PENGETAHUAN DAN PENGAJARAN BUDAYA TOBELO:

STUDI KASUS DI DESA EFI-EFI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA

 

Eppi Manik1,

Radios Simanjuntak2,

Yenti Yunita Haluang3

1 Dosen Program Studi Pendidikan Agama Kristen – Universitas Halmahera

2 Dosen Program Studi Kehutanan – Universitas Halmahera

3 Alumni Program Studi Pendidikan Agama Kristen – Universitas Halmahera

 

Abstract

Culture could be understood as a value of life in the form of customs, laws, rituals, systems and behaviors in order to maintain the existence and the identity of a community as a distinguish from others. Tobelo is an ethnic group with has the largest population in North Moluccas. It is now facing a dynamic and a cultural change along with modernization. The purpose of this study is to understand the knowledge level of the Tobelo community in Efi-Efi Village especially those who are young, concerning the culture of Tobelo. It also explores the teaching efforts conducted by family, church and school to conserve the culture. This study shows that the cultural knowledge of the community is generally low, while the effort of teaching it is not yet optimal.

Keywords: culture, teaching, knowledge, Tobelo

 

PENDAHULUAN

Kebudayaan berasal dari Bahasa Sanskerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal manusia. Piga (2012) menyebutkan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dalam sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai tingkat pengetahuan akan pola hidup yang menyeluruh. Kebudayaan juga dimaknai sebagai nilai hidup yang diwujudkan dalam bentuk adat, hukum, ritual, sistem, tingkah laku, sebagai norma komunitas yang berkesinambungan dalam mempertahankan eksistensi sekaligus identitas diri yang membedakan dengan komunitas lain. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, kebudayaan dapat disebut sebagai sebuah nilai kebiasaan yang dihayati dan dinikmati masyarakat yang meliputi tradisi, norma, bahasa, keyakinan, dan adat istiadat.

            Nilai-nilai kebudayaan merupakan bagian pedoman hidup sebuah masyarakat. Oleh karenanya pola pendidikan kebudayaan perlu dipelajari generasi muda sebagai pengetahuan yang akan mempengaruhi perkembangan sosial dan perilaku individu. Hal ini sesuai dengan pandangan Petrus (2013) yang menyebutkan bahwa perkembangan setiap individu dipengaruhi oleh budaya.

            Nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat Tobelo sangat penting dilestarikan dari generasi ke generasi. Namun demikian, pada kenyataannya kebudayaan Tobelo yang berada ditengah-tengah masyarakatnya mulai bergeser akibat pengaruh globalisasi dan modernisasi. Aspek budaya yang mengalami pergeseran diantaranya penggunaan Bahasa Tobelo yang semakin berkurang oleh para penuturnya

Pengembangan pola pendidikan kebudayaan Tobelo khususnya bahasa bagi para generasi muda sangat penting dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan juga gereja. Ketiga lingkungan tersebut merupakan bagian dari proses transfer pengetahuan dan pengajaran bagi anak muda dalam memahami kebudayaan Tobelo. Dalam lingkungan pedesaan (konteks orang Tobelo), keluarga, sekolah dan gereja memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan para anak muda secara kognitif, afektif dan psikomotor. Peran dari keluarga adalah sebagai pendidik utama bagi anak-anak (Amsal 1:8, Ulangan 6:20-25, Markus 10:13-16). Keluarga juga disebut sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang dalam satu tempat dengan saling ketergantungan. Selanjutnya, sekolah berperan penting dalam pembentukan karakter seorang manusia sebagai manusia terdidik, terutama secara intelektual dan sosial. Sementara itu Gereja pada hakekatnya adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya dari segala abad dan tempat (Efesus 1:24, 4:12). Menurut Puasa (2014), Gereja adalah persekutuan (koinonia) yang percaya dengan tugas pelayanan (diakonia) kepada seluruh makhluk lewat perkataan, perbuatan baik ke dalam maupun ke luar. Gereja juga merupakan persekutuan orang-orang Kristen tanpa dibatasi oleh suku, bangsa dan bahasa, serta senantiasa memberitakan perbuatan-perbuatan besar, yang Tuhan Allah telah lakukan di tengah mereka dari waktu ke waktu (Parengkuan 2013). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat khususnya pemuda terhadap budaya Tobelo di Desa Efi-Efi serta untuk mengidentifikasi upaya pengajaran masyarakat terhadap budaya Tobelo dalam lingkup keluarga, sekolah dan gereja.

METODE PENELITIAN

            Penelitian ini dilaksanakan pada mayarakat Desa Efi-Efi, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, yang diperkirakan telah mengalami pergeseran kebudayaan Tobelo, khususnya generasi pemuda. Penelitian berlangsung selama Bulan April-Juni 2016.

Aspek pengetahuan kebudayaan yang dikaji adalah kemampuan berbahasa Tobelo, pengetahuan tentang sejarah suku Tobelo, pengetahuan tentang sejarah marga (fam) keluarga dan pengetahuan tentang seni budaya Tobelo. Disamping pengetahuan, aspek pengajaran budaya Tobelo juga digali dari responden. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuisoner secara terbuka dan semi terstruktur kepada 30 orang responden. Responden dipilih secara purposive sampling. Menurut Ulwan (2014), purposive sampling adalah teknik memilih sampel secara sengaja dengan kriteria tertentu. Responden yang dipilih adalah pemuda Suku Tobelo berusia antara 16-30 tahun sebagaimana kriteria usia pemuda yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Disamping pemuda, responden juga berasal dari orangtua sebanyak 30 orang responden serta dari pimpinan sekolah dan gereja.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh orang Tobelo adalah hododoomu (gotong royong). Prinsip “hododoomu” bagi orang Tobelo dikenal dalam bentuk tolong menolong atau kerjasama, baik dalam kegiatan pribadi, antar tetangga, kelompok/organisasi gereja, sekolah dan masyarakat. Sementara itu landasan yang dibangun dalam nilai gotong royong bagi masyarakat Tobelo adalah o’dora (kasih terhadap sesama manusia), o’bayangi (saling tolong menolong, saling menyayangi, saling menjaga perasaan, dan tidak saling menyakiti) dan o’baliara (saling peduli, saling menopang, dan saling melayani). Ketiga nilai tersebut mendukung kehidupan orang-orang Tobelo sebagai dasar filosofi dalam membangun kerjasama yang baik. Kerjasama tersebut akan membentuk horimoi atau kesatuan sebagai dasar relasi sosial antar sesama untuk saling peduli, saling membantu dan melayani.

Pengetahuan Tentang Budaya Tobelo

1.    Kemampuan berbahasa Tobelo

            Bahasa Tobelo bersama Bahasa Makian Barat, Tidore, Ternate, Sahu, Tobaru, Loloda, Galela, Modole dan Pagu merupakan kelompok Bahasa Non-Austronesia. Penutur Bahasa Tobelo merupakan yang terbesar di Pulau Halmahera yakni di bagian utara, timur dan selatan Halmahera. Di luar Halmahera penutur Bahasa Tobelo terdapat di sebagian Pulau Morotai bagian utara, Pulau Bacan dan Pulau Obi. (Voorhoeve 1983)

Gambar 1 Tingkat kemampuan pemuda Desa Efi-Efi dalam berbahasa Tobelo

            Gambar 1 menunjukkan bahwa kemampuan sebagian besar pemuda Desa Efi-Efi berkomunikasi dalam Bahasa Tobelo adalah rendah. Sehari-hari umumnya para pemuda berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan dialek setempat. Sebagian mengaku memiliki kemampuan pasif atau hanya mengerti jika seseorang berbicara dalam Bahasa Tobelo namun kesulitan untuk berbicara langsung dalam Bahasa Tobelo.

Gambar 2 Intensitas komunikasi dalam Bahasa Tobelo dalam keluarga

Semakin menurunnya kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Tobelo pada kalangan pemuda turut dipengaruhi oleh minimnya penggunaan Bahasa Tobelo dalam berkomunikasi pada lingkungan keluarga. Sebagian besar responden (37%) menyebutkan bahwa intensitas penggunaan Bahasa Tobelo di rumah adalah sangat rendah. Sebaliknya, sebanyak 33% responden menyebutkan bahwa intensitas penggunaan Bahasa Tobelo di rumah adalah sangat tinggi. Namun, komunikasi tersebut umumnya hanya dilakukan antara orang tua, sementara komunikasi antara orang tua dan anak cenderung hanya dilakukan dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

2.    Pengetahuan tentang sejarah etnis Tobelo

Sejumlah literatur dan penuturan lisan menyebutkan bahwa etnis Tobelo yang merupakan etnis terbesar di Pulau Halmahera berasal dari Talaga atau Danau Lina yang berada di Kabupaten Halmahera Utara. Namun demikian tidak terdapat literatur yang dapat memastikan asal usul masyarakat awal yang mendiami Talaga Lina tersebut. Amal (2013) memperkirakan bahwa mereka berasal dari Gane yang berada di Halmahera Selatan, namun sejumlah pendapat lain menyebutkan bahwa masyarakat Pulau Halmahera berasal dari Filipina.

Naleng (2013) menyebutkan bahwa kelembagaan adat Tobelo telah menghilang secara struktural dan kultural (mengalami alienasi) sejak tahun 1897. Tidak disebutkan alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, namun sejumlah catatan sejarah menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat kuat dari Kesultanan Ternate pada masa lalu yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Mangunwijaya (1987) menyebutkan bahwa meskipun kampung-kampung Tobelo dari Galela hingga Dodingga dipaksa mengakui kekuasaan Sultan Ternate, namun orang-orang Tobelo tetap berjiwa merdeka dan bebas. Sejumlah kampung etnis Tobelo pada dasarnya tidak mengakui berada di bawah kekuasaan kesultanan Ternate. Orang-orang Tobelo menyebut diri sebagai o Tobelohoka atau kaum Tobelo. Jiwa tobelohoka merupakan jiwa yang merdeka. Segala sesuatu harus dijalankan secara higaro yang berarti musyawarah atau persuasi. Tidak pernah datang perintah, yang ada hanya pertimbangan bersama.

Banari (2014) menyebutkan ketika orang-orang Tobelo mula-mula keluar dari Talaga Lina, mereka menyebar membentuk sepuluh hoana (kampung). Mereka terdiri dari empat hoana yang keluar ke Tobelo, empat menuju ke Kao dan dua ke Galela. Kesepuluh hoana tersebut disebut pula dengan hoana ngimoi (sepuluh hoana) yakni Hoana Lina, Hoana Huboto, Hoana Mumulati, Hoana Gura, Hoana Modole, Hoana Pagu, Hoana Boeng, Hoana Towiliko, Hoana Morodina dan Hoana Morodai. Diantara banyaknya pendapat terkait jumlah hoana pembentuk Suku Tobelo, umumnya masyarakat adat Tobelo saat ini mengakui keberadaan sepuluh hoana. Kesepuluh hoana terkumpul dalam suatu wadah yang disebut Hibualamo yang berarti ’rumah besar’.

Gambar 3 Pengetahuan pemuda Desa Efi-efi tentang sejarah etnis Tobelo

Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh pemuda Desa Efi-Efi yang menjadi responden memiliki pengetahuan yang sangat rendah (<20%) tentang sejarah etnis Tobelo. Para pemuda menyebutkan bahwa pengajaran yang diberikan mengenai sejarah etnis Tobelo hampir tidak pernah diterima baik dalam keluarga, sekolah maupun gereja. Rendahnya pengetahuan tentang sejarah etnis Tobelo bahkan terjadi pada kalangan orangtua sebagaimana yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Pengetahuan orangtua tentang sejarah etnis Tobelo

 

 

3.    Pengetahuan tentang sejarah marga/fam keluarga

            Marga/fam atau nama keluarga yang umumnya diletakkan di belakang nama adalah nama pertanda dari keluarga mana seseorang berasal. Marga menjadi identitas dalam masyarakat dan adat yang umumnya diturunkan dari ayah kepada anak-anak (patrilineal). Oleh karenanya, orang-orang yang memiliki marga yang sama akan menganggap saling bersaudara karena berasal dari satu keturunan yang sama. Mengetahui sejarah marga akan membantu setiap orang yang memiliki marga tersebut memahami asal mula keluarganya dan hubungan kekerabatan dengan marga lainnya.

Gambar 5 Pengetahuan pemuda tentang sejarah marga/fam keluarga

            Meskipun para pemuda Desa Efi-Efi menggunakan nama marga di belakang namanya masing-masing, namun umumnya mereka tidak mengetahui sejarah dari marga yang dimilikinya (Gambar 5). Para pemuda tidak mengetahui dari mana asal mula keluarga (marga) mereka dan bagaimana hubungan marganya dengan marga-marga lain.

Gambar 6 Pengetahuan orangtua tentang sejarah marga/fam keluarga

            Bertolak belakang dari pengetahuan yang dimiliki para pemuda, pengetahuan yang dimiliki orangtua tentang sejarah marga/fam keluarga relatif merata dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Kondisi yang bertolakbelakang ini dimungkinkan karena minimnya pengajaran tentang sejarah marga dari orangua kepada anak-anaknya sehingga berdampak ketimpangan pengetahuan yang cukup signifikan antara orangtua dan pemuda.

4.    Pengetahuan tentang seni budaya Tobelo

            Keanekaragaman seni budaya yang masih mengakar kuat dalam masyarakat menjadi modal pengembangan kebudayaan dan pariwisata. Seni budaya yang bisa dijumpai pada masyarakat Tobelo adalah cakalele dan tide-tide.

            Tarian cakalele adalah tarian perang yang saat ini lebih sering dipertunjukkan untuk menyambut tamu agung maupun untuk acara yang bersifat adat. Penari cakalele dilakukan oleh pria dengan menggunakan parang dan salawaku (tameng), sementara penari wanita menggunakan lenso (sapu tangan). Tide-tide biasanya dipentaskan pada acara tertentu seperti pada pesta perkawinan adat atau pesta adat. Gerakan pada tarian tide-tide memiliki makna tertetu yang dapat diartikan sebagai bahasa pergaulan. Tarian ini dibawakan oleh kelompok penari pria dan wanita yang berjumlah 12 orang sambil diiringi tifa dan gong.

Gambar 7 Pengetahuan pemuda tentang seni budaya Tobelo

            Gambar 7 menunjukkan bahwa pengetahuan pemuda tentang seni budaya Tobelo secara umum cukup tinggi dan merata. Berkorelasi positif dengan hal ini, sebagian besar pengetahuan orangtua tentang seni budaya Tobelo juga sangat tinggi.

Gambar 8 Pengetahuan orangtua tentang seni budaya Tobelo

Pengajaran Budaya Tobelo

1.    Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Keluarga juga merupakan lingkungan yang utama karena sebagian besar dari kehidupan anak ada di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluaga. Keluarga menjadi wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosialnya. (Defila 2011)

Pada lingkungan keluarga di Desa Efi-Efi, pengajaran tentang budaya Tobelo relatif rendah. Hal ini terutama sangat jelas terlihat pada tingginya kemampuan berbahasa Tobelo oleh orang tua sementara anak-anak (pemuda) umumnya memiliki kemampuan yang rendah. Orangtua cenderung mengabaikan pentingnya memberikan pendidikan budaya Tobelo kepada anak melalui komunikasi sehari-hari dalam Bahasa Tobelo. Terdapat kecenderungan komunikasi dalam Bahasa Tobelo hanya dilakukan diantara sesama orangtua, sementara antara orangtua dan anak dengan Bahasa Indonesia. Meskipun hal ini bisa pula dimungkinkan oleh keengganan anak berkomunikasi dalam Bahasa Tobelo. Namun demikian, jika komunikasi dalam Bahasa Tobelo konsisten dilakukan sejak usia dini, maka tidak akan terdapat keengganan tersebut.

2.    Lingkungan sekolah

Pendidikan sekolah memiliki fungsi konservatif untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Pendidikan sekolah berperan membangun kesadaran anak didik yang berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral. Sistem pendidikan yang kuat dalam sekolah akan mewujudkan standar mutu lulusan berbasis kompetensi.

Di Desa Efi-Efi terdapat Sekolah Dasar (SD) milik Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5. Pengajaran budaya Tobelo diberikan pada lingkungan sekolah khususnya dalam hal seni budaya tarian cakalele dan tide-tide. Pengajaran aspek budaya lain, termasuk Bahasa Tobelo, masih sangat minim. Pengajaran Bahasa Tobelo pernah diberikan di sekolah namun saat ini telah dihentikan dengan berbagai kendala seperti keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pengajar dan tidak masuknya pelajaran tersebut dalam kurikulum.

3.    Lingkungan Gereja

Keterbukaan Gereja terhadap budaya berdampak positif serta terjalin relasi yang baik antara budaya dan Gereja. Relasi antara Gereja dan budaya ini mau mewujudkan suatu keserasian berbagai nilai pola-pola kebudayaan. Dalam hal ini Gereja mengarahkan kebudayaan nilai-nilai reigius serta nilai-nilai keseniannya terus berkembang di dalam dunia modern saat ini. Banyak ragam cara Gereja melestarikan budaya yang ada, seperti nilai-nilai kereligiusan dan nilai keseniannya. Bukan hanya mengarahkan kebudayaan untuk terus berkembang, tetapi Gereja juga menyampaikan suatu pewartaan atau kabar baik bagi semua orang lewat nilai-nilai budaya yang ada. Sikap positif Gereja untuk membangun hubungan dengan budaya itu ialah inkulturasi. (Pangareto 2016)

Terdapat upaya yang dilakukan oleh GMIH Efrata di Desa Efi-Efi untuk menanamkan nilai budaya Tobelo kepada jemaat namun masih terbatas. Hal ini bisa dilihat pada kelompok paduan suara yang dikemas dalam kesenian tradisional orkes yangere yang sering tampil dalam peribadatan yang menjadi media pelestarian salah satu seni budaya Tobelo tersebut. Pada tahun 2015 jemaat ini juga pernah melaksanakan ibadah kontekstual dengan menggunakan liturgi berbahasa Tobelo. Upaya inkulturasi Gereja terhadap budaya Tobelo masih perlu ditingkatkan guna mendukung pelestarian nilai-nilai budaya yang ada.

Kesimpulan

            Secara umum pengetahuan tentang budaya Tobelo yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya para pemuda Desa Efi-Efi rendah, terutama dalam hal sejarah etnis Tobelo dan marga, serta kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Tobelo. Pengetahuan tentang seni budaya Tobelo seperti tarian cakalele dan tide-tide relatif cukup tinggi dibandingkan aspek budaya lainnya. Pengajaran budaya Tobelo sudah dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan gereja, namun dengan intensitas yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Amal A. 2013. Adat istiadat Tobelo. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.

Banari JR. 2014. Mencari yang pernah ada. Tobelo (ID): Pustaka dabiloha.

Defila F. 2011. Fungsi dan peranan lembaga pendidikan [Internet]. [diunduh 02 Mei 2017]. Tersedia pada https://febroeldefila.wordpress.com/tag/fungsi-dan-peranan-pendidikan-keluarga/

Mangunwijaya YB. 1987. Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Jakarta (ID): Djambatan.

Naleng A. 2013. Politik identitas: mengungkap faktor revivalisme adat hibua lamo di Halmahera Utara. Jurnal UNIERA. Volume 2 Nomor 2.

Pangareto S. 2016. Gereja melestarikan budaya [Internet]. [diunduh 02 Mei 2017]. Tersedia pada https://stp2013blog.wordpress.com/2016/06/14/gereja-melestarikan-budaya/

Parengkuan AF 2013. Gereja dan Tahun Yobel dalam Menjadi Gereja Halmahera. Ed. Sefnat. Hontong, Ricardo Nanuru, Anselmus Puasa. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Petrus J 2013. Meningkatkan mutu pendidikan melalui pendidikan budaya. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Puasa A. 2014. Perahu retak. Yogyakarta: Alinea Baru.

Piga A. 2012. Konsep budaya dalam perspektif iman Kristen dalam Injil dan Budaya Buku Peringatan 40 Tahun Kependetaan Prof.Dr.I.J.M.Haire. Ed. O.J.S.May, A.K.Djurubasa, A.Puasa. Yogyakarta (ID): Grafika Indah.

Ulwan MN 2014. Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling [Internet]. [diunduh 02 Mei 2017]. Tersedia pada http://www.portal-statistik.com/2014/02/teknik-pengambilan-sampel-dengan-metode.html

Voorhoeve CL 1983. The Non-Austronesian languanges in the North Moluccas dalam Halmahera dan Raja Ampat sebagai kesatuan majemuk. Ed. EKM Masinambow. Buletin LEKNAS Vol.II, No.2.