PERAN KYAI IBRAHIM TUNGGUL WULUNG DALAM PENYEBARAN AGAMA KRISTEN DI DESA BANYUTOWO KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI
PERAN KYAI IBRAHIM TUNGGUL WULUNG
DALAM PENYEBARAN AGAMA KRISTEN DI DESA
BANYUTOWO KECAMATAN DUKUHSETI KABUPATEN PATI
Warih Kristianto, Sunardi, Tri Widiarto
Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRAK
Penyebaran Agama Kristen di Jawa bukan lagi menjadi pekerjaan Zending sepenuhnya karena muncul orang pribumi yang mampu melakukan hal yang sama dengan metode yang berbeda. Muncul dari keluarga Keraton Surakarta bernama Pangeran Tandakusuma yang kemudian menjadi orang Kristen berkat pengalamannya bertemu dengan Pendeta dari Belanda serta menjadi seorang pertapa, Kemudian namanya diganti menjadi Tunggul Wulung dan setelah dibaptis menjadi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Dengan gaya kepemimpinan serta intelektualnya, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mampu menciptakan aliran kekristenan sesuai kebutuhan orang-orang Jawa, menggunakan kebudayaan Jawa sebagai metode pengajaran agama Kristen, memisahkan diri dari Kristen Landa serta membuka desa Kristen Banyutowo. Melalui perannya tersebut, maka dimulailah babakan baru munculnya kekristenan Jawa.
Kata Kunci: Peran, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, Penyebaran Agama Kristen.
PENDAHULUAN
Kekristenan mulai berkembang ke–tika pasca perang Jawa antara pihak Belanda dengan pihak Pangeran Dipone–goro tahun 1825-1830 yang dimenangi oleh pihak Belanda. Dari sinilah organisasi pengabaran Injil dari Belanda yaitu Zen–ding mulai dengan gencar mengenalkan agama Kristen terhadap masyarakat Jawa. Para Zending membuka jalan untuk masuknya kekristenan di Jawa, walaupun seperti itu tidak banyak masyarakat Jawa yang dapat dijangkau. Paradigma masya–rakat Jawa yang menganggap orang Be–landa sebagai penjajah itulah yang menyu–litkan kerja Zending. Peran Zending sebe–narnya tidak kecil dalam perkembangan agama Kristen di Jawa dari organisasi inilah kekristenan yang sebelumnya tidak pernah ada mulai diperkenalkan dan dise–barkan kepada masyarakat Jawa, selain hal tersebut, muncul juga banyak tokoh-tokoh Kristen pribumi yang membantu penyebaran agama Kristen.
Tokoh Kristen pribumi yang sangat berperan dalam penyebaran agama Kristen di Jawa yaitu Kyai Ibrahim Tunggul Wu–lung. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung meng–gunakan metode penyebaran agama Kris–ten yang berbeda dibandingkan dengan metode penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh para Zending. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memilih menggunakan media kebudayaan Jawa untuk melakukan penginjilan karena dianggap lebih efektif dibandingkan dengan metode yang dibawa oleh para Zending yang menggunakan meode ceramah. Berawal dari sinilah babakan baru tentang kekristenan khas Jawa mulai muncul yang masih kental dengan kebudayaan Jawa dan membuka Desa banyutowo sebagai Desa komunitas orang Kristen Jawa pengikut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung.
METODE
Metode yang digunakan dalam pe–nelitian ini adalah metode historis yaitu prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau pening–galan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang ber–langsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa lalu, selanjutnya kerap kali juga hasilnya digunakan untuk meramalkan kejadian atau keadaan masa yang akan datang (Hadari Nawawi, 1983:78). Adapun urutan yang harus dilakukan oleh penulis dalam metode penelitian sejarah, antara lain:
1. Heuristik
Sebagai langkah awal adalah heu–ristik atau dalam bahasa Jerman Quellen–kundee, yaitu sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, atau materi sejarah. Penulis dalam penelitian ini untuk menemukan sumber-sumber sejarah menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara dengan narasum–ber. Dalam perpustakaan bisa ditemukan arsip, buku, majalah dan surat kabar yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Kritik
Kritik dilakukan setelah data-data sejarah terkumpul dengan tujuan untuk menguji mengenai kebenaran atau kete–patan sumber (verifikasi) yang terkait dengan penelitian. Dalam penelitian ini dilakukan melalui kritik sumber, yaitu:
a. Kritik Ekstern
Fungsi dari kritik ekstern ada–lah memeriksa sumber sejarah dari suatu penelitian untuk mendapatkan informasi yang mungkin, dan menge–tahui keaslian (authenticity) sumber. Penulis dalam melakukan kritik ekstern dengan cara melihat tanggal, bulan, tahun serta siapa pengarang sumber tersebut dengan mengidentifikasi sikap serta latar belakang pendidikan dari pengarang.
b. Kritik intern
Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memban–dingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang benar-benar rele–van dengan tema penelitian.
3. Interpretasi
Dalam penelitian ini dilakukan de–ngan menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah diseleksi tersebut dihubungkan satu sama lain sehingga muncul fakta yang relevan yang akan menjadi suatu kisah sejarah.
4. Historiografi
Langkah terakhir ini merupakan langkah menulis jejak-jejak sejarah ber–dasarkan data yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan ditafsirkan sehingga tersu–sun sebuah karya sejarah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung me–rupakan salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa pada tahun 1854-1885. Tokoh yang berkharisma ini berasal dari keluarga Pura Mangkunegaran Surakarta dengan nama kecilnya Raden Tanda, lengkapnya Raden Tandakusuma yang dilahirkan dari selir Raden Ngabehi Admodjodirdjo seorang Bupati Pura Mangkunegaran. Ketika dewasa, Raden Tandakusuma menjadi seorang Demang di kawasan Kediri dengan nama Raden Demang Padmadirja. Keterlibatannya de–ngan Perang Jawa tahun 1925-1930 dipim–pin oleh Pangeran Diponegoro yang pada akhirnya mengalami kekalahan menye–babkan dia melarikan diri dan menyem–bunyikan diri dari kejaran pemerintah Kolonial Belanda tinggal di suatu desa yang jauh dari Kediri yaitu di kawasan sekitar Ngalapan sampai Juwana.
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung me–ngenal kekristenan dari seorang pendeta bernama pendeta Bruckner dan hasil pewahyuan dalam kegiatan pertapaannya di Gunung Kelud guna usaha mencari sejatinya hidup, kemudian memutuskan belajar dengan Zending Jellesma untuk memperdalam pengetahuaannya tentang kekristenan. Setelah dirasa usahanya belajar kekristenan cukup maka Kyai Ibra–him Tunggul Wulung memutuskan untuk mengabarkan kekristenan sendiri (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 28-35).
Hal yang dilakukan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung setelah menerima pembe–lajaran dari Jellesma yaitu bahwasannya dia ingin mengabarkan Injil ke daerah Ngoro yang masuk dalam distrik Kertosono Karesidenan Kediri dilanjutkan ke Desa Pelar di Malang. Di sini Tunggul Wulung mendapat simpati dan penerimaan masya–rakat desa, kemudian melanjutkan ke Di–moro bagian dari daerah Kepanjen, Jeng–krik bagian dari daerah Malang, dan Jungo bagian dari daerah Pandaan selanjutnya sampai di daerah Kediri, Banyumas, Kudus, Rembang, dan sekitarnya.
Selanjutnya Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mempunyai daerah penginjilan di sekitar daerah Muria yaitu di daerah Kabupaten Juwana (Juwana waktu Kolonial Belanda adalah kabupaten dan Pati adalah Karisedenan) yaitu daerah Tayu sampai Juwana, seperti Desa Bangsal dan Ngala–pan yang berada di Juwana, Margotuhu Klitheh dan Ngluwang daerah Tayu. Dalam proses penginjilan yang dilakukan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung esensi yang pa–ling utama yaitu bahwasanya Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menggunakan metode pendekatan budaya Jawa, jadi inilah yang melandasi alasan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengalami keberhasilan dalam penginjilannya.
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mempunyai cita-cita mendirikan Desa Kristen untuk para pengikutnya. Kyai Ibra–him Tunggul Wulung memiliki sekelompok jemaat di Kawedanan Margotuhu yang terbentuk sekitar tahun 1861. Berawal dari tiga keluarga yaitu keluarga Thomas, Ananias, dan Nakhum yang awalnya dari Desa Blingi tetapi pindah dan menumpang di Desa Margotuhu Kliteh yang terletak di sebelah Tenggara Kota Tayu sekitar 6 kilometer ketika mereka menjadi pengikut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Mereka bekerja sebagai para nelayan karena tidak punya lahan untuk bertani. Tekanan-tekanan dari tokoh setempat yang berna–ma Mbah Jagaresa yang beragama Islam membuat keluarga Thomas, Ananias, dan Nakhum memutuskan untuk pindah ke daerah Desa Dukuhseti melalui jalur laut kemudian masuk muara sungai Alasdowo dan naik ke Dukuhseti pada tahun 1861.
Kepindahan mereka diikuti sauda–ra-saudara mereka yang lain yang berasal dari Blingi dan bersama-sama menempati Dukuhseti bagian Selatan. Ternyata di Dukkuhseti juga mendapat serangan dari para penduduk setempat, kemudian Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memutuskan membuka Desa baru kemudian Desa Ter–sebut diberi nama Desa Banyutowo atas dasar ketika proses pembabatan hutan para pengikut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung kehausan, maka Kyai Ibrahim Tunggul Wulung berdoa dan menancapkan tongkat ke tanah kemudian keluar air yang bisa diminum. Banyutowo berasal dari kata “Banyu” yang berarti air dan “Towo” uang berarti tawar.
Metode yang dipakai Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dalam penginjilan meli–puti:
1. Metode Jagongan
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memakai jagonan untuk melakukan pendekatan serta memberikan peng–ajaran kekristenan terhadap masyara–kat Jawa dan jemaatnya.
Dalam jagongan tersebut hal yang biasa dibahas adalah perdebatan mengenai ngelmu. Semua ngelmu yang kebanyakan orang Jawa pelajari dan kuasai diadu dengan ngelmu Injil, dibandingkan dan memberikan kesim–pulan bahwa ngelmu Injil lebih hebat dari ngelmu apapun yang dikuasai oleh orang Jawa. Sifat orang Jawa yang cenderung akan mengikuti penguasa terbesar demikian juga mereka akan mempelajari ilmu yang paling hebat dan meninggalkan ilmu yang sebelum–nya telah dikuasai adalah cara peng–injilan yang dikira sangat efektif oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung karena dia telah menunjukkan kekuatan ter–besar yang harus diikuti oleh orang-orang Jawa yaitu Injil Kristus. Disam–ping membahas tentang Ilmu Kristen jagongan juga akan mempererat hubungan bermasyarakat dalam jema–atnya. Semua hal bisa dibahas ketika Jagongan dan oleh karena Kyai Ibra–him Tunggul Wulung dianggap sebagai pemimpin dan penatua maka oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bisa mem–berikan petuah serta nasehat kepada para jemaatnya tersebut sehingga dimulai dari situ tercipta sebuah komu–nitas orang Jawa. Pengajaran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung selalu dilan–dasi dengan Sepuluh Hukum Perkara dan dua Hukum Kasih yang telah diajarkan Tuhan Yesus.
2. Metode Padepokan
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menggunakan konsep pengajaran yang digunakan oleh orang orang Ja–wa sejak kejayaan Hindu-Budha yaitu konsep pengajaran di Padepokan. Hal ini hanya bisa ditemukan di Jawa dan tidak bisa ditemukan dibangsa lainnya. Orang Islam Jawa juga menggunakan konsep ini yaitu Pondok Pesantren dimana di daerah Timur Tengah tidak ditemukan konsep yang merupakan Agama Islam berasal dan ini mem–buktikan bahwa metode Padepokan hanya ada di Jawa. Dalam konsep Padepokan ini hubungan antara Resi dan Cantrik sangat kuat lebih dari antara guru dengan murid dan inilah cara Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menanggapi Amanat yaitu mengguna–kan konsep Padepokan untuk melaku–kan pemuridan.
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengajarkan keimanan, pengajar–annya dilakukan pada malam hari keti–ka para pengikutnya selesai bekerja. Pengajaran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung seputar tentang bagaimana cara hidup bermasyarakat, kemudian mengajarkan memenuhi hajat sebagai–mana manusia bekerja, cinta damai yang di imani dalam sepuluh hukum perkara dan dua hukum kasih. Di pa–depokan ini Kyai Ibrahim Tunggul Wulung begitu kreatif membuat doa-doa yang mudah dihafalkan yang ini sesuai kebutuhan jemaat Jawa saat itu.
3. Metode Rapal
Kehidupan orang Jawa tidak bisa lepas dengan kebiasaan nenek moyang dan meninggalkan keper–cayaan yang sudah mereka anut seki–an lama. Mereka masih percaya bahwa rapal-rapal bermanfaat dan menolong mereka menyelamatkan dari gangguan roh-roh jahat. Demikian juga dengan jemaat Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang baru mengenal kekristenan ma–sih mempercayai dan memakai rapal-rapal dalam kehidupan mereka. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menyadari kesulitan ini dan mengerti bahwa kebudayaan tersebut tidak begitu saja ditinggalkan oleh jemaatnya yang ada di desa Banyutowo. Karena kebijaksa–naan dari Kyai Ibrahim Tunggul Wu–lung, maka Dia merubah rapal Jawa menjadi rapal Kristen. Rapal ini digu–nakan ketika membuka desa Banyu–towo. Satu-satunya rapal yang diajar–kan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung kepada Jemaat Banyutowo berbunyi seperti berikut:
Bapa Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah
Telu-telune tunggal dadi sawiji
Lemah sangar kayu angker
Upas racun pada tawa
Idi Gusti manggih slamet selami–nya
Yang berarti:
Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci
Ketiganya adalah Satu
Tempat yang berbahaya pohon-pohonan yang jahat
Segala racun akan menjadi tawar
Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya
Rapal ini diucapkan oleh je–maat banyutowo sebelum melakukan segala aktifitas seperti, bertani, nelayan, berdagang dan apapun itu pekerjaannya. Bagi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung rapal ini mempunyai makna sama halnya menghafal dan mengucapkan Doa Bapa Kami, Sahadat Dua Belas Rasuli, dan Dasa Titah maka, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak menganggap rapal bertentangan dengan Iman Kristen tetapi keduanya dapat disatukan menjadi sebuah ajaran yang baru yang bisa diserap oleh orang Jawa sesuai kebutuhan kebudayaan Jawa ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 56).
4. Rumah Jawa sebagai Tempat Ibadah
Dalam melakukan ibadah, sebagai tempat beribadah yang disediakan bukan berarti bernama Gereja itupun bisa disebut dengan nama Mesjid. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak terpaku dengan hal-hal teknis melainkan sesuatu yang bisa ditangkap dan dijadikan kekayaan batin. Setiap orang punya gereja dihatinya masing-masing jadi makna bangunan tidaklah begitu penting yang terpenting adalah hati mereka untuk mengikut Yesus. Kata masjid dipakai dengan dasar bahwa tempat ibadah yang mereka tahu yaitu masjid dan para Jemaat belum mengerti Gereja berbentuk seperti apa.
Tempat kebaktian diatur sebagai perpaduan antara gereja dan pertemuan kejawen, itu berarti bangunan Joglo yang menandakan rumah khas orang Jawa. Bagian rumah Jawa yang disebut krobongan diguna–kan sebagai mimbar pinitua-pinitua. Kebaktian dibuka oleh pinitua dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memba–wakan khotbah diikuti para jemaat pria yang duduk disepanjang kursi yang ditaruh di barisan dinding kiri dan ka–nan serta depan pengkhotbah, anak-anak dan jemaat wanita duduk lesehan di atas tikar yang telah tersedia ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 66).
5. Tembang Jawa
Tembang pada dasarnya ada–lah salah satu kebudayaan yang dimi–liki oleh orang Jawa dan melekat erat dengan kehidupan sehari-hari. Banyak kegiatan dilakukan dengan tembang, mssal menidurkan anak Dalam mela–kukan pujian dipimpin oleh pangelik atau orang yang menyayikan tembang Jawa secara sendirian setelah itu disusul oleh jemaat wanita sementara itu jemaat pria bertugas ngegongi saja. Lagu-lagu pujian dikarang sendiri oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung ataupun memakai lagu-lagu pujian karangan Poensen, seorang pengarang lagu dari Belanda dengan irama gendhing Jawa ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 67).
6. Ngaji Kristen
Pola pikir Kyai Ibrahim Tung–gul Wulung dalam penyebarkan Injil kepada jemaatnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan budaya Jawa serta Islam yang pernah dianut dan dianut sebagian besar Jemaatnya sebelum mengenal kekristenan yang telah dibawakan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dapat dilihat dari cara Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengajarkan Doa Bapa Kami, Dasa Titah, dan Pengakuan Iman Rasuli dengan sistem belajar Ngaji. Istilah Ngaji secara umum dipakai oleh orang-orang Islam tetapi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak merasa janggal memakai kata tersebut hal ini dimaksudkan sebagai tandingan bagi Islam. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bahkan mengubah lafal tahlilan Islam menjadi tahlilan cara Kristen yaitu dengan mengucap–kan “la illah ha illalah muham–madarrasullallah” berulang-ulang men–jadi “la illah la illalah, Yesus Kristus Putra Allah” (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 64)
KESIMPULAN
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung merupakan tokoh penginjilan Jawa yang besar. Dari intelektualnya muncul gagasan baru tentang penginjilan menggunakan media budaya Jawa. Hasil yang diperoleh sangat luar biasa. Lebih banyak orang Jawa menjadi Kristen oleh karena penginjilannya Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dibandingkan penginjilan Zending.
Desa Banyutowo menunjukkan eksistensi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dalam panggilannya mengabarkan Injil, selanjutnya dari Desa Banyutowo Kyai Ibrahim Tunggul mengakomodasi setiap jemaatnya untuk bertumbuh dalam iman Kristen serta mendidik jemaat dalam upaya menciptakan generasi baru yang siap untuk menjadi penginjil.
DAFTAR PUSTAKA
Hadari Nawawi. 1983. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
S.H Sukoco, Lawrence M. Yoder. 2010. Tata Injil Di Bumi Muria. Semarang: Pustaka Muria.