TRANSFORMASI PROSA RAKYAT DENIAS SENANDUNG DI ATAS AWAN DARI PAPUA KE DALAM FILM LAYAR LEBAR DA
TRANSFORMASI PROSA RAKYAT DENIAS
�SENANDUNG DI ATAS AWAN� DARI PAPUA
KE DALAM FILM LAYAR LEBAR
DALAM KAJIAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
Kristina Wanti
Sakerius Fernandes Sorbu
Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Nusa Nipa
ABSTRAK
Prosa rakyat yang merupakan bagian dari sastra rakyat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang perlu dikembangkan karena mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai etika serta nilai moral masyarakat.Fenomena transformasi karya sastra ke film ini telah terjadi sejak beberapa dekade. Sejumlah besar film yang sukses, khususnya dari segi jumlah penonton dan apresiasi masyarakat, merupakan film yang diangkat atau ditransformasi dari karya sastra. Salah satunya dapat kita lihat pada peneitian sebuah sastra lisan yang ditransformasikan kedalam bentuk film yaitu prosa Denias yang ditrasformasikan kedalam fim Denias �Senandung di Atas Awan�. Prosa atau ceruta rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan� sendiri merupakan salah satu cerita berdasarkan kisah nyata yang terjadi di sebuah kelompok suku Dani Lembah Baliem Papua, yang mana menjadi fenomena didaerah tersebut dan sudah diangkat atau di transformasikan ke dalam Film Layar Lebar, dan juga mendapatkan penghargaan Piala Oskar tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan struktur prosa Denias Senandung Di Atas Awan dari Papua yang di trasformasikan kedalam Film Lebar, berdasarkan Pembagian Unit-unit Naratif, Episode, Rangkaian Persamaan dan Perbedaan, Oposisi dan Simbol. (2) mengetahui fungsi Denias Senandung Di Atas Awan dari Papua yang di trasformasikan kedalam Film Layar menggunakan teori fungsi menurut Van Peursen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yang mana peneliti ingin mendapatkan informasi tentang deskripsi dari berbagai pengaru yang ada dalam transformasi sastra pada Prosa rakyat Denias Senandung di Atas Awan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berorientasi pada tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, merupakan metode yang memaparkan atau menggambarkan sesuatu dengan kata-kata secara jelas dan terperinci, sedangkan metode kualitatif adalah gambaran dengan kata-kata kalimat dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Strukturalisme model Levi-Strauss. Data pada penelitian ini merupakan bentuk-bentuk transformasi Prosa rakyat Denias Senandung di Atas Awan dari Papua yang di trasformasikan kedalam Film Layar. Berdasarkan hasil analisis data pada prosa rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan� yang mana telah di transformasikan ke dalam film layar lebar dalam kajian strukturalisme Levi-Strauss, yang mana terdapat 2 versia yang pertama cerita lisan (asli daerah setempat) dan kedua cerita dalam film. Setelah dianalisis menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss maka diperoleh Struktur cerita yang terdiri dari 38 unit naratif yang mana dikelompokkan kedalam 6 episode kemudian ditafsirkan untuk setiap episedenya sehingga mendapat rangkain persamaan dan perbedaan lalu menarik oposisi dari hasil tafsir. Prosa rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan� sendiri mempunyai fungsi, salain di kaji dengan teori strukturalisme Levi-Straus, dalam fungsinya sendiri di padukan antara hasil analisis strukturnya dengan teori fingsi cerita menurul Van Peursen yang melihat tiga aspek yaitu pertama adanya kekuatan-kekuatan ajaib, kedua memberi jaminan pada masa kini dan ketiga memberi pengetahuan tentang dunia. Dengan menganalisis struktur dan fungsi cerita rakyat memiliki motif yang hampir sama tetapi berbeda pada pengembangan cerita, hal ini merupakan cara untuk memperkenalkan budaya masyarakat Nusantara yang beragam.
Kata Kunci: Prosa, Struktur, Unit Naratif, Episode, Oposisi, dan Simbol
PENDAHULUAN
Fenomena transformasi karya sastra ke film ini telah terjadi sejak beberapa dekade. Sejumlah besar film yang sukses, khususnya dari segi jumlah penonton dan apresiasi masyarakat, merupakan film yang diangkat atau ditransformasi dari karya sastra, Dalam sejarah perfilman dunia, sebut saja Hollywood misalnya, sembilan puluh persen skenario film dan televisi berasal dari transformasi. Sumarno (1996: )
Venayaksa (2006: ). Sementara itu, transformasi karya sastra ke film di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an. Sederet film maupun sinetron lain yang juga transformasi dari karya sastra, salah satunya dapat kita lihat pada penelitian sebuah sastra lisan yang ditransformasikan kedalam bentuk film yaitu prosa rakyat Denias yang ditrasformasikan kedalam fim Denias �Senandung di Atas Awan�. Perubahan ini berdasarkan sebuah cerita lisan (kisah nyata) masyarakat Suku Dani lembah Baliem Papua.
Prosa rakyat yang merupakan bagian dari sastra rakyat adalah salah satu unsur kebudayaan yang perlu dikembangkan karena mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai etika serta nilai moral masyarakat. Dengan mengetahui prosa rakyat tersebut, dapat mengetahui gambaran yang lebih banyak mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat tertentu dan dapat pula membina pergaulan sebagai suatu bangsa yang memiliki aneka ragam kebudayaan.
Karya-karya tradisional adalah cerita-cerita karena sifatnya yang anonim dan turun temurun, juga dikenal sebagai milik setiap orang dan dimiliki oleh setiap bangsa di dunia, demikian juga di Indonesia. Kisah serupa ini biasa disebut sebagai folklor, kisah-kisah yang berisi kebijaksanaan, kasih sayang, dan impian sebuah kelompok dan komunitas yang menjadi milik bersama, bahkan menjadi acuan hidup mereka, lainnya seperti lagu-lagu, pantun, fabel, mitos, dan legenda, masuk dalam kelompok cerita tradisional. Seperti di ketahui, folklor ini anonim dan terdiri atas segala ragam prosa rakyat yaitu cerita yang diturunkan oleh nenek moyang setiap bangsa. Inilah sebabnya, mengapa dalam perjalanan waktu, orang dapat menemukan berbagai varian cerita di berbagai sudut dunia. Sarumpet (2010: 19)
Kemajuan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra. Salah satu bidang teknologi yang mengalami perkembangan pesat adalah teknologi elektronik. Teknologi ini memiliki keterkaitan erat dengan dunia kesastraan, baik sebagai alat produksi maupun sebagai media komunikasi. Dalam arti luas karya sastra yang diproduksi, dimodifikasi, dan dikemas dengan menggunakan peralatan elektronik dapat dinamakan sastra elektronik. Sesuai dengan media yang dipakai, sastra elektronik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis: sastra audio, sastra audiovisual, dan sastra multimedia.
Ada pula campuran antara sastra lisan dan sastra elektronik dalam bentuk sastra lisan yang dielektronikkan dan sastra elektronik yang dilisankan. Sedangkan campuran antara sastra tulis dan sastra elektronik terdapat dalam bentuk sastra tulis yang dielektronikkan dan sastra elektronik yang dituliskan. Percampuran tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal-balik baik antar genre maupun lintas genre. Pada abad informasi dewasa ini, sastra elekronik mulai menjadi alternatif objek kajian sastra yang didominasi sastra lisan dan tulis. Terdapat deformasi media sastra, mulai dari layar nyata, layar perak, layar kaca sampai layar maya, dengan demikian patut disayangkan jika para pegiat sastra hanya berkutat dengan sastra lisan dan sastra tulis belaka. Sedangkan sastra elektronik tak terlirik sama sekali
Menurut Wiget (lihat Lauter, 1994), sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar yang melakukan evaluasi baik cara maupun isi pertunjukan; evaluasi bukan merupakan kesimpulan dari pertunjukan tersebut, melainkan merupakan sebuah kegiatan yang berlangsung yang tercermin dalam tingkat perhatian dan komentar. Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan.
Sastra lisan dapat bertahan secara turun-temurun karena sifatnya yang lentur, tidak kaku, dan penyajiannya berlainan dengan sastra tertulis yang acapkali sudah dibatasi oleh acuan tertentu, misalnya aturan penulisan. Sastra lisan mempunyai ciri-ciri gaya bahasa yang berlainan dengan sastra yang tertulis walaupun perbedaan itu tidak begitu mencolok, ciri-ciri khas yang berwujud pengungkapan alam pikiran masyarakat, norma hidup, nilai-nilai, tercakup dalam sastra lisan, seperti sering tergambar pula dalam sastra tertulis. Rafiek (2010:57)
METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yang mana peneliti ingin mendapatkan informasi tentang deskripsi dari transformasi sastra pada cerita rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan�. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berorientasi pada tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, merupakan metode yang memaparkan atau menggambarkan sesuatu dengan kata-kata secara jelas dan terperinci, sedangkan metode kualitatif adalah gambaran dengan kata-kata kalimat dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan (Arikunto, 1997:234). Jadi yang dimaksud metode deskriptif kualitatif adalah yang menggambarkan sesuatu kata-kata atau kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk meemperoleh kesimpulan secara jelas dan terperinci mengenai transformasi struktur prosa rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan� ke dalam film layar lebar. Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai bahan analisis (Siswantoro, 2008:70). Oleh karena itu, kualitas dan ketepatan pengambilan data tergantuk pada kecermatan menyeleksi dengan kecocokan konsep dan teori. Adapun data dalan penelitian ini berupa transformasi struktur prosa rakyat Denias �Senandung di Atas Awan� kedalam film layar lebar. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Penelitian kualitatif sebagai humen instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informasi sebagai sumber data, menilai kualitas data, melakukan pengumpulan data, menafsirkan data, membuat kesimpulan atas temuannya, dan dibantu oleh Tabel Identifikasi Data dan Tabel Panduan Interpretasi Data. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif eneliti sendirilah yang merupakan instrumen kunci, �the researcher is the key instrument� (Sugiyono, 2008:222). Peneliti menggunakan instrumen berupa tabel pengklasifikasian data yaitu dengan menbagi penentuan tiap unit naratif, episod, rangkaian persamaan dan perbedaan, oposisi serta simbol dalam penelitian ini Data yang sudah terkumpul dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Data diperoleh dengan cara menonton film Denias Senandung diatas Awan dan membandingkan dengan cerita aslinya dari penutur daerah asli lembah Baliem Papua. Selanjutnya, mengidentifiasi dan melakukan pengkodean melalui paparan yang mencerminkan transformasi cerita rakyat Denias �Senandung di Atas Awan� ke dalam film layar lebar, sehingga diperoleh data yang sesuai dengan masalah penelitian. Pengkodean ini dimaksud untuk memudahkan peneliti membedakan sumber data yang satu dengan sumberdata yang lain. Kode tersebut ditulis dengan menyingkat kalimat dengan huruf depan pertama, kedua dan seterusnyasesuai dngan bentuk transformasi prosa rakyat Denias �Senandung di Atas Awan� ke dalam film layar lebar yang ditemukan dalan film. Setelah pengkodean selesai kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Cerita
Pada pembahasan hasil penelitian disini akan dimulai dari struktur cerita yang akan dikaji yaitu meliputi struktur cerita Denias �Senandung di Atas Awan� versi cerita rakyat yang berasal dari suku Dani Lembah Baliem Papua, yang telah ditransformasikan kedalam film layar lebar. Struktur cerita tersebut akan dijabarkan berdasarkan unit-unit naratif, kemudian dibagi kedalam tiap-tiap episode, selanjutnya dari episode-episode yang telah stersusun dapat ditemukan persamaan dan perbedaan cerita yang mana didalam cerita tersebut terdapat beberapa simbol kebudayaan berikut analisis model strukturalisme Levi-Strauss.
Struktur Cerita Denias Yang Di Transformasikan Ke Dalam Film Layar Lebar
Unit-Unit Naratif Cerita Denias Yang Di Transformasikan Ke Dalam Film Layar Lebar
1. Upacara pemasangan koteka dan acara makan barapen, sekaligus pemisahan honai antara laki-laki dan perempuan termasuk suami dan istri.
2. Denias diajak bermain bersama kedua temannya, mereka ketakutan karena memanah kus-kus yang dikira suanggi. Juga mereka panik ketika bertemu dengan kepala suku di dalam gua.
3. Ke esokan harinya Denias ke sekolah dengan mengenakan noken dan sebuah bola, cukupdengan menbasahi mukanya dan berlari berkilo-kilo meter menuju sekolahnya.
4. Ketika sampai di sekolah Denias terlambat, namun iya terus berlari mengejar helikopter yang akan mendarat di lapangan dekat sekolah untuk menemui Maleo dan ikut menaiki helikopter itu, lalu teman-temanya serentak mengikuti Denias keluar kelas menuju helikopter
5. Setelah itu terjadi perkelahian antara Denias dan Noel, dan dilerai soleh pak guru, Noel diberu hukuman scotjump dan Denias diberi nasihat. Denias minta maaf kepada pak guru dan berjanji tidak berkelahi lagi.
6. Ayah Denias marah besar ketika mendengar kejadian itu, sehingga marah kepada Denias karena tindakan Denias yang gegabah sudah berkelahi dengan anak Kepala Suku Besar.
7. Denias pergi ke barak Maleo untuk menyampaikan keadaan yang dialaminya saat itu, lalu Maleo memberikan pilihan kepada Denias untuk bersekolah atau berkelahi. Disamping itu Maleo mengajarkan Denias tentang peta Indonesia.
8. Denias terus belajar menyusun peta Indonesia, di barak dan saat dia di honai sampai ia berhasil.
9. Keesokan harinya ibu denias pingsan karena sakit keras, karena panik Denias memanggil ayah dan orang-orang untuk meminta bantuan, setelah itu Denias mendatangi barak Maleo untuk meminta obat sekaligus pertolongan dari maleo. Setelah ibunya sadar, ibunya berpesan agar Denias harus tetap rajin sekolah.
10. Karena keteledoran Denias akhirnya honai ibunya terbakar dan ibunya meninggal, sementara honai terbakar Denias sedang berburu kus-kus dengan kedua temannya. Dimana dia meninggalkan ibunya sendirian di honai.
11. Upacara berkabung diadakan yang mana ayah Denias akan dipotong salah satu jarinya, dan kaum perempuan mengadakan kegiatan mandi lumpur.
12. Denias menyesal atas perbuatannya sehingga dia berdiam diri diatas sebuah pohon selama seharian penuh, kemudian ayahnya datang untuk coba membujuknya agar kembali ke honai, karena rayuan ayahnya tidak berhasil maka ayahnya sendiri memanjat pohon lalu menurunkan Denias.
13. Kembali lagi Denias bertemu dengan Maleo dimana dia mengakui kesalahannya atas kematian ibunya, disamping kesedihan dan tangis penyesalannya, Maleo mencoba untuk memberi penghiburan dan pengertian atas perasaan bersalahnya. Lalu Maleo memberikan sebuah kaos kepada Denias untuk menggantikan kaosnya yang terbakar, agar Denias bisa bersekolah lagi dengan kaos barunya.
14. Satu-satunya guru di sekolah Denias pergi meninggalkan mereka karena ada istrinya dalam keaadaan sakit parah di Jawa, jadi pak guru harus meningalkan sekolah.
15. Maleo terpaksa menggantikan guru untuk mengajar, tetapi keadaan tidak mendukung karena semua siswa takut dan berpikir hanya gurulah yang pantas mengajar bukan seorang tentara.
16. Pantang menyerah Maleo berusaha untuk meyakinkan anak-anak sehingga mereka mau belajar lagi. Disamping itu terjadi konflik antara Denias dan Noel anak kepala suku besar. Tak lama kemudian ayah Denias datang lalu membawa Denias pulang untuk membantu ayahnya bekerja memasang pagar.
17. Sore harinya terjadi bencana alam gempa bumi berkekuatan 5,8 skala richter, sekolah tempat Denias dan teman-teman belajar roboh dan rusak parah.
18. Maleo datang menghampiri Denias dan ayahnya yang sedang memasang pagar, Maleo memohon kepada ayah Denias agar ia bisa belajar lagi, tetapi ayah Denias lebih mengingikan Denias bekerja. Karena semua anak laki-laki itu harus membantu ayahnya. Kemudia Maleo menggerakan teman-teman denias untuk membantu bekerja sama untuk memasang pagar.
19. Kemudian Maleo dan anak-anak membuat honai dipingir danau yang nyaman dan dekat agar mudah dijangkau anak-anak untuk belajar. Tetapi Noel yang malas bekerja pergi melapor ke ayahnya yang adalah seorang kepala suku besar di tempat itu.
20. Kepala suku besar datang dan marah, sehingga melarang Maleo untuk mendirikan honai dipinggir danau, karena tanah itu adalah tanah milik kepala suku besar. Kemudian Maleo mencoba untuk meminta kebijakan ke kepala suku agar bisa mendapat ijin membangun honai.
21. Selang beberapa minggu, surat yang dikirim oleh Maleo terbalas, akhirnya bantuan seragam yang diminta dikirim. Maleo membagikannya kepada anak-anak dibaraknya
22. Tak lama kemudian Maleo harus pergi dari kebersamaan anak-anak karena dia dipindah tugaskan. Maleo meninggalkan sepucuk surat di baraknya. Kemudian Denias mendapatkan barak kosong yang ia temuai hanyalah sepengal surat yang berisi tentang pesan dan keberadan Maleo.
23. Tekad Denias bulat dan ia berlari meninggalkan honai untuk pergi merantau agar ia bisa bersekolah di sekolah berfasilitas.
24. Dalam perjalanannya Denias beristirahat disebuah gua, untuk makan daging kus-kus dan buah merah untuk mengganjal perutnya yang lapar.
25. Keesokan harinya Denias tiba di kampung Banti temanpat dimana kakaknya tinggal, namun sayang Denias ditemukan tidak sadarkan diri oleh kakaknya di pintu masuk honai, karena menempuh empat hari perjalanan.
26. Ahkhirnya Denias sampai di kotadan bertemu dengan seorang teman yakni Enos namanya.
27. Denias pergi ke sekolah berharap ia bisa diterima disana, ternyata kenyataan berkata lain. Di sekolah Denias bertemu dengan Angel dan musuh babuyutannya Noel yang sudah bersekolah disekolah tersebut.
28. Seorang bapak gembala datang dan menemui Denias. Setelah Denias menyampaikan keinginannya kepada bapa gembala itu, Denias diminta datang untuk menemui ibu gembala.
29. Keesokan harinya Denias dan Enos menemui ibu gembala untuk menikuti tes membaca dan menulis dirumah ibu gembala.
30. Ibu gembala coba membicarakan keadaan Denias ke pihak yayasan dan dewan guru yang lain dalam rapat terbuka tetapi keputusan kembali kepada peraturan adat dan kesepakatan yayasan.
31. Dilingkungan sekolah Denias di serang olen Noel dan dikurung di gudang, lalu Angel datan membawa makan dan menolng Denias keluar dari gudang.
32. Rapat kedua diadakan untuk memproses Denias agar bisa masuk sekolah dan tinggal di asrama, melalui perjangan ibu gembala yang mana berusaha keras agar Denias diterima. Sedangkan Enos teman Denias harus pulang ke Ilaga untuk mengambil raportnya.
33. Akhirnya Denias dites untuk semua bidang mata pelajaran disekolah untuk membuktikan dirinya, sesuai dengan waktu tes anak-anak sekolah pada umumnya.
34. Setelah itu terjadi konflik lagi antara Noel dan Denias di asrama karena Enos dengan sengaja menendang bola mengenai kepala Denias akhirnya Denias pingsan. Hal itu terdengar oleh ibu pengasuh asrama, akhirnya Noel diperingati dan juga Denias.
35. Hal yang sama terjadi lagi diwaktu sarapan pagi di asrama, Noel kembali memukuli Denias lalu Denias berlari meninggalkan asrama, karena merasa minder dengan teman-teman.
36. Ibu gembala mencari Denias, tetapi tidak ketemu sampai akhirnya putus harapan antara ibu gembala yang sudah memperjuangkan Denias, dan Denias yang menghilang entah kemana. Ditengah-tengah suasana itu Denias muncul dari depan gerbang rumah ibu gembala. Seraya minta maaf atas segala kesalahan atas perkelahiannya dengan Noel, dan ia ingin berpamitan untuk pulang. Karena dia merasa tidak akan diterima disekolah itu.
37. Ibu gembala tersenyum dan berkata Denias kamu diterima sekolah. Akhirnya dengan rasa terharu, bangga, dan gembira Denias memeluk ibu gembala dan berterimakasih.
38. Akhirna Denias bersekolah demi melanjutkan cita-citanya. Disamping itu Enos muncul dengan raportnya. Mereka bergembira bersama dari kejadian itu membawa perubahan besar karena Denias, Noel, Angel dan Enos dapat berteman baik dan bersekolah bersama.
Pembagian Tiap-Tiap Episode Cerita Denias Yang Di Transformasikan Ke Dalam Film Layar Lebar
Cerita rakyat Denias yang di transformasikan ke dalam film layar lebar ini akan dibagi ke dalam episode-episode yang membentuk suatu alur cerita. Tiga puluh delapan unit-unit naratif tersebut dapat digolongkan menjadi enam episode, yaitu;
Pembagian Tiap-Tiap Episode
1. Episode I latar belakang Denias terlihat pada unit naratif (1-8)
2. Episode II Denias di tinggalkan oleh orang-orang yang disayanginya terlihat pada unit naratif (9-14)
3. Episode III Denias dilarang untuk bersekolah terlihat pada unit naratif (15-22)
4. Episode IV Denias melarikan diri ke kota untuk bersekolah terlihat pada unit naratif (23-26)
5. Episode V Denias putus asa terlihat pada unit naratif (27-32)
6. Episode VI Denias berhasil bersekolah di kota terlihat pada unit naratif (33-38)
Rangkain Persamaan dan Perbeaan Cerita Rakyat Denias Yang Di Transformasikan Kedalam Film Layar Lebar
Rangkaian dari persamaan dan perbedaan ini dapat dilihat dari penafsiran tiap-tiap episode, selain itu juga akan ditentukan oposisi dari penafsiran tiap-tiap episode. Berikut adalah sampel tabel tafsiran episode:
Tafsir Episod I
Persamaan dan perbedaan cerita episode I, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan (1) Denias yang sebenarnya memiliki nama Janias, (2) sama-sama mengikuti upacara pemasangan koteka, yang mana upacara ritual adat ini dilakukan untuk setiap anak laki-laki pada usia remaja, (3) honai merupakan tempat tinggal tetapi terpisa antara honai laki-laki dan perempuan, (4) kegiatan kesekolah pada versi filim dilakukan sesuai dengan latar belakang tema, sedangkan zaman dulu belum ada sekolah di tempat Denias, (5) tidak boleh ada perselisihan antara warga dengan keluarga kepala suku besar karena itu dianggap bebal dan hukumannya mati dan (6) Denias memiliki kegemaran atau suka sekali berburu bersama teman-temannya.
Simbol Dalam Cerita Rakyat Denias Senandung Di Atas Awan Yang Di Transformasikan Ke Dalam Film Layar Lebar
Upacara Pemasangan Koteka
Koteka di Tanah�Papua
Koteka adalah penutup bagian khusus alat kelamin pria yang dipakai beberapa suku di Tanah Papua. Bagi pria berwibawa dan terkenal dalam masyarakat, koteka yang digunakan harus berukuran besar dan panjang. Batang kotekanya pun diukir berwarna-warni. Seorang pria berwibawa dan gagah biasanya mengenakan koteka sambil memegang panah dan busur dengan tatapan wajah yang tajam ke alam bebas. Koteka terbuat dari buah labu (Lagenaria siceraria). Labu tua dipetik, dikeluarkan isi dan bijinya kemudian dijemur dan digunakan setelah labu tersebut menjadi kering.
Kata Koteka berasal dari salah satu suku di Paniai, artinya �pakaian�. Di Wamena koteka disebut holim. Ada berbagai jenis ukuran koteka, tergantungbesar kecilnya kondisi fisik pemakai. Tetapi, besarnya koteka juga sering hanya sebagai aksesoris bagi si pemakai. Tidak ada literatur yang menyebutkan, sejak kapan suku- suku asli Papua mengenakan koteka. Sejak petualangan bangsa Eropa datang ke daerah itu, kaum pria dari suku-suku di Pegunungan Tengah (Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, Tolikara, Yahokimo, dan Pegunungan Bintang) sudah mengenakan koteka. Keterampilan membuat koteka diperoleh secara turun temurun bagi kaum pria.
Seorang laki-laki ketika menginjak usia 5-13 tahun harus sudah mengenakan koteka sebagai busana pria. Dan itu ditandai dengan mengadakan upacara adat untuk pemasangan koteka. Pria seperti ini yang menutup bagian alat kelamin mereka dengan kulit labu ini sering disebut �manusia koteka�, atau sering pula disebut masyarakat koteka.
Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya adalah �pria sejati�. Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka, belum pernah melakukan persebadanan. Miring ke samping kanan: simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. �Kanan� menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memimpin, dan pengayom rakyat. Miring ke samping kiri: bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur). Integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1962 merupakan satu titik balik kehidupanmasyarakat koteka. Pertemuan para pejabat dari Jakarta dengan masyarakat koteka waktu itu merupakan pertemuan dua budaya yang berbeda, yakni Melanesia dan Polinesia.
Orang diluar Papua tidak melihat koteka sebagai pakaian, sementara masyarakat pedalaman Papua melihatnya sebagai pakaian yang memiliki nilai kebanggaan yang tidak berbeda dengan pakaian yang dikenakan masyarakat Indonesia umumnya. Sejak itu pula terbangun sikap heran dan tanda tanya di antara kedua pihak. Koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dilihat sebagai pria telanjang dan �tidak beradab�. Tetapi, dari sisi orang Papua, koteka adalah pakaian resmi orang Papua yang menunjukan identitas dan jatidiri seorang laki-laki Papua sejati. Secara bertahap, sosialisasi mengenai gerakan pemberantasan koteka pun mulai digalakkan. Gubernur Frans Kaisepo (1964-1973) mulai menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai pakaian yang sehat, sopan, dan bermartabat. Kemudian dilanjutkan dengan kampanye antikoteka oleh Gubernur Soetran. Sosialiasi dilanjutkan Gubernur Acub Zainal, Gubernur Busiri Suryowironoto, dan Gubernur Isac Hindom. Pada masa pemerintahan Gubernur Barnabas Suebu (1988-1993) dan Yacob Pattipi (1993-1998) mulai dilakukan kampanye antikoteka di Pegunungan Tengah. Puluhan ton pakaian dijatuhkan di beberapa kecamatan dan kampung-kampung di Pegunungan Tengah yang merupakan basis koteka. Tetapi, kampanye antikoteka dengan cara itu tidak banyak membantu masyarakat koteka. Satu dua potong pakaian yang dibagi kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian itu dikenakan terus siang-malam, dan tidak dicuci sampai hancur di badan. Ketika pakaian hancur, tidak ada pakaian baru sebagai pengganti. Kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau, membuat mereka seakan-akan tetap terisolasi di tengah hutan. Tidak mengenal peradaban modern dan tidak tahu caranya mendapatkan pakaian. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara merawat dan menjaga pakaian agar tetap awet di badan. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan yang begitu minim, membuat mereka tetap memilih untuk menggunakan koteka mereka tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sesuai dengan perolehan hasil berdasarkan analisis data pada prosa rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan� yang mana telah di transformasikan ke dalam film layar lebar dalam kajian strukturalisme Levi-Strauss, yang mana terdapat 2 versia yang pertama cerita lisan (asli daerah setempat) dan kedua cerita dalam film. Setelah dianalisis menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss maka diperoleh Struktur cerita yang terdiri dari 38 unit naratif yang mana dikelompokkan kedalam 6 episode kemudian ditafsirkan untuk setiap episedenya sehingga mendapat rangkain persamaan dan perbedaan lalu menarik oposisi dari hasil tafsir.
Pada dilihat dari struktur ceritanya jiga sudah terbukti pada bab IV mengenai Etnografi Masyarakat Suku Dani yang mana menyatakan sebagian besar poin-poin yang dianalisis dan menjelaskan gambaran dan situasi kondisi keadaan dari pemilik cerita rakyat (prosa) Denias �Senandung Di Atas Awan�.
Prosa rakyat Denias �Senandung Di Atas Awan� sendiri mempunyai fungsi, salain di kaji dengan teori strukturalisme Levi-Straus, dalam fungsinya sendiri di padukan antara hasil analisis strukturnya dengan teori fingsi cerita menurul Van Peursen yang melihat tiga aspek yaitu pertama adanya kekuatan-kekuatan ajaib, kedua memberi jaminan pada masa kini dan ketiga memberi pengetahuan tentang dunia. Dan itu terbukti dan terlihat pada paparan di bab VI, yang mana dalam cerita juga mengandung tiga unsur fungsi cerita menurut teori Van Peursen.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Ema, Yustina. 2011. Struktur Cerita Maling Kundang, Pulau Belumbak, Pulau Kapal, Batu Bangga dalam Kajian Strukturalisme Levi-Strauss. Skripsi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Kanjuruhan Malang.
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta.
Ensiklonesia. 2012. Asal Usul Tradisi Potong Jari Di Papua. (online)
http://ensiklonesia.blogdetik.com/2012/04/25/asal-usul-tradisi-potong-jari-di-papua-irian-jaya/
Fokkema, D.W. dan Elurd Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Keduapuluh. Jakarta: Gramedia.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra Kajian Teoridan Praktik. Bandung: Rafika Aditama.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Siswantoro 2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Teeuw, A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Wacana Nusantara. 2010. �Tradisi Potong Jari� (online)
Weelek, Rene dan Austin, Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
�
