PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

BERDASARKAN TEORI INTELIGENSI MAJEMUK

DALAM SETTING INKUIRI TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI KALOR SISWA SMA

Sally Edoxiana Untajana1)

Agustina Elizabeth2)

Program Studi Pendidikan Fisika

1)Universitas Pattimura

2)Universitas Nusa Nipa Maumere

ABSTRAK

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang bertujuan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbing yang memenuhi kriteria: valid, praktis, dan efektif sehingga layak untuk digunakan dalam pembelajaran fisika SMA materi kalor. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model 4-D yang direduksi menjadi 3-D dan diujicobakan di kelas X-IPA2, X-IPA3 dan X-IPA4 SMA Negeri 15 Surabaya Semester genap Tahun Ajaran 2013/2014 dengan rancangan pretest – posttest one group design. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, tes, dan angket. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif, dan analisis statistik parametrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) perangkat pembelajaran yang dikembangkan berkategori valid; 2) kepraktisan perangkat pembelajaran ditinjau dari keterlaksanaan RPP berkategori sangat baik, dan kendala-kendala yang dihadapi selama kegiatan belajar mengajar dapat diatasi dengan baik; dan 3) keefektifan perangkat pembelajaran ditinjau dari: (a) hasil belajar siswa telah mencapai kriteria ketuntasan minimal individual maupun klasikal; (b) respon siswa terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran sangat positif; dan (c) aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar sesuai dengan tahapan pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbing. Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar fisika siswa SMA kelas X memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan sehingga layak digunakan dalam pembelajaran.

Kata kunci: perangkat pembelajaran, inteligensi majemuk, dan inkuiri terbimbing.

PENDAHULUAN

Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa, dan negara dalam era perkembangan ilmu dan teknologi, maka diharapkan pemerintah dalam hal ini kementerian Pendidikan Nasional dapat berupaya agar pendidikan dapat dicapai secara maksimum, mengingat dunia pendidikan merupakan sarana untuk membentuk kepribadian manusia, maka perlu dikembangkan iklim belajar-mengajar yang dapat menambah rasa percaya diri, sikap, keterampilan, serta perilaku yang inovatif, kritis, dan kreatif pada peserta didik.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diselenggarakan melalui kegiatan belajar–mengajar secara berjenjang, dan berkesinambungan untuk membantu perkembangan kemampuan setiap individu peserta didik yang belajar demi kepentingan hidupnya sebagai warga masyarakat, karena itu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung di dalam kelas perlu mendapat perhatian dari sekolah, dan lebih khusus lagi oleh guru sebagai tenaga pengajar.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 81A/2013 tentang Implemantasi Kurikulum, khususnya Lampiran IV tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Kurikulum 2013 dinyatakan bahwa: Secara prinsip, kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Untuk mencapai kualitas yang dimaksud, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang: (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.

Fisika merupakan ilmu yang menyelidiki tentang alam fisis yang mempunyai beberapa unsur seperti ruang, gerak, tubuh (fisik) yang dapat diamati, dan suara/musik yang dapat didengar, selain itu fisika membutuhkan penalaran dengan pola berpikir secara umum untuk menghubungkan suatu teori dengan teori lain juga suatu konsep dengan konsep lain. Dalam memahami materi fisika ada berbagai faktor yang mempengaruhinya antara lain kemampuan serap, simpan, nalar, dan cipta. Ketika siswa mampu menggunakan faktor-faktor ini otomatis siswa tersebut dapat memahami materi fisika dengan baik, dan benar.

Tujuan pemberian mata pelajaran fisika di SMA (Depdikbud, 1994) disebutkan agar siswa mampu menguasai konsep-konsep fisika dan saling keterkaitannya serta mampu menggunakan metode ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehingga lebih menyadari keagungan Tuhan Yang Maha Esa.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih rendahnya daya serap peserta didik. Pencapaian kemampuan sains (IPA) siswa di Indonesia dapat dilihat berdasarkan hasil penilaian TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). TIMSS merupakan studi internasional empat tahunan yang dilakukan oleh IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement). Menurut Efendi (2010):

Hasil penelitian TIMSS menunjukkan bahwa: rata-rata skor prestasi sains siswa Indonesia pada TIMSS tahun 2007 yaitu 433. Dengan skor tersebut siswa Indonesia menempati peringkat 35 dari 39 negara (tahun 2007). Rata-rata skor siswa Indonesia pada TIMSS tersebut di bawah skor rata-rata yaitu 500, dan hanya mencapai low international benchmark. Dengan pencapaian tersebut, rata-rata siswa Indonesia hanya mampu mengenali sejumlah fakta dasar tetapi belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik sains, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.

Selain itu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntun untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari (Sanjaya, 2010). Selain itu pengajaran fisika bagi siswa sering terkesan bahwa fisika tidak menarik, sulit, dan hanya diperlukan di bangku sekolah dan hampir tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu sebabnya adalah karena fisika disajikan seperti menyajikan informasi yang harus dihafalkan, fisika di kelas lebih bernuansa matematik sehingga siswa yang tidak kuat dalam matematika dan logika, agak sulit menangkap materi fisika.

Dari data di atas, menunjukan bahwa hasil belajar siswa pendidikan sains di Indonesia belum memuaskan, karena siswa Indonesia rata-rata hanya mampu mengingat pengetahuan melalui penerapan rumus-rumus dalam menyelesaikan masalah akademik sedangkan penguasaan keterampilan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari masih rendah.

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum), dan dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak, serta bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Permendikbud, 2013).

Berdasarkan kurikulum tersebut di atas, maka siswa diharapkan memiliki kompetensi yang meliputi kemampuan berpikir kritis, pemecaham masalah, komunikasi, kesadaran diri, membuat keputusan, berpikir kreatif, hubungan interpersonal, kemampuan vokasional dan sikap positif terhadap kerja. Selain itu perlu adanya perubahan pola pikir yang digunakan sebagai landasan pembelajaran. Guru harus fokus pada tujuan pembelajaran fisika secara utuh. Salah satu yang dapat dilakukan adalah merencanakan dan melaksanakan pembelajaran fisika sebagai suatu proses inkuiri dimana siswa diberikan kesempatan bekerja pada suatu objek dan kejadian serta menguji ide-ide mereka. Pembelajaran ini dapat diwujudkan dalam satu model pembelajaran yang dinamakan dengan model pembelajaran inkuri.

Dalam model pembelajaran inkuiri, siswa diajarkan cara-cara mencari dan mengorganisasi data dan melatih siswa untuk terampil mengembangkan berbagai konsep. Menurut Joyce and Weil (1992), inkuiri sebagai model pembelajaran akan memunculkan nurturant effect atau dampak iringan yaitu terbukanya wawasan dan kemampuan untuk mempertimbangkan alternatif dalam mengambil keputusan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Sanjaya (dalam Sanjaya, 2010) bahwa kegiatan pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Pembelajaran inkuiri berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam disekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak lahir ke dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui indra pengecapan, pendengaran, penglihatan, dan indra-indra lainnya. Hingga dewasa keinginan manusia secara terus menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya.

Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna manakala didasari oleh keingintahuan tersebut. Dalam paradigma baru pengetahuan atau kecerdasan yang dimiliki manusia beragam. Menurut Howard Gardner kecerdasan/inteligensi majemuk yang dimiliki manusia dapat diklasifikasikan dalam delapan tipe yakni: inteligensi linguistik, matematis – logis, spasial – visual, kinestetik-badani, musikal, intrapersonal, interpersonal, dan naturalis (Silver dkk, 2000). Dalam konteks ini, Suparno (2004) mengatakan, siswa akan mudah mempelajari sesuatu hal, bila hal itu disampaikan dengan model yang sesuai dengan inteligensi siswa yang paling dominan.

Secara umum Gardner (2013) mengisyaratkan bahwa pendidikan yang berpusat pada individu siswa dengan konsep multicerdas ini dapat diusahakan, diduga membuahkan: (1) situasi bahagia dengan kecerdasan yang komprehensif (sukses belajar), (2) situasi yang meningkatkan persentase siswa yang menemukan pekerjaan, (3) situasi dimana siswa merasa lebih baik mengenal diri mereka sendiri, (4) sekaligus para siswa lebih berpeluang menjadi anggota masyarakat dimana mereka berada (karena paling konsisten dengan nilai-nilai sosial, pluralisme/multicultural dan keunikan individual), (5) kerjasama demi kebaikan dan kedamaian (rekonsiliasi) semua pihak.

Dalam penulisan ini akan dibahas pendekatan yang lebih luas, yaitu mengajarkan fisika dengan menggunakan teori inteligensi majemuk, bukan hanya inteligensi matematik – logis dan inteligensi linguistic yang sering digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, namun hendaknya juga dapat memunculkan aspek inteligensi lain (spasial-visual, kinestetik badani, musikal, intrapersonal, interpersonal, dan naturalis) yang dimiliki peserta didik. Berdasarkan hasil pengisian angket di SMA Negeri 15 Surabaya pada siswa kelas X yang terdiri dari 7 kelas diperoleh siswa pada kelas X-IPA2, X-IPA3 dan X-IPA4 memiliki kedelepan kecerdasan sehingga dijadikan sampel penelitian. Diharapkan dengan pendekatan teori inteligensi majemuk, siswa yang mempunyai inteligensi lain dapat lebih mudah menangkap konsep fisika.

Konsep fisika khususnya kalor pada kelas X, menuntut siswa untuk mengamati, mengelompokkan, meneliti, mengkomunikasikan bahkan menemukan sendiri konsep atau pengetahuan yang harus dipahami. Selain itu materi kalor mempunyai sifat abstrak oleh karena itu perlu dikonkritkan. Persoalannya adalah bagaimana siswa dapat memahami dan mengetahui konsep kalor tersebut, dengan cara belajar yang masih berpusat pada guru, proses pembelajaran masih menekankan pada hapalan yang berakibat pada lebih mementingkannya isi pelajaran daripada proses, siswapun kurang diarahkan pada pembelajaran yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa dan menemukan masalah serta menyelesaikan masalah tersebut sendiri, selain hal tersebut dalam kegiatan belajar mengajar guru tidak terlalu memperhatikan kecerdasan siswa yang majemuk, guru lebih sering mengajar dengan aktivitas matematis-logis dan verbal linguistik, sehingga siswa yang lemah dalam matematis-logis dan verbal linguistik sulit untuk memahami konsep fisika khususnya kalor, maka pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kecerdasan majemuk dan model inkuiri terbimbing sehingga siswa yang memiliki berbagai kecerdasan dapat memahami dan menemukan sendiri konsep kalor sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan uraian dan permasalahan di atas maka peneliti bermaksud mengajukan suatu alternatif pemecahan masalah yang ditemukan dalam pembelajaran fisika di SMA melalui penelitian dengan judul: “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berdasarkan Teori Inteligensi Majemuk (Multiple Intelligences) dalam Setting Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Materi Kalor Siswa SMA.”

KAJIAN PUSTAKA

Hakikat Intelegensi Majemuk Bagi Pendidikan

Karakteristik umum seperti perbedaaan budaya, suku, agama, gender, dan latar belakang status sosial sangat berguna dalam mendesain pembelajaran, begitu pula dengan karakteristik khusus seperti perbedaan gaya belajar, kecerdasan, termasuk lingkungan belajar membawa dampak tersendiri dalam proses pembelajaran. Pengembangan pembelajaran harus memahami karakteristik tersebut karena setiap anak itu berbeda dan cara belajar tiap anakpun berbeda satu dengan yang lain.

Howard Gardner adalah seorang Profesor Pendidikan Universitas Harvard yang melakukan riset tentang inteligensi/kecerdasan manusia lebih dari 15 tahun. Hasil temuannya telah mematahkan mitos bahwa IQ seseorang tetap (terbawa sejak lahir dan tidak berubah sepanjang hidup seseorang), sekaligus menegaskan bahwa IQ hanya sebagian kecil dari kecerdasan manusia (Gardner, 2013). Menurut Gardner (2013) dalam pandangan psikometri klasik, kecerdasan didefinisikan secara operasional sebagai kemampuan untuk menjawab item-item pada tes kecerdasan. Di sisi lain teori kecerdasan majemuk mempluralkan konsep tradisional, kecerdasan adalah kemampuan komputasi, kemampuan untuk memproses jenis informasi tertentu, yang berasal dari faktor biologis dan psikologis manusia. Menurut Yaumi (2012) kecerdasan jamak (multiple intelligences) adalah berbagai kemampuan, keterampilan, atau bakat yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.

Manusia memiliki kecerdasan tertentu, tiap kecerdasan harus mempunyai operasi inti atau rangkaian operasi yang dapat diidentifikasi. Sebagai sistem komputasi yang didasarkan secara netral, tiap kecerdasan diaktivasi atau dipicu oleh jenis informasi internal atau eksternal tertentu. Misalnya, salah satu inti kecerdasan musikal adalah kepekaan pada hubungan nada, dan salah satu inti kecerdasan linguistik (bahasa) adalah kepekaan pada sifat fonologis suatu bahasa. Suatu kecerdasan juga harus mempunyai kepekaan untuk membaca dalam sistem simbol, sistem yang direka secara kultural atas makna yang menangkap dan menyampaikan bentuk informasi yang penting bagi produktivitas dan daya tahan manusia (Gardner, 2013).

Ada delapan inteligensi yang dikemukakan oleh Gardner (Silver dkk, 2000) yaitu linguistik-verbal, matematis-logis, spasial-visual, kinestetik-badani, musikal, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Kecerdasan verbal adalah kemampuan untuk mengekspresikan diri secara lisan dan tertulis. Kecerdasan bahasa merupakan kemampuan menggunakan bahasa termasuk bahasa ibu, dan bahasa-bahasa asing. Kecerdasan verbal dan bahasa dipandang terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh, itulah sebabnya kecerdasan tersebut dinamai kecerdasan lingustik-verbal. Kecerdasan matematis logis adalah kemampuan untuk merangkaikan alasan-alasan mengenai pola-pola dan aturan. Kecerdasan spasial-visual yaitu kemampuan mempersepsi dunia visual dan spasial secara akurat serta mentransformasikan persepsi visual dan spasial tersebut dalam berbagai bentuk. Kecerdasan kinestatik badani adalah kemampuan untuk menggunakan seluruh tubuh dalam mengekspresikan ide, perasaan dan menggunakan tangan untuk menghasilkan sesuatu. Kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk berpikir dengan menggunakan musik, mendengarkan pola-pola dan mendengar serta mungkin memanipulasinya. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami pikiran, sikap, dan perilaku orang lain. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk membuat kategorisasi dan hierarki tentang suatu organism, seperti tumbuh-tumbuhan binatang dan alam.

Menurut Campbell (1996) kedelapan inteligensi majemuk dapat dikonseptualisasikan ke dalam tiga kategori besar yaitu: (1) Bentuk-bentuk inteligensi yang berkaitan dengan obyek (spasial, logika-matematika, kinestatik, naturalis), atau inteligensi yang kapasitasnya dikontrol dan dibentuk oleh obyek yang ada dalam kehidupan seseorang. (2) Inteligensi yang bebas dari obyek (verbal-linguistik, dan musikal), yakni tidak dibentuk oleh dunia fisik tetapi tergantung pada sistem bahasa dan musik. (3) Inteligensi yang berkaitan dengan manusia (interpersonal dan intrapersonal), yang menunjukkan rangkaian perimbangan (counterbalance) yang kuat.

Menurut Amstrong (2002) di era persaingan informasi dan globalisasi dengan kecenderungan perubahan yang demikian pesat ke depan, nasihat terbaik untuk meningkatkan daya saing adalah, jangan menitikberatkan perhatian anda pada salah satu inteligensi. Sebab bisa saja pada saat anda baru menguasainya, kecerdasan tersebut sudah “ketinggalan zaman”. Perhatikan kecenderungan teknologi terdepan, seperti hypertech dan piranti lunak computer multimedia, yang terus menggabungkan kecerdasan (menuju teknologi konvergensi) dengan cara kreatif, untuk menangkap isyarat betapa pentingnya mengembangkan beberapa inteligensi sekaligus dalam waktu bersamaan.

Gardner (2013) mengatakan seorang guru yang terampil adalah orang yang dapat membuka sejumlah jendela atau pintu masuk yang berbeda mengenai konsep yang sama sewaktu mengajar dengan setting inteligensi majemuk. Gardner juga menegaskan bahwa seorang guru yang efektif hendaknya berfungsi sebagai “pialang/perantara siswa-kurikulum”, waspada dan mandiri terhadap pengembangan pendidikan.

Dengan demikian inteligensi majemuk merupakan salah satu teori yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk penyelesaian masalah yang efektif dalam menghadapi kehidupan nyata. Orang yang memiliki inteligensi majemuk dapat lebih memahami serta lebih damai dengan orang-orang di lingkungannya, serta dapat belajar bahwa setiap orang mempunyai kekuatan serta ide yang berbeda-beda tentang bagaimana mengerjakan dan memahami segala sesuatu, dan bahkan dapat mengatur perasaan dan emosinya sehingga kelihatan sangat tenang (dewasa tanpa emosi yang meluap-luap). Orang yang ber-IQ tinggi dengan emosi yang stabil dan tidak mudah marah, tidak keliru dalam menentukan/memecahkan persoalan hidup karena dapat berkonsentrasi.

Hakikat Pembelajaran Inkuiri

Inkuiri dalam Oxfort Dictionary, enquire atau enquiry bermakna ask somebody for information about somebody for information about something; investigation, atau act of asking questions or collecting information about something or somebody. Jadi, inkuiri diartikan sebagai proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukan. Menurut Piaget (Putra, 2012) inkuiri adalah pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi siswa untuk melakukan eksperimen sendiri; secara luas ingin melihat sesuatu yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, serta membandingkan sesuatu yang di temukan oleh diri sendiri dengan yang ditemukan siswa lainnya. Pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri berangkat dari asumsi bahwa sejak lahir manusia memiliki dorongan untuk manemukan sendiri pengetahuannya (Sanjaya, 2010).

Joyce dan Well (1992) menjelaskan pembelajaran inkuiri merupakan salah satu pembelajaran yang mempunyai lima fase kegiatan. Fase pertama adalah menghadapkan siswa pada suatu situasi yang menimbulkan teka-teki. Fase kedua dan ketiga adalah pelaksanaan pengumpulan data yang bersifat pembuktian dan eksperimen yang meliputi tiga tahap; (1) membuktikan sifat objek, kejadian, kondisi, dan sifat gejala, (2) memilahkan perubahan-perubahan dan kondisi yang relevan, (3) menyusun hipotesis dan menguji hubungan sebab akibat melalui eksperimen. Fase keempat, siswa mencerna informasi yang berasal dari data yang terkumpul dan menjelaskan sesuai dengan kemampuannya. Fase kelima guru dan siswa bekerjasama untuk mengevaluasi strategi yang telah dilaksanakan.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Gibbs dan Lawson (1992) yang menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri dimulai dengan adanya fenomena alam yang belum dijelaskan sebelummya. Ketertarikan terhadap fenomena alam ini kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan diawali dengan kata-kata mengapa, apa, bagaimana, kemudian dinyatakan. Bersamaan munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut, variabel-variabel yang mungkin terkait dengan fenomena tersebut mulai, dihubung-hubungkan, sehingga menggiring pada permasalahan yang lebih spesifik yang akan dijadikan permasalahan.

Joyce dan Weil (1992) mengemukan bahwa sangatlah penting mengarahkan siswa kepada pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan bersifat sementara. Berdasarkan pendapat tersebut maka siswa akan terdorong untuk menemukan sesuatu misalnya jawaban lain yang berbeda dari jawaban yang ada saat itu. Hal itu memungkinkan siswa untuk mengembangkan apa yang mereka pikirkan dan mencari adanya kemungkinan jawaban yang lain.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hebrank (2000) bahwa pembelajaran inkuiri memberikan suatu cara yang baik dalam mengajar sains untuk semua siswa. Hebrank lebih lanjut menggambarkan sembilan keistimewaan mengajar sains melalui inkuiri yaitu:

1. Sains adalah mengajar suatu proses maupun konten pokok;

2. Konten sains mengajarkan hubungan pengalaman siswa, pertanyaan­-pertanyaan atas dasar keingintahuan, dan mendorong pertanyaan-pertanyaan pada keingintahuan;

3. Pembelajaran inkuiri memperkecil atau menghilangkan ceramah dan buku pelajaran;

4. Metode pembelajaran melakukan pertimbangan perbedaan tingkat perkembangan siswa;

5. Metode asesmen memungkinkan siswa menunjukkan keahlian dalam banyak cara;

6. Mengajar sains dengan inkuiri dapat diintegrasikan dengan kurikulum matematik, studi sosial, dan bahasa;

7. Inkuiri memfasilitasi perkembangan kemampuan komunikasi melalui diskusi ide-ide ilmiah, penemuan dan memungkinkan siswa untuk belajar dari teman yang lain;

8. Inkuiri menolong untuk menciptakan kekritisan seperti dalam bertanya dan menghilangkan yang bersifat ragu-ragu;

9. Inkuiri menambah tujuan pokok yang memungkinkan siswa untuk menjadi diri mereka sendiri.

Pembelajaran inkuiri terjadi ketika siswa secara maksimal mencari dan menemukan, dengan kata lain pendekatan inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi juga berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran tersebut secara sistematis, kritis, logis, dan analitis sehingga ia mampu merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Berdasarkan uraian di atas, maka inkuiri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran dimana siswa diharapkan dapat mengidentifikasi, mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan masalah, merumuskan hipotesis dan melakukan pengamatan untuk menjawab pertanyaan serta menguji hipotesis yang telah dibuat berdasarkan fakta. Dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak aktif, sedangkan guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator.

Pembelajaran inkuiri dimaksudkan agar pembelajaran lebih bermakna dan diharapkan pengetahuan serta keterampilan yang diperoleh siswa bukan diperoleh dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Menurut Sanjaya (2010) proses pembelajaran inkuiri secara umum dapat mengikuti langkah-langkah meliputi: Orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data menguji hipotesis dan merumuskan kesimpulan.

Pembelajaran Berdasarkan Teori Inteligensi Majemuk dalam Setting Inkuiri

Mengenal Inteligensi Majemuk Siswa

Agar dapat membantu siswa belajar dengan teori inteligensi majemuk, pertama-tama guru harus mengetahui inteligensi majemuk apa saja yang paling banyak dimiliki oleh siswa. Jadi sebelum mulai merencanakan pengajaran dengan inteligensi majemuk, seorang guru perlu melakukan pengamatan terlebih dulu. Menurut Amstrong (dalam Suparno, 2004) beberapa cara untuk meneliti inteligensi siswa antara lain melalui tes, mencoba mengajar dengan inteligensi majemuk, observasi siswa di kelas, observasi siswa di luar kelas, dan mengumpulkan dokumen siswa.

Mempersiapkan Pengajaran Berdasarkan Inteligensi Majemuk

Sebelum mengajar guru perlu mempersiapkan lebih dulu bagaimana guru tersebut akan mengajar dengan teori inteligensi majemuk. Dalam persiapan guru akan meneliti kemungkinan-kemungkinan bentuk inteligensi majemuk yang dapat digunakan untuk mengajar suatu topik dalam bidang yang ingin diajarkan. Setelah melihat kemungkinan-kemungkinannya, guru tersebut menyusunnya dalam urutan yang nantinya dapat langsung digunakan dalam mengajar (Suparno, 2004).

Memilih dan Mengurutkan Rencana Pelajaran dalam Seting Inkuiri

Setelah kemungkinan ditulis, kemudian pilih beberapa kegiatan yang memang akan dibuat dalam pelajaran sesungguhnya. Dipilih kegiatan yang memang akan dikerjakan, yang ada sarananya dan dapat dibuat. Setelah itu semuanya diurutkan dalam satu rencana pelajaran. Dengan demikian guru mempunyai rencana pembelajaran konkrit yang dapat dilakukan (Suparno, 2004). Rencana pembelajaran yang telah ada dibuat dalam seting inkuiri, dimana siswa diarahkan untuk menemukan dan menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya sesuai inteligensi yang dimiliki siswa tersebut.

METODE

Penelitian ini tergolong dalam penelitian pengembangan, karena dalam penelitian ini akan dikembangkan perangkat pembelajaran fisika berdasarkan teori inteligensi majemuk Gardner dan mengimplementasikan di sekolah yang sesuai. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap I merupakan pengembangan perangkat pembelajaran yang terdiri atas buku siswa, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lebar Kerja Siswa (LKS), dan Tes Hasil Belajar (THB), dilanjutkan dengan ujicoba I. Tahap II merupakan implementasi perangkat pembelajaran dengan uji coba II. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model 4-D (four D model) yang terdiri dari empat tahap (Thiagarajan & Semmel, 1974) yaitu, pendefinisian (define), perancangan (Design), pengembangan (develop), dan penyebaran (disseminate). Pengembangan perangkat yang dilakukan peneliti hanya sampai pada tahap ketiga, dan tahap keempat peneliti tidak melakukannya karena hasil pengembangan diterapkan terbatas pada sekolah tempat penelitian yaitu SMA Negeri 15 Surabayakhususnya pada kelas X IPA-2 X IPA-3 dan X IPA 4, sehingga model 4-D direduksi menjadi model 3-D. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, tes, dan angket. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif, dan analisis statistik parametrik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut: skor validasi perangkat pembelajaran adalah RPP 3,50, BAS 3,30, LKS 3,30, dan THB dapat digunakan tanpa banyak revisi dan berkategori baik; rata-rata persentase tingkat keterbacaan LKS secara berturut-turut pada kelas X-IPA2, kelas X-IPA3, dan kelas X-IPA4 adalah sebesar 78,45%; 81,14%; dan 78,33% yang berarti bahwa LKS mudah dipahami oleh siswa, dan tingkat keterbacaan BAS berturut-turut adalah 81,00%; 81,14%; dan 80,21% yang berarti bahwa BAS mudah dipahami oleh siswa dengan kategori teks adalah mudah atau keterbacaan tinggi. Penilaian tingkat kesulitan LKS dan BAS dilakukan oleh siswa kelas X-IPA2, kelas X-IPA3, dan kelas X-IPA4 dalam uji coba melalui penulisan jumlah kalimat yang tidak dimengerti diperoleh tingkat kesulitan LKS dan BAS adalah rendah dan mudah dipahami. Berdasarkan hasil pengamatan keterlaksanaan RPP diperoleh persentase keterlaksanaan RPP adalah 100% berkategori baik; menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan guru (peneliti) dalam melaksanankan pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk meliputi aspek pendahuluan, kegiatan inti, penutup, pengelolaan waktu dan pengamatan suasan kelas berkategori sangat baik. Hal ini menginterprestasikan bahwa guru dalam melaksanakan pembelajaran fisika berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbing berkategori sangat baik.

