Upaya Meningkatkan Keaktifan Dan Keterampilan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Pada Pembelajaran Agama Katolik Dan Pendidikan Budi Pakerti
UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN KETERAMPILAN SISWA
DALAM PEMECAHAN MASALAH PADA PEMBELAJARAN
AGAMA KATOLIK DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
DENGAN PENERAPAN MODEL
STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD)
DI KELAS VIII SMP NEGERI 1 SRAGEN (JAWA TENGAH)
Bernarda Maria Suhartati
SMP Negeri 1 Sragen
ABSTRAK
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan pelaksