PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA UPACARA “PULUNG LANGSE

DI DUSUN KEMASAN, DESA MERTAN,

KECAMATAN BENDOSARI, KABUPATEN SUKOHARJO

 

Sawitri

Pujiyana

Prodi PBSD Bahasa Jawa

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

 

ABSTRAK

Kebudayaan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang kuat dengan selalu melaksanakan upacara tradisi.Upacara pulung langse salah satu upacara tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di dusun mertan, desa kemasan, kecamatan bendosari, kabupaten Sukoharjo. Tradisi yang religi berupa budaya nyadran, nyekar untuk mengganti tirai makam. Penelitian mengungkap bagaimana perubahan fungsi dan makna pada upacara pulung langse.Menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan tehnik trianggulasi data, validitas data dan reduksi data. Tehnik perolehan data dengan observasi, wawancara, dan study pustaka. Observasi terjun kelapangan langsung untuk dapat mengetahui objek untuk dapat diklasifikasikan ke dalam data primer, sekunder. Wawancara mendalam (in depth interviewing), wawancara mendalam dengan kepala desa, sesepuh, perangkat dan masyarakat yang paham tentang upacara pulung langse. Data dapat berkembang ke data yang relevan (open ended interviewing). Fungsi upacara pulung langse untuk ngalab berkah, ketentraman, kekayaan, pangkat dll. Makna awal dari upacara pisang raja makna kejayaan, telur makna kesuburan, bunga makna kesucian, jenang merah dan putih, jadah merah dan putih makna kerukunan dan juga perwatakan manusia, dll. Perubahan fungsi sekarang upacara pulung langse untuk pariwisata budaya, hiburan, tontonan. Perlengkapan upacara dari tirai sampai kesenian dan perlengkapan sebagai pertunjukan seni dan budaya.

Kata kunci: Perubahan, upacara, makna, pulung langse.

 

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya di bidang budaya yang berwujud tari, teater tradisional, kesenian dan upacara tradisional bahkan bangunan bersejarah. Upacara tradisi upacara yang dapat dikelompokkan dalam siklus kehidupan budaya dari kelahiran, kehidupan dan kematian. Upacara tradisional dapat dikelompokkan yang kedua. Pada kelompok ini upacaranya sunatan, ruwatan, bersih desa, larung sesaji, sedekah laut, sedekah bumi, jamasan pusaka, sekaten, cembengan dll. Upacara tradisi sebuah kebudayaan suatu sistem dari tatanan kehidupan manusia, karena kebudayaan yang ada di masyarakat dengan anggota masyarakat sendiri tidak terpisahkan sebagai salah satu hasil kebudayaan. Upacara tradisional upacara tradisi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rohani karena hubungannya dengan kepercayaan pada Yang Maha Kuasa. Upacara tradisional dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang dan selalu dilakukan dari generasi ke generasi di dalam masyarakat, hal ini sesuai pemaparan oleh, (Koenjaraningrat 1987: 28). Paparan sesuai dengan upacara tradisi ada dari generasi ke generasi baik tingkat kesakralan maupun prosesinya, karena budaya akan tetap ada karena pola pikir manusia (Niken Henta: 175).

Masyarakat di desa ataupun di kota memiliki warisan budaya yang bervariatif dan memiliki ciri berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Warisan budaya tersebut ada yang masih terlihat jelas ada juga yang hanya samar – samar dilakukan oleh masyarakat. Warisan budaya di sebagian masyarakat Indonesia ada yang masih lestari ada yang mengalami perubahan. Kebudayaan yang ada pada masyarakat tercermin dari perilaku manusia dan perilaku itu ilik bersama para anggota masyarakat apabila sesuai dengan keadaan dan perilaku budaya itu akan tetap digunakan dan dilestarikan, dan apabila tidak sesuai akan ditinggalkan, (William A Haviland, 1988: 331). Selaras dengan pernyataan pada jurnal (Venny Indria Ekowati 2008: 207) budaya akan dilestarikan asalkan masyarakat pendukungnya melestarikan dan mendukung kelestarianannya. Upacara sebagai rangkain tindakan atau perbuatan yang terkait dengan aturan – aturan tertentu menurut adat atau agama, perbuatan atau perayaan yang dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman.

Upacara tradisi dunia bawah berkaitan dengan kepercayaan religi dapat dikatakan pada ritus dan terkait dengan kepercayaan. Upacara tradisional dilakukan untuk menjaga kelestarian kosmos. Aktivitas selamatan merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara manusia dengan dunia atas (Tuhan) dan kepercayaan makrokosmos (jagad gedhe/besar). Mikrokosmos (jagad cilik/kecil). Kedua kekuatan ini akan seimbang dengan berjalan beriringan dan seimbang. Kepercayaan ini terdapat pada upacara tradisi yang ada di dusun kemasan, desa mertan, kecamatan bendosari, kabupaten Sukoharjo. Kepercayaan masyarakat tentang tradisi upacara pulung langse. Fungsi dan makna sakral dari upacara pulung langse difungsikan untuk ngalap berkah atau dapat dikatakan untuk mencari keselamatan, berkah rejeki. Upacara di dusun kemasan, desa mertan ini berawal dari cerita foklor yaitu dari gundukan tanah atau pundung dan gundukan ini dipercaya petilasan atau sebuah makam ki ageng purwoto sidiq. Beliau juga memiliki nama lain ki ageng kanigoro merupakan putra pengging dan tidak lain adalah pak de dari jaka tingkir.

Kata pulung langse memiliki arti tirai/kain/korden penutup makam yang dilakukan masyarakat dusun kemasan, desa mertan setiap bulan ruwah pada tanggal kur kuran, seperti tanggal limolasan, selikuran, nemlikuran, dilakukan sesepuh desa, juru kunci makam yang membuka tirai makam, yang menggantikan tirai makam. Masyarakat di sekitar dusun kemasan, desa mertan juga mengikuti upacara tradisi pulung langse. Budaya mengalami perkembangan dikarenakan berkembangnya waktu membuat fungsi dan makna dari upacara pulung langse mengalami perubahan hal ini yang diungkap dalam tulisan artikel jurnal ini.

LANDASAN TEORI

Upacara adalah aktivitas yang dilakukan di waktu tertentu,upacara juga sebuah peringatan dari suatu kejadian dalam penyambutan. Penyambutan dapat berupa sambutan kelahiran, ulang tahun, syukuran bahkan sedekah laut, sedekah bumi, sedekah gunung Upacara tradisional merupakan salah satu perwujudan nilai budaya masyarakat yang sampai sekarang masih dilaksanakan oleh pendukungnya. Upacara tradisional juga sebuah tingkah laku manusia untuk menanggapi adanya kekuatan gaib di luar kekuatan manusia. Kekuatan di luar diri manusia ini tumbuh dari alam bawah sadar menghadapi tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari alam sekitar, (Hartati, Sumarno, dkk, 1989: 1).

Upacara Tradisional adalah upacara yang merupakan satu perwujudan nilai budaya masyarakat yang sampai sekarang masih dilaksanakan pendukungnya. Upacara tradisional adalah tingkah laku manusia untuk menanggapi adanya kekuatan gaib di luar kekuatan manusia. Kekuatan di luar manusia ini tumbuh dari ala bawah sadar sebagai perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari alam sekitar, (Hartati, Sumarno, 1989: 1).

Upacara tradisional dilaksanakan dengan tujuan menggali nilai budaya dan bertujuan untuk mendapatkan rasa aman apabila selalu melakukannya. Upacara bertujuan untuk sarana pembentukan norma kemasyarakatan khususnya bagi masyarakat pendukungnya. Hasil kebudayaan akan tetap lestari dimana budaya itu masih menganggab budaya tidak penting padahal kelestarian akan terjaga karena masyarakat pendukungnya, (Soerjono Soekanto, 1982: 239).