Hambatan dalam pembelajaran adalah siswa bingung dlam menyelesaikan LKS dan masih kurangnya siswa yang memiliki kemampuan musikal, namun dapat teratasi dengan baik. Sensitivitas butir soal rata-rata di atas 0,3; yang artinya butir soal yang dikembangkan berkategori baik dengan kepekaan tinggi. Rata-rata nilai hasil belajar siswa berada di atas KKM dengan nilai berada pada interval antara 75-100. Seluruh siswa menyatakan senang selama mengikuti pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk. Respon siswa terhadap komponen KBM menyatakan senang, baru, dan setuju terhadap pembelajaran yang diterapkan. Ada beberapa siswa yang menyatakan tidak baru dengan alasan bervariasi. Aktivitas siswa pada pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbing berkategori baik, dengan kegiatan paling menonjol adalah melakukan aktivitas linguistik-verbal, visual-spasial, kinestetik badani, musikal dan interpersonal. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran siswa terlibat aktif.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa: 1) perangkat pembelajaran yang dikembangkan berkategori valid; 2) kepraktisan perangkat pembelajaran ditinjau dari keterlaksanaan RPP berkategori sangat baik, dan kendala-kendala yang dihadapi selama kegiatan belajar mengajar dapat diatasi dengan baik; dan 3) keefektifan perangkat pembelajaran ditinjau dari: (a) hasil belajar siswa telah mencapai kriteria ketuntasan minimal individual maupun klasikal; (b) respon siswa terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran sangat positif; dan (c) aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar sesuai dengan tahapan pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbin; maka perangkat pembelajaran berdasarkan teori inteligensi majemuk dalam setting inkuiri terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar fisika materi kalor siswa SMA kelas X memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan dan keefektifan sehingga layak digunakan dalam pembelajaran

PUSTAKA

Alwi, M. (2014). Multiple intelligences kecerdasan menurut Howard Gardner & implementasinya (Strategi pengajaran di kelas) (Tersedia pada http://unhaslaw.blogspot.com/2014/01/multiple-intelligences-kecerdasan.html) Diakses tanggal 14 Februari 2014.

Amstrong, T. (2002). 7 Kinds of smart: identifying and develophing your multiple intelligences. Penguin Putnam Inc. Edisi Indonesia. Alih Bahasa Hernaya, T. 2002. 7 Kindsof Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences. Jakarta: PT. Gramedia.

Arifin, Z. (2009). Evaluasi pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-dasar evaluasi pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2007). Penyusunan KTSP kabupaten/kota; panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan.

Campbell, L., Dickinson, D. (1996). Teaching and learning through multiple intelligences. Massachusset: Ally & Bacon.

Debdikbud. 1994. Kurikulum Sekolah Menengah Umum dan GBPP Mata Pelajaran Fisika. Jakarta: Depdikbud.

Djudin, T. (2013). Statistika parametrik dasar pemikiran dan penerapannya dalam penelitian. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Efendi, R. 2010. Kemampuan Fisika Siswa Indonesia dalam TIMSS (Trend of International on Mathematics and Science Study). Prosiding seminar Nasional Fisika 2010, ISBN: 978-979-98010-6-7

Esomar, K. (2004). Elaborasi strategi belajar berdasarkan teori inteligensi ganda (multiple intelligences) menggunakan modul dan vcd dalam mencapai kompetensi IPA-fisika pada siswa SLTP Negeri 6 Ambon. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Gagne R.M. (1977). The condition of learning. New York: Holt Rinehart and Winston

Gardner, H. (2013). Multiple intelligences. New York: Basic Books. Edisi Indonesia. Penerjemah Zaimur, Y.

