Arifin, KH Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim. Pengaruh para tokoh ulama tersebut sangat besar dan kuat di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Ada satu tokoh ulama yang juga dikenal sebagai tokoh Pendidikan dan politikus yaitu Ilyas Ya’kub. Beliau pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia di Mesir, juga sebagai pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia, 1932) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Perjuangan Ilyas Ya’kub sebagai ulama dan tokoh pendidikan Islam yang banyak mendirikan lembaga pendidikan Islam di negara ini mempelopori ulama lain dalam mendirikan Pendidikan Islam pula.

Dari fakta tersebut peran kyai dan ulama di dalam pendidikan tidak diragukan. Maka tidak heran pendidikan pesantren di Indonesia sangat berkembang pesat. Terlebih banyak pendidikan pesantren yang juga memberikan pendidikan formal. Pengertian pondok pesantren secara terminologis di kalangan para ahli ada beberapa pendapat. Pondok pesantren berasal dari dua buah kata yang mempunyai satu kesatuan rnakna. Kata “pondok” dimungkinkan berasal dari bahasa Arab “funduk” yang artinya hotel atau asrama. Pesantren, kata yang mendapat konfik pe-an, mempunyai arti yang sama dengan kata pondok, yaitu tempat tinggal santri. Pondok pesantren di Indonesia berkembang pesat. Mengalami perkembangan luar biasa dan menakjubkan. Baik di wilayah pedesaan, pinggiran kota, maupun perkotaan. Tidak heran banyak orang tua yang memilih Pendidikan pondok pesantren sebagai sarana belajar baik formal maupun nonformal termasuk juga informal. Pendidikan non formal di pondok pesantren ialah jalur pendidikan yang tujuannya untuk mengganti, menambah dan melengkapi pendidikan formal. Pendidikan ini dapat diselenggarakan dengan berpedoman pada standar nasional pendidikan, karena berpedoman pada standar nasional pendidikan maka hasil dari pendidikan non formal tersebut dapat dihargai setara dengan pendidikan formal. Pondok pesantren hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang saat ini banyak mengalami krisis dalam berbagai hal termasuk krisis akhlaq, budaya dan lain – lain. Sehingga tidak mengherankan kalau pesantren banyak diminati dan didukung masyarakat di semua pelosok. Setiap pondok pesantren memiliki ciri khas yang berbeda-beda bergantung dari metode yang diterapkan dalam pembelajarannya. Dasar konstitusional pendidikan pesantren adalah Pasal 26 Ayat 1 Bab 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Terlebih dengan adanya gerakan “Ayo Mondok” yang dipelopori oleh Rabithah Ma’had Islamiyah (RMI) PBNU membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Akan tetapi meskipun pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam unggulan,. Namun bukan jaminan mereka yang berada di pesantren menjadi seorang yang berkarakter baik seperti yang diharapkan. Jika pesantren yang ditempati berideologi Islam garis keras (radikal), maka hal tersebut justru dapat membawa pengaruh yang tidak diinginkan. Karena bisa jadi mereka dididik menjadi para “teroris” dengan alasan “jihad”. Setelah keluar sebagai alumni alih – alih mereka menjadi orang yang baik malah bisa menjadi orang yang mempermalukan nama Islam itu sendiri. Untuk itu, gerakan “Ayo Mondok” menjadi sebuah wacana penting agar orang tua tidak salah menitipkan anaknya untuk belajar di pesantren. Orang tua hendaknya selektif memilih pesantren yang memang mempunyai visi dan misi yang sesuai dengan nilai – nilai Islami dan mempunyai nilai luhur budaya bangsa. Banyak pesantren yang bisa menerima budaya – budaya tradisional setempat kemudian mengkolaborasikan dengan nilai – nilai Islami sehingga akan terjadi akulturasi budaya yang disebut dengan sinkritisme. Maka tidak menutup kemungkinan akan tercipta pribadi santri yang berkarakter Islami tanpa meninggalkan kultur budaya yang ada. Mereka akan lebih mencintai tanah kelahirannya untuk mengembangkan ajaran – ajaran Islam daripada mengikuti organisasi atau komunitas radikal yang mengatasnamakan membela agama atau jihad yang bisa jadi menjerumuskan dengan paham dan keyakinan yang belum tentu benar.

Motivasi orangtua mengirim putera-puteri ke pesantren secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, menginginkan putera-puterinya menguasai ilmu agama Islam secara baik sekaligus pengamalannya. Kedua, karena permintaan anak, entah karena tertarik oleh kehidupan di pondok pesantren atau karena ajakan teman-temannya. Ketiga, dengan tujuan memperbaiki akhlak anak yang sudah terlanjur rusak, dengan harapan akan menjadi orang yang saleh.

Selain motivasi diatas ada juga alasan mengapa orang tua dan dan anak memilih pondok pesantren sebagai pilihan belajar yaitu adanya kebijakan pemerintah sehubungan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sekarang ini sistem PPDB menggunakan jalur zonasi, sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud No.51/2018. Penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing. Orang tua merasa bahwa sistem zonasi ini justru menyulitkan mereka dalam mendaftarkan anaknya ke sekolah, terutama dari orang tua dan calon peserta didik yang sebelumnya diuntungkan oleh sistem penerimaan berdasarkan prestasi. Banyak yang kecewa karena tidak bisa melanjutkan sekolah di tempat yang diinginkan. Salah satu kompensasi dari kekecewaan tersebut yaitu dengan menyekolahkan anak mereka di sekolah pesantren. Orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di pendidikan yang bernuansa religi untuk membentuk akhlaq dan moral yang baik. Dan pesantren menjadi alternatif yang paling banyak dipilih sebagai kelanjutan jenjang pendidikan. Apalagi sekarang ini banyak pesantren yang include dengan sekolah formal, biasa disebut dengan satap (satu atap). Sekolah formal satap pondok pesantren juga berkembang seperti jamur di musim hujan. Karena terlalu banyaknya maka sulit untuk mendata jumlah pesantren di Indonesia. Kesulitan pendataan tersebut juga karena banyak terdapat pesantren – pesantren mandiri yaitu pesantren yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah, yang biasanya didirikan oleh tokoh atau pemuka agama setempat dengan dana pribadi untuk kelangsungan proses pembelajarannya. Karena itulah sulit untuk mendapatkan data yang valid.

Di era sekarang dan ke depan, pesantren dan pendidikannya memiliki tantangan yang besar, salah satunya yaitu Ilmu Pengetahuan & Teknologi (IPTEK). Tantangan ini harus dicermati dan direspon secara bijaksana. IPTEK memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Yang positif perlu dikembangkan dan yang negatif harus dieliminir. Pengaruh IPTEK yang kurang dicermati banyak memberikan dampak negatif terutama bagi anak dalam masa remaja. Banyak anak menjadi malas belajar, menjadi kecanduan dengan fasilitas yang ada dan menarik. Di masa remaja yang penuh tantangan dalam pembentukan jati diri seringkali karena pengaruh IPTEK menjadi terjerumus. Banyak orang tua yang kurang kontrol dan juga kurang memahami perkembangan IPTEK sehingga anak bisa dengan bebas mengakses apa saja yang mereka inginkan. Para pecandu IPTEK seringkali melihat informasi – informasi dari luar negeri dengan begitu mudahnya. Sehingga tidak heran kalau dalam kehidupan sekarang ini banyak anak yang sudah tidak mengenal kebudayaan sendiri. Banyak nilai – nilai karakter bangsa yang mulai ditinggalkan.

Pemerintah dalam hal ini tidak tinggal diam. Penguatan Pendidikan Karakter atau PPK adalah program pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi) dan olah raga (kinestetik) sesuai dengan falsafah Pancasila

Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan “karakter” sebagai tabiat, perangai, dan sifat-sifat karakter seseorang. Karakter bisa membentuk kepribadian seseorang. Adapun kepribadian diartikan dengan sifat khas dan hakiki seseorang yang membedakan seseorang dari orang lain (Badudu& Zain, 1997:617). Secara substantif, karakter terdiri atas tiga perilaku yang satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Ditegaskan lebih lanjut oleh Lickona (1992:51) bahwa karakter yang baik atau good character terdiri atas proses psikologis knowing the good, desiring the good, dan doing the good—habit of the mind, habit of the heart, and habit of action. Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Karakter kita maknai sebagai kualitas pribadi yang baik dan nyata berperilaku baik (berilmu amaliah, beramal ilmiah, dan berakhlak karimah).

Ada 5 nilai karakter atau nilai yang menjadi fokus dalam PPK yang dicanangkan pemerintah yaitu (1) Nasionalis (2) Integritas (3) Mandiri (4) Gotong royong (5) Religius. Kelima hal tersebut dapat dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran. Pelaksanaan program PPK menjadi semakin kuat ketika di terapkan di Pesantren. Dari 5 karakter itu nilai karakter religius dan nilai karakter mandiri yang merupakan pendidikan khas di pondok pesantren.

Nilai karakter religius adalah nilai karakter yang dapat membentuk seseorang mempunyai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya Agama adalah hal yang paling mendasar dijadikan sebagai landasan dalam pendidikan. Karena agama memberikan dan mengarahkan fitrah manusia memenuhi kebutuhan batin, menuntun kepada kebahagiaan dan menunjukkan kebenaran. Dapat disimpulkan bahwa upaya penanaman nilai religius adalah suatu hal atau cara yang penting dan berguna bagi kemanusiaan berkenaan dengan ajaran agama yang dapat dijadikan pedoman hidup dimana nilai-nilai tersebut meliputi keimanan, ibadah dan akhlak. Nilai religius melekat pada aktivitas santri sehari – hari nyaris selama 24 jam sehingga mempunyai kekuatan dan ruh dalam membentuk pribadi yang baik. Penerapannya tidak hanya dalam kurikulum sebagai acuan pembelajaran di pesantren tetapi juga pada aktifitas sehari – hari dari bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, seperti harus melaksanakan sholat wajib, sholat sunah, membaca Al Qur”an, puasa, mempelajari kitab – kitab Agama dan lain -lain. Pendidikan non formal di pesantren yang biasanya dilakukan usai pendidikan formal mengajarkan ilmu – ilmu tentang keagungan, kekuasaan, dan kemahakuasaan Tuhan. Dilaksanakan melalui pendidikan madrasah yang disebut madrasah diniyah yaitu bentuk pendidikan yang hanya mengajarkan ilmu – ilmu agama. Madrasah ini dibentuk sesuai dengan keputusan menteri agama tahun 1964. Seluruh mata pelajaran di madrasah diniyah bermaterikan ilmu – ilmu agama yaitu fiqih, tafsir, tauhid, hikmah tasyri dan ilmu – ilmu agama lainnya. Dengan materi ilmu agama yang demikian padat dan lengkap maka diharapkan para santri lebih baik penguasaannya terhadap ilmu – ilmu agama.

