TINDAK TUTUR BAHASA JAWA SEBAGAI BUDAYA

 

Supriyono

Lektor Kepala FKIP Universitas Terbuka UPBJJ Purwokerto

 

ABSTRAK

Kebutuhan manusia untuk mengadakan komunikasi bertujuan untuk mengetahui atau gagasan seseorang yang disampaikan. Sarana yang diperlukan dalam berkomunikasi adalah bahasa baik bersifat lisan maupun tertulis. Bahasa merupakan entitas suatu budaya yang terkandung didalamnya muatan budaya penuturnya, termasuk nilai moral dan etika. Pepatah “Ajininng diri dumunung ana ing lathi” menunjukkan bahasa merupakan ceriman jatidiri penutur. Kehidupan itu sangat kompleks, sehingga untuk memenuhi segala kehidupannya manusia harus melakukan kerja sama dalam suatu komunitas atau masyarakat. Bentuk kerja sama tersebut menggunakan bahasa nasional atau bahasa daerah khususnya bahasa jawa. Penggunaan bahasa jawa terasa rumit dan unik bila dibandingkan dengan bahasa nasional. Tingkat kerumitan dan keunikan dapat dipahami dengan mengenal bahasa jawa adanya mempunyai tingkatan-tingkatan bahasa. Tinggi rendahnya peradaban manusia Jawa tercermin dalam apa yang keluar dari mulutnya. Halus kasarnya bahasa yang digunakan mewujudkan kesantunan pribadinya. Tinjauan budaya jawa, tingkat tutur bahasa yang dipilih orang jawa mencerminkan kesantunannya.

Kata Kunci: Tindak Tutur, Bahasa Jawa, Budaya

 

PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya senantiasa perlu berkomunikasi dengan manusia lain. Dalam mengadakan komunikasi dengan sesamanya membutuhkan sarana yang disebut bahasa yang bersifat tertulis atau yang bersifat lisan. Tujuannya adalah untuk mengetahui ide atau gagasan seseorang yang disampaikan kepada orang lain.

Hal ini relevan dengan pendapat ahli yang mengangkat bahasa sebagai salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan ke permukaan bumi. Ketujuh unsur tersebut, antara lain: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup, (5) sistem pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) kesenian (Koentjaraningrat, 2009:165).

Dalam upaya memenuhi segala kebutuhan hidup manusia harus melakukan kerja sama antara satu dengan yang lain dalam suatu komunitas atau masyarakat. Bentuk kerja sama tersebut menggunakan bahasa nasional maupun bahasa daerah khususnya bahasa Jawa yang banyak digunakan sebagian besar orang Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah tersebar di seluruh pelosok nusantara.

Penggunaan bahasa Jawa dalam konteks budaya memang rumit dan unik dibandingkan bahasa komunikatif (bahasa nasional). Kerumitan dan keunikan bahasa Jawa salah satunya adalah mengenal tingkatan dalam tindak tutur yang relatif lebih kompleks.

Komunikasi atau kerumitan bahasa Jawa dapat dilihat adanya tingkatan-tingkatan bahasa yakni “basa ngoko, karma, karma inggil dan basa kedhaton” yang selama ini masih banyak pengguna merasa kesulitan dalam praktiknya. Begitu kompleksnya tingkatan tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang “basa ngoko dan karma”.

 


PEMBAHASAN

A.    Hakikat Tindak Tutur

1.     Pengertian Tindak Tutur

Sebuah penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat bahasa yang dimaksud adalah masyarakat tutur dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahnya. (Kunjana, 2000 32)

Menurut Froser yang dikutip oleh R. Kunjana Rahardi (2000: 35) menunjukkan bahwa sedikitnya ada empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur. Keempat pandangan kesantunan itu satu demi satu dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma­norma sosial (the social – norma view). Di dalam pandangan ini kesantunan bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan cultural yang ada dan berlaku di masyarakat bahasa itu. Apa yang dimaksud santun di dalam bertutur menurut pandangan ini dapat disetarakan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

Kedua, pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah anaksin percakapan (conversational malina) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face saving). Di samping itu, di dalam pandangan ini kesantunan dalam bertutur juga dapat dianggap sebagai kontrak percakapan (conversation contract). Pandangan ini menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama / coorperative principle). Prinsip kesatuan ini terutama mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antarmanusia pada masyarakat bahasa tertentu.

Ketiga, pandangan Fraser (dalam Kunjana, 2000: 38) melihat kesantunan sebagai tindakan memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (convervational contract). Kontrak percakapan itu sangat ditentukan oleh hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat di dalam kegiatan bertutur. Disamping itu, kontrak percakapan juga ditentukan oleh penilaian peserta tutur terhadap faktor-factor kontekstual yang relevan.

Keempat, pandangan kesantunan berdekatan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indeling) dan dapat di identifikasi dalam bentuk-­bentuk referensi sosial, homorifik, dan gaya bicara. Lakoff (Kunjana, 2000:38) berpendapat bahwa ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan memiliki santun. Ketiga kaidah itu adalah: (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesitancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality). Pada intinya, di dalam kaidah pertama terkandung maksud bahwa tuturan hendaknya harus bersifat formal, jangan terkesan memaksa, dan jangan terkesan angkuh. Pada kaidah kedua terkandung makna agar penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur, jangan terlalu tegas atau bahkan bersifat kaku dalam bertutur. Adapun pada kaidah ketiga, terkandung maksud agar penutur memperlakukan mitra tutur sebagai teman penutur. Sebagai seorang teman mitra tutur haruslah dapat merasa aman, sama, dan sejajar dengan penutur. Dengan perkataan lain, di dalam pandangan Lakoff suatu tuturan akan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu bersifat formal, tidak memaksa, dan tidak terkesan angkuh, terdapat pilihan tindakan bagi mitra tutur, dan tuturan tersebut hendaknya mampu membuat mitra tutur merasa sama, merasa memiliki sahabat, merasa gembira dan sejajar dengan penutur.

2.     Macam-macam Tindak Tutur

Menurut John R. Searle (dalam Kinjana, 2000: 32) menyatakan bahwa dalam praktek penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur, antara lain: (1) tindak lokusioner (locucipnary acts), (2) tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary acts).

a.     Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung didalamnya. Tindak tutur ini dapat disebut sebagai the ace saving something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi yang disampaikan penutur. Jadi, tuturan tanganku gatal misalnya, semata­mata hanya dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.

b.     Tindak Ikokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan itu rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangannya itu.

c.     Tindak Perlokuasioner adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan tanganku gatal, misalnya, dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena yang menentukan tuturan itu berprofesi sebagai seorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Selanjutnya, Searle (1983) menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu dapat dirangkum sebagai berikut: (1) Asetif (Asserties), yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya ; menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming) ; (2) Direktif (directives), yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturanya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan misalnya, memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending): (3) Ekspresif (expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya: berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratualing), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (prasing), belasungkawa (condoling) ; (4) Komisif (commmisives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya: berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering) ; (5) Deklarasi (Declarations) yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya: berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating) dan hukum (sentencing).

B.    Bahasa “Ngoku” dan Bahasa “Krama”

1.     Bahasa “Ngoko”

Bahasa “Ngoko” dalam tunturan diperuntukkan bagi para penutur yang kekerabatannya sangat erat. Kekerabatan tersebut dapat diwujudkan dalam tuturan kedua pihak yang masih menjadi jarak atau saling menghormati dan menunjukkan kekerabatan yang sangat akrab. Pihak penutur yang masih menjaga jarak dan saling menghormati biasanya lebih banyak menggunakan bahasa “Ngoko alus”. Akan tetapi, penutur yang sangat akrab dan yang menganggap setara biasanya menggunakan bahasa “Ngoko lugu”. Sedangkan jenis “Ngoko alus” dalam tinfak tutut dapat dipahami pada contoh kalimat-kalimat di bawah ini:

1)    Pak, panjenengan wis dhahar dereng?

(Bahasa Indonesia: Pak, sudah makan belum?)

2)    Panjenengan wis nate priksa “Goa Jatijajar”

(Bahasa Indonesia: Bapak/lbu/Saudara sudah pernah melihat “Goa Jatijajar” belum?)

3)    Kangmas lagi mendhut ageman kagem Eyang Kakung

(Bahasa Indonesia: Kakak baru membelikan baju buat kakek)

4)    Mbakyu lagi tindak pasar karo Amin.

(Bahasa Indonesia: Kakak baru pergi ke pasar bersama Amin).

5)    Ibu lagi siram ngagem banyu anget.

(Bahasa Indonesia: Ibu baru mandi dengan air hangat).

Lima contoh kalimat bahasa “ngoko alus” di atas diubah menjadi kalimat bahasa “ngoko lugu” sebagai berikut:

(1) Pak, wis mangan durung?

(2) Kowe wis tau / nate weruh “Goa Jatijajar” durung?

(3) Kakang lagi tuku klambi kanggo embah.

(4) Mbakyu lagi harga / menyang pasar karo Amin.

(5) Ibu lagi adus nganggo banyu anget.

Jika kita cermati kedua bentuk kalimat baik bahasa “ngoko alus” dan “ngoko lugu”, dapat diketahui kata-kata yang dapat menyebabkan pembeda di antara kedua bentuk tersebut. Untuk lebih jelas, dapat dilihat uraian sebagai berikut.

Kalimat, “Pak, panjenengan wis dhahar durung?” dan kalimat “Pak, wis mangan durung?” kata-kata sebagai pembeda kedua kalimat tersebut yaitu kata “dhahar” dan “mangan”. Penggunaan kata “dhahar” sebagai penyebab perubahan jenis kalimat bahasa “ngoko lugu” menjadi kalimat bahasa “ngoko alus “.

Kalimat “Panjenengan wis nate priksa “Goa Jatijajar” durung?” dan kalimat “Kowe wis tau/nate weruh” “Goa Jatijajar” durung?”. Kata-kata pembeda kedua kalimat tersebut adalah kata-kata “panjenengan” dan “kowe”, dan “priksa” dan “weruh”.penggunaan kata “penjenengan” dan “priksa” sebagai penyebab perubahan jenis kalimat bahasa “ngoko lugu” menjadi kalimat bahasa “ngoko alus”.

Kalimat “Kangmas lagi mundhut ageman kagem Eyang Kakung” dan kalimat “Kakang lagi luku klambi kanggo embah lanang”. Kata-kata pembeda kedua kalimat tersebut yaitu kata “Kangmas dan kakang”, mundhut ageman dan tuku klambi ; Eyang kakung dan embah lanang” Penggunaan kata “Kangmas, mundhut ageman, Eyang Kakung” sebagai penyebab perubahan jenis kalimat bahasa “ngoko lugu” menjadi kalimat bahasa “ngoko alus”.

Kalimat “Mbakyu lagi tindak pasar karo Amin” dan kalimat “Mbakyu lagi lunga / menyang pasar karo Amin”. Kata-kata sebagai pembeda kedua kalimat tersebut adalah kata-kata “tindak” dan “lunga/menyang” penggunaan kata “tindak” sebagai penyebab perubahan jenis kalimat bahasa “ngoko alus” menjadi kalimat bahasa “ngoko alus”.

Kalimat “Ibu lagu adus nganggo banyu anget” dan kalimat “Ibu lagi adus nganggo banyu anget. Kata-kata pembeda kedua kalimat tersebut adalah kata “siram ngagem” dan “adus nganggo”. Penggunaan kata / frase “siram ngagem” sebagai penyebab perubahan jenis kalimat bahasa “ngoko lugu” menjadi kalimat bahasa “ngoko alus”.

2.     Bahasa “Krama”

Bahasa “Krama” dalam bahasa Jawa terdapat beberapa jenis, tetapi yang akan dibicarakan disini hanya dua jenis yakni “Krama Lugu” dan “Krama Inggil/Alus”. Kedua bahasa tersebut mempunyai karakter yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dipahami dalam penjelasan berikut ini.

Bahasa “Krama Lugu” lazim dipakai oleh kalangan masyarakat yang berstatus sosial menengah ke bawah, sedangkan “Krama Inggil/Alus” lebih biasa / lazim dipakai oleh kalangan masyarakat terpelajar atau kelas menengah ke atas. Penggunaan bahasa “Krama Lugu” oleh kalangan masyarakat tertentu bisa bersifat formal dan tidak formal. Kesemua kalangan masyarakat itu menganggap setara pada status sosialnya walaupun memiliki profesi atau pekerjaan yang berbeda. Misalnya: para petani, para pedagang kecil, para nelayan dan sebagainya. Penggunaan bahasa “Krama Inggil/Akus” oleh kalangan masyarakat tertentu dapat bersifat formal atau tidak formal juga. Kalangan masyarakat ini menganggap bahwa rasa saling menghormati senantiasa perlu dijaga. Oleh karena itu, pada praktiknya bahasa yang dipakai pun punya nilai rasa yang lebih tinggi atau tingkat kesantunan lebih tinggi. Di samping itu, kalangan masyarakat yang menganggap lebih rendah status sosialnya tetapi mumpuni dalam bahasa tersebut sehingga mereka ikut menghormati yang diwujudkan dengan penggunaan bahasanya.

Untuk melengkapi pemahaman di atas, perlu diperhatikan contoh­contoh bentuk kalimat di bawah ini.

Bahasa “Krama Lugu”

1)    Pak Kirman saweg nedha sekul liwet.

2)    Sampeyan sampun nate kesah wonten peken Kiewer dereng?

3)    Sampeyan nyambut damel punapa?

4)    Mangga lenggah. Pak Seno saweg ngingum.

5)    Saenipun sampeyan wangsul riyin mbekta rasukan komplit!

6)    Wangsulipun Pak Kardi punika wanci dalu.

7)    Weteng Pak Bejo sakit wiwit kala wau enjing.

8)    Pak Dirman sampun mangertos kabar pejahipun adhinipun.

9)    Rikala enemipun, Pak Setyo wicantemanipun sae.

10) Sinten ingkang kepengin kesah wonten griyanipun Pak Imam?

Bahasa “Krama Inggil”

1)    Pak Kirman saweg dhahar sekul liwet.

2)    Panjenengan sampun nate tindak dhateng / wonten peken Klewer dereng?

3)    Panjenengan ngasta punapa?

4)    Mangga pinarak, Pak Seno saweg ngunjuk.

5)    Saenipun panjenengan kondur rumiyin ngasta ageman komplit.

6)    Konduripun pak Kardi punika wanci dalu.

7)    Pak Bejo gerah padharan wiwit kala wau enjing.

8)    Rikala timuripun, Pak Setyo pangandikanipun sae.

9)    Sinten ingkang ngresakaken tindak dhateng dalemipun Pak Imam?

Jika kalimat bahasa “Krama Lugu” dan kalimat bahasa “Krama Inggil” satu per satu dianalisis, dapat di peroleh informasi tentang perbandingan kedua jenis bahasa tersebut. Perbandingan kedua bahasa tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pada kalimat bahasa krama lugu (KL) dan bahasa krama inggil (KI) nomor satu “Pak Kirman saweg nedha sekul liwet” dan “Pak Kirman saweg dhahar sekul liwet”, terdapat dua kata nedha dan dhahar. Kedua kata tersebut yang digunakan pada kalimat di atas berfungsi untuk membedakan jenis kalimat sehingga menjadi kalimat bahasa krama lugu dan kalimat bahasa krama inggil. Oleh karena itu, penggunaan kata “dhahar” dapat mengubah kalimat jenis krama lugu menjadi jenis kalimat krama inggil.

Demikian juga pada kalimat nomor dua “Sampeyan sampun nate kesah wonten peken Klewer dereng?” dan “Panjenengan sampun nate tindak dhateng peken Klewer dereng?” Penggunaan kata kesah dan tindak, dapat membedakan kedua kalimat tersebut yaitu krama lugu dan krama inggil.

Kalimat bahasa “krama lugu” nomor tiga “Sampeyan nyambut damel punapa” dan “krama inggil”. Panjenengan ngasta punapa? Dapat diidentifikasi dua kata. “nyambut darnel” dan “Ngasta” merupakan dua kata sebagai penentu jenis bahasa krama lugu atau krama inggil.

Sama halnya pada kalimat bahasa krama lugu “Mangga lenggah! Pak S saweg nginum dan kalimat bahasa krama inggil “Mangga pinarak! Pak Seno saweg ngunjuk Penggunaan kata “lenggah, nginum” dan “Pinarak, ngunjuk” dalam kedual kalimat tersebut berfungsi untuk pembeda, sehingga dapat membedakan kedua jenis bahasa itu.

Kalimat-kalimat nomor lima baik krama lugu maupun krama inggil yakni “Saenipun sampeyan wangsul riyen mbekta rasuka komplit” dan “Saenipun panjenengan kondur rumiyen ngasta ageman komplit”, terdapat beberapa kata yang menyebabkan perbedaan jenis bahsa di antara keduanya, antara lain “Sampeyan, wangsul, riyin, mbekta, rasukan” dan “Panjenengan, kondur, rumiyin,ngasta, ageman”.

Kalimat bahasa krama lugu pada nomor enam “Wangsulipun Pak Kardi punika wanci dalu” dan krama inggil “Konduruipun Pak Kardi punika wanci dalu”, terdapat beberapa kata sebagai pembeda kedua jenis bahasa tersebut, yaitu “Wangsulipun” dan “Konduripun”. Dengan demikian, kedua kata tersebut sangat vital / pokok yang berpengaruh.

Kalimat-kalimat bahasa krama lugu “Pak Bejo sakit weteng wiwit kala wau enjing” dan krama inggil “Pak Bejo gerah padharan wiwit kala wau enjing”.Penentuan jenis bahan kalimat tersebut dapat dilihat dengan penggunaan kata-kata “sakit, weteng” dan “gerah, padharan”.

Demikian juga pada kalimat bahasa krama lugu dan krama inggil nomor 8 (delapan) yaitu “Pak Dirman sampun mengertos kabar pejahipun adhinipun” dan “Pak Dirman sampun priksa kabar sedanipun kang rayi”, ditentukan oleh kata-kata “mangertos, pejahipun, adhinipun” dan “priksa, sedanipun, kang rayi” sebagai penyebab pembeda jenis bahasanya.

Kalimat bahasa krama lugu pada nomor sembilan “Rikala enemipun, Pak Setyo wicantenipun sae” dan krama inggil “Rikala timuripun, Pak Setyo pangandikanipun sae”, dapat dicari kata penentunya yaitu “enemipun, wicantenipun” dan “timuripun, pangandikanipun”

Pada kalimat bahasa krama lugu “Sinten ingkang kepengin kesah wonten griyanipun Pak Imam? Dan “Sinten ingkang ngresakaken tindak dhateng dalemipun Pak Imam?, sebagai pembeda kalimat tersebut yaitu kata “kepengin, kesah, griyanipun” dan kata “ngresakaken, tindak, dalemipun.

C.    Penerapan Bahasa “Ngoko” dan “krama” dalam Tindak Tutur Bahasa Jawa

1.     Penerapan Bahasa Ngoko dalam Tindak Tutur Bahasa Jawa

Pemahaman terhadap bahasa ngoko tidak terlepas dengan masalah tingkatan (undha usuk) berbahasa dalam bahasa Jawa. Jenis bahasa ngoko lugu dan bahasa ngoko alus dapat digunakan para penutur yang menunjukkan status sosialnya yang berbeda pula. Pepatah yang menyatakan bahasa menunjukkan bangsa memang benar keberadaannya, sehingga dapat dijadikan acuan penentuan tingkatan berbahasa.

Penggunaan bahasa ngoko lugu dapat ditafsirkan bahwa penuturannya tergolong mempunyai status sosial yang lebih rendah dibanding dengan penutur yang menggunakan bahasa ngoko alus. Penutur di kalangan pengguna bahasa ngoko lugu menganggap diri mereka setara di antaranya, sehingga tidak perlu ada di antara mereka ditinggikan melalui jenis bahasanya. Hal ini dapat tercermin pada kalimat-kalimat sebagai berikut:

a.     Dina Minggu, kowe ning omah ora? (ngoko lugu)

Dina Minggu, panjenengan ping dalem ora) (ngoko alus)

b.     Mbakyu lagi lunga menyang pasar (ngoko lugu)

Mbakyu lagi tindak menyang pasar (ngoko alus)

c.     Pak Darmo lagi nganggo klambi anyar (ngoko lugu)

Pak Darmo lagi ngagem ageman anyar (ngoko alus)

d.     Kowe lagi mangan apa? (ngoko lugu)

Panjenengan lagi dhahar apa? (ngoko alus)

e.      Ibu lagi lara untu (ngoko lugu)

Jika dicermati kalimat-kalimat di atas, terdapat beberapa kemungkinan situasi dan kondisi penuturannya. Hal ini dapat berkaitan atau dipengaruhi konteksnya pembicaraannya. Misalnya, sekelompok studi. Mereka cenderung menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu. Akan tetapi, dalam konteks tertentu yang dipandang perlu saling menghargai, maka dapat berubah dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko alus. Terlebih-lebih bila kelompok mereka sudah tergolong dewasa usianya, secara alamiah berubah menjadi saling menghormati dan menghargai di antara mereka.

Di samping itu, tindak tutur mengalami perubahan dan jenis bahasa ngoko lugu ke ngoko alus karena penghormatan disebabkan faktor usia penutur terdapat seorang yang lebih tua, cenderung digunakan bahasa ngoko alus walaupun status sosialnya lebih rendah. Oleh karena itu, penggunaan bahasa tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya para penuturnya bukan semata-mata hanya faktor linguistik.

2.     Penerapan Bahasa Krama dalam Tindak Tutur Bahasa Jawa

Seperti halnya bahasa ngoko, bahasa krama mempunyai beberapa jenis, yang disoroti hanya bahasa krama lugu dan krama inggil (alus). Penggunaan bahasa krama lugu dan krama unggil agak berbeda dengan bahasa ngoko. Perbedaan tersebut terletak kadar keakrabannya di antara penuturnya, keakraban penutur berbahasa ngoko relatif lebih akrab daripada penutur berbahasa krama walaupun faktor status sosial yang mempengaruhi relatif sama.

Penutur bahasa krama lugu dapat ditafsirkan bahwa status sosialnya lebih rendah dari pada penutur berbahasa krama inggil. Penutur yang menganggap setara status sosial yang rendah, cenderung menggunakan bahasa krama lugu. Sebalikmya, jika penuturannya tergolong berstatus sosial (menengah ke atas, biasanya lebih condong menggunakan bahasa krama inggil.

Agar pemahaman terhadap jenis bahasa Jawa tersebut lebih jelas, perlu dicermati kalimat-kalimat berikut ini.

a.     Sampeyan punapa purun kula jak mampir womten griyanipun Pak Karno? (krama lugu)

Panjenengan punapa kresa kula aturi rawuh wonten dalemipun Pak Karno (krama inggil)

b.     Pak Bejo sampun tilem wiwit kala wau. (krama lugu)

Pak Bejo sampun sare wiwit kala wau (krama inggil)

c.     Parman nyukani arta dhateng embah (krama lugu)

Parman nyaosi arta dhateng eyang (krama inggil)

d.     Kangmas saweg tumbas rasukan batik (krama lugu)

Kangmas saweg mundhut ageman batik (krtama inggil)

e.     Pak Krama wicanten kaliyen anakipun supados enggal-enggal nglajengaken kuliahipun (krama lugu)

Pak Krama ngendika kaliyan putranipun supados enggal-enggal nglajengaken kuliahipun (krama inggil)

Jika dicermati kalimat demi kalimat di atas, dapat diidentifikasi kata-­kata pada kalimat (a) antara lain: sampeyan, purun, jak mampir, griyanipun (krama lugu) dan panjenengan, kresa, aturi rawuh, dalemipun (krama inggil) merupakan bentuk kata pembeda dari jenis bahasa krama lugu dan krama inggil tersebut. Pada kalimat (b) ditandai dengan kata tilem (krama lugu), dan Bare (krama inggil) sebagai pembeda pula seperti halnya pada kalimat (a). Kemudian (c) dapat ditandai dengan kata (krama lugu), dan nyaosi (krama inggil) nyukani. Begitu pula pada kalimat (d) kata tumbas, rusukan (krama lugu) dan, mundhut, egeman (krama inggil). Dan yang terakhir kalimat (e) ditandai dengan kata-kata wicanten, anakipun (krama lugu) dan ngendika, putranipun (krama inggil).

Kesemuanya itu, penggunaan kata panjenengan, kresa, kula, aturi, rawuh, sare, nyaosi, mundhut, ageman, ngendika, putranipun merupakan penggunaan bahasa sebagai penghormatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

Penggunaan bahasa ngoko baik ngoko lugu maupun ngoko alus masing­masing menunjukkan penutur yang berstatus sosial berbeda. Penutur bahasa ngoko alus lebih menekankan penghormatan terhadap lawan tutur atau sebaliknya.

Penggunaan bahasa krama lugu dan krama inggil dipengaruhi juga fakktor status sosial penuturnya, sehingga penggunaan bahasa tersebut menunjukkan kelompok penuturannya. Penutur bahasa krama inggil di samping menekankan penghormatan terhadap lawan tuturnya, juga menunjukkan status sosial bagi kelompok penuturnya.

Saran

Bertitik tolak pada simpulan di atas, perlu penulis sarankan sebagai berikut:

Penggunaan bahasa ngoko alus oleh kalangan penutur berstatus sosial menengah ke atas perlu dilestarikan dan dikembangkan karena masih sangat menjunjung tinggi rasa hormat terhadap lawan tuturanya dan mempunyai nilai kehalusan rasa.

Penggunaan bahasa krama inggil masih sangat tepat dipakai oleh kalangan berstatus sosial menengah ke atas demi relevan sepanjang jaman karena sangat mengedepankan rasa saling menghargai terhadap penuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Fatchul Mu’in. 2008. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya.

Kunjana Rahardi. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sarwiji Suwandi. 2008. Serba Linguistik. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

http://www.kompusiana.com/tayaoi/tindakan-tutur.bahasa-sebagai-bahasa-ibu-59285 f5 gd59373a60ab4565