Giancoli, D. (2001). Physics: principles with applications, fifth edition. Jakarta: Erlangga.

Gibbs and Lawson. (1992). Using the learning cyxle to teach science concepts anf thinking skills. Manhattan. Ks: National Association for Research Science Teaching.

Gronlund, N.E. (1982). Constucting achievement test, third edition. Englewood Cliff: Prentice-Hall,Inc.

Hake. (1999). Analyzing change/gain scores. (Tersedia pada http://www.physicsindiana.edu/sdi/Analyzing-Change-Gain.pdf.) Diakses tanggal 20 Februari 2014.

Halliday, D., Resnick, R., Walker, J. (2010). Physics 7th extended edition. Jakarta: Erlangga.

Hebrank, M. (2000). Why inquiry-bassed teaching and learning in middle school scinence classroom?. http:///www.zoology.duke.edu

Ibrahim, M. (2005). Asesmen berkelanjutan konsep dasar, tahapan pengembangan, dan contoh. Surabaya: Unesa University Press.

Joyce and Weil. (1992). Models of Teaching. Needham Heights Massachusetts.

Khabibah, S. (2006). Pengembangan model pembelajaran matematika dengan soal terbuka untuk meningkatkan kreativitas siswa sekolah dasar. Disertasi tidak dipublikasikan. Surabaya: PPs Unesa.

Kardi, S. (2013). Model pembelajaran langsung inkuiri sains teknologi dan masyarakat. Surabaya:

Mulyasa, E. (2005). Menjadi guru profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyati. (2003). Strategi belajar mengajar. Bandung: Jurdik Kimia FPMIPA UPI-JICA.

Nur, M. (2008). Teori-teori pembelajaran kognitif. PSMS Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.

Nur, M. (2008). Pemotivasian siswa untuk belajar. PSMS Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.

Prabowo. (2011). Metodologi penelitian (sains dan pendidikan sains). Surabaya: Unesa University Press.

Putra, S. R. (2013). Desain belajar mengajar kreatif berbasis sains. Yogyakarta: DIVA Press.

Rahmatsyah dan Harni. (2011). Pengaruh keterampilan proses sains melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi pokok gerak di kelas vii smp. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika UNIMED, Volume 3 (2) Desember 2011

Ratumanan, G. T., dan Laurens, S. (2003). Evaluasi hasil yang relevan dengan memecahkan problematika belajar dan mengajar. Bandung: CV Alfabeta.

Redish. (1998). Students’ expectation in introductory physics. American Journal of Physics. 66(3), 212-224.

Sanjaya, W. (2010). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sapulete, H. (2008). Pembelajaran fisika berdasarkan teori inteligensi ganda (Multiple Intelligences)dalam setting pembelajaran kooperatif pada siswa SLTA Muhamadiyah 6 Surabaya. Tesis pada program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Semiawan, C. (2000). Relevansi kurikulum pendidikan masa depan. Basis Nomor 07-08, Tahun ke 49, 2000.

Silver, H., Strong, R., dan Perini, M. (2000). So each may learn integrating learning styles & multiple zintelligences. Virgania USA: ASCD Books.

Sitepu, B. (2010). Keterbacaan. (Tersedia pada http://bintangsitepu.wordpress.com/2010/09/11/keterbacaan/) Diakses tanggal 20 Februari 2014.

Slavin, R. E. (2009). Educational psycology: theory and practice 9 th ed. New Jersey: Pearson Education Inc.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi. Bandung: AlfaBeta.

Suparno, P. (2000). Teori inteligensi ganda dalam pembelajaran fisika di sekolah menengah. Dalam Atmadi, A., Setiyaningsih, Y. Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, P. (2004). Teori inteligensi ganda dan aplikasinya di sekolah. Yogyakarta: Kanisius.

Thiagarajan, S. (1974). Instructional development for training teacher of exceptional children a sourcebook. Indiana: Indiana University.

Tipler, P. (1998). Physics for scientists and engineers, third edition. Jakarta: Erlangga.

 

Yaumi, M. (2013). Prinsip-prinsip desain pembelajaran. Jakarta: Kencana.