PENERAPAN METODE NARATIF EKSPERIENSIAL DENGAN MEDIA WAYANG UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PEMAHAMAN SISWA
PENERAPAN METODE NARATIF EKSPERIENSIAL
DENGAN MEDIA WAYANG UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PEMAHAMAN SISWA
TENTANG KONSEP MAKNA KEBANGKITAN YESUS
St. Andri Widiyanti
SMPK Santo Thomas Ngawi
ABSTRAK
Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu bentuk komunikasi atau interaksi iman yang mengandung unsur pengetahuan, unsur pergaulan dan unsur penghayatan iman dalam pelbagai bentuk. Komunikasi iman memerlukan sarana berupa materi pembelajaran yang pada akhirnya nanti akan diketahui dan diinterpretasikan serta diaplikasikan oleh siswa dalam kehidupan nyata. Maka dapat dikatakan bahwa materi pembelajaran adalah partner utama dalam komunikasi iman. Materi pembelajaran ini akan menarik dan mencapai hasil pembelajaran maksimal ketika disampaikan dengan berbagai pendekatan, model dan metode yang bervariasi. Ranah yang digarap sebaiknya bukan hanya ranah kognitif atau pengetahuan saja melainkan juga kemampuan dalam ranah afektif dan ranah psikomotorik. Dari berbagai macam metode dan media dalam pembelajaran, metode naratif eksperiensial dengan media wayang kiranya bisa dijadikan pilihan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan: (1) Pengaruh penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang terhadap tingkat keaktifan siswa, (2) Pengaruh penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang terhadap pemahaman siswa tentang konsep makna kebangkitan Yesus. Jenis penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilakukan di SMPK Santo Thomas Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Terdapat pengaruh penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang terhadap tingkat keaktifan siswa, (2) Terdapat pengaruh penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang terhadap pemahaman siswa tentang konsep makna kebangkitan Yesus.
Kata Kunci: Metode Naratif eksperiensial, Media Wayang, Keaktifan Siswa, Pemahaman Konsep, makna kebangkitan Yesus.
PENDAHULUAN
Materi pembelajaran dalam Pendidikan Agama Katolik merupakan partner utama dalam proses interaksi terarah dan berkesinambungan antar siswa dan juga antara siswa dengan guru yang bertujuan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan ajaran iman dalam kehidupan nyata. Untuk mencapai hasil belajar maksimal terutama dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan ajaran iman tentu saja bukan hal mudah bagi seorang guru agama. Seorang guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang menarik dan juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran karena keterlibatan siswa secara aktif merupakan kunci utama dalam pencapaian hasil belajar yang maksimal. Keaktifan siswa dalam belajar menjadi prediktor yang baik bagi hasil belajar. Terkait dengan keaktifan belajar siswa, Aunurrahman (2009: 119) mengatakan bahwa: ”Keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, dan dikembangkan setiap guru dalam proses pembelajaran. Sehingga keaktifan siswa perlu digali dari potensi-potensinya, yang mereka aktualisasikan melalui aktifitasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Maka hal yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa karena keaktifan siswa akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa maupun dengan siswa itu sendiri. Guru harus mengusahakan agar murid-muridnya aktif, jasmani maupun rohani. (Sriyono, dkk dalam Syafaruddin, 2005: 213)
Salah satu metode yang kiranya cocok untuk diterapkan dalam menyampaikan materi mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik adalah metode naratif eksperiensial dengan media wayang. Metode naratif eksperiensial ini merupakan suatu metode yang mengutamakan cerita. Cerita menjadi pilihan karena cerita bisa menjadi milik semua lapisan umur dengan sifatnya yang tidak memaksa, menghibur, mengandung banyak pesan, mudah diingat dan dihafalkan serta tidak indoktrinatif. Cerita juga berfungsi sebagai partner yang bersaksi mengenai pengalaman peserta didik dalam berproses menuju kedewasaan iman. Selain itu cerita juga mengandung segi obyektif dan subyektif yang dapat dievaluasi. (Hardjana, 2007).
Dari gambar 1 di atas dapat diketahui bahwa komunikasi lisan menjadi kekuatan utama dalam metode naratif eksperiensial. Bahkan metode naratif eksperiensial ini juga dipakai dalam pewartaan ajaran pada jaman Yesus. Cerita yang disampaikan pada jaman Yesus menjadi sangat menarik karena Yesus sungguh mengetahui dan memahami apa yang diceritakannya. Pada jaman sekarang cerita tentu saja bisa menjadi lebih lengkap dan semakin menarik siswa untuk ingin tahu lebih dalam ketika pencerita melibatkan berbagai media dalam bercerita. Salah satu media yang dapat digunakan adalah wayang.
Pementasan wayang dalam sebuah hajatan sudah menjadi hal yang biasa. Akan tetapi, pemaknaannya akan lain jika wayang tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya sebagai media pengajaran di kelas. Secara umum, dunia wayang lebih menyentuh dalam pelajaran bahasa Jawa yang mengacu pada kehidupan jawa, budaya jawa, dan fenomena jawa. Namun sebenarnya media pembelajaran melalui media pewayangan tidak harus terikat dalam mata pelajaran bahasa jawa saja tetapi juga implikatif digunakan untuk mata pelajaran yang lain. Penggunaan wayang sebagai media dalam pembelajaran merupakan simbol kepekaan dalam diri seorang guru untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa.
Oleh karena itu, peneliti telah mencoba menerapkan metode naratif ekspreriensial dengan media wayang di dalam kelas. Namun peneliti belum mendapatkan hasil yang memuaskan pada penelitian yang pertama dan mencoba menganalisa berbagai hal terkait dengan metode naratif ekspreriensial dengan media wayang dalam meningkatkan keaktifan dan pemahaman siswa. Peneliti berharap agar temuan dalam penelitian ini mampu menginspirasi guru agama Katolik lainnya sehingga kualitas pembelajaran bisa semakin meningkat dari waktu ke waktu dan siswa mampu menginterpretasi-kan dan mengaplikasikan ajaran iman mereka dalam kehidupan nyata.
METODE
Penelitian ini menggunakan Peneli–tian Tindakan Kelas dan berlangsung selama 2 siklus. Penelitian berlangsung di kelas VIII SMPK St. Thomas, Jl. J.A. Suprapto No. 43 Ngawi, pada Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014.
Peneliti menetapkan beberapa kriteria sebagai indikator keberhasilan penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang. Faktor yang diteliti dari sisi keaktifan siswa dalah: (1) keaktifan siswa menyelesaikan tugas, (2) keaktifan siswa mengungkapkan cerita pengalaman hidup, (3) keaktifan siswa mendengarkan cerita pengalaman orang lain, (4) keaktifan siswa menyimak penjelasan guru, (5) keaktifan siswa bertanya tentang penjelasan guru, (6) keaktifan siswa menjawab pertanyaan guru, (7) keaktifan siswa dalam membuat ringkasan cerita, (8) keaktifan siswa dalam mengkomparasikan berbagai cerita, (9) keaktifan siswa dalam berpendapat, dan (10) keaktifan siswa dalam menemukan contoh-contoh pengalaman hidup yang sesuai dengan cerita kanonis. Penelitian dikatakan berhasil apabila rata-rata dari semua aspek keaktifan minimal 75%.
Untuk aspek penguasaan konsep, peneliti menetapkan kriteria berdasarkan hasil belajar yang diukur dalam setiap siklus. Pembelajaran dikatakan mampu meningkatkan penguasaan konsep apabila 75% siswa memperoleh nilai minimal 75.
Sehubungan dengan indikator keberhasilan di atas, data yang dikumpul–kan dalam penelitian ini adalah (1) tingkat keaktifan siswa dan (2) penguasaan kon–sep siswa. Tingkat keaktifan siswa diukur dengan cara melakukan pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan penguasaan konsep diukur dengan cara memberikan post test. Data tentang keaktifan siswa dikumpulkan oleh pengamat sedangkan data tentang penguasaan konsep dikumpulkan oleh peneliti. Mengingat ini adalah PTK, maka di dalam penelitian ini juga dikumpulkan data-data tentang praktek tindakan guru. Dalam hal ini tersedia catatan lapangan.