Perubahan adalah proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan di dalam masyarakat,meliputi pola pikir yang lebih inovatif,sikap,serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih bermartabat.pada dasarnnya setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini di dalam hidupnya dapat dipastikan akan mengalami yang dinamakan perubahan perubahan. Perubahan yang terjadi diantara masyarakat satu dengan yang lain tidak selalu sama. Hal ini dikarenakan adanya suatu masyarakat yang mengalami perubahan yang sangat cepat bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Perubahan itu ada yang perubahan yang dapat memiliki pengaruh luas maupun terbatas, disamping perubahan yang mengalami proses yang sangat lambat, dan perubahan yang berlangsung sangat cepat.

Robin William dalam Soerjono Soekanto (1982: 223) Perubahan terjadi di dalam masyarakat pada uumnya menyangkut hal yang kompleks, perubahan tidak akan terjadi kalau hanya faktor tanggal. Faham diterminisme monofaktor kini sudah ketinggalan zaman, dan ilmu sosiologi oders tidak akan menggunakan interpretasi – interpretasi sepihak yang hanya disebabkan satu faktor. Perubahan dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi, karena perubahan dapat terjadi karena banyak hal yang sangat kompleks.

Anderson perubahan adalah suatu tindakan yang inovatif yang dilakukan untuk merubah bentuk dan hasil dari tindakan yang tercipta dari relasi dengan tindakan lain dalam dinamika kultural dan historis tertentu. Sebagai contoh, media mendorong kita untuk embayangkan terjadinya peristiwa secara beruntun melintasi batas ruang dan waktu, yang memberikan kontribusi pada konsep dan tempat negara dalam siste global yang terdistribusi secara spasial (Anderson, 1983: 122).

Fungsi adalah upacara tradisi diperuntukkan untuk mendapat keselamatan dan kawilujengan dalam bahasa Jawa (wilujeng/selamet) serta untuk mendapatkan keberkahan, kebahagiann, ketentraman, kekayaan, kejayaan dunia dan akherat, masyarakat Jawa percaya dengan adanya manunggaling kawula Gusti yang artinya bersatunya manusia dan Sang Pencipta yaitu Allah. Gertz menjelaskan bahwa keselamatan tidak hanya dimaksudkan untuk keselamatan tidak kena musibah, melainkan keselamatan juga pada keselamatan dikehidupan, kepercayaan masyarakat dalam sebuah budaya menjadi sebuah ritus karena menganggab budaya sebuah upacara tradisi sebuah budaya sakral (Clifford Gerth 1961: 17) ).Kebudayaan juga sebuah cerminan hidup dari suatu masyarakat sesuai dengan lingkungan tempat masyarakat tersebut itu bertempat tinggal, (Koenjaraningrat, 1987: 5).

Chris Barker menjelaskan bahwa fungsi adalah mengadakan suatu kegiatan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan berisi pengaharapan, misal: tujuan ekonomi, sosial, politik, kepentingan penguasa dinas yang berwenang/pemerintah daerah, pariwisata budaya dll. Fungsi disesuaikan dengan kepentingan pengguna kebudayaan karena setiap kelompok dan golongan memiliki kepentingan sendiri – sendiri, (Chris Barker, 2009: 51).

Fungsi upacara dan sistem simbol – simbol yang ada mempunyai fungsi tertentu. Sehubungan dengan fungsi upacara adat keagamaan mengemukakan sahwa fungsi dari upacara yang ideal dapat dilihat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya yaitu adanya pengendalian sosial, media sosial serta norma sosial. Clifford Gerrts, 2004: 18 mengemukakan bahwa upacara dengan sistem – sistem simbol yang ada di dalamnya berfungsi sebagai pengintegrasian antara etos dan pandangan hidup yang dimaksudkan dengan etos merupakan sistem nilai budaya sedangkan pandangan hidup merupakan konsepsi warga masyarakat yang mengangkat dirinya, alam sekitar dan segala sesuatu yang ada dalam lingkungan sekitarnya.

