PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA PECAHAN

 

Markum

Guru Kelas VI SD Negeri Tlogowungu

 

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan pada peserta didik Kelas VI SD Negeri Tlogowungu Tahun Ajaran 2017/2018. Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebanyak dua siklus. Tiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah peserta didik Kelas VI SD Negeri Tlogowungu, Japah, Blora Tahun Pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 20 peserta didik. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes, dokumentasi, observasi dan wawancara. Teknik yang digunakan untuk memeriksa validitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik triangulasi, yaitu triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis yang menggunakan model analisis interaktif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan. Peningkatan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya nilai rata-rata dan ketuntasan klasikal pada setiap siklus, yaitu nilai rata-rata sebelum tindakan (Kondisi Awal) 57,25 dan ketuntasan klasikal sebesar 45%, pada Siklus I nilai rata-rata 66,25 dan ketuntasan klasikal sebesar 70% dan pada Siklus II nilai rata-rata 74,65 dan ketuntasan klasikal sebesar 90%.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Kooperatif, STAD, Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita, Pecahan.

 

PENDAHULUAN

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari–hari. Oleh karena itu, pelajaran matematika harus sudah diberikan sejak dini kepada anak, yaitu sejak anak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Menurut GBPP (1994: 70), mata pelajaran Matematika di SD mempunyai tujuan khusus, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari serta mengembangkan pengetahuan dasar Matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut. Namun kenyataannya menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik SD yang masih rendah kemampuan berhitungnya.

Matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit bagi sebagian besar peserta didik. Fenomena tersebut berdampak pada peserta didik secara umum yang merasakan ketakutan atau enggan dalam belajar Matematika. Minat belajar mereka kecil sekali terhadap mata pelajaran Matematika. Dengan kondisi yang demikian, sekolah atau guru tidak berani mematok nilai tinggi dalam membuat Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada setiap semester. Pembelajaran Matematika khususnya di SD cenderung sebagai pemindahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Peserta didik cenderung pasif dan hanya menerima apa yang disampaikan guru.

Dalam proses pembelajaran dapat diamati mengenai peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, baik tingkat pemahaman, penguasaan materi maupun hasil belajarnya. Semakin tinggi tingkat pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan dalam pembelajaran. Namun pada kenyataannya dalam proses belajar mengajar di SD Negeri Tlogowungu mengalami permasalahan, baik dari guru,peserta didik dan sarana atau alat peraga. Dari guru permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya pengalaman dan pengetahuan tentang pembelajaran inovatif, setiap hari hanya menggunakan metode ceramah dan tugas saja karena guru masih mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan metode yang inovatif. Disamping rasa malas, kreativitas guru juga masih sangat kurang dalam menciptakan pembelajaran yang ideal. Alat peraga dan sarana penunjang masih belum mencukupi, sehingga tidak semua pembelajaran menggunakan alat peraga.

Berdasarkan hasil pengamatan pada peserta didik kelas VI di SD Negeri Tlogowungu dalam menerima pembelajaran Matematika masih mengalami kesulitan, bahkan dari hasil observasi yang dilakukan dengan guru kelas terhadap hasil ujian akhir semester ternyata bidang studi Matematika memiliki nilai rata-rata yang lebih rendah dibandingkan bidang studi yang lain. Bahkan setelah dicoba pada peserta didik Kelas VI untuk mengerjakan lima soal cerita, dari 20 peserta didik yang mengerjakan hanya 9 orang peserta didik yang memperoleh nilai tuntas. Rendahnya nilai disebabkan oleh kesulitan peserta didik dalam menyelesaikan soal pecahan, khususnya bentuk cerita karena kurangnya pemahaman peserta didik dalam menyelesaikan soal yang berbentuk cerita tersebut, sehingga mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pembelajarannya. Sedangkan nilai ketuntasannya 65 hanya 45% yang tuntas, peserta didik yang lain tidak tuntas (55%).

Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan peserta didik di SD Negeri Tlogowungu terhadap materi bidang studi Matematika masih rendah, terutama penguasaan dalam menyelesaikan soal-soal Matematika, khususnya pecahan yang berbentuk cerita. Menyelesaikan soal-soal Matematika dalam bentuk cerita bagi peserta didik tidaklah semudah menyelesaikan soal-soal bentuk hitung biasa karena membutuhkan pemahaman yang lebih dalam mengerjakanya. Dalam soal-soal Matematika bentuk cerita sebelum menyelesaikannya terlebih dahulu perlu diubah ke model Matematika. Penyelesaian soal-soal Matematika bentuk cerita memerlukan berbagai keterampilan dan pemahaman yang tidak hanya membutuhkan kemampuan operasional, tetapi juga pemahaman mengenai soal atau masalah yang ditanyakan.

Salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan di atas, yaitu Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD karena dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal cerita pecahan. Metode STAD adalah salah satu model pembelajaran kooperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok, sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap peserta didik atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu model yang baik untuk melatih peserta didik dalam menguasai konsep, memecahkan masalah melalui proses memberi kesempatan berpikir dan berinteraksi sosial serta dapat meningkatkan kreatifitas, membina berkemampuan berkomunikasi dan terampil berbahasa. Beberapa kelebihan dari metode STAD, antara lain: (a) Peserta didik dan guru mendapatkan kemudahan untuk memahami materi pelajaran; (b) Peserta didik secara kooperatif dapat menyelesaikan pokok-pokok materi yang dipelajari; (c) Peserta didik dapat meningkatkan hasil belajarnya dengan adanya kerja sama semua unsur yang ada dalam kelas; (d) Peserta didik dapat meningkatkan kemampuannya dalam berdiskusi dan menyelesaikan tugas.

Atas dasar itu, peneliti mengadakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Pecahan (Penelitian Tindakan Kelas pada Peserta Didik Kelas VI SD Negeri Tlogowungu Japah Tahun Ajaran 2017/2018)”.

METODE PENELITIAN

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SD Negeri Tlogowungu, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora. Penelitian ini dilaksanakan pada Semester II Tahun Pelajaran 2017/2018.

Subjek penelitian dari penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah peserta didik dan peneliti sendiri, yaitu guru Kelas VI SD Negeri Tlogowungu, Kecamatan Japah Kabupaten Blora Tahun Pelajaran 2017/2018. Peserta didik Kelas VI berjumlah 20 peserta didik, yang terdiri dari 12 peserta didik perempuan dan 8 peserta didik laki-laki.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes, dokumentasi, observasi dan wawancara. Teknik yang digunakan untuk memeriksa validitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik triangulasi, yaitu triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis yang menggunakan model analisis interaktif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Kondisi Awal

Berdasarkan hasil pengamatan, peneliti mendapat kesimpulan bahwa peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pelajaran, masih banyak yang takut untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru. Pemahaman konsep peserta didik masih rendah, terutama pada pemahaman soal berbentuk cerita. Hal tersebut terbukti dari dua puluh peserta didik hanya 45% atau sembilan peserta didik yang mendapatkan nilai diatas KKM (nilai 65), sedangkan sisanya ada 55% atau ada sebelas peserta didik yang nilainya di bawah KKM. Secara lengkap rata-rata kelas 57,25 dan ketuntasan 45%.

Deskripsi Siklus I

Pembelajaran pada Siklus I dengan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD, peserta didik dibagi menjadi 4 tim, terdiri dari 5 anggota. Materi tentang soal cerita penjumlahan pecahan. Guru menjelaskan materi dengan kertas lipat berwarna. Pertemuan pertama dengan pecahan berpenyebut sama dan pertemuan kedua dengan pecahan berpenyebut tidak sama.

Tabel 4. Hasil observasi aktviitas peserta didik pada Siklus I.

No Keterangan Pertemuan pertama Pertemuan kedua
1 Total skor 22,4 24,8
2 Rata-rata skor 5,6 6,2
Rata-rata skor Siklus I 5,9

 

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata aktivitas peserta didik dalam pembelajaran kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan pada Siklus I pertemuan pertama, yaitu 5,6 dalam kategori masih kurang baik dari rata-rata aspek tanggung jawab, ketepatan menjawab dan kerja sama. Sedangkan pada pertemuan kedua, yaitu 6,2 dengan kategori baik. Nilai rata-rata keseluruhan aktivitas peserta didik pada Siklus I sebesar 5,9 dengan kategori kurang baik.

Sedangkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan sesuai dengan ulangan harian menunjukkan rata-rata kelas 66,25 dan ketuntasan 70%.

Deskripsi Siklus II

Pembelajaran pada Siklus II dengan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD yang sama seperti pembelajaran terdahulu. Yang membedakan hanya materinya saja. Materi tentang soal cerita pengurangan pecahan. Guru menjelaskan materi dengan kertas lipat berwarna. Pertemuan pertama dengan pecahan berpenyebut sama dan pertemuan kedua dengan pecahan berpenyebut tidak sama.

Tabel 7. Hasil observasi aktviitas peserta didik pada Siklus II.

No Keterangan Pertemuan pertama Pertemuan kedua
1 Total skor 26 31,2
2 Rata-rata skor 6,5 7,8
Rata-rata skor Siklus II 7,15

 

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata aktivitas peserta didik dalam pembelajaran kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan pada Siklus II pertemuan pertama, yaitu 6,5 dalam kategori baik dari rata-rata aspek tanggung jawab, ketepatan menjawab dan kerja sama. Sedangkan pada pertemuan kedua, yaitu 7,8 dengan kategori baik. Nilai rata-rata keseluruhan aktivitas peserta didik pada Siklus II sebesar 7,15 dengan kategori baik.

Sedangkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan sesuai dengan ulangan harian menunjukkan rata-rata kelas 74,65 dan ketuntasan 90%.

Pembahasan

Pada Kondisi awal pembelajaran Matematika, khususnya pada soal cerita, guru Kelas VI masih menggunakan pendekatan konvensional. Dalam proses pembelajaran kedudukan guru masih sangat dominan, peserta didik masih pasif hanya mendengarkan penjelasan guru, sehingga pemebelajaran berjalan searah. Dengan kondisi demikian, peserta didik hanya didudukkan sebagai objek, bukan sebagai subjek pembelajaran. Kerja sama antar teman untuk membina sosialisasi peserta didik sangat kurang, dalam pembelajaran lebih banyak dikerjakan secara perseorangan (individual). Motivasi belajar peserta didik dalam mengikuti pembelajaran sangat rendah. Konsep pembelajaran soal cerita hanya diterima dari guru melalui penjelasan saja, sedangkan kemampuan menganalisa dan mengevaluasi soal cerita kurang begitu ditekankan. Peserta didik kurang mampu mengonstruksikan, mendiskusikan atau merefleksikan materi pemebelajaran yang telah dipelajari, sehingga pembelajaran belum terasa bermakna bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam melakukan penilaian, guru hanya menekankan pada segi hasil dan umumnya menitikberatkan pada aspek pengetahuan semata. Penilaian proses belum mendapatkan perhatian penuh dari guru. Sebelum melakukan apersepsi soal cerita, peserta didik tidak melakukan upaya-upaya yang bisa membantu kelancaran pembelajaran soal cerita. Guru hanya memberikan tugas soal tanpa arahan dan bimbingan, bagaimana upaya menganalisa soal cerita secara efektif, kemudian peserta didik disuruh langsung mengemukakan hasilnya. Pada akhir kegiatan apersepsi soal cerita, peserta didik tidak mendiskusikan dalam kelompok dan tidak melakukan revisi terhadap hasil kerja peserta didik, sehingga masih ditemukan kesalahan-kesalahan. Berdasarkan hasil tes pada Kondisi Awal diketahui sejumlah 11 peserta didik mendapat nilai kurang dari 65, sedangkan nilai reratanya 57,25 dengan ketuntasan klasikal 45%.

Pada Siklus I menunjukan bahwa proses pembelajaran belum berjalan dengan baik. Peserta didik belum aktif melakukan kegiatan–kegiatan sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah dirancang oleh guru. Hal ini disebabkan peserta didik telah terbiasa belajar dengan lebih banyak mengandalkan perintah guru. Pada saat mengidentivikasi atau menentukan kalimat Matematika sederhana, peserta didik kurang memahami apa yang diharapkan oleh soal tersebut, sehingga hasil dari penyelesaian soal tersebut hasilnya banyak yang salah.

Data yang diperoleh dari pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik dalam mengikuti pemebelajaran dengan kriteria baik. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik selama mengikuti pembelajaran belum sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil tes soal cerita diketahui rerata kelas sebesar 66,25. Sejumlah 6 peserta didik mendapat kurang dari 65 dan 14 peserta didik mendapat nilai sama dengan atau di atas 65 dengan ketuntasan klasikal 70%.

Pada Siklus II yang perlu mendapat perhatian sebagai tindak lanjut dari Siklus I adalah penggunakan waktu yang efektif. Peserta didik perlu diarahkan agar dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam belajar. Aktivitas peserta didik dalam melakukan kegiatan yang diperintahkan guru perlu ditingkatkan.

Pembelajaran pada Siklus II telah diikuti peserta didik dengan cukup baik. Peserta didik telah dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Peserta didik lebih termotivasi belajarnya, lebih bersemangat dan antusias delam mengikuti proses pembelajaran. Pengaruh positif dari meningkatnya partisipasi dalam belajar ini adalah meningkatnya kegiatan belajar kelompok lewat berdiskusi. Kemampuan peserta didik mengidentifikasi, mengubah soal cerita, keaktipan dalam diskusi serta kemampuan menentukan hasil akhir sudah sangat baik, sudah mencapai batas tuntas yang telah ditetapkan. Peserta didik juga sudah tampak aktif mengikuti proses pemebelajaran. Hanya pada kegiatan berdiskusi masih perlu banyak mendapat perhatian agar lebih meningkat lagi. Peningkatan motVIasi belajar peserta didik dalam mengikuti pembelajaran dengan krateria baik dapat diketahui dari hasil pengamatan atau observasi.

Pada akhir pembelajaran Siklus II, dari hasil penilaian melalui tes soal cerita menunjukan angka kenaikan dengan nilai rerata 74,63 dan sejumlah 2 peserta didik mendapat kurang dari 65 dan 18 peserta didik mendapat nilai sama dengan atau di atas 65 dengan ketuntasan klasikal 90%.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Siklus I dan Siklus II dapat dinyatakan bahwa pembelajaran Matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan metode STAD dapat meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan soal cerita Matematika pada peserta didik Kelas VI SD Negeri Tlogowungu dan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran. Demikian perbandingan ketuntasan belajar peserta didik sejak Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II mengalami peningkatan, maka dapat dibuat tabel berikut ini:

Tabel 9. Perbandingan hasil belajar peserta didik.

Hasil tes Kondisi Awal Siklus I Siklus II
Nilai rata-rata 57,25 66,25 74,65
Peserta didik tidak tuntas 11 6 2
Peserta didik tuntas 9 14 18
Ketuntasan klasikal 45% 70% 90%

 

Kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal cerita pecahan mengalami perkembangan, yaitu dari Kondisi Awal sebelum dilakukan pembelajaran kooperatif peserta didik yang tuntas KKM hanya 55% dari jumlah 20 peserta didik. Pada Siklus I dilaksanakan pembelajaran kooperatif dengan metode STAD, peserta didik yang tuntas KKM menjadi 70% atau meningkat sebanyak 15% dari Kondisi Awal.Setelah dilakukan tindak lanjut kembali dalam Siklus II, peserta didik yang tuntas KKM menjadi 90% atau meningkat 35% dari Kondisi Awal atau meningkat 20% dari Siklus I.

Selain data nilai tiap siklus juga ada data aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Keaktifan peserta didik dan kinerja guru dalam proses pembelajaran pada Siklus I dan Siklus II juga mengalami peningkatan. Pada kegiatan observasi terlihat bahwa observasi aktivitas peserta didik meningkat dari Siklus I dari aspek ketepatan menjawab, aspek tanggung jawab dan aspek kerja sama dari 5,9 dalam kategori kurang baik menjadi 7,15 dalam kategori baik, sehingga mengalami peningkatan sebanyak 1,25. Aktivitas peserta didik dalam pembelajaran peserta didik dalam menyelesaikan soal cerita pecahan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD mengalami peningkatan dari Siklus I ke Siklus II.

PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan pada peserta didik Kelas VI SD Negeri Tlogowungu Tahun Ajaran 2017/2018. Peningkatan tersebut sesuai dengan nilai rata-rata dan ketuntasan klasikal pada Siklus II, yaitu nilai rata-rata sebesar 74,65 dan ketuntasan klasikal sebesar 90%.

Saran

Saran dalam penelitian ini sebagai beirkut:

Peserta didik

  1. Hendaknya ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran.
  2. Selalu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
  3. Dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita Matematika hendaknya lebih berusaha dan mau berinteraksi dengan temannya.

Bagi Guru

  1. Memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan pembelajaran.
  2. Lebih mempersiapkan perencanaan pembelajaran sebelum pelaksanaan pembelajaran.
  3. Menggunakan pembelajaran kooperatif metode STAD dalam meningkatan kemampuan menyelesaikan soal cerita Matematika.

Bagi Sekolah

  1. Menyediakan fasilitas yang mendukung dalam proses pembelajaran.
  2. Perlu menggiatkan adanya kelompok belajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
  3. Ikut mendorong peserta didik untuk berinteraksi dengan temannya dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan.

DAFTAR PUSTAKA

Cole, Peter G dan Chan, Lorna. 1994. Teaching Principles and Practice. Australia: Prentice Hall.

Depdikbud. 1995. Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Jenderal           Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. 2007. Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar Tingkat SD/MI.       Jakarta. Depdiknas.

_______. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.

Gatot, Muhsetyo. 2008. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: UT Press.

Ghazali, A Syukur. 2002. Metode Pengajaran Matematika dengan Strategi            Belajar Kooperatif. Magelang: Indonesia Tera.

Hawa, Siti. 2008. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Hudoyo. 1981. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.            Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Isjoni dan Ismail. 2008. Model Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Kamsiyati, Siti. 2006. Widya Sari Jurnal Ilmiah Pendidikan, Sejarah dan Sosial      Budaya. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Matematika. Salatiga: Widya Sari Press.

Kennedy. 1994. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Bumi Aksara.

Lie, Anita. 2002. CooperatVIe Learning mempraktikkan CooperatVIe Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Listyowati, Yohana Tatik. 2008. Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Anak Berkesulitan Belajar melalui Pembelajaran Kooperatif tipe STAD      di Kelas V B SD Negeari Cemara Dua No. 13 Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Tidak dipublikasikan.

Lundgren, Linda. 1994. CooperatVIe Learning in the Science Classroom. New York: Clencoe Mc Graw Hill.

Mortarela. 1994. Metode Mengajar dan Keulitan-kesulitan Belajar. Bandung:         Tarsito.

Nurhadi. 2009. Model Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Grasindo.

Purwoto dan Marwiyanto. 2003. Pendidikan Matematika Materi Penataran Tertulis            Sistem Belajar Mandiri. Bandung. Depdiknas Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Ruseffendi. 1988. Pengantar Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Satyananda, Darmawan. 2007. Pengembangan Materi Program Instruksional       sebagai suatu Perangkat Pembelajaran Kooperatif dalam Upaya             Meningkatkan Penguasaan Konsep Matematika pada Perkuliahan MAU4O9 Teori Bilangan. Artikel dengan sumber dari http://lemlit.um.ac

Sharan, Shlomo. 1999. Handbook of Cooperatif Learning. Yogyakarta: Imperium.

Simanjuntak, Lisnawaty dkk. 2008. Metode Mengajar Matematika I. Jakarta:        Rineka Cipta.

Slavin E, Robert. (2008). CoperatVIe Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Soedjadi. R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Sugiyanto. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 Surakarta.

Suprijono, Agus. 2009 Cooperatif Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Syarif Ahmad. 2001. Mengatasi Kesulitan Peserta Didik dalam Menyelesaikan Soal            Cerita Satu Langkah. Jurnal Ilmu Pengetahuan LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan ISPI.

Van De Walle, John A.. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Jakarta: Erlangga.

Wardhani, IGAK. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka Press.

Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.