Selain karakter religius, yang merupakan nilai karakter khas pesantren adalah nilai karakter mandiri. Pengertian mandiri Menurut KBBI – PB (Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa) adalah keadaan yang dapat berdiri sendiri; tidak tergantung pada orang lain atau belajar seorang diri “self-directed learning”. Sedangkan karakter mandiri adalah perilaku untuk tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Menurut KH. Marzuki Wahid mandiri atau kemandirian dalam pondok pesantren adalah suatu yang penting untuk membina pribadi yang tangguh dan siap pakai. Nilai mandiri di pesantren tertanam dalam kegiatan sehari – hari para santri. Banyak aktifitas yang diberikan kepada santri yang memberikan pelajaran tentang kemandirian. Prinsip-prinsip pembentukan karakter mandiri santri selalu diterapkan di Pesantren dalam hal apapun. Seseorang dikatakan mandiri apabila orang tersebut memiliki semua kemampuan untuk (1) Selalu berusaha berinisiatif dalam segala hal. (2) Mengerjakan tugas yang dipertanggung-jawabkan padanya. (3) Memperoleh kepuasan dari kegiatannya (yang dikerjakannya). (4) Mengatasi rintangan yang dihadapinya dalam mencapai kesuksesan. (5) Bertindak jujur dan benar sesuai hak dan kewajibannya. (6). Memiliki keinginan untuk membantu orang lain. (7). Berpikir secara kritis, kreatif dan inovatif terhadap sesuatu yang dikerjakannya atau diputuskannya. (8). Tidak merasa rendah diri jika harus berbeda pendapat dengan orang lain dan mampu menerima pendapat yang lebih benar. Karakter mandiri di pondok pesantren sangat diperlukan karena di dalam pondok pesantren para santri jauh dari keluarga dan harus tinggal bersama teman-temannya. Faktor yang mempengaruhi karakter mandiri adalah faktor dari diri sendiri, faktor keluarga, faktor teman dan faktor lingkungan yang berhadapan langsung dengan santri. Bentuk-bentuk karakter mandiri dapat diwujudkan dengan mampu mengatur dirinya sendiri dalam bidang emosi, sosial, intelektual dan ekonomi. Proses pembentukan karakter di pondok pesantren salah satunya dengan pemberian hukuman atau sanksi bagi santriwan-santriwati yang melanggar aturan. Hukuman atau sanksi yang ada dipondok pesantren ditekankan untuk tidak menggunakan kekerasan atau melukai fisik. Sehingga diharapkan santri bisa menaati peraturan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Karakter santriwan-santriwati di dalam pondok pesantren berbeda – beda karena mereka berasal dari keluarga yang berbeda-beda pula sehingga tingkat kemandiriannyapun berbeda. Ada yang sudah mandiri sebelum masuk pondok tetapi ada juga yang baru mandiri sejak berada didalam pondok pesantren. Pembentukan sikap mandiri dan kerja keras pada para santri juga tampak dari pola hidup mereka yang berada dalam suasana kekeluargaan, kesederhanaan, dan kegotongroyongan. Didukung dengan ketatnya aturan pondok pesantren yang menambah terbentuknya karakter mandiri pada santri. Selain itu, pondok pesantren juga menyediakan kegiatan yang dapat membentuk karakter tersebut, tergantung dari sarana prasarana yang dimiliki, misalnya seperti memelihara lele, menanam sayuran, memelihara ayam dan lain – lain, juga didukung oleh kegiatan infomal yang bersifat keorganisasian seperti kepengurusan pondok, pramuka OSIS. Ada juga pelatihan seperti mengikuti latihan keterampilan menjahit, menerima pesanan makanan dan keterampilan lain yang dilakukan di Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki pesantren tersebut. Santriwan-santriwati selain belajar agamanya yang sangat kental juga diberikan keterampilan yang sekiranya dapat digunakan kelak kalau sudah lulus dari pondok pesantren. Dari permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan pesantren sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan karakter religi dan mandiri anak.

DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J.S & Zain, Sutan Muhammad. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Paramadina

Depdiknas. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Halim, A. dkk. 2005. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD PRESS.

Majid, Abdul & Andayani, Dian. 2011. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.

Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.

Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How our School Can Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Majid, Abdul & Andayani, Dian. 2011. Pendidikan Karakter Persektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Masyhud, M. Sulthon & Khusnuridlo, Moh. 2006. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Benjamin Spock, M.D. Pertumbuhan dan bimbingan bagi kanak – kanak. Jakarta: PT. Kinta

Pesantren. http://www.nu.or.id/post/read/60052/ayo-mondok-beberapa-alasan-pentingnya-belajar-di-pesantren. di akses: (9 Februari 2020, 22.56)

https://id.wikipedia.org/wiki/Ilyas_Ya%27kub.Diakses (8 Februari 2020, 20.30.)