Data-data yang diperoleh ini diperiksa akurasinya dengan cara saling berbagi data sesama peneliti. Selanjutnya, data tersebut diolah dan dianalisis dengan cara membandingkan data tersebut dengan kriteria pada indikator keberhasilan. Apabila kedua jenis data yang dikumpulkan tersebut lebih baik dari kriteria-kriteria yang ditetapkan maka penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang tersebut dikatakan sudah berhasil dalam meningkatkan keaktifan siswa dan penguasaan konsep. Namun apabila sedikitnya ada satu dari kedua jenis data yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan maka penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang dikatakan belum berhasil dalam meningkatkan keaktifan siswa dan penguasaan konsep. Untuk itu perlu diperbaiki pada siklus berikutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus 1
Pada siklus 1 ini, peneliti melaksa–nakan pertemuan persiapan dan menyepa–kati proses pembelajaran metode naratif eksperiensial dengan media wayang dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Penjelasan tentang metode naratif eksperiensial dan media wayang yang digunakan (2) Cerita dari teks Kitab Suci yang mengisahkan “Sengsara dan Wafat Yesus.” (Lukas 23: 33 – 49) dengan media wayang gambar tokoh-tokoh Kitab Suci yang terlibat dalam kisah Sengsara dan Wafat Yesus, (3) mengerjakan LKS, (4) Pembahasan LKS, (5) Pemberian saran atau peneguhan dengan mengambil pesan-pesan dari materi “ Sengsara dan Wafat Yesus” diaplikasikan dengan kisah kehidupan yang sesuai, (6) Pemberian tugas.
Pada siklus 1 para peneliti menjalankan semua rencana yang telah disiapkan. Peneliti utama bertindak sebagai guru, sedangkan dua teman yang lain bertindak sebagai pengamat dan pengumpul data.
Hasil pengamatan tentang keaktifan siswa disajikan dalam tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1: Hasil Pengamatan Keaktifan Siswa Siklus 1
NO |
INDIKATOR KEBERHASILAN |
RATA-RATA (%) |
1 |
Keaktifan menyelesaikan tugas |
50 |
2 |
Keaktifan mengungkapkan cerita pengalaman pribadi |
43 |
3 |
Keaktifan mendengarkan cerita pengalaman orang lain |
59 |
4 |
Keaktifan menyimak penjelasan guru |
45 |
5 |
Keaktifan bertanya tentang penjelasan guru |
43 |
6 |
Keaktifan menjawab pertanyaan guru |
50 |
7 |
Keaktifan membuat ringkasan cerita |
59 |
8 |
Keaktifan dalam mengkomparasikan berbagai cerita |
43 |
9 |
Keaktifan berpendapat |
61 |
10 |
Keaktifan menemukan contoh-contoh pengalaman hidup yang sesuai dengan cerita kanonis |
50 |
|
Jumlah Rata-rata Keaktifan Siswa |
50,3 |
Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata keaktifan siswa hanya 50,3% dengan perincian sebagai berikut: keaktifan siswa menyelesaikan tugas adalah 50%, keaktifan siswa mengungkapkan cerita pengalam hidup adalah 43%, keaktifan siswa mendengarkan cerita pengalaman orang lain adalah 59%, keaktifan siswa menyimak penjelasan guru adalah 45%, keaktifan siswa bertanya tentang penjelasan guru adalah 43%, keaktifan siswa menjawab pertanyaan guru adalah 50%, keaktifan siswa dalam membuat ringkasan cerita adalah 59%, keaktifan siswa dalam mengkomparasikan berbagai cerita adalah 43%, keaktifan siswa dalam berpendapat adalah 61% dan keaktifan siswa dalam menemukan contoh-contoh pengalaman hidup yang sesuai dengan cerita kanonis adalah 50% . Ini menunjukkan bahwa tingkat keaktifan siswa masih di bawah kriteria indikator keberhasilan yang menuntut 75%.
Data tentang penguasaan konsep disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut:
Pertemuan ke |
Jumlah Siswa |
Kriteria Keberhasilan |
Kesimpulan |
1 |
5 Siswa (46%) |
Belum Berhasil |
Keberhasilan siswa belum mencapai 75% |
6 Siswa (54%) |
Sudah Berhasil |
Tabel 2: Keberhasilan Siswa dalam Penguasaan Konsep Siklus 1
Pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa tindak pembelajaran yang telah dilakukan belum berhasil meningkatkan penguasaan konsep siswa.
Setelah mengamati lebih cermat catatan lapangan dan mengaitkan langkah-langkah yang dilakukan guru dengan tingkat keaktifan dan penguasaan konsep siswa, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media tanpa didukung dengan media lain seperti musik kurang menarik perhatian siswa, pembagian LKS secara berkelompok harus diubah menjadi per siswa, pembimbingan harus diubah kepada semua siswa bukan hanya siswa tertentu yang tidak jelas, dan sharing cerita pengalaman bukan hanya perwakilan tiap kelompok tetapi harus semua siswa.
