UPACARA GREBEG KENDALISODO DAN MAKNANYA DALAM MEMBINA KERUKUNAN MASYARAKAT DI DESA KARANGJOHO KELURAHAN SAMBAN KECAMATAN BAWEN KABUPATEN SEMARANG
UPACARA GREBEG KENDALISODO DAN MAKNANYA
DALAM MEMBINA KERUKUNAN MASYARAKAT
DI DESA KARANGJOHO KELURAHAN SAMBAN
KECAMATAN BAWEN KABUPATEN SEMARANG
Aditia Putra, Sunardi, Tri Widiarto
Pendidikan Sejarah-FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRACT
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sangat kental dengan budaya dan tradisi turun menurunnya. Salah satu budaya dan tradisi di Jawa adalah Grebeg Kendalisodo di Desa Karangjoho Kelurahan Samban Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Grebeg Kendalisodo rutin dilakukan oleh masyarakat Desa Karangjoho. Grebeg Kendalisodo rutin dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Desa Karangjoho setiap tanggal 10 Suro kalender Jawa. Grebeg Kendalisodo adalah salah satu upacara yang dilakukan masyarakat Desa Karangjoho untuk menghormati leluhur dan Gunung Kendalisodo serta bertujuan untuk terhindarnya malapetaka dan agar diberi kemakmuran. Acara puncak Grebeg Kendalisodo adalah dilakukanya jamasan pusak yang dilakukan di Sendang Cupmanik.
Kata Kunci: Grebeg, makna, Kendalisodo, upacara.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan. Adanya kait mengait di antara unsur-unsur itulah sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah sebagai sistem. Artinya kebudayaan merupakan kesatuan organis dari rangkai-an gejala, wujud, dan unsur-unsur yang berkaitan dengan satu (Tri Widiarto, 2009: 10).
Hubungan masyarakat terhadap lingkungan disekitarnya dan hubungan pergaulan dengan individu-individu dapat dilihat dari prosesi-prosesi upacara tradisional yang diselenggarakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah. Masyarakat tradisional Jawa memandang bahwa upacara-upacara tradisional penting untuk dilakukan karena mengandung pesan-pesan dan nilai-nilai serta norma-norma yang harus di turunkan dari leluhur atau nenek moyang kepada generasi berikutnya. Sekaligus dapat di ketahui identitas keluhuran nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam upacara tradisional agar selalu dilestarikan. Masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan, keduanya merupakan konsep yang saling tergantung. Jadi masyarakat merupakan pendukung dari kebudayaan. Bagian dari sistem nilai budaya yang terbatas dan lebih khusus lagi tetapi juga merupakan pedoman hidup sebagian dari suatu masyarakat adalah sistem keperca-yaan atau keyakinan salah satu dari sistem tersebut adalah Grebeg Kendalisodo.
Kendalisodo adalah nama sebuah gunung yang berada di Kecamatan Bawen, di tengah Gunung Kendalisodo yang menghadap ke Utara, ada pertapaan yang biasa digunakan orang untuk bersemedi beberapa hari. Tempat ini tidak jauh dari Desa Karangjoho, Kelurahan Samban, Ke-camatan Bawen, sedangkan tempat terse-but dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua. Di sebelah pertapaan tersebut terdapat Sendang Puspitosari atau Sen-dang Drajad, sendang tersebut tidak sembarang orang bisa melihat, konon sendang tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang berniat baik, sedangkan air sendang tersebut dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, mem-buat awet muda, menambah kewibawaan dan lain lain.
Grebeg Kendalisodo adalah cara yang dilakukan warga sekitar Gunung Kendalisodo untuk menghormati leluhur, alam serta rasa beryukur. Grebeg Kendali-sodo sangat dekat dengan kehidupan warga desa sekitar Gunung Kendalisodo. Dalam perekembanganya, grebeg menjadi-kan sarana keakraban dan sebagai tempat bersatunya warga desa sekitar Gunung Kendalisodo. Clifford Geertz berpendapat bahwa tradisi religius Jawa khusunya dari kaum petani merupakan sebuah campuran unsur India Islam dan Jawa. Jelas bahwa warna agama Hindhu, Islam dan Jawa tampak dalam setiap kegiatan ritualnya (Clifford Geertz, 1981:524).
TINJAUAN PUSTAKA
Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan, dengan tradisi sistem kebuda-yaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan efisiensinya selalu mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efisiensinya rendah akan segera ditinggal-kan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi.
Peranan tradisi sangat nampak pada masyarakat perdesaan walaupun kehidupan tradisi terdapat pula pada kehidupan masyarakat kota. Masyarakat perdesaan dapat didefinisikan sebagai masyarakat agraris, maka sifat masyarakat seperti itu cenderung tidak berani berspekulasi dengan alternatif yang baru. Tingkah laku masyarakat selalu pada pola-pola tradisi yang telah lalu (Bastomi, 1986 : 14). Menurut sejarahnya, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Hal ini meng-gambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh. Grebeg juga mempunyai arti mengelilingi atau menguntari suatu tempat dalam keyakinan manghormati suatu tempat. Keberadaan Grebeg Kendalisodo harus dilihat dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, sebab sebagian tradisi daerah yang ada menjadi unggulan masa lalu, namun dimasa kini menjadi musnah (Suwandi, skripsi, 2001).
Jamasan berasal dari kata jamas yang artinya cuci, membersihkan, mandi. Jamas adalah bahasa Jawa kromo inggil (tingkatan paling tinggi/halus), sementara bahasa dalam bahasa ngoko (paling kasar) adalah kumbah. Sehingga, jamasan bisa diartikan sebagai kegiatan mencuci, mem-bersihkan, atau memandikan atau ngum-bah. Dalam jamasan benda yang diman-dikan adalah pusaka yang diyakini atau dikeramatkan dalam masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Sedangkan pusaka adalah berbagai benda yang dikeramatkan atau dipercayai mempunyai kekuatan tertentu, seperti gong, keris, tombak, kereta pusaka, dan berbagai macam jenis pusaka lainnya. Dengan demikian, jamasan pusaka lalu diartikan sebagai kegiatan mencuci senjata, yang biasanya dilakukan di bulan Suro. Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai bulan keramat, penuh larangan dan pantangan.
Masyarakat Jawa hampir selalu menghindari melakukan suatu kegiatan besar di bulan ini, karena takut akan tulahnya. Menurut Murtjipto (2004), maksud dan tujuan jamasan pusaka untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman. Bagi sebagian masyara-kat Jawa, benda-benda pusaka tersebut dianggap mempunyai kekuataan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan. Dalam Grebeg Kendalisodo, benda ataupun pusaka yang dijamas di Sendang Cupumanik adalah Pancasila, agar bangsa ini tumbuh lagi dan lebih baik serta dijauhkan dari konflik yang membuat bangsa Indonesia terpuruk. Salah satu tradisi di masyarakat Jawa adalah upacara-upacara adat yang dikemas secara tradisional. Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan merupakan warisan sosial yang hanya dimiliki oleh masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajari-nya (Purwadi, 2005 : 1).
Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan, yang mengandung aturan-aturan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat (Depdikbud,1984:1). Upacara-upacara tra-disonal merupakan perwujudan dari pelak-sanaan proses sosialisasi dalam masyarakat tradisional sebagai kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat pendukungnya dan dapat menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kehidupan lain, seperti gotong royong, solidaritas, kekeluargaan, ketaqwa-an dan keagamaan.
Adapun kerangka pikir penellitian ini tergambar dalam diagram sebagai berikut:
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian diskriptif dengan maksud memaparkan, menggambarkan dan meng-uraikan Grebeg Kendalisodo sebagaimana adanya. Pengolahan data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif yaitu data yang berhubungan dengan peran dan Upacara Grebeg Kendalisodo diceritakan kembali sehingga terdapat gambaran yang utuh mengenai pelaksanaan upacara tersebut. Data-data yang diperoleh merupakan data yang masih mentah, untuk dijadikan data tersebut menjadi matang dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya perlu diolah kembali.