Suwandi Notosudirjo, (1990: 330) fungsi sosial upacara adat tradisional dapat dilihat dalam kehidupannya sosial masyarakat yakni adanya pengendalian sosial, media sosial, norma sosial, serta pengelompokan sosial masuk di dalam kultural mistik. Asiilasi yang sering dikatakan oleh para pengamat sebagai sebuah sinkretisme. Terlihat dalam prosesi bakar kemenyan, dupa ritus yang dilakukan sebagai mistik, masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari persembahan/penyembahan kepada Tuhan. Kepercayaaan yang sulit untuk cepat berubah karena budaya hidup dan berkembang karena masyarakat pendukung yang akan terus melestarikan hal ini juga adanya masyarakat pengguna budaya mistik untuk tujuan tertentu dalam hidupnya.

Makna adalah sarana dan media pembentukan arti dan makna. Konsep makna berada di pusat uraian tentang kebudayaan. Meneliti kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secra simbolis dalam bahasa sebagai sistem signifikasi. Makna terbentuk melalui perbedaan relasi satu penanda dengan penanda lain, ketimbang mengacu pada entitas tetap dalam suatu dunia objek independen.

Makna juga terletak pada penanda yang berarti bahwa “ buruk “ hanya dikaitkan dengan jahat atau nakal tak bisa diterima dan lain – lain, maka akna memiliki potensi untuk tumbuh tanipa batas. Makna tidak pernah mapan namun selalu bergerak dan terus menerus dilengkapi. Demikian dengan konsep kunci Derridean differance “ keberbendaan dan ketertundaan yang terpusat pada instabilitas dan tak dapat ditentukannya makna. As pek puitis yang cukup produktif dalam bahasa, yang juga masih diperdebatkan, dalam praktek sosial makna kadang – kadang distabilkan. Makna merupakan konvensi sosial dan pelekatan kata pada pragmatis, regulasi makna oleh kekuasaan ke dalam diskursus dan pembentukan wacana.

Kebudayaan merupakan peta makna yang tertata dan terbentuk lewat saling silang diskursus dimana objek dan praktek memperoleh maknanya. Kebudayaan suatu snappshot permainan wacana dalam ruang dan waktu tertentu, suatu peta yang secara temporer membekukan “ makna “ yang tengah bergerak. Kebudayaan dan identitas kultural telah terbentuk secara temporer distabilkan pada “ titik simpul “ utama, yang pada masyarakat moders telah terbentuk secara “ historis “ di dalam kelas, gender, etnisitas, dan usia. Proses dimana makna kultural termapankan secara temporer adalah soal kekuasaan dan politik kultural (Foucault, 1993: 101).

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan metode diskriptif kualitatif dalam mengungkapkan kebenaran empirik yang terdapat pada obyek penelitian. Data diperoleh dari obyek penelitian dengan upacara “pulung langse” di dusun kemasan, desa mertan. Kecamatan bendosari, kabupaten sukoharjo. Dapat dilihat masyarakat menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Data penelitian berwujud dokumen dari foto – foto, penuturan dari kepala desa, perangkat desa dan sesepuh desa selain itu ada dari warga masyarakat. Perolehan data dengan wawancara mendalam keberadaan upacara pulung langse yang dilakukan malam selasa kliwon, atau hari jumat kliwon, yang diadakan bulan ruwah habis panen. Data didapat juga dari tehnik cuplikan disesuaikan dengan (purpose sampling), (Sutopo, 2006: 64). Wawancara diambil yang data primer dan sekunder bahkan data tambahan secara tersier hal ini data dapat berubah posisi dengan berjalannya waktu data primer bisa jadi sekunder dan data tersier dapat menjadi primer dengan data yang audiens ketahui. Upacara dilaksanakan di tanggal kur – kuran seringnya sehabis panen raya. Mementaskan wayang kulit semalam suntuk, tari – tarian, arak – arakan dan reog. Data didapat dengan dokumen dari buku pustaka, majalah, jurnal, koran online dll. Data dengan observasi data dan wawancara dengan (in depth interviewing) dan diperoleh dengan (open ended interviewing), (Sutopo, 2006: 69). Wawancara mendalam dapat mengungkap seberapa penting upacara dilakukan, bentuk upacara yang sekarang bahkan prosesi yang berubah selain itu masyarakat pendukung dari upacara pulung langse.Validitas data digunakan untuk memantapkan data, (Sutopo, 2006: 92).Tehnik trianggulasi data. Informan dan nara sumber dibagi menjadi tiga tingkatan yang berbeda supaya dapat data yang valid. Data yang diperolih dengan trianggulasi dengan cek dan ricek dengan data tertulis dan tidak tertulis, dengan redukse data dan didisplay data dan penyajian hasil data dianalisis dengan pengumpulan data sampai akhir, (Sutopo: 109).

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan di dusun kemasan, desa mertan, kecamatan mojolaban, kabupaten sukoharjo. Mayoritas masyarakat menggantungkan hidupnya dengan bertani/bercocok tanam. Masyarakat menjunjung dan lekat dengan tradisi dalam kehidupannya. Salah satu upacara tradisi yang dilakukan yaitu upacara “ pulung langse” dari upacara ritual membuka kain kelambu penutup makam ki ageng balak. Upacara ini diselenggarakan pada setiap hari minggu terakhir pada bulan ruwah dan kadang dilakukan di bulan sura. Prosesi pemakaian kelambu sebelum diganti atau dipasang kelambu/kain diarak keliling kampung. Kain bekas penutup makam yang telah dilepas dan dicuci di sungai dipotong – potong menjadi ukuran kecil – kecil yang diperebutkan oleh para peziarah dan masyarakat. Kepercayaan dengan mendapat potongan kain akan mendapat keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa dan dapat mengatasi permasalahan dalam hidupnya.

Fungsi dan makna upacara pulung langse:

  1. Fungsi ritual: ritual upacara diharapkan untuk mendapatkan kebahagiaan/keberkahan.
  2. Penguatan dan penegasan tatanan kultur.
  3. Mencari kekayaan (ngalab berkah).
  4. Mencari ketentraman hidup
  5. Dijauhkan dari kesialan hidup
  6. Dimudahkan jodoh
  7. Dimudahkan mencari rejeki
  8. Diberikan keturunan/anak
  9. Awet muda/tetap cantik
  10. Mendapatkan kewibawaan/pangkat
  11. Menghormati roh para leluhur

Makna

  1. Janur :    Nur (cahaya)
  2. Pisang raja :    Kejayaan
  3. Bunga :    Kesucian
  4. Telur :    Kesuburan/kelahiran
  5. Jadah warna hijau, kuning, merah, hitam, putih :    Manusia harus salaing mencintai dan menjaga kerukunan (warna melambangkan sifat/watak manu-sia).
  6. Nasi tumpeng :    Harapan, tujuan dapat dikabulkan yang berbentuk lancip/kerucut kenuju yang diatas.
  7. Ayam :    Kekuatan dan sebagai persamaan bahwa orang hidup dulu lahir tanpa busana/telanjang, berang-gapan setelah melakukan ritual manusia kembali bersih.
  8. Gudangan :    Kangkung, kecambah, lembayung, kacang panjang diharapkan rejeki selalu ada dan mengalir.
  9. Jajan pasar :    Timun, kue, jeruk, kacang, pisang, kerupung, bengkoang dll. Bermak-na keanekaragaman dalam kehi-dupan.
  10. Tempe tahu :    Lauk yang berasal dari biji – bijian dengan harapan untuk selalu tumbuh rejekinya.

Makna sesajen

  1. Bunga :    Digunakan untuk nyekar, baunya harum, ketenangan jiwa
  2. Pisang raja :    Buah dan simbol kekuatan karena pisang raja
  3. Telur :    Simbol yang bermakna kesuburan
  4. Jadah :    Simbol dari perekat kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat lain
  5. Kerupuk/srundeng :    Hibup tetap ramai dan bahagia
  6. Janur :    Warga kuning simbol makna kemakmuran, kejayaan
  7. Jajan pasar :    Melambangkan rejeki/kemakmuran dari berbagai macam makanan.

Perubahan dari fungsi dan makna pada upacara “pulung langse “:

  1. Difungsikan untuk tujuan pariwisata budaya dan menghasilkan pemasukan untuk Dinas Pariwisata.
  2. Sebagai peringatan bahwa setiap tahun ada upacara peringatan Ki Ageng Balak untuk upacara mengganti tirai makam.
  3. Hiburan masyarakat (pertunjukan tari, reog, jathilan, kethoprak dll)
  4. Pasar malam untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar makam ki ageng balak.
  5. Peningkatan taraf hidup juru kunci, pembersih makam, kas desa bertambah dan untuk pembangunan desa menjadi lebih sejahtera.

KESIMPULAN

 Perubahan fungsi dan makna terjadi karena dua faktor, yaitu faktor intern dan ektern. Faktor intern: masyarakat di dusun kemasan desa mertan sudah memeluk agama islam, pengetahuan semakin baik dikarenakan tingkat pendidikan yang baik, pemikiran dengan menggunakan rasio. Faktor ektern: faktor kekuasaan pemerintah dengan berbagai kebijakan untuk menggunakan upacara tradisi pulung langse di dusun kemasan, desa mertan, kecamatan mojolaban, kabupaten sukoharjo untuk kepentingan pariwisata budaya.

Makna berubah dikarenakan tingkat kepercayaan pada masyarakat pada upacara tradisi pulung langse di dusun kemasan, desa mertan, kecamatan mojolaban, kabupaten sukoharjo hanya pada tahapan hiburan yang menarik tidak lagi pada tahapan ritual dan ngalab berkah. Masyarakat sudah berfikir logis dengan pengetahuan yang lebih maju. Upacara pulung langse menjadi sebuah rutinitas budaya yang dimaknai untuk mengingat leluhur dan memberikan doa untuk arwah nenek moyang. Tidak ada lagi ritus yang mistis bagi yang sudah tidak mempercayai dari ritual upacara. Pemaknaan akan pudar dikarenakan tingkat kepercayaan yang semakin pudar juga.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. 1983. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Ani Rosiati, dkk. 1994. Fungsi Upacara Bagi Masyarakat Masa Kini. Yogyakarta: Depdikbud

Asep Rachmatullah. 200. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Logung Pustaka

Barker Chris. 2009. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Dewi Wulandari.20099. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama

Foucault. 1993. Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Geertz, Clifford. 1961. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius

  1. B. Sutopo. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University

………………….2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar teori dan penerapannya dalam penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Hartati Sumarno, dkk.1989. Upacara Tradisional Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pariwisata Jawa Tengah

Haviland Willia A.1988. Antropologi (Ed Terj. R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga

Herman Dipidu. 2010. Sastra Daerah (Konsep Dasar Penelitian dan Pengkajian). Gorontalo: UNG

Koenjaraningrat. 1987. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

……………………..1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Margaret M. Poloma. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Grafindo Persada

Niken Henta. 2011. Upacara Tradisi Meron Relevansinya Dengan Kehidupan Masyarakat Desa Sukolilo Kabupaten Pati. Jurnal PP Volume 1, No 2, Desember

Purwadi. 2005. Upacara Tradisi Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Venny Indria Ekowati. 2008. Tata Cara dan Upacara Seputar Daur Hidup Masyarakat Jawa Dalam Serat Tata Cara. Jurnal Diksi. Vol: 15 No 2 Juli.Universitas Negeri Yogyakarta