REVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
REVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA
DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
(DALAM ERA GLOBAL)
Indri Astuti
Guru SMA Kristen Kanaan Jakarta
Tri Widiarto
Pengajar/ Progdi Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRACT
Globalization is complex phenomenon. It can bring wealth and economical growth, technological development, and the rise of democratical regime. But, in yhe other hand, globalization can be a catastrophe for marginal community. Revitalation of Pancasila value is critical and structured way to change qus status in to more rational status for human kind. This is a continual process which include: access to participatory of parity, access to participatory of parity dan access to multicultural perspective.
Keywords: revitalation, Pancaslia value, globalization
Pendahuluan
Lebih dari dua dasawarsa terakhir, penghuni bumi bertambah 2 milyar jiwa, kebanyakan berasal dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun pertambahan penduduk bumi yang melejit tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pertumbuhan sosial ekonomi yang signifikan.
Masih ada 1,2 milyar manusia hidup dengan kurang dari $ 1 sehari. Rata-rata pendapatan dari 20 negara terkaya adalah 37 kali dari 20 negara termiskin, kesenjangan ini berlipat dalam 30 tahun terakhir, karena rendahnya pertumbuhan negara-negara miskin. Lebih dari 1 milyar manusia di negara berkembang memgalami kesulitan mendapatkan air bersih dan 2 milyar lainnya mengalami kesulitan mendapatkan sanitasi, yang mengakibatkan mereka tidak mampu menghindari kematian akibat penyakit yang sebenarnya bisa dihindari (Yanuar Nugroho 2012).
Di Indonesia data tahun 2014 tidaklah jauh berbeda dari data-data negara berkembang tersebut di atas, angka kmatian bayi mencapai 41 per 1000 kelahiran, kekurangan gizi anak mencapai 24% dari seluruh balita di Indonesia, dan akses terhadap sumber air bersih hanya dinikmati oleh 74% penduduk (Januar Nugroho, 2012:2).
Sistem pembangunan di Indonesia, tidak dapat melepaskan diri dari situasi kemiskinan tersebut, rakyat terutama yang miskin harus menjadi pusat pembangunan, rakyat harus menjadi faktor penentu dalam pembangunan. Ini berarti bahwa rakyat harus diberi partisipasi penuh dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya.
Di sisi lain menunjukkan bahwa kemiskinan tersebut, harus diubah dengan pembangunan yang komprehensif. Untuk masuk dalam pembangunan tersebut bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan dari Globalisasi, akibat logis dari globalisasi adalah bangsa Indonesia harus berhadapan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional, IMF dan Bank Dunia. Dalam berinteraksi dengan IMF maupun Bank Dunia, ternyata Indonesia belum memiliki strategi yangh mampu mengendalikan IMF dan Bank Dunia untuk kepentingan bangsa, sehingga IMF dan Bank Dunia bukannya menjadi DEWA PENOLONG tetapi DEWA AMPUTASI perekonomian Indonesia. (Sugeng Bahagijo 2012).
Di lain pihak dampak yang lebih sering dari globalisasi adalah terpinggirnya kekuatan-kekuatan sosial-budaya masyarakat, salah satunya adalah Pancasila dengan Nilai nilainya bergeser dan terpinggir dengan kekuatan sosial-budaya asing, khususnya asing baik budaya barat maupun budaya timur lainnya Pertanyaan yang muncul adalah, dapatkah revitalisasi nilai nilai Pancasila dijadikan filter globalisasi.
Globalisasi Berkah atau Kutuk
Globalisasi adalah sebuah fenomena yang berwatak majemuk. Di satu sisi, ia mendatangkan kemakmuran serta memampukan berlangsungnya pertumbuhan ekoomi, kemajuan teknologi serta terbentuknya rezim pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Sementara di lain sisi, globalisasi juga telah menelan banyak korban sepanjang perjalannya, Globalisasi adalah arus derah yang menguntungkan segelincir kelompok masyarakat dan negara serta meminggirkan sebagian besar yang lain (Anheier, H.K., M. Glasius & M. Kaldor 2001, Best, J. 2007 )
Transformasi global tentu tidak dengan sendirinya merupakan sesuatu yang positif. Ada nilai-nilai dasar dan ciri sosial budaya yang mencerminkan jari diri sesuatu masyarakat atau bangsa, atau terkait dengan kekhasan lingkungan yang tidak mungkin disesuaikan. Transformasi yang ke arah positifpun belum tentu dapat terjadi dengan sendirinya, artinya transformasi yang bersifat positif tersebut bisa terjadi bila didukung oleh nilai, sikap, atau kemauan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan baru yang diinginkan.
Dalam rangka melakukan antisipasi, beberapa perkembangan yang menjadi sumber perubahan dalam transformasi sosial budaya dan perlu mendapat perhatian adalah, memperkat identitas nasional sebagai suatu bangsa, antara lain dengan nilai nilai Pancasila (Suyatno Kontodirjo 2011:7).
Bagi beberapa pengamat teknologi (seperti Daniel Bell, Toffler) dampak yang tak terduga dari perkembangan teknologi memperlihatkan adanya dinamika yang jauh lebih besar dari teknologi tu sendiri, yang berkembang sejak 30-35 tahun terakhir ini. Dalam pandangan ini, kemajuan teknologi bukan penyebab, tetapi justru merupakan bagian-bahkan akibat dari perubahan yang lebih besar itu.( Pramudya, E.P. 2007 )
Dalam upaya mencari makna dari perubahan ini, Alvin Toffler (1986) datang dengan kerangka besar yang dilandasi arah perkembangan yang lebih makro, yang telah kita kenal sebagai Gelombang Peradaban III (Third Wave). Informasi menjadi ciri Gelombang III dan menjadi sumber kekayaan serta sumber kekuasaan (power) yang baru, menggantikan barang modal yang menjadi sumber kekayaan Gelombang II, serta tanah yang menjadi sumber kekayaan pada Gelombang I (peradaban pertanian). Teknologi informasi memainkan peranan yang makin penting dalam masyarakat baru dewasa ini, dan sekaligus juga akan mengubah cara berkomunikasi dalam masyarakat, yang kian lama kian tergantung pada komputer dan jaringannya. Banyak ramalan Toffler tentang peraan teknologi baru telah terlihat sekarang ini, misalnya perubahan cara kerja (teleworking), dan belanja (teleshopping) media massa, pendidikan.( Herry-Priyono, B. 2007, ), dimanakah nilai nilai Pancasila dalam perubahan besar tersebut.
Merujuk pendapat tersebut AY Soegeng (2012:3) menyatakan bahwa pemahaman dan pelaksanaan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila, sangat membantu masyarakat dalam menghadapi globalisasi. Lebih lanjut Suyatno Kartodirdjo (2011:9) berpendapat bahwa globalisasi dapat menjadi berkah bagi kita kita kita bersemboyan: Think globaly, act localy ; kita berfikir global, bekerja unutk kepentingan local, sesuai dengan nilai nilai dalam Pancasila.
Kesiapan Bangsa Indonesia Menghadapi Globalisasi
Pencapaian kemajuan bangsa, khususnya pada era globalisasi ini, mempersyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (termasuk di dalamnya seni) sreta didukung tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang handal. Bangsa yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi atau yang tertinggal dalam bidang ini, ia akan terlibas dalam percaturan antar bangsa yang sangat kompetitif.
SDM yang dapat diandalkan memiliki signifikansi yang tinggi dengan penguasaan iptek, sebaliknya penguasaan iptek yang rendah, pada gilirannya kurang mampu merespon globalisasi, sehingga ia akan terhimpit dan tenggelam dalam percaturan internasional, ini berarti bahwa peningkatan SDM mutlak diperlukan dalam era pembangunan Indonesia dewasa kini.
Berkaitan dengan rujukan di atas, maka pemahaman isu global bagi seluruh lapisan masyarakat, secara khusus bagi dunia pendidikan sangat diperlukan dalam rangka pemahaman teori, proses dan fakta-fakta globalisasi, dengan memahami secara teoritis isu global, diharapkan masyarakat Indonesia (dengan advokasi yang benar) akan dapat menentukan sikap dengan arif tentang proses globalisasi. (Tri Widiarto 2012).
Pemerintah (Depdiknas) cukup tanggap terhadap permasalahan globalisasi, ini terbukti dari dimasukkannya bahasa globalisasi dalam beberapa pokok bahasan dari tingkat SD sampai SLTA, meskipun belum ada pemikiran perlunya Globalisasi dapat dijadikan satu matapelajaran yang mandiri. Khusus untuk perguruan tinggi, beberapa universitas sudah memasukkan Mata Kuliah Perspektif Global sebagai mata kuliah wajib.
Isu tentang globalisasi bukan merupakan ancaman yang menakutkan. Akan tetapi perlu disikapi secara positif dengan melakukan berbagai pembenahan sumber daya manusia, sikap mental, organisasi dan manajemen, kemampuan profesi, termasuk kemampuan daya saing dan kecanggihan teknologi,ilmu pengetahuan dan informaasi lebih penting adalah memperkuat jati diri lewat pemahaman dan pengamalan nilai nilai Pancasila (AY Soegeng 2012:69). Pemahaman terhadap nilai nilai Pancasila, pada gilirannya akan menumbuhkan nasionalisme, kombinasi nasionalisme dan kerja sama iptek sebagai modal menghadapi globalisasi (Liek Wilardjo 2002:8), lebih lanjut dikatakan, bahwa globalisasi adalah proses sejarah yang berjalan melalui tahap demi tahap yang sepenuhnya berjalan menurut perkembangan manusia.
Globalisasi sebagai suatu kecenderungan merupakan proses pembentukan suatu sistem global yang mencakup kehidupan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Sebagai poses kesadaran subjektif menunjukkan suatu proses dalam kesadaran manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu. Seangkan sebagai kenyataan objektif globalisasi merupakan menyempitnya uang dan waktu, menciutnya dunia yang berkembang dalam kondisi yang penuh dengan paradoks (saling bertentangan).
Makna Nilai-Nilai Dalam Pancasila
Untuk memberikan makna tiap tiap sila Pancasila perlu diperhatikan dua hal pokok, yaitu (1) Pancasila merupakan idealisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, bangsa dan negara, serta aset di dalamnya, (2) bahwa tiap-tiap sila Pancasila merupakan satu-kesatuan bulat yang saling melengkapi keduanya. Kedua pendekatan tersebut akan memberikan pandangan makna setiap sila Pancasila berikut ini:
1. Makna Sila Pertama
Sila pertama adalah identifikasi hubungan manusia dengan Tuhan, baik secara pribadi maupun makhluk sosial. Ini juga berarti menghargai kebebasan setiap orang untuk menentukan pilihan jiwanya terhadap Sang Khalik; penghargaan terhadap keragaman merupakan wujud dari pengamalan nilai ini.
2. Makna Sila Kedua
Sila kedua Pancasila adalah identifikasi hubungan manusia dengan manusia yang lain dengan didasari dan dlandasi sila-sila yang lainnya, secara khusus memanusiakan manusia adalah pengamalan utama dari sila kedua.
3. Makna Sila Ketiga
Sila ketia adalah identifikasi hubungan manusia dengan bangsa dan negara, mengatasi segala bentuk sektarianisme (individu, kelompok, golongan, atau partai). Komitmen ini merupakan komitmen utama bagi seluruh bangsa Indonesia.
4. Makna Sila Keempat
Sila keempat adalah identifikasi hubungan manusia dengan seluruh rakyat Indonesia yang dilandasi dengan nila-nilai demokrasi, konstitusional, persamaan politis, dan HAM. Sila keempat menjadi bermakna dengan sikap berani berpendapat dan bertanggung jawab.
5. Makna Sila Kelima
Sila kelima adalah identifikasi hubungan manusia Indonesia dengan kekayaan bangsanya atau materi bangsanya. Dalam hal ini, kewajiban moral bangsa Indonesia mencakup persamaan (equality) dan pemerataan (equity). Sila kelima ini juga merupakan satu kesatuan bulat dan utuh dengan keempat sila lainnya dan saling melengkapi.
Revitalisasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Era Global
Revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan era global sekarang ini adalah upaya kritis dan terencana agar nilai nilai Pancasila betul-betul memiliki vitalitas (baca: daya yang terbarukan) untuk mengubah status quo menjadi status yang lebih bernalar dan bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif. Sesungguhnya revitalisasi itu berproses secara bersinambungan melalui tiga akses yaitu access to participatory of parity, access to participatory of parity dan access to multicultural perspective.
Selama ini temuan dan penelitian-penelitian khususnya mengenai pengalaman nilai nilai Pancasila dalam masyarakat kurang tersosialisasikan karena berbagai alasan. Pertama hasil penelitian yang berujud, skipsi, tesis, dan disertasi, laporan penelitian biasanya hanya dibaca oleh dosen penguji, dosen pembimbing, dan mahasiswa sekampus, sedangkan masyarakan luas tidak mengetahuinya. Kedua, para peneliti yang menulis dalam Tesis atau Desertasi merasa sudah menyelesaikan tugasnya yaitu meneliti dan menemukan hasil penelitian. Akan tetapi hasil penelitian tersebut hanya sebatas kalangan akademi kampus yang mengetahui, sedangkan masyarakat luas tidak mengetahui. Ketiga, masyarakat masih jarang dan tidak terbiasa atau bahkan merasa tidak merasa perlu untuk datang ke perpustakaan untuk membaca berbagai temuan atau penelitian. Keempat, penulis Tesis atau Desertasi tidak mampu berkomunikasi tertulis secara populer.
Selain yang sudah disebutkan di atas, hal-hal lain yang kita ketahui bersama bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila dan nilai nilai yang terkandung didalamnya hanyalah merupakan kebutuhan kedua setelah kebutuhan pertama akan materi. Keadaan semacam ini, paling tidak ikut memengaruhi rendahnya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan terhadap Pancasila.
Paling tidak ada (3) akses untuk Revitalisasi nilai-nilai Pancasila, berikut ini ( Tri Widiarto, 2012)
i. Akses Untuk Keadilan (access to justice) dalam kurun dasawarsa terakhir ini akses keadilan cukup populer mengiringi politik di Indonesia, oleh karena itu Nilai nilai Pancasila harus dapat di revitalisasikan dalam aspek keadilan ini. Tanpa aspek keadilan maka Nilai nilai Pancasila hanyalah gong besar bersuara nyaring.
ii. Akses untuk Kesetaraan Partisipasi (access to participatory of parity), sudah menjadi rahasia umum pelaksanaan pembangunan selama ini tidak selalu mengikutkan masyarakat kecil sebagai subjek pembangunan, hal ini perlu di revisi lewat revitalisasi nilai nilai Pancasila, bahwac Pancaila harus menjadi wadah semua rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, bukan lagi sebagai objek pembangunan, terlebih dalam era global ini, yang ada waktunya pemerintah justru malahan bekerjasama denga korporasi untuk meminggirkan masyarakatb itu sendiri.
iii. Akses untuk Persamaan/pemahaman Multikultural ( access to multicultural perspective), Pancasila sebagai dasar negara sudah kita fahami bersama nilai nilainya digali dari budaya bangsa Indonesia, tetapi masalah utama yang muncul adalah masih sering terjadi konflik SARA, sehingga muncul pertanyaan dimanakah revitalisasi nilai nilai Pancasila untuk mengatasi konflik tersebut. Olehn karena itu perlunya access to multicultural perspective dalam revitalisasi jnilai nilai Pancasila. ( Pemaknaan semua masyarkat Indonesia dengan berbagai multikultur yang dianut nya berhak untuk menerima hak dan tanggungjawab dari negara secara utuh)
Revitalisasi nilai nilai Pancasila dengan tiga akses tersebut di depan seyogianya menjadi way of life dari semua insan, bukan sebagai respons musiman terhadap gertakan pihak luar ( Globalisasi), tetapi suatu revitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah saauatu kultur dan tanggungjawab bersama antara negara dan masyarakat.
Revitalisasi diharapkan memunculkan perubahan yang bersinambungan dan bermakna. Ini akan tercapai jika pemerintah (bisa juga MPR) dan masyarakat memahami bersama problem yang ada dan perubahan dalam masyarakat global. Jika langkah “revitalisasi†di atas dapat terwujud, maka segenap bangsa Indonesia akan dapat merespon positif perubahan jaman, secara khusus masa global seperti saat ini.
Simpulan
Pada era globalisasi ini Revitalisasi nilai nilai Pancasila sangat diperlukan, untuk membuat up to date kembali nilai nilai Pancasila dalam menjawab tantangan jaman. Ada tiga pendekatan yang ditawarkan dalam proses Revitalisasi nilai-nilai Pancasila, yaitu:
a. Akses untuk Keadilan (access to justice )
b. Akses untuk Kesetaraan Partisipasi (access to participatory of parity),
c. Akses untuk Persamaan/pemahaman Multikultural ( access to multicultural perspective),
Daftar Pustaka
A J Soegeng (2012), Memahami Sejarah Bangsa Indonesia, Salatiga, Widya Sari Press
Anheier, H.K., M. Glasius & M. Kaldor (Eds.) (2001) Global Civil Society Yearbook 2001, New York: Oxford University Press.
Bahagijo, S. (Ed.) (2012) Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta ; LP3ES and Perkumpulan Prakarsa.
Best, J. (2007) The limits of Tranparency: Ambiguity and the History of Internasional Finance, Ithaca and London: Cornell University Press.
Cahyono I. (2012) Membangunkan Indonesia: Revitalisasi Visi dan Strategi Menghadapi Globalisasi. Report. Addendum paper to the series of Commision Paper 1-5 of the projct “Audit on Globalizationâ€. Jakarta: Prakarsa.
Herry-Priyono, B. (2007) Economy in the shadows of corporatocrazy. The Jakarta Post, Economy Outlook 2008, Special Edition, Jakarta.
Jemadu, A. (2011) Perkembangan Ekonomi Politik Internasional dan Globalisasi serta Implikasinya bagi Indonesia. Report. Commision Paper No. 1 of the project “Audit on Globalizationâ€. Jakarta: Prakarsa.
Nasir, A (2011) Diplomasi Ekonomi dalam Konteks Sistem Perdagangan Multilateral: Kesiapan Diplomasi Ekonomi Indonesia. Report. Commision Paper N. 2 of the project “Audit on Globalization’. Jakarta: Prakarsa.
Nico Likumahua (2009),. Sastra Sebagai Sarana Pendidikan Informal, Widyasari Press, Salatiga.
Prabowo (2007) Menuju Kebijakan Ekonomi global. Report. Commision Paper No. 3 of the project “Audit on Globalizationâ€. Jakarta: PraKarsa.
Pramudya, E.P. (2011) Demokrasi Terdiskon: Bersuara dalam Dana Moneter Internasional. Report. Commision Paper No. 4 of the project “Audit on Globalizationâ€. Jakarta: Prakarsa.
Yanuar Nugroho (2012) Globalization neither nor armageddon – Widya Sari Press, Salatiga.
Liek Wilardjo (2002) Bahasa dan Filsafat, dalam Jurnal Satya Widya (terakreditasi) September 2002, Vol 4. Th X, Satya Wacana Salatiga.
Suyatno Kartodirdjo (2011), Wanita dalam Perubahan Masyarakat Indonesia, dalam Pernak-pernik Budaya Jawa, Satya Wacana Press Salatiga.
Toffler,Alvin (1986),Perusahaan Adaptif ( terj. Sri Kusdiyantinah ), Pantja Simpati, Jk
Tri Widiarto (2012). Perspektif Global, Widya Sari Press, Salatiga.