GEOGRAFIS DESA KARANGJOHO
Desa Karangjoho merupakan desa yang berada di Kabupaten Semarang. Tepatnya di Kelurahan Samban, Kecamatan Bawen. Karangjoho adalah desa yang berada persis di kaki Gunung Kendalisodo. Secara geografis wilayah Desa Karangjoho. Kelurahan Samban, Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang memiliki batas-batas geografis sebelah utara adalah desa Sorogenen dan desa Samban, sebelah timur desa Harjosari, batas sebelah selatan desa Mlilir dan desa Prampelan, sedangkan batas debelah Barat adalah desa Poncoruso.
Menurut catatan dan data kepala Desa Samban pada bulan Oktober 2013 jumlah penduduk jumlah Kepala Keluarga mencapai 192 yang terdiri dari 136 warga laki-laki dan 138 warga perempuan. Masyarakat di Desa Karangjoho mayoritas sebagaian besar bermata pencaharian sebagai petani dengan persawahan yang hampir mengelilingi Desa Karangjoho. Warga Desa Karangjoho hampir keseluruhan beragama Islam walau ada yang beragama non Islam namun mereka menjunjung tinggi nilai persatuan di Desa Karangjoho.
Gunung Kendalisodo
Gunung Kendalisodo merupakan sebuah gunung yang berada di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Gunung ini konon terbentuk karena hasil letusan Gunung Ungaran purba. Menurut keperca-yaan warga sekitar, Gunung Kendalisodo merupakan sebuah gunung yang dijaga oleh Hanoman dan tempat pertapaan Hanoman saat menjadi Resi Mayangkara.
Pengertian Upacara Grebeg Kendali-sodo
Grebeg Kendalisodo adalah tradisi ritual di Desa Karangjoho, Kelurahan Samban, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang yang biasanya dilakukan setiap tanggal 10 Suro. Gunung Kendalisodo terletak di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang. Acara ini dipusatkan di sebuah mata air yang disebut Sendang Cupumanik dengan diadakannya penjamasan Pancasila yang melambangkan negara Indonesia dan juga sabit dan cangkul sebagai lambang pertanian sebagai sektor ekonomi penduduk sekitar Gunung Kendalisodo. Penjamasan ini dihadiri oleh seluruh warga desa sekitar Gunung Kendalisodo.
Upacara Grebeg Kendalisodo ada-lah memberi doa dan sesaji bagi penunggu Gunung Kendalisodo yang dipusatkan di Sendang Cupumanik. Di tempat ini kerap dilakukan berbagai ritual pembersihan diri yang terkait dengan kepercayaan bahwa Muharam atau Suro adalah bulan tepat untuk mengkoreksi diri dan membersihkan jiwa dan batin. Tujuan dari Upacara Grebeg Kendalisodo adalah agar masyarakat di sekitar Gunung Kendalisodo dijauhkan dari malapetaka dan yang paling penting adalah diberi kemakmuran, kelimpahan air dan serta hasil pertanian di Desa Karangjoho melimpah khususnya dan dijauhkan dari konflik-konflik nasional umumnya.
Pelaku Upacara
Pelaku Grebeg Kendalisodo adalah:
a. Juru Kunci Sendang Cupumanaik.
b. Modin.
c. Kepala Desa Samban.
d. Ketua Panitia Grebeg Kendalisodo.
e. Peserta upacara Grebeg Kendaliso-do.
Perlengkapan Upacara
Perlengkapan Upacara Grebeg Kendalisodo adalah:
a. Daun muda kelapa.
b. Gerabah.
c. Daun pisang.
d. Pancasila.
PROSESI UPACARA GREBEG KENDA-LISODO
Upacara Grebeg Kendalisodo yang dilakukan oleh masyarakat Desa Karang-joho dilakukan setiap tanggal 10 Suro, dengan keyakinan bahwa suro merupakan bulan yang suci dan bersih.
Tahap Persiapan
Dalam upacara Grebeg Kendaliso-do perlu diadakanya persiapan yang matang, agar dalam pelaksanaanya dapat berjalan dengan lancar, persiapan tersebut mencakup persiapan sarana dan prasarana serta spiritual agar nanti dalam prosesi grebeg tidak ada hambatan berupa kurangnya sarana yang digunakan. Orang yang menyiapkan sarana dan prasarana ini adalah warga Desa Karangjoho laki-laki maupun perempuan, sedangkan persiapan spiritual adalah melakukan doa-doa satu malam sebelum Grebeg Kendalisodo berlangsung di Sendang Cupumanik. Persiapan ini dipimpin langsung oleh juru kunci sendang beserta modin desa di Sendang Cupumanik hingga warga yang ingin datang dipersilahkan. Pada acara grebeg tahun ini, banyak warga yang datang dalam tahap persiapan spiritual di Sendang Cupumanik, hingga bupati Kabupaten Semarang datang langsung mengikuti tahap ini dan memberikan sambutan dengan kesimpulan adalah beliau mendukung tradisi Grebeg Kendalisodo, karena ini bisa merupakan salah satu aset wisata budaya serta wisata religi di Kabupaten Semarang.
