Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Melalui Pendekatan Konstruktivisme
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN MATEMATIKA KOMPETENSI DASAR PECAHAN DAN OPERASINYA MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
PADA SISWA KELAS IV SDN UJUNG-UJUNG 01
KECAMATAN PABELAN SEMESTER II
TAHUN PELAJARAN 2016/2017
Sri Muji Astuti
SDN Ujung-Ujung 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh data awal hasil observasi bahwa hasil belajar siswa kelas IV SDN Ujung-Ujung 01 Kecamatan Pabelan pada mata pelajaran Matematika kompetensi dasar pecahan dan operasinya masih rendah belum memenuhi kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan. Rendahnya hasil belajar disebabkan siswa masih kesulitan dalam menyerap materi pembelajaran yang disampaikan guru. Rendahnya daya serap siswa karena guru terlalu cepat dalam memenjelaskan materi pelajaran, metode kurang tepat, serta guru kurang memberikan motivasi dalam pembelajaran. Untuk memperbaiki hasil belajar siswa maka dilakukan penelitian. Penelitian ini menggunakan desain penilaian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Dalam penelitian ini pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan konstruktivisme.. Adapun subjek penelitian adalah guru kelas IV (peneliti) dan siswa kelas IV SDN Ujung-Ujung 01 Kecamatan Pabelan dengan jumlah 30 siswa, serta teman sejawat bertindak sebagai observer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I siswa yang tintas belajar baru mencapai 46, 7% dengan nilai rata-rata 73,5. Sedangkan pada siklus II peningkatan ketuntasan belajar yang mencapai 90% siswa telah memenuhi standar ketuntasan belajar 75%. Simpulan dari penelitian ini adalah pendekatan kostruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar pelajaran matematika kompetensi dasar pecahan dan operasinya
Kata kunci: Hasil belajar, pecahan dan operasinya, konstruktivisme
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas adalah dengan segera menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Salah satu permasalahan yang sering terjadi selama proses pembelajaran yaitu kurang terlibatnya siswa dalam kegiatan belajar mengajar sehingga suasana kelas jadi membosankan dan kegiatan belajar menjadi tidak nyaman.
Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar dan tingkat penguasaan yang dikembangkan melalui tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari.
|
Penilaian terhadap pencapaian kompetensi harus dilakukan secara objektif berdasarkan hasil kinerja peserta didik dengan bukti penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap sebagai hasil belajar. Dengan demikian dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi dan penilaian tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subyektif.
Pandangan belajar (learning) modern yang diterima secara luas disebut konstruktivisme. Menurut teori konstruktivis Bransford dkk (Crawfod, 2001) menyatakan bahwa manusia secara alami menyusun pengetahuan baru dan pemahaman-pemahaman berdasarkan pada apa yang mereka telah ketahui dan yakini. Guru sebagai fasilitator melibatkan peserta didik dalam proses belajar, membimbing melalui aktifitas-aktifitas langsung dengan mendorong peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan membiasakan mereka untuk membangun dan memformulasikan kembali ide-idenya.
Namun seberapa besar bimbingan dan arahan dari seorang guru dengan pendekatan konstruktivisme, dipengaruhi juga oleh faktor-faktor kemampuan guru, kemampuan siswa dan materi yang diajarkan. Selain itu dalam setiap pokok bahasan dalam pelajaran matematika rata-rata siswa memiliki keterbatasan-keterbatasan yang menyebabkan guru harus lebih banyak memberikan bimbingan dan arahan untuk memperoleh hasil yang baik.
Materi pecahan dan operasinya merupakan kelanjutan dari materi kelas bilangan bulat di kelas III dan kelas IV semester 1, dimana siswa masih kesulitan dalam menyerap materi pelajaran. Berdasarkan nilai awal yang peneliti amati, dari 30 siswa ternyata yang mendapatkan nilai 75 ke atas hanya 10 anak, sedangkan 20 anak lain belum bisa mendapatkan nilai yang diharapkan dengan ketuntasan klasikal 33,3%. Pembelajaran pecahan dan operasinya membutuhkan suatu pemahaman, di mana hal tersebut salah satunya dapat ditempuh dengan memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memahami materi tersebut berdasarkan pengalaman dan aktivitas pengerjaan soal. Hal tersebut merupakan salah satu indikator pendekatan konstruktivisme.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas yang menjadi permasalahan adalah “Apakah pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Ujung-Ujung 01 Kecamatan Pabelan Mata pelajaran Matematika pada kompetensi dasar pecahan dan operasinya Tahun Pelajaran 2016/2017â€
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan keaktifan siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
2. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV pada pecahan dan operasinya melalui pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang berarti bagi siswa, guru, dan sekolah.
Bagi siswa
a. Mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar matematika.
b. Meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran matematika.
c. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.
Bagi guru
Guru dapat mengetahui efektivitas pembelajaran dengan melalui pendekatan konstruktivisme yang dilakukan sehingga merupakan bahan evaluasi untuk menerapkan pendekatan tersebut pada pokok bahasan yang lain.
Bagi sekolah
Dengan penelitian tindakan kelas ini akan meningkatkan proses pembelajaran dan kinerja guru, sehingga kemampuan dan prestasi siswa khususnya mata pelajaran matematika meningkat, dengan meningkatnya prestasi siswa maka mutu sekolah juga semakin meningkat.
KAJIAN PUSTAKA
Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan pencapaian yang didapat setelah seseorang melakukan kegiatan belajar baik belajar dalam lingkungan formal maupun nonformal atau lingkungan masyarakat. Menurut Woordworth (dalam Ismihyani 2000), memaparkan bahwa: Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar. Woodworth juga mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan aktual yang diukur secara langsung. Hasil pengukuran belajar inilah akhirnya akan mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan dan pembelajaran yang telah dicapai.
Nana Sudjana (2009, h. 111) yang menyatakan bahwa “hasil yang diperoleh dari penilaian dinyatakan dalam bentuk hasil belajar†Jadi hasil belajar peserta didik pada hakikatnya merupakan perubahan tingkah laku setelah melalui proses pembelajar. Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar, hasil belajar akan diketahui melaui evaluasi hasil belajar.
Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Materi pembelajaran yang disampaikan guru pada dasarnya akan berhasil apabila guru mampu memahami apa model pembelajaran yang akan diterapkan kepada siswanya. Dalam hal materi yang baru, guru harus mampu menerapkan model pembelajaran yang disampaikan.
Pelibatan siswa serta peran serta guru terhadap materi yang baru perlu agar siswa memiliki kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan melakukan aktifitas bagi siswa sangat penting untuk menguasai materi yang baru, karena melalui pelibatan tersebut siswa memiliki pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan dalam menguasai materi pembelajaran. Bentuk pelibatan siswa dan pemberian bimbingan oleh guru tersebut dapat diperoleh melalui model pembelajaran konstruktivisme.
Konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerapkan bagaimana pengetahuan disusun dalam meningkatkan kemampuan manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam struktur pengajaran dan pembelajaran di sekolah, tetapi begitu terasa dan tidak dirasakan.
Berdasarkan pendekatan konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh diterapkan seorang guru kepada guru lain dalam materi yang sama. Siswa perlu dibimbing untuk mendapatkan pengetahuan berdasarkan pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil usaha siswa itu sendiri dan guru tidak boleh terlalu mendikte siswa dalam pelajaran. Kenyataan yang diketahui siswa adalah kenyataan yang dia ketahui dengan sendirinya. Siswa sebenarnya telah mempunyai satu kemampuan dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap pemikiran mereka. Untuk membantu siswa memperoleh konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila hal tersebut telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan pegangan bagi mereka, barulah kerangka tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman yang ada pada siswa. Rutherford dan Ahlgren (2001: 76) berpendapat bahwa siswa mempunyai kemampuan berfikir sendiri tentang hampir semua masalah, dimana ada yang benar dan ada yang salah. Jika pemahaman dan miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, pemahaman atau kapabilitas mereka itu akan tetap ada walaupun dalam pembelajaran mungkin mereka memberi jawaban seperti yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey (dalam Rutherford 2001: 77) menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang kompeten harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkelanjutan. Guru juga harus menekan kepentingan keterlibatan siswa di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Dari perspektif epistemologi yang diuraikan mengenai konstruktivisme fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penyelidikan dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang hanya bertumpu pada keberhasilan siswa untuk meniru atau mencontoh apa saja yang disampaikan guru mengenai suatu pokok bahasan.
Paradigma pendidikan sekarang kebanyakan merupakan paradigma objektivisme. Paradigma ini gagal menyelesaikan banyak masalah dalam pendidikan. Perbedaan antara objektivisme dengan konstrutivisme adalah sangat nyata. Objektivisme berdasarkan tanggapan bahwa wujud pengetahuan di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini, fungsi sains ialah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menyalurkan pengetahuan dari pendidik kepada siswa. Pengetahuan sains dari perspektif konstruktivisme adalah penjelasan paling sesuai untuk menguraikan fenomena yang diketahui.
Ahli objektivisme berpendapat bahwa yang perlu diajar dan siapa yang patut menajar adalah dibuat oleh “pakar†yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan kebanyakan siswa tidak dapat melihat belajar sebagaimana yang dilihat oleh “pakarâ€. Model otoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dan juga orang awam beranggapan guru mempunyai segala jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan siswa yang produktif dan berpengetahuan luas.
Dari pandangan ahli konstruktivisme, setiap orang siswa mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Pembelajaran memberikan keleluasaan kepada siswa untuk membentuk kreativitas dan pengetahuan di mana mereka mengkaitkan pengalaman yang mereka miliki dengan pengalaman mereka yang diterima sekarang. Siswa bukan hanya dibekali dengan pengetahuan saja, sebakliknya pembelajaran harus berorientasi pada proses berfikir dan kemahiran berkomunikasi.
Melalui penggunaan paradigma konstruktivisme, guru perlu mengubah peranannya dalam pembelajaran. Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau peneliti. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana siswa membina konsep atau pengetahuan, bahkan dengan hal itu guru akan memperoleh kemampuan dan pengetahuan untuk membina dan meningkatkan prestasi siswa serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan dan pembelajaran suatu konsep merupakan satu proses berkelanjutan dalam kehidupan.
Dalam paradigma konstruktivisme, siswa menanggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai suatu yang boleh disesuaikan dan boleh berubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri untuk menggunakan berbagai cara bagi memproses masalah dan menyelesaikan masalah. Dalam arti, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan membimbing. Hubungan guru dengan siswa boleh diumpamakan sebagai hubungan di antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu siswa mempelajari sesuatu pembelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk siswa, siswa yang membina pengetahuan dan kemampuan sendiri.
PELAKSANAAN PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri Ujung-Ujung 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang tahun pelajaran 2016/2017 pada pokok bahasan pecahan dan operasinya.
Pelaksanaan siklus I dilaksanakan pada 13 Pebruari 2016/2017
Pelaksanaan siklus II dilaksanakan pada 20 Pebruari 2016/2017
Karakteristik siswa:
Di lingkungan SD Negeri Ujung-Ujung 01 yang berupa pedesaan, orang tua kurang memperhatikan pendidikan anaknya, kesadaran untuk memotivasi anak sangat kurang, bahkan anak cenderung dilibatkan untuk membantu orang tua bekerja sebagai petani. Selain itu pada sore harinya siswa banyak yang mengikuti kegiatan keagamaan sehingga pada pagi harinya banyak yang lelah dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Deskripsi Per Siklus
Prosedur penelitian tindakan kelas ini direncanakan terdiri dari 2 (dua) siklus. Tetapi jika dengan dua siklus belum memenuhi apa yang diharapkan, peneliti mengambil tindakan kelas kembali. Setiap siklus dilaksanakan sesuai perencanaan dan harapan yang ingin dicapai.
Dengan berpatokan refleksi itu maka dilaksanakan penelitian tindakan kelas dengan prosedur: a) Perencanaan (planning), b) pelaksanaan tindakan (action), c) pengamatan (observation), dan d) refleksi (reflection) dalam setiap siklus.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBELAJARAN
Deskripsi Per Siklus
Berikut ini akan penulis uraikan secara singkat dan sederhana tentang hasil-hasil perbaikan yang telah dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus ada 4 tahapan yaitu, rencana, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.
Siklus I
Dari data yang telah dipaparkan diatas dapat diketahui bahwa perbaikan pembelajaran siklus I belum menunjukkan keberhasilan sepenuhnya atau masih gagal. Karena terlihat dari 30 siswa ada 10 siswa yang memperoleh nilai lebih dari 75 sedangkan 10 siswa yang lain memperoleh nilai kurang dari 70. (Nilai ketuntasan 75)
Siklus II
Setelah melaksanakan proses perbaikan pembelajaran siklus II pada mata pelajaran matematika dengan materi pecahan dan operasinya pada tanggal 20 Pebruari 2017 diperoleh refleksi sebagai berikut:
– Siswa aktif dalam memahami materi dan menyampaikan di depan kelas.
– Sebagian besar siswa telah berani mengungkapkan pendapat dan menyampaikan pertanyaan.
– Sebagian besar siswa telah mampu menyelesaikan tugas yaitu dari 30 siswa, 27 siswa diantaranya telah mencapai nilai ketuntasan belajar (90%) nilai ketuntasan 70.
Pembahasan
Untuk mencapai suatu keberhasilan dalam proses belajar mengajar tidaklah mudah sebab kenyataan di lapangan banyak faktor yang menjadi penyebab berhasil tidaknya proses pembelajaran. Dari kajian teori yang paling menentukan berhasil tidaknya proses belajar mengajar adalah kemampuan guru, terutama kemampuan dalam memilih media pembelajaran dan metode pembelajaran yang tepat.
Siklus I
Fokus perbaikan pembelajaran pada siklus I adalah penerapan metode pembelajaran konstruktivisme. Metode ini merupakan penerapan metode yang menuntut siswa mengetahui sendiri inti materi dengan siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran melalui membaca pengerjaan penyederhaan pecahan. Jadi dominasi guru dalam proses pembelajaran menjadi berkurang dan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Pada kegiatan inti siswa secara melakukan pemahaman materi kemudian menyimpulkan materi dan menyampaikan materi secara bergantian. Guru selalu berusaha mengoptimalkan interaksi antar siswa atau antara siswa dengan guru melalui kegiatan diskusi. Siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran melalui penyampaian kesimpulan. Pada akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.
Siswa yang aktif dalam pembelajaran belum merata, hanya siswa tertentu saja yang sudah aktif dalam pembelajaran dan siswa yang aktif itu pun sebagian besar merupakan siswa yang sudah aktif sebelum dilakukan tindakan dan juga merupakan siswa dengan tingkat kemampuan akademik tinggi. Siswa yang belum aktif dalam pembelajaran salah satunya disebabkan karena meraka masih merasa takut salah dan malu untuk bertanya, menjawab pertanyaan atau mengemukakan pendapat.
Kurang optimalnya keaktifan siswa pada siklus I juga disebabkan karena siswa belum terbiasa melakukan kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran pendekatan konstruktivisme. Siswa yang kurang pandai belum percaya diri untuk mengemukakan pendapatnya dalam kegiatan penyampaian inti materi. Siswa tampaknya masih perlu berlatih untuk mengemukakan pendapat dan menumbuhkan sikap percaya diri. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjana (2005) yang menyatakan bahwa keterampilan berkomunikasi dalam kelompok ini juga merupakan proses panjang. Pendapat yang serupa juga disampaikan Slameto bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme memerlukan waktu lebih lama bagi siswa karena siswa harus melakukan serangkaian aktivitas untuk memahami materi untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Belum optimalnya peran siswa dalam pembelajaran juga berdampak pada kurangnya tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Pada siklus I ini siswa yang tuntas belajar baru mencapai 46,7% dengan nilai rata-rata 73.5. Siswa yang turut aktif dalam menemukan konsep tentang materi yang dipelajari akan lebih mudah paham dan mengerti dibandingkan dengan siswa yang hanya sekedar melihat dan mengamati. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Darsono (2000) bahwa siswa yang belajar dengan melakukan sendiri akan memberikan hasil belajar yang lebih cepat dan pemahaman yang mendalam.
Keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu sedapat mungkin guru harus mengupayakan agar siswa lebih aktif dan agar mereka berusaha menemukan sesndiri suatu konsep yang dipelajari. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan siswa seperti melakukan eksplorasi artikel, kegiatan diskusi maupun pengamatan langsung. Hal ini seperti pendapat Mulyasa (2004) yang menyatakan bahwa guru sebagai fasilitator merupakan pembimbing proses, orang sumber, orang yang menunjukkan dan mengenalkan kepada peserta didik tentang masalah yang dihadapi.
Berdasarkan hasil analisis data di atas, perlu adanya perbaikan dalam proses pembelajaran selanjutnya. Guru harus lebih banyak memberikan motivasi yang dapat membangkitkan minat belajar siswa sehingga siswa memiliki kepercayaan diri untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Guru diharapkan dapat memberikan bimbingan dan pemantauan atas jalannya penyampaian hasil kesimpulan oleh siswa. Guru harus selalu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, tidak menegangkan, serta memungkinkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran.
Siklus II
Perbaikan pembelajaran pada siklus I menunjukkan adanya peningkatan baik peran guru, prosentase pembelajaran maupun prosentase ketuntasan belajar. Namun demikian hasil belajar siswa belum maksimal. Dari kegiatan refleksi teridentifikasi bahwa yang menjadi kendalanya adalah metode yang digunakan yaitu pendekatan konstruktivisme kurang optimal.
Selanjutnya pada siklus II penelitian perbaikan pembelajaran, difokuskan pada penggunaan media yang dikenal siswa. Selama proses pembelajaran, siswa tampak lebih proaktif. Hasilnya ketuntasan belajar siswa mencapai 90% meskipun belum dapat mencapai 100%, namun dapat dikatakan bahwa siswa telah mencapai ketuntasan belajar sebab telah memenuhi standar ketuntasan belajar 75%.
Sampai pada perbaikan pembelajaran siklus II, masih ditemukan beberapa siswa dalam satu kelas yang belum berhasil mencapai nilai tuntas. Hal ini disebabkan karena daya serap siswa terhadap materi sangat rendah dan motivasi belajarnya kurang. Selain itu faktor kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap pencapaian ketuntasan belajar klasikal siswa.
|
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil perbaikan pembelajaran matematika tentang pecahan dan operasinya yang telah dilaksanakan dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
1. Penggunaan metode pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika kompetensi dasar pecahan dan operasinya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah 30 siswa, 27 siswa diantaranya telah mencapai nilai ketuntasan belajar (90%) nilai ketuntasan 70.
2. Siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar, karena siswa memahami materi dengan adanya kemampuan menyimpulkan sendiri apa yang dipelajarinya.
Saran
Saran yang dapat disampaikan sehubungan dengan kesimpulan di atas adalah:
1. Dalam pembelajaran awal berikan penjelasan dan contoh yang nyata yang mudah dimengerti siswa
2. Dalam menerapkan metode guru hendaknya mengacu pada aturan yang ada sehingga langkah-langkahnya tidak membingungkan siswa.
|
DAFTAR PUSTAKA
Coob. 1991. Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Bina Pustaka
Crawford. 2001. Pendekatan Pembelajaran. Jakarta: Graha Ilmu
Rutherford. 2001. Pembelajaran Konstruktivisme. Terjemahan. Jakarta; Grasindo
Robert E. Slavin 2005, cooperative learning, Terjemahan, Nusa Media; Bandung.