Siklus 2
Pelaksanaa pembelajaran pada siklus 2 dilaksanakan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah peneliti susun dengan beberapa perbaikan sesuai dengan hasil analisa peneliti dalam siklus 1. Adapun langkah-langkah dalam pembela-jaran sebagai berikut: (1) Pembahasan tugas terstruktur minggu sebelumnya (2) Cerita dari teks Kitab Suci yang mengisahkan “Kebangkitan Yesus” (Lukas 23: 33 – 49) dengan media wayang gambar tokoh-tokoh Kitab Suci yang terlibat dalam kisah Kebangkitan Yesus, (3) mengerjakan LKS, (4) Pembahasan LKS, (5) Pemberian saran atau peneguhan dengan mengambil pesan-pesan dari materi “ Kebangkitan Yesus” diaplikasikan dengan kisah kehidupan yang sesuai.
Hasil pengamatan tentang keaktifan siswa dalam siklus 2 disajikan dalam tabel 3 sebagai berikut:
NO |
INDIKATOR KEBERHASILAN |
RATA-RATA (%) |
1 |
Keaktifan menyelesaikan tugas |
64 |
2 |
Keaktifan mengungkapkan cerita pengalaman pribadi |
80 |
3 |
Keaktifan mendengarkan cerita pengalaman orang lain |
84 |
4 |
Keaktifan menyimak penjelasan guru |
86 |
5 |
Keaktifan bertanya tentang penjelasan guru |
86 |
6 |
Keaktifan menjawab pertanyaan guru |
80 |
7 |
Keaktifan membuat ringkasan cerita |
86 |
8 |
Keaktifan dalam mengkomparasikan berbagai cerita |
84 |
9 |
Keaktifan berpendapat |
80 |
10 |
Keaktifan menemukan contoh-contoh pengalaman hidup yang sesuai dengan cerita kanonis |
84 |
|
Jumlah rata-rata keaktifan siswa |
81,4 |
Tabel 3: Hasil Pengamatan Keaktifan Siswa Siklus 2
Dari data dalam tabel dapat diketahui bahwa keaktifan siswa menyele-saikan tugas adalah 64%, keaktifan siswa mengungkapkan cerita pengalam hidup adalah 80%, keaktifan siswa mendengar-kan cerita pengalaman orang lain adalah 84%, keaktifan siswa menyimak penjelasan guru adalah 86%, keaktifan siswa bertanya tentang penjelasan guru adalah 86%, keaktifan siswa menjawab pertanyaan guru adalah 80%, keaktifan siswa dalam membuat ringkasan cerita adalah 86%, keaktifan siswa dalam mengkomparasikan berbagai cerita adalah 84%, keaktifan siswa dalam berpendapat adalah 80% dan keaktifan siswa dalam menemukan contoh-contoh pengalaman hidup yang sesuai dengan cerita kanonis adalah 84% sehingga rata-rata dari semua indikator adalah 81,4%. Ini menunjukkan bahwa proses kegiatan belajar mengajar telah berhasil meningkatkan keaktifan siswa.
Data tentang penguasaan konsep siswa disajikan dalam tabel 4 sebagai berikut:
Pertemuan ke |
Jumlah Siswa |
Kriteria Keberhasilan |
Simpulan |
1 |
11 Siswa (100%) |
Berhasil |
Keberhasilan siswa sudah mencapai 75% |
Tabel 4: Keberhasilan Siswa dalam Penguasaan Konsep Siklus 2
Pada tabel 4 tampak bahwa proses pembelajaran yang dilakukan telah berhasil meningkatkan penguasaan konsep siswa. Dengan demikian penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang yang telah dilaksanakan berhasil meningkatkan keaktifan siswa serta penguasaan konsep. Karena itu proses pembelajaran dianggap sudah memadai dan tidak perlu dilanjutkan dalam siklus ketiga.
Berdasarkan data-data pada hasil penelitian, tampak bahwa tingkat keaktifan siswa dan pemahaman siswa meningkat dengan tajam. Hal ini sejalan dengan pendapat Hardjana, 2007 yang mengatakan bahwa cerita berfungsi sebagai partner yang bersaksi mengenai pengalaman peserta didik dalam berproses menuju kedewasaan iman dan cerita juga mengandung segi obyektif dan subyektif yang dapat dievaluasi. Selain itu keberhasilan dalam proses pembelajaran dengan media wayang juga sejalan dengan pendapat Sumiati, Asra (2008: 163) yang menyebutkan beberapa manfaat atau kelebihan penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran sebagai berikut:
1) Menjelaskan materi pembelajaran atau objek yang abstrak (tidak nyata) menjadi konkret (nyata).
2) Memberikan pengalaman nyata dan langsung karena siswa dapat berkomu-nikasi dan berinteraksi dengan ling-kungan tempat belajar.
3) Mempelajari materi secara berulang-ulang.
4) Memungkinkan adanya persamaan pendapat dan persepsi yang benar terhadap suatu materi pembelajaran atau objek.
5) Menarik perhatian siswa sehingga membangkitkan minat, motivasi, aktivitas dan kreativitas belajar siswa.
6) Membantu siswa belajar secara individual, kelompok, atau klasikal.
7) Materi pembelajaran lebih lama diingat dan mudah untuk diungkapkan kembali dengan cepat dan tepat.
8) Mempermudah dan mempercepat dalam menyajikan materi pembela-jaran.
9) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan indera.
Peningkatan keaktifan dan pema–haman konsep ini diperoleh setelah penerapan pembelajaran dengan metode naratif eksperiensial dengan media wayang diberi perbaikan sebagai berikut:
(1) Penggunaan media wayang harus didukung dengan media lain seperti musik .
Penggunaan media wayang harus didukung dengan media lain seperti musik. Apabila media wayang digunakan dalam cerita tanpa dukungan musik yang sesuai dengan tema akan menjadi kurang menarik dan proses pembelajaran terasa kering. Maka dalam proses pembelajaran harus disiapkan juga beberapa musik instrumen pendukung media wayang. Dengan demikian pembelajaran berjalan dengan efisien dan efektif (Ibrahim, 2000).
(2) Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS harus dilengkapi dengan petunjuk kerja dan informasi yang jelas. Hal ini membuat siswa mengerti apa yang harus dilakukan dan terlibat aktif dalam mengerjakan tugas. Selain itu lembar kerja yang dibagikan per siswa lebih efektif bila dibagikan tiap kelompok.
(3) Bimbingan dan Motivasi
Bimbingan dan motivasi tentang kesetaraan gender dan martabat membuat siswa mampu menjalin relasi yang baik dengan siswa lain dan juga guru. Dan pada akhirnya mereka bisa saling bekerja sama, saling membantu dalam kelompok masing-masing.
(4) Sharing cerita pengalaman
Sharing cerita pengalaman sebaiknya bukan hanya perwakilan tiap kelompok tetapi harus semua siswa. Dengan demikian masing-masing siswa berusaha untuk menyiapkan diri dan pada akhirnya siswa berpartisipasi dalam kelompok dan menyatukan pendapat di dalam kelompok (Ibrahim, 2000; Lie, 2002).
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, penerapan metode naratif eksperiensial dengan media wayang akan mencapai hasil maksimal apabila: (1) Penggunaan media wayang juga didukung dengan media lain seperti musik dan sound system yang memadai, (2) LKS harus dilengkapi dengan petunjuk kerja dan informasi yang jelas serta diberikan kepada tiap siswa bukan hanya secara berkelompok, (3) Pembimbingan harus dilakukan kepada semua siswa bukan hanya kepada siswa tertentu yang belum jelas, dan (4) Sharing cerita pengalaman hendaknya bukan hanya perwakilan tiap kelompok tetapi harus semua siswa karena setiap siswa memiliki cerita yang berbeda.
Para guru pendidikan agama Katolik yang sudah terbiasa menerapkan metode naratif eksperiensial dan belum mencapai hasil maksimal baik dalam menciptakan keaktifan siswa maupun pemahaman konsep siswa, modifikasi yang peneliti temukan dalam penelitian ini bisa menjadi bahan acuan dalam proses pembelajaran. Namun demikian mengingat materi ini hanya seputar tentang makna kebangkitan Yesus, peneliti berharap para peneliti lainnya bisa menerapkan model ini pada materi yang lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Annurahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Hardjana, A. G, 2007. Model-model Pembelajaran Dalam Pendidikan Agama Katolik Di Sekolah Dasar. Semarang:LPMP
Hofmann, Ruedi. 1994. Sebuah Gagasan:Kitab Suci dan Sekolah Minggu. Rohani, Januari halaman 10 – 13
Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Komkat, 1994. Menjadi Murid Yesus 5. Yogyakarta:Kanisius
Lembaga Alkitab Indonesia, 2005, Alkitab, Bogor.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di ruang-ruang kelas. PT Grasindo.
Sumiati, Asra. 2008. Metode Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima
Syafarudin dan Irwan Nasution. 2008. Manajemen Pembelajaran. Jakarta: Quantum Teaching