Pelaksanaan upacara Grebeg Kenda-lisodo
Pelaksanaan Grebeg Kendalisodo dilaksanakan tanggal 10 Suro tanggal jawa. Warga desa memilih tanggal itu karena itu sudah turun temurun dari awal mulainya grebeg hingga saat ini. Warga percaya jika Suro adalah bulan yang baik dan bersih, dan warga tetap setuju jika Grebeg Kendalisodo dilakukan setiap tanggal 10 Suro.
a. Pawai
Prosesi Grebeg Kendalisodo dimulai saat warga mulai berkumpul yang ditempatkan di desa Secang. Ketika semua warga dan panitia berkumpul beserta Pancasila, sabit, cangkul dan sesaji yang akan diarak, dan kepala desa Samban mengsahkan grebeg dengan sirinenya dimulailah Grebeg Kendalisodo. Masyarakat seki-tar juga suka menyebut arak-arakan ini juga sebagai pawai. Warga mulai mengarak Pancasila, serta sesaji yang dipimpin oleh ketua panitia dari Desa Secang menuju Sendang Cupumanik yang berada di Desa Karangjoho untuk melakukan jamasan. Walau saat tahap ini terjadi hujan lebat namun tidak mengurangi semangat dan antusias warga untuk mengikuti.
b. Sambutan-sambutan
Setelah pawai atau arak-arak-an dari desa Secang menuju sendang Cupumanik sampai di Desa Karangjoho ketua Panitia menghentikan sejenak di pertigaan desa Karangjoho. Tidak tanpa alasan ketua panitia meng-hentikan sejenak. Setelah semua war-ga beserta panitia berkumpul, ketua panitia memberikan sambutan yang pula dihadiri oleh budayawan dari Bali yang teryata juga berpatisipasi pada grebeg tahun ini.
c. Peletakan Sesaji
Setelah pawai dihentikan di pertigaan desa dan selesai ketua panitia memberikan sambutan-sambut-an, acara dilanjutkan dengan pemba-karan kemenyan untuk sesaji. Kemu-dian ada 4 orang yang membawa sesaji beserta kemenyan untuk dibawa ke Sendang Cupumanik dengan jalan kaki karena jarak antara pertigaan desa dan sendang tidak begitu jauh.
d. Jamasan Pusaka
Setelah sekiranya persiapan di Sendang Cupumanik selesai, ketua panitia memulai kembali pawai menuju Sendang Cupumanik untuk melakukan prosesi jamasan. Warga sangat antusias untuk mengikuti puncak acara Grebeg Kendalisodo di Sendang Cupumanik. Setelah sampai di Sendang Cupumanik, yang pertama akan dija-mas adalah Pacasila yang langsung diletakan diatas mata air sendang.
e. Makan Bersama
Sesudah acara penjamasan pusaka, maka acara dilanjutkan de-ngan makan bersama seluruh masya-kat dengan perebutan sesaji makanan dan hasil pertanian warga Karangjoho yang telah ikut diarak dan didoakan. Warga mulai memperebutkan sesaji serta gunungan buah-buahan, karena dipercaya bagi yang memakan akan mendapatkan berkah. Terlihat setiap warga sangat antusias dan tidak dalam waktu lama, sesaji makanan serta gunungan buah-buahan habis dipere-butkan oleh warga untuk langsung dimakan ataupun dibagikan kembali kepada saudara dan warga lain yang belum mendapatkan.
MAKNA UPACARA GREBEG KENDALI-SODO
Makna penting dalam pelaksanaan upacara Grebeg Kendalisodo dapat dilihat dari bebrbagai aspek, diantaranya adalah:
Makna Upacara Grebeg Kendalisodo dalam Kehidupan Sosial
Kehidupan masyrakat Karangjoho diwarnai oleh sikap solidaritas warganya, karena situasi sosial tersebut menuntut adanya sikap kebersamaan dalam meng-hadapi tantangan hidup di masyarakat. Gotong royong merupakan salah satu ciri kehidupan sosial warga Karangjoho dalam mengadakan Grebeg Kendalisodo.
Pelaksanaan upacara Grebeg Ken-dalisodo merupakan kegiatan yang selalu mengedepankan sikap maupun perilaku saling membantu atau kegotong-royongan, kerukunan yang hadir tanpa memandang status sosial, pendidikan dsb. Hal inilah dapat dibuktikan dalam pelaksanaan upacara ini, setiap warga masyarakat dengan antusias mempererat hubungan sosial antar warga Karangjoho dan seluruh warga sekitar Gunung Kendalisodo yang hadir dalam upacara tersebut.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa tradisi Grebeg Kendalisodo mem-punyai makna sebagai pemersatu atau jembatan antara warga untuk menjalin suatu hubungan sosial yang dapat menum-buhkan persatuan dan persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat.
Makna Upacara Grebeg Kendalisodo dalam Membina Kerukunan Hidup Masyarakat Desa Karangjoho
Tradisi Grebeg Kendalisodo dilihat dari tahap persiapan tampak bahwa mereka membina persatuan dan kesatuan masyarakat Desa Karangjoho dan mereka juga bersatu tanpa memandang status soial saat mereka membuat gunungan hingga tempat peletakan pusaka untuk dijamas yang mereka buat secara seder-hana. Kerukunan warga Karangjoho dan warga sekitar nampak juga pada saat mereka akan memulai Grebeg Kendalisodo. Mereka sangat antusias dan berbondong-bondong dan saling sapa, bercanda jika mereka bertemu di jalan, para orang tua, remaja, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
Rasa kebersamaan terlihat nampak sangat kental saat upacara selesai yaitu saat mereka memperebutkan gunungan walaupun akhirnya dibagikan kembali bagi yang belum medapatkan hingga akhirnya mereka memakanya besama tanpa memandang status apapun.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, anali-sa dan pengumpulan data yang paparkan dalam kajian “Makna upacara Grebeg Kendalisodo dan maknanya dalam mem-bina kerukunan masyarakat di Desa Karangjoho, Kelurahan Samban, Kecamat-an Bawen, Kabupaten Semarang” dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Upacara Grebeg Kendalisodo dalam mempererat kerukunan warga di-lihat dari kerjasama warga, peserta hingga panitia dari mulai persiap-an, proses dan hingga akhir upacara Grebeg Kendalisodo.
2. Upacara Grebeg Kendalisodo merupakan wujud adanya kerukun-an masyarakat Desa Karangjoho, dimana masyarakat secara bersa-ma-sama datang dengan sangat antusias dan memakan makanan secara bersama sama.
3. Makna upacara tradisi Grebeg Kendalisodo adalah memupuk rasa persaudaraan, gotong royong, memupuk rasa persatuan dan kesatuan tanpa memandang kedudukan, kekayaan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Arsip Desa Samban.2013. Kabupaten Semarang.
Buku-buku
Bastomi, Suwaji. 1986. Kebudayaan Apresiasi Pendidikan Seni. Semarang: IKIP Pres. Depdikbud. 1994. Nilai-nilai Budaya Sastra Jawa: Jakarta.
Geertz Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Grafiti.
Purwadi. 2005. Upacara Tardisional Jawa. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Tri Widiarto. 2009. Psikologi Lintas Budaya Indonesia.Salatiga. Widya Sari Press Salatiga.
Jurnal dan Skripsi
Murtjipto. 2004. Fungsi dan Makna Siraman Pusaka Mangkunegaran di Selogiri Kabupaten Wonogiri, dalam Patra-Widya Vol.5 No. 2. Juni 2004.Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Suwandi (152001703). 2002. Upacara Kembang Kuningan (Sejarah dan Pengaruhnya Terhadap Interaksi Sosial Masyarakat di Desa Polobogo Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Salatiga: FKIP-Sejarah (UKSW).