Sumbangan Karya Sastra Terhadap Pendidikan Karakter Anak Sekolah Dasar
SUMBANGAN KARYA SASTRA
TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR
Yohanes B. Jurahman
Staf Pengajar Program Studi PGSD IKIP PGRI Wates
ABSTRAK
Kecenderungan manusia untuk memperoleh informasi tentang dunia, dan segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekitarnya dapat terjangkaun oleh alam pikirannya. Karya sastra memiliki kekuatan yang dapat menumbuhkan daya khayal manusia. Anak pada dasarnya memiliki kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh orang dewasa. Salah satu kebutuhan tersebut, adalah psikologis,, fantasi, empati, kesenangan, dapat diperoleh melalui cerita atau kaarya sastra. Karya sastra anak yang dikerjakan secara sungguh-sungguh akan melahirkan sumbangan yang berarti bagi tumbuhkembangnya kepribadian anak. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra menjadi wahana dan materi bagi penyemaian nilai-nilai pendidikan karakter yang perlu ditanamkankepada anak sejak dini. Agar karya sastra anak memiliki sumbangan yang baik, harus memenuhi kriteria, antara lain: menghindari unsur pertentangan, persoalan yang menyangkut masalah seks, cinta yang erotis, dendam, kebencian, kekejaman, kecurangan, kejahatan, dan masalah-masalah yang mebuat anak trauma. Penyajian cerita hendaknya dilakukan dengan gaya langsung, yaitu cerita dideskripsikan dengan jelas, singkat dan langsung pada sasaran. Fungsi pragmatik, dengan penyajian cerita bersifat informatif dan bernuansa baik, bermanfaat bagi kehidupannya dan perkembangan jiwa anak.
Kata Kunci: Sumbangan karya sastra- Pendidikan karakter anak.
Latar Belakang Masalah
Sastra sebagai hasil kreatifitas manusia berbicara dan melukiskan tengan berbagai macam dinamika hidup umat manusia. Persoalan hidup manusia, kehidupan sekitar manusia, dinarasikan dengan cara yang menarik, estetis dan dengan bahasa yang khas (Burhan Nurgiyantoro, 2013: 2). Karya sastra sebagai buah imaginatif, merupakan ungkapan batin sesorang pencipta. Berbagai unsur dapat mewarnai karya sastra yang berisi kehidupan sosial, moral, psikologi, dan etika. Sastra anak merupakan karya sastra yang esensinya sesuai dengan perkembangan usia, corak kehidupan, dan kepribadian anak (Retno Winarni, 2004: 1)
Pembelajaran sastra anak melibatkan aspek-aspek psikologis subjek didik. Bagi pendidik untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran secara efektif, efisien, berkualitas dan arif harus dilakukan. Pembelajaran sebagai proses yang kompleks harus dirancang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor dasar dari subjek didik berkaitan dengan kemampuan pendidik. Untuk itu guru harus melakukan improvisasi dan berbagai behavior repertoire. Hal ini dilakukan agar pembelajaran dapat menyenangkan, anak didik bisa tahan lama (betah) belajar, mampu mengekspresikan potensinya, dan pada akhirnya berhasil mengantarkan mencapai tujuan pendidikan yang diidamkan (Mohammad Asrori, 2007: i).
Penanaman karakter memerlukan proses yang berlangsung terus menerus. Pembangunan bangsa untuk mencapai cita-cita nasional tidak bisa meninggalkan pendidikan karakter bangsanya. Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, dengan diterapkannya Kurikulum 2013 di jenjang Sekolah dasar sampai dengan Sekolah Menengah, pendidikan karakter menempati posisi yang sangat penting. Sekolah Dasar yang merupakan jenjang pendidikan dasar memiliki peran yang besar dalam menanamkan nilai-nilai karakter yang sangat berguna bagi kehidupan selanjutnya.
Pembelajaran sastra anak melibatkan aspek-aspek psikologis subjek didik. Bagi pendidik untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran secara efektif, efisien, berkualitas dan arif harus dilakukan. Pembelajaran sebagai proses yang kompleks harus dirancang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor dasar dari subjek didik berkaitan dengan kemampuan pendidik. Untuk itu guru harus melakukan improvisasi dan berbagai behavior repertoire. Hal ini dilakukan agar pembelajaran dapat menyenangkan, anak didik bisa tahan lama (betah) belajar, mampu mengekspresikan potensinya, dan pada akhirnya berhasil mengantarkan mencapai tujuan pendidikan yang diidamkan (Mohammad Asrori, 2007: i).
Pendidikan karakter dan nilai sosial budaya hendaknya diajarkan dan ditanamkan pada anak sejak anak usia dini, dan disesuaikan dengan konstek kekinian. Melalui karya sastra dapat disampaikan pesan yang dikemas sesuai alam pikir anak-anak sesuai tingkat perkembangannya. Penanaman pendidikan nilai dan karakter dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan esensi nilai yang hendak diajarkan atau ditanamkan tersebut. Dengan demikian upaya ini menjadi langkah awal dalam memperkenalkan dan mewariskan nilai-nilai kepada anak-anak.
Dalam pendidikan Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, sastra memberikan kesenangan dan pemahanman tentang kehidupan. Sastra pertama-tama hadir kepada pembaca adalah memberi hiburan yang menyenangkan. Oleh karena itu, cerita yang menarik dapat membawa pembaca untuk memanjakan fantasinya, ke alur cerita kehidupan yang penuh daya suspense yang menarik hati. Pembaca akan penasaran untuk ingin tahu dan merasa terikat dengan cerita yang dibangunnya (Lukens, 2003: 4).
Pendidikan nilai karakter kepada anak Sekolah Dasar dapat dilakukan melalui pemanfaatan karya sastra anak. Dalam pengajaran Bahasa Indonesia, pelajaran sastra dapat memberikan pengetahuan, keterampilan sekaligus nilai budaya dan karakter yang efektif. Selain itu, kesenangan, kebahagiaan dengan mendengarkan cerita anak akan memudahkan pemahamannya terhadap nilai budaya bangsanya.
Penamanan nilai kepada anak-anak diawali dengan dasar rasa senang tanpa paksaan. Selanjutnya dari rasa senang tersebut akan berkembang untuk mempelajari sesuatu yang semakin mendalam. Salah satu media yang dapat digunakan dalam pendidikan karakter dengan pengenalan dan apresiasi karya sastra.
Hakikat Karya Sastra
Engleton (1983: 1) mengatakan bahwa, sastra sebagai tulisan khayalan dalam arti rekaan atau imaginative writing in the sense of fiction, merupakan hasil karya penulisan yang kreatif dan imajinatif). Sebagai bentuk karya seni rekaan, sastra tidak dapat begitu saja terlepas dari kejadian yang berlaku dalam hidup manusia (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993: 109). Pada hakikatnya karya sastra adalah karya seni dalam kata-kata. Agar pembaca sanggup merasai sebaik-baiknya keindahannya serta mampu menangkap isinya diperlukan kepekaan terhadap isyarat linguistik yang bersifat khusus dan digunakan oleh pengarang dalam karangannya (J. J. Ras, 1983: xiv).
Karya sastra sebagai simbol verbal berfungsi sebagai cara pemahaman (model of comprehension), cara berhubungan (model of communication), dan cara penciptaan (model of creation). Pengarang banyak memanfaatkan realita sejarah sebagai bahan tulisan dalam karya sastranya (Kuntowijoyo, 2006: 171). Dengan bahasa, pengarang dapat menginterpretasi, menerjemahkan peristiwa itu, dan untuk memahami peristiwa tersebut. Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa, dan merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasinya.
Sastra mampu menghadirkan situasi yang faktual dari dimensi kehidupaan sehari-hari. Pemahaman dinamika kehidupan sebagai sebuah naratif melalui imajinasi, kreasi, dan bahasa sebagai perekatnya perekatnya (Sartono Kartodirdjo, 1992: 19). Pada awalnya sastra terkait erat dengan masalah kreativitas dan intens dengan wilayah imajiner. Sejalan dengan pekembangan telaah sastra dengan lahirnya metode-metode baru dalam penelitian sastra, ternyata dokumen karya sastra kaya akan nilai-nilai budaya. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa sebagian sastra tidak hanya berkaitan dengan kajian estetika fiktif belaka.
Sastra anak yang digarap dengan sungguh-sungguh akan melahirkan karya yang mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan kepribadian anak. Nilai-nilai kehidupan yang bernilai tinggi terdapat dalam hasil karya sastra. Pewarisan nilai-nilai melaui pendidikan karakter semestinya ditanamkan sejak dini. Melalui nyanyian, seorang ibu dapat mendendangkan kepada anaknya sebagai hiburan dan pengantar tidur. Akan tetapi, esensi nilai-nilai kehidupan termuat dalam syair nyanyian tersebut. Hal ini secara perlahan namun efektif dapat mempengaruhi jiwa dan kepribadian anak (Retno Winarni, 2014: 2).
Dalam sastra anak modern secara umum dapat mengangkat peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tema, latar, tokoh maupun plot cerita sangat akrab dengan masyarakat kontemporer, sesuai dengan situasi dan kondisi, tingkat pengalaman, dan pengetahuan masyarakat. Dengan demikian, sastra akan memiliki nilai kekinian. Latar dan lokasi cerita adalah kota besar, tokoh-tokohnya berasal dari kelas menengah ke atas yang dikonstraskan dengan kehidupan desa, masyarakat sempadan yang terpinggirkan dari golongan masyarakat bawah (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 274).
Menurut Barthes dalam Rachmat Djoko Pradopo (1995: 141), karya sastra bukan struktur, melainkan strukturisasi, karena dalam sastra pembaca bukan lagi berfungsi sebagai konsumen tetapi sebagai produsen. Artinya, pembaca yang berbeda-beda menurut zaman, maka kekinian bukan hanya sekarang, tetapi terjadi setiap zaman, generasi, angkatan, bahkan setiap saat sebuah karya sastra itu diteliti atau ketika diaktualisasi. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat dan karya berhubungan dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah bahwa: (1) karya sastra dihasilkan oleh masyarakat dan merupakan latar belakang produksi karya; (2) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, artinya, masyarakat pertama dihuni oleh pengarang dan masyarakat kedua adalah tokoh-tokoh rekaan sebagai manifestasi subjek pengarang, dan (3) hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu masyarakat pembaca (Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 355). Pendekatan ini memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat.
Dissanayake (1999: 1) mennyatakn bahwa, para ahli teori kesasteraan tidak dapat lari dari masalah seperti, fungsi bahasa, kepentingan ideologi, hubungan kuasa dan pengetahuan, fungsi narativitas, dan pemencaran subjektivitas apabila membahas wacana mereka. Hal ini terjadi karena dapat dipengaruhi oleh teks sastra yang bersangkutan.
Dalam sastra anak ada beberapa kriteria yang perlu mendapat perhatian, agar karya sastra tersebut memiliki sumbangan bagi pendidikan nilai-nilai kehidupan yang baik. Kriteria tersebut antara lain: 1. Unsur pertentangan, sastra anak hendaknya menghindari persoalan yang menyangkut masalah seks, cinta yang erotis, dendam, kebencian, kekejaman, kecurangan, jahat, dan masalah yang membuat anak trauma, misalnya kemetian. 2. Penyajian dengan gaya lansung, yaitu cerita dideskripsikan secara singkat langssung pada sasarannya. Dialog yang wajar tidak berbelit-belit, karakter tokoh digambarkan secara jelas. 3. Fungsi pragmatik, yaitu cerita disajikan bersifat informatif dan bernuansa baik, bermanfaat dalam kehidupan dan perkembangan jiwa anak.
Sastra berarti teks yang mengandung instruksi atau ajaran. Secara leksikal sastra juga dapat diartikan sebagai kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (A. Teeuw, 1984: 23). Sastra yang ideal adalah yang memadukan antara estetika, metafisika, dan logika, kebenaran, serta spiritualitas. Kemampuan pengarang dalam mentransformasikan ide, gagasan dan intelektualitasnya akan menentukan kualitas sastra yang dihasilkan. Karya sastra yang bertolak dari pengalaman kerohanian pengarang akan mampu mentransformasikan diri kepada pembaca atau penikmatnya. Ada beberapa jenis sastra anak, antara lain: fiksi, non fiksi, puisi, sastra tradisional, dan komik.
Karya sastra diciptakan oleh pengarang tidak terlepas dari masyarakat dan budayanya (Retno Winarni, 2008: 2). Bahkan seringkali pengarang sengaja menonjolkan kekayaan sosial budaya masyarakat, geografi, dan sejarah untuk memperkuat cerita yang dibangunnya. Oleh karena itu, kritikus sastra perlu memperhatikan, memahami latar belakang masyarakat, sosial-budaya, dan sejarah.
Kelebihan karya sastra yang bersifat imanjintif, kreatif, estetis dan bahasa yang konotatif memungkinkan karya sastra menampilkan peristiwa dibalik peristiwa, peristiwa yang sudah terjadi, peristiwa yang sedang terjadi, bahkan mungkin terjadi (Nyoman Kutha Ratna, 2007: 268).
Konstruksi fiksi yang baik dapat menggambarkan kehidupan yang mengundang simpati pembaca, mengundang tanggapan pembaca, dan pendidikan moral (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 14). Fiksi dipahami sebagai bagian dari dunia sastra, sehingga memiliki ciri-ciri yang berhubungan dengan perasaan dan sukar dihubungkan dengan dunia rasional. Fiksi mengisahkan sesuatu yang boleh terjadi, sesuatu yang dicipta dalam pikiran seseorang, sedangkan sejarah terjadinya sesuatu yang dikisahkan, sesuatu yang mesti dan telah terjadi dan sesuatu yang dirangkaikan berdasarkan data yang ada dan benar-benar terjadi (Hajijah Jais, 2006: 281).
Keberkaitan fiksi dengan sejarah, manakala penceritaan atau pemfiksiannya memberikan dimensi peristiwa sejarah (time, space, and events) yang diceritakan. Dengan kata lain, memberikan dimensi sejarah terhadap peristiwa (fiktif) yang diketengahkan. Setiap aspek dalam karya sastra memerlukan sikap yang berbeda-beda. Artinya, semakin kaya unsur-unsur suatu karya, maka semakin banyak perhatian yang diperlukan untuk memahaminya.
Bagi pengarang, berkaitan dengan kebenaran cerita, satu-satunya kaidah yang perlu diperhatikan adalah kejujuran. Artinya, seorang penulis cerita harus bertanggungjawab di dalam kebebasannya itu. Hasil karya sastra sering berkaitan dengan pandangan hidup pengarangnya. Untuk itu dalam memahami karya sastra diperlukan hubungan pola dasar pemikiran dengan hasil ciptaannya, antara proses penciptaan dengan karya-karya yang dihasilkan (Sugihastuti, 2011: 3)
Cerita sebagai sebuah karya sastra dianggap sebagai usaha untuk merekonstruksi dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara. Sosiologi mempelajari lembaga-lembaga sosial, dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, kesemuanya itu merupakan struktur sosial.
Dalam konteks karya sastra yang boleh difiksikan adalah tokoh atau pelaku, dan alur ceritanya, sedangkan latar belakang sosial budaya harus ditampilkan sebagaimana adanya. Pengarang harus mendokumentasikan keadaan sosial budaya masyarakat, kerena karya sastra adalah dokumentasi sosial budaya. Artinya lewat karya sastra, seseorang dapat memahami latar belakang sosial masyarakat sebagaimana yang digambarkan oleh pengarang (Herman J. Waluyo, 2001: 53).
Nugraheni Eko Wardani (2009: 13) berpendapat bahwa sastra adalah karya yang bersifat imajinatif dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa yang digunakan bersifat ambigu, asosiatif, ekspresif, konotatif, dan menunjukkan sikap penulis atau pembacanya. Meskipun sastra bersifat imajinatif, karya sastra diciptakan berdasarkan kenyataan.Pada dasarnya karya sastra merupakan gambaran kehidupan sosial masyarakat.
Pendidikan Karakter Karya Sastra Bagi Anak Sekolah Dasar
Sastra anak diyakini memiliki konstribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan. Untuk menanam, memupuk, mengembangkan, dan melestarikan nilai-nilai pendidikan. Nilai pada dasarnya merupakan sesuatu yang inheren pada diri manusia, yang dijunjung tinggi oleh masyarakat pendukungnya. Nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, disukai dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang.Menilai berarti menimbang atau mengukur, menghubungkan atau membandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya, untuk selanjutnya diambil keputusan (N. Driyarkara, 1964: 37). Nilai sebagai fenomena psikis manusia yang menganggap bahwa, sesuatu hal bermanfaat dan berharga dalam kehidupannya (Herman J. Waluyo, 2003: 78). Oleh karena itu, nilai berfungsi untuk mengilhami anggota masyarakat dalam berperilaku. Nilai sebagai sifat atau kualitas membuat sesuatu menjadi berharga, layak diingini, dikehendaki, dipuji, dihormati, dijunjung tinggi, pantas dicari, diupayakan, dan dicita-citakan (Paulus Wahana, 2004: 5).
Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari paradigma kebudayaan yang merupakan lahan bagi tumbuhnya nilai identitas dan kepribadian bangsa. Djoko Suryo (1993: 8) berpendapat bahwa, pendidikan merupakan tempat yang strategis dalam menumbuhkembangkan national character building atau pembentukan karakter bangsa. Dalam perspektif sejarah, karya sastra memiliki beberapa nilai, antara lain: edukatif, reflektif, inspiratif, dan rekreatif. Dalam kehidupan manusia berkaitan dengan membudaya, yang bentuknya adalah kebudayaan (Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens, 1979: 8). Oleh karena itu, pendidikan berlangsung dalam suasana budaya tertentu. Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsanya (Retno Winarni, 2008: 2).
Karya sastrraa sebagai fiksitasi dapat memainkan peranan dan memiliki pengaruh terhadap perubahan masyarakat (Partini Sardjono Prodokusumo, 2005: 4-6). Menurut Andy Zoelton (1984: 79), berpendapat bahwa setelah merenungi sastra, pembaca akan mempunyai sikap yang baik dan lebih bijak untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, di samping pembaca juga mendapatkan hiburan yang berguna bagi keperluan katarsis (penyucian jiwa).
Nilai-nilai pendidikan yang termuat dalam karya sastra tersebut adalah sebagai berikut: 1) Edukatif umum berupa: nilai-nilai yang ditemukan dapat dimaknai sesuai data sosiologis, historis dan nilai pendidikan yang bersifat umum. 2) Edukatif- historis berupa nilai-nilai historis, bahwa sastra ini kaya akan makna sejarah yang berupa data apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana, sebagaimana temuan dalam perspektif historis. 3. Nilai edukatif sastra berupa: nilai-nilai karya sastra edukatif-historis berupa nilai-nilai pendidikan, inspirasi dan rekreasi. 4. Nilai pendidikan karakter yang terinspirasi dari peran tokoh cerita dapat menjadi model bagi anak dalam berperlaku. Tokoh protagonis maupun antagonis dapat membawa daya khayal anak yang dapat membantu menentukan tokoh mana yang layak untuk diteladani.
Pendidikan Karakter Anak
Pendidikan dalam perspektif pembangunan karakter bangsa menjelaskan bahwa pendidikan beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajad dan martabat negara, rakyatnya, dan kemuliaan segenap umat manusia. Sebagai media dialog antara masa lalu dengan masa kini membuat sejarah bermakna kemasakinian. Nilai kemasakinian karya sastra pada hakikatnya adalah semangat kehidupan. Apabila generasi yang lebih baru mampu memproyeksikan masa lampau ke masa kini dengan bijak, maka menjadikan masa lampau yang penuh arti (the meaningful past). Pendidikan dalam konteks sosio-kultural tidak lain adalah proses pembudayaan manusia agar manusia mampu menumbuhkembangkan potensi yang ada pada dirinya baik secara pribadi maupun kelompok serta lingkungannya secara harmonis.
Sikap kesadaran manusia akan kehidupan sosial budaya diperlukan sikap keterbukaan.manujsia memiliki dimensi kehidupan, baik lahiriah maupun batiniah. Kemampuan dan kesadaran manusia ada batasnya. Oleh karena itu anak diajak untuk merenungkan kembali tentang kehidupan secara sederhana menuju ke kesadaran yang lebih baik (Paul Suparno, 2003: 12)
Nilai Pendidikan yang dapat diperoleh dengan memepelajari karya sastra setidak-tidaknya terdapat lima manfaat, antara lain: manfaat estetis (belajar keindahan); manfaat edukatif (pendidikan); maanfaat kepekaan batin atau sosial; manfaat menambah wawasan atau cakrawala hidup; dan manfaat pengembangan kejiawaan atau kepripadian. Manfaat estetitika, membaca karya sastra akan menghasilkan pengalaman. Manfaat estetis dalam apresiasi sastra adalah nilai keindahan yang terpancar dalam sastra. Nilai pendidikan, misalnya budi pekerti (akhlak), adat-istiadat, pandangan atau wawasan, pembiasaan untuk melakukan sesuatu, pengembangan nilai tertentu, dan sebagainya. Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsanya.
Karya sastra sebagai potret kehidupan manusia yang mampu menampilkan tema moralitas yang berisi kebaikan, kejujuran, dan keadilan akan menang. Karya sastra juga dapat berupa tanggapan terhadap keadaan, kritik sosial, perjuangaan melawan ketidakadilan, sering dilakukan oleh pengarang untuk memperjuangkan kaum sempadan (pinggiran), kelompok yang tersisih, dan tertindas selalu menjadi korban perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang diimbangi oleh pengembangan etika, estetika, dan humaniora.
Membaca karya sastra akan melatih kepekaan, yaitu mudah terasa, tersentuh, tergerak budi pekerti dan pikirannya. Kepekaaan batin akan menumbuhkan solidaritas sosial, empati terhadap penderitaan orang lain. Hal ini penting karena pada hakikatnya manusia akan selalu berhubungan dengan orang lain baik dalam suka maupun duka. Sebagai kegiatan yang bernilai positif, maka pertama-tama harus dihubungkan dengan belajar. Banyak karya sastra klasik yang adiluhung (baik dan luhur) dan merupakan warisan dari generasi terdahulu yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Dengan banyak belajar dan membaca karya sastra akan diperoleh pengetahuan, ajaran kebajikan, nilai-nilai luhur yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui karya sastra, pembaca akan membuka cakrawala, mendapatkan informasi pengetahuan, pengalaman hidup, dan pandangan tentang kehidupan. Dengan banyak membaca karya sastra, seorang apresiator akan memperluas ilmu pengetahuan, keluasan cara berpikir, dan dinamika kehidupan yang dapat dipetik hikmahnhya.
Sastra anak yang menyangkut pantangan, menghindari persoalaan yang menyangkut seks, cinta (erotis), dendam, kebencian, kekejaman, prasangka buruk, kecurangan, kejahatan, dan masalah kematian. Disarankan cerita yang: amanatnya berakhir bahagia, ketenangan jiwa, dan keindahan (Putri Salju, Cinderela, Bawang Merah dan Bawang Putih, Limaran, Putri Angsa, dsb)
Gaya penyajian secara langsung, yaitu dideskripsikan secara singkat dan secara langsung, menganut gerak dinamis. Dialog diceriterakan secara wajar, hubungan antar tokoh disajikan secara jelas, baik sifat peran maupun fungsinya. Cerita harus bersifat informatif dan mengandung unsur-unsur pendidikan yang bermanfaat untuk pertumbuhan anak.
Sastra anak memiliki fungsi pendidikan nilai budaya, menceriterakan tentang sesuatu yang memberi, pengetahuan, kreatifitas, imajinasi, keterampilan, dan memberi pendidikan moral pada anak. Selain itu, berfungsi sebagai hiburan, memberi kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan batin anak, membentuk kepribadian, menuntun kecerdasan anak, dan k atarsis (penyucian jiwa).
Simpulan
Karya sastra dilahirkan oleh pengarang mengandung unsur-unsur estetika, perasaan senang, terharu, sedih, maupun bahagia. Nilai yang dapat diperoleh dengan mempelajari karya sastra setidak-tidaknya terdapat lima manfaat, antara lain: a. estetis (keindahan); b. edukatif (pendidikan); c.kepekaan batin atau sosial; d. menambah wawasan atau cakrawala hidup; dan e. pengembangan kejiwaan atau kepripadian. Untuk manfaat historis bersifat edukatif, inspiratif dan rekreatif. Manfaat estetitika, membaca karya sastra akan menghasilkan pengalaman berkesenian atau kebudayaan. Sesuai dengan filsafat keindahan, pengalaman estetis merupakan pengalaman tentang sesuatu yang berakar pada karya seni. Karya sastra merupakan rekaman pikiran, renungan, dan cita-cita masyarakat pada masa tertentu.
Pendidikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra, berupa nilai edukatif umum berupa, nilai-nilai ditemukan dapat dimaknai sesuai data bersifat sosio-humanistik. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih dapat dinikmati dan dipahami. Karya sastra dikatakan bermanfaat apabila dengan membaca karya itu, pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga, yang memuat nilai-nilai luhur dan mungkin dapat digunakan dalam pertimbangan untuk menjalani kehidupan.
Karya sastra juga dapat memainkan peranan dan memiliki pengaruh terhadap perubahan masyarakat. Pengalaman tentang pencapaian nilai luhur merupakan puncak segala kategori keindahan. Semua bidang keindahan adalah suatu moment perkembangan roh menuju kesempurnaan. Manfaat estetis dalam apresiasi sastra adalah nilai keindahan yang terpancar dalam sastra. Setelah merenungi sastra, pembaca akan mempunyai sikap yang baik dan lebih bijak untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, di samping itu pembaca juga mendapatkan hiburan yang berguna bagi keperluan katarsis (penyucian jiwa).
Nilai pendidikan budaya yang diperoleh dari pembacaan karya sastra dapat memperoleh nilai yang bajik untuk berperilaku yang bijak. Oleh karena itu, karya sastra tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsanya. Seorang apresiator karya sastra akan memperoleh pesan moral, ajaran budi perkerti, dan teladan-teladan kebijakan, sehingga mampu membentuk budi pekerti yang saleh, luhur, dan bermoral dan berperilaku anggun.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Nurgiyantoro. 2013. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dissanayake, Wimal. 1991. Introduction: The Literaary Turn in the Human Sciences. University of Hawaii: College of Languages, Linguistics and Literature.
__________. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Engleton, Terry. 1988. Teori Sastra: Sebuah Pengenalan (penerjemahan Mod.
Haji Salleh). Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna).Yogyakarta: Tiara Wacana.
__________. 2003. Metodologi Sejarah (Edisi Kedua). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman.
Nugraheni Eko Wardani, E. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Nyoman Kutha Ratna, 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
___________, 2007. Teori, Metode, dan Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
___________, 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Paul Suparno. 2003. Pendidikan Budi Pekerti. Yogyakarta: Kanisius
Rachmat Djoko Pradopo.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ras J. J. 1983. Bungai Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Grafiti Press.
Retno Winarni. 2008. “Kemampuan Mahasiswa dalam Meresepsi Puisi Indonesia Modern”. Jurnal Akademika. Yogyakarta: IKIP PGRI Wates
_____________. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta: Ghalia Ilmu
SartonoKartodirdjo. 1987. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Sugihastuti. 2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Harmondsworth: Penguin Books Australia Ltd.