PERJALANAN ZIARAH KI AGENG PANDANARAN DAN PRASASTI PLUMPUNGAN DALAM MENGUPAS HARI JADI SALATIGA

(Kajian Sejarah dan Theologi Sastra)

 

Tri Widiarto

Prodi Sejarah FKIP-UKSW Salatiga

 

ABSTRAK

Ada dua sumber utama dalam menentukan hari jadi Salatiga, pertama adalah sumber historis yaitu Prasasti Plumpungan dan sumber kedua adalah sumber sastra, yaitu Babad Demak (Perjalanan Ziarah Ki Ageng Pandanaran) Kedua sumber tersebut meskipun berbeda makna dan periodenya tetapi saling melengkapi. Prasasti Plumpungan dihampiri dengan metoda sejarah, sedangkan Babad Demak dihampiri dengan Theologi Sastra. Kedua metoda penelitian tersebut dapat jumbuh dalam menentukan hari jadi Salatiga, yang sarat dengan nilai nilai kehidupan.

Kata kunci: Ki Ageng Pandanaran, Prasasti Plumpungan, Salatiga

 

Latar Belakang

Pada hakekatnya pembangunan merupakan suatu usaha ke arah peningkatan kesejahteraan penduduk di segala kehidupannya. Baik di sektor ekonomi, politik sosial dan budaya. Dalam proses pembangunan ini biasanya diikuti dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan agar proses peningkatan kesejahteraan itu dapat segera terwujud. Sikap yang selalu menempatkan high technology (hitec) tanpa mempertimbangkan konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan, pada gilirannya dapat menyebabkan gejolak negatif karena masyarakat belum dapat menyesuaikan dengan pola pembangunan yang sedang berkembang, oleh karena itu perlu diadakan sosialisasi nilai-nilai sejarah budaya kota setempat.

Di sisi lain membuktikan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang atas dasar nilai dan gagasan tertentu belum sepenuhnya sesuai dengan nilai dan gagasan utama yang selama ini mendominasi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu besar kemungkinan pembangunan itu akan menggeser nilai-nilai dan gagasan utama yang telah mengkristal dalam masyarakat. Dalam konteks inilah sangat perlu adanya sinkronisasi antara pembangunan yang memanfaatkan high tech dengan memperhatikan nilai-nilai dalam perkembangan sejarah kota setempat.

Merujuk pemahaman di depan maka pembangunan di suatu daerah agar terwujud dengan baik diperlukan pengembangan dan pendayagunaan seluruh potensi dan kemampuan yang ada dengan berlandaskan pada wawasan identitas daerah (jati diri). Dengan memahami terbentuknya sejarah kota setempat (Salatiga) diharapkan dapat memberikan nilai-nilai tertentu yang terkandung dalam sejarah kota tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah terbentuknya kota biasanya bersifat abadi, misalnya nilai kepahlawanan, gotong royong dan toleransi. Sehingga dengan mempelajari terbentuknya suatu kota dapat memberikan wawasan dan arah untuk pembangunan dewasa ini. Hal ini sesuai dengan arah pembangunan, diharapkan memperhatikan juga segi-segi kebudayaan setempat yang mencerminkan nilai-nilai agama, budaya, sejarah, serta mengembangkan kelestarian budaya bangsa. Pembahasan Prasasti Plumpungan secara historis dan Perjalanan Ki Ageng Pandanaran secara Theologi sastra, mencerminkan upaya untuk menggali dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan

Untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan sejarah terbentuknya hari jadi Salatiga dan terbentuknya Stads Gemeente Kota Salatiga, dengan sumber Prasasati Plumpungan dan Perjalanan Ziarah Ki Ageng Pandanaran.

Manfaat Penelitian

  • Bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Salatiga untuk memahami identitas Kota Salatiga.
  • Bahan masukan bagi sekolah-sekolah dalam menyusun kurikulum muatan lokal bidang sejarah.
  • Acuan bagi masyarakat untuk lebih memahami sejarah terbentuknya hari jadi Salatiga Stads dan terbentuknya Gemeente Salatiga dalam rangka menanamkan rasa cinta dan kebanggaan daerahnya.

Informasi Salatiga Dalam Literatur

Salatiga telah banyak ditulis dalam buku-buku sejarah (babon/standar), berikut ini antara lain:

  1. Nugroho Notosusanto, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia II, menyebutkan:

Bahwa dalam Prasasti Hampra (Plumpungan) tahun 750 M, istilah “Trigosthi” dalam prasasti tersebut menurut Prof. D. Poerbotjaroko dapat diidentifikasikan sebagai Salatiga, sebab berdasarkan tafsiran sinonim trigosthi adalah trisala, ini dalam kaidah bahasa Indonesia menjadi Salatiga. (Nugroho Notosusanto, dkk, 1984: 102).

Dari penjelasan tersebut nampak bahwa Salatiga telah dikenal dan menjadi salah satu pusat budaya Hindu-Budha pada abad ke-8 M di Indonesia.

  1. Susanto Tirtoprodjo, dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, mengungkapkan bahwa:

Dari penjelasan tersebut nampak bahwa Kota Salatiga memiliki pesona tersendiri pada masa lampau. Keindahan Kota Salatiga tertuang dalam ungkapan berikut ini: Solotigo De Schoonste Stad Van Midden Java artinya, Kota Salatiga terindah se – Jawa Tengah. (Handjohojo, 1975: 4).

  1. C Ricklefs dalam bukunya: Sejarah Indonesia Modern, mengungkapkan bahwa bertolak dari Perjanjian Salatiga (1756) maka Raden Mas Said berhasil mendirikan Kerajaan Mangkunegaraan (Ricklefs 1992: 151). Sehubungan dengan itu Tri Widiarto dan Kasmun Saparaus dalam buku: Arti Penting Perjanjian Salatiga Terhadap Berdirinya Kerajaan Mangkunegaraan. Secara tegas ditekankan bahwa berdirinya Kerajaan Mangkunegaran tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Perjanjian Salatiga (1756), dijelaskan sebagai berikut:

Salatiga pada abad ke-8 mempunyai peranan penting dihubungkan dengan penyelesaian konflik yang terjadi antara Mas Said pada satu pihak dengan Paku Buwono III serta Hamengku Buwono I dengan VOC. Konflik diawali dengan sikap Sultan yang selalu memihak kepada Belanda, sikap itu ditentang Mas Said yang anti VOC. Di Salatiga konflik itu dapat diselesaikan dan berdirilah Kerajaan Mangkunegaran di Surakarta. (Tri Widiarto, dkk 1998: 21).

Dari penjelasan tersebut nampak bahwa Kota Salatiga cukup memiliki peran dalam proses Sejarah Nasional Indonesia.

Prasasti Plumpungan Dan Hari Jadi Salatiga

Studi yang mendalam tentang Prasasti Plumpungan dan Hari Jadi Salatiga, telah diteliti dan ditulis oleh Tim Peneliti Pemda Salatiga tahun 1995, dalam buku yang berjudul: HARI JADI SALATIGA 24 JULI 750 M.

Dalam tulisan ini akan disoroti nilai-nilai intrinsik yang terdapat dalam Hari jadi Saalatiga tersebut, antara lain:

  1. Keteraturan Hidup Masyarakat: ini dapat dibuktikan bahwa hanya masyarakat yang teratur yang mampu menyusun pemerintahan, dan ini telah dibuktikan oleh Warga Salatiga pada tahun 750 M, dengan rajanya yang bernama Bhanu.
  2. Toleraansi Agama: dalam Prasasti Plumpungan terdapat simbol Agama Budha dan Hindu (Civa), nama Bhanu adalah nama yang melambangkan agama Budha, tetapi juga dalam Prasasti Plumpungan terdapat gambar gambar yang melambangkan Agama Hindu (Civa), ini membuktikan warga Salatiga pada tahun 750 telah melaksanakan toleransi agama.
  3. Kebebasan Berpendapat: Dalam studi sejarah, fungsi utama prasasti adalah, apa yang dinamakan sebagai Shambanda, yaitu yang berisi perintah atau amaanat raja yang mengeluarakbn prasasti tersebut. Dalam Prasasti Plumpungan Sambanda-nya berisi Pembebasan sebagai Tanah Perdikan (Merdeka/otonom) bagi masyarakat Hampra (Salatiga)

Terbentuknya Stads Gemeente Salatiga

Menjelang abad ke-20 wilayah Salatiga banyak dipadati oleh orang-orang Belanda, hal ini karena daerah Salatiga berhawa sejuk, sehingga banyak diminati oleh penduduk Eropa. Untuk merespon kepentingan penduduk Eropa ini maka Salatiga yang semula berbentuk Kawedanan Salatiga dirubah menjadi Kotamadya Salatiga berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1917 nomor 1 (Staatblaad 1917 Nomor 266). Maka sejak tanggal 1 Juli 1917 didirikanStads Gemeente Salatiga.

Menurut R. M. Handjohojo, seorang mantan Walikota Salatiga dalam bukunya Riwayat Kota Solotigo, isi dari Stads Gemeente tersebut adalah wilayah Salatiga terdiri dari 8 desa, diambil dari wilayah asisten Salatiga, yaitu:

  1. Sebagian besar dari desa Sidorejo Lor sekarang.
  2. Sebagian besar dari desa Salatiga Krajan sekarang
  3. Sebagian besar dari desa Kutowinangun sekarang
  4. Seluruh desa Kalicacing sekarang
  5. Kurang lebih separo dari desa Mangunsari sekarang
  6. Sebagian besar dari desa Gendongan sekarang
  7. Sebagian kecil dari desa Tegalrejo sekarang
  8. Sebagian kecil dari desa Ledok sekarang

Menurut peta kota Solotigo, bentuk Stads Gemeente Solotigo merupakan persegi empat dengan ukuran panjang kurang lebih 4 km, lebar 3 km atau luas keseluruhannya kurang lebih 1.200 ha.

Apa sebab kota sekecil itu, yang luasnya sekitar 1.200 ha, dan penduduknya tidak lebih dari 20.000 orang dijadikan suatu Gemeente, tidak lain karena:

  1. Kota Solotigo adalah kota pegunungan terletak di lereng Gunung Merbabu, tingginya rata-rata 600 meter di atas permukaan laut, udaranya sejuk. Letaknya strategis diantara kota Solo, Semarang, dan Magelang.

Merupakan tempat beristirahat orang-orang Eropa.

  1. Disekitar Gemeente banyak sekali penduduk berkebangsaan Belanda, administrateurs, employes, epzichters dan lain-lainnya. Mereka adalah penghuni dari tangsi (kampement) Solotigo, Ambarawa, dan Banyubiru. Sedangkand lainnya adalah para penguasa ondernemingen dan kleinondermingen di sekitar kota Solotigo, misalnya perkebunan karet, kopi, coklat, dan teh disekitar Salatiga.
  2. Mereka bangsa Belanda tidak senang berada di bawah pemerintahan seorang bupati pribumi.

Dari pemaparan tersebut nampak bahwa penentuan Stads Gemeente itu, lebih ditunjukkan untuk kepentingan Hindia Belanda. Dengan demikian orientasinya cenderung Nerlando Sentris. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan R.M. Handohojo sebagai berikut:

Terbentuknya Stads Gemeente Solotigo, jelas maksudnya bukan untuk memperbaiki kemakmuran daerah ataupun menaikkan taraf hidup, tetapi yang didahului ialah menjamin kesejahteraan golongan atasan dari orang-orang yang dipertuan. Buktinya Dewan Perwakilan Rakyat Kota diketuai oleh Asisten Residen Solotigo yang beranggotakan sebelas orang, terdiri dari delapan orang Belanda, dua orang Bumi Putra dan satu orang bangsa asing lainnya. Janggal tampaknya perbandingan tersebut, tetapi pada waktu itu hal demikian tidaklah aneh.

Setelah Gemeente maka mulailah kota diperindah, jalan-jalan besar diperbaiki dan diaspal, trotoar dan jalan-jalan kampung diperkeras dengan beton dan tegel, pagar-pagar dirapikan, selokan-selokan dipelihara, halaman rumah ditanami bunga-bungaan, taman sari atau taman bunga dibuat dan tiada ketinggalan kiri-kanan jalan raya ditanami pohon-pohon yang rindang seperti pohon kenari dan mahoni.

Tempat-tempat rekreasi seperti Sociteit Harmonei sekarang Gedung Pertemuan Daerah, Pemandian Kalitaman, Tennisball, Taman Sari mulai diadakan. Untuk penginapan disediakan hotel yang cukup baik, seperti Hotel Kalitaman sekarang Hotel Kaloka, Hotel Berg En Dal terletak di Taman Sari, Hotel Blommestein sekarang untuk Kodim.

 

Rumah-rumah gedung didirikan sepanjang jalan Tuntang dengan pagar besinya yang rapi. Hanya janggal sekali bahwa orang bumi putra (Jawa) dilarang untuk tinggal mendirikan rumah sepanjang jalan Tuntang, seperti yang dialami oleh almarhum Ibu Kardinah Reksonegoro waktu beliau akan mendiami rumah di jalan Tuntang pada tahun 1930.

Untuk memperingati atau mengabdikan nama keluarga Kerajaan Belanda, beberapa jalan di Kota Salatiga diberi nama:

  1. Willemslaan, sekarang jalan Ledoksari (Monginsidi)
  2. Emmalan, sekarang jalan Kepatihan (Adi Sucipto)
  3. Wihelminalaan, sekarang jalan Tamansari.
  4. Prins Hendrikstraat, sekarang jalan penjara (Yos Sudarso)
  5. Julianalaan, sekarang jalan Langesuko
  6. Prinsenlaan, sekarang jalan Jangkungan.

Akhirnya karena Solotigo indah dan baik tata kotanya pada waktu itu mendapat Akhirnya karena Solotigo indah dan baik tata kotanya pada waktu itu mendapat julukan “Solotigo De Schoonte Satd Van Mindden Java” atau kota Solotigo yang terindah se Jawa Tengah. (R. M. Handjohojo 1975: 16-17)

Merujuk kepada uraian yang diberikan oleh R.M Handjohojo, menunjukkan bahwa Salatiga sebagai Kota baru ada setelah Stads Gemeente, yaitu tanggal 1 Juli 1917 atau awal abad ke-20. Dan munculnya kota Salatiga pada waktu itu memang untuk kepentingan Hindia Belanda.

KAJIAN THEOLOGI SASTRA ATAS PERJALANAN ZIARAH KI AGENG PANDANARAN

Secara historis sudah tepat hari jadi Salatiga menggunakan sumber Prasasti Plumpungan dengan pendekatan sejarah. Sedangkan pendekatan Theologi Sastra digunakan untuk mmenghampiri sumber Babad Tanah Demak yang khusus membahas tentang Perjalanan Ziarah Ki Ageng pandanaran sbb:

Pada suatu malam setelah sholat isjak, Kyai Ageng Pandanaran bercerita kepada istrinya bahwa besok pagi setelah sholat subuh beliau akan pergi berjalan kaki kerah Selatan, belum tahu mana yang akan dituju dan tanpa akan membawa bekal apapun. Cita-citanya hanya mohon diberi wahyu dari Tuhan agar diberi kesaktian lebih dari pamannya Jepara. Sedianya Nyi Pandanaran bertekad keras untuk ikut. Dan akhirnya diijinkan pula ikut asal tanpa membawa apa-apa. Tetapi telah menjadi sifat wanita, Nyai Pandanaran ternyata membawa semua harta emas dan perhiasannya dengan dibungkus kain dan diluarnya ditutup kain rukuh (baju untuk sembahyang). Setelah Ki Pandanaran mengetahui bahwa isterinya membawa bekal harta bendanya segera ditinggalkan.

Alkisah setelah sampai di Ungaran Nyai Pandanaran merasa keberatan membawa emasnya, karenanya dikurangi sebagian dan dibuang begitu saja diladang tepi jalan. Kemudian ternyata bahwa tempat itu adalah Gunung Klaong, letaknya di desa Banjaran. Konon kabarnya sampai sekarang sering ditemukan emas oleh petani yang mencangkul di sekitar gunung kecil itu. Setelah perjalanan Kyai Pandanaran sampai di desa Soko, dilihatnya dua orang sedang makan di tepi tanggul jalan. Begitu Kyai Pandanaran lewat, kedua orang tersebut meninggalkan makannya (bancaannya) dan mengejar sambil mengancam untuk menyerahkan barang-barang yang dibawanya. Dengan tenangnya Kyai Pandanaran berkata, “ Saya tidak membawa apa-apa jika kalian ingin emas, tunggu saja, sebentar lagi seorang perempuan akan lewat di sini dengan bungkusan rukuh yang berisi emas. Kalau sudah kau terima ucapkan saja terima kasih, dan tinggalkan pergi. Emas tersebut dapat menjamin kehidupan seumur hidup. ”Penyamuan tersebut menjadi yakin setelah dijelaskan bahwa perempuan tersebut adalah isterinya.

Tempat terjadinya kejadian itu dinamakan Bancaan, karena kedua orang tersebut sedang meninggalkan bancaannya. Benar tiada lama kemudian Nyai Pandanaran lewat, dan segera ditegor oleh kedua penyamun untuk menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Nyai Pandanaran menyerahkan bungkusan yang berisi emas, tetapi kedua penyamun masih memaksa merampas baju yang dipakainya. Karenanya Nyai Pandanaran menjadi marah dan berkata: “ Manusia ngutoh (serakah) seperti kambing, telah diberi emas masih juga kurang terima. ” Karena sabdanya itu wajah kedua penyamun menjadi seperti wajah kambing domba. Dalam perjalanan selanjutnya Kyai Ageng Pandanaran sampai pada sungai, ketika diseberangi ternyata banyak sekali cacingnya. Kyai Pandanaran teringat akan isterinya yang sangat takut (gilo) akan cacing. Karena beliau sangat kasihan maka dijemputnya isterinya yang masih berjalan dibelakang. Tempat dimana sungai banyak cacing tersebut sekarang disebut desa KALI CACING. Ketika Kyai Ageng Pandanaran menjemput isterinya dilihatnya Nyai Ageng di kawat oleh dua orang berwajah kambing domba, dan minta diceritakan kejadian yang dialami sambil menunjukkan dua orang yang telah menyamunnya di jalan. “ Mareka telah merampas barang yang saya bawa dan masih mau meminta pakaian yang saya pakai, karena saya katakan seperti kambing, maka berubah wajahnya menjadi kambing. ”Kyai Ageng Pandanaran menambahkan: “ memang kedua orang ini telah saya beri nasehat, jika barang telah diberikan agar segera pergi dan mengucapkan terima kasih. ” kedua orang penyamun yang berwajah kambing akhirnya menyerahkan dirinya mohon diberi ampun atas segala kesahannya dan bersedia mengabdi seumur hidup. Kyai Ageng Pandanaran menaruh belas kasihan, dan mengembalikan wajah dua kambing menjadi manusia kembali, sambil berkata: “ Ketiga-tiganya salah samua, Nyai Ageng sudah saya peringatkan untuk tidak membawa apapun dalam perjalanan ini, masih saja membawa emas. Kedua penyamun ini juga sudah saya beri tahu agar cepat-cepat pergi dan mengucapkan terima kasih setelah barang-barang emas diberikan. Tetapi masih juga minta barang lainnya, “ KALIAN BERTIGA SALAH SEMUA. ”Dengan diucapkannya perkataan “ Salah tiga ” maka tempat dimana terjadi pembegalan tersebut, kemudian disebut SOLOTIGO, ibu kota Kotamadia Salatiga sekarang ini. Kemudian Ki Ageng berujar,”Keterlaluan kau ini tindakanmu mengendus seperti domba saja”. Seketika itu juga kepala dari Sambang Dalan nama dari salah satu perampok berubah ujud menjadi domba (Babad Demak tt 14-15)

Dari sumber Babad Demak tersebut, nampak nilai-nilai theologi sastra yang sangat menonjol yaitu:

Perjalanan Ki Ageng Pandanaran diciptakan oleh pengarang mengandung unsur-unsur keindahan, perasaan senang, terharu, sedih, maupun bahagia. Membaca sebuah teks karya sastra bukan saja mendapatkan apa yang tersurat atau yang tertulis, akan tetapi juga apa yang tersirat atau makna dibalik tulisan tersebut. Karya sastra Perjalanan ziarah Ki ageng pandanaran jika diperhatikan memiliki nilai-nilai utile (bermanfaat) dan dulce (nikmat). Nilai yang dapat diperoleh dengan memepelajari karya sastra setidak-tidaaknya terdapat lima manfaat, antara lain: a. manfaat estetis (belajar keindahan); b. manfaat edukatif (pendidikan); c. manfaat kepekaan batin atau sosial; d. manfaat, menambah wawasan atau cakrawala hidup; dan e. manfaat pengembangan kejiawaan atau kepripadian. Manfaat estetika, membaca karya sastra akan menghasilkan pengalaman berkesenian atau kebudayaan. Sesuai dengan filsafat keindahan, pengalaman estetis merupakan pengalaman tentang sesuatu yang berakar pada karya seni. Karya sastra merupakan rekaman pikiran, renungan, dan cita-cita masyarakat pada masa tertentu.

Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Perjalanan Ziarah ki Ageng Pandanaran menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat dinikmati dan dipahami. Karya sastra dikatakan bermanfaat apabila dengan membaca karya itu, pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga, yang memuat nilai-nilai luhur dan mungkin dapat digunakan dalam pertimbangan untuk menjalani kehidupan.

Cerita rakyat Perjalanan Ki Ageng Pandanaran bersifat lisan, dapat memainkan peranan dan memiliki pengaruh terhadap perubahan masyarakat. Pengalaman tentang pencapaian nilai luhur merupakan puncak segala kategori keindahan. Semua bidang keindahan adalah suatu moment perkembangan roh menuju kesempurnaan. Setelah merenungi cerita rakyat akan mempunyai sikap yang baik dan lebih bijak untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, di samping pembaca juga mendapatkan hiburan yang berguna bagi keperluan katarsis (penyucian jiwa).

Dengan Studi Theologi Sastra cerita rakyat dapat memperoleh nilai yang bajik untuk berperilaku yang bijak. Oleh karena itu, karya sastra tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsanya. Seorang apresiator karya sastra akan memperoleh pesan moral, ajaran budi perkerti, dan teladan-teladan kebijakan, sehingga mampu membentuk budi pekerti yang saleh, luhur, dan bermoral dan berperilaku anggun.

Simpulan

  1. Pengungkapan dan penelusuran sejarah Salatiga, adalah hal yang cukup penting, sebab dengan penelusuran sejarah suatu kota, akan dapat dijadikan identitas daerah.
  2. Identitas suatu daerah mutlak untuk difahami oleh seluruh warga dan pemerintahan, dalam rangka pembangunan daerah dan pembangunan nasional.
  3. Prasasti Plumpungan dan Perjalanan Ki Ageng Pandanaran du sumber yang saling jumbuh dalam meneliti hari Jadi Salatiga.

Kepustakaan

Arsip:

Staasblaad 1917 No.226 tentang: Pembentukan Stads Gemeente Solotigo.

Buku:

Handjohojo, R.M, Riwayat Kota Solotigo, Sekhan Press, Salatiga, 1975.

Nogroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid I dan II, Balai Pustaka, Jakarta, 1984

Pemda Salatiga, Hari Jadi Kota Salatiga, Pemda Salatiga, 1995

Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, PT. Pembangunan, Jakarta, 1980

Tri Widiarto, Salatiga dan Pariwisata, Widya Sari Press, Salatiga, 2001

Kasmun Saparaus,dkk Perjanjian Salatiga, Pemda Salatiga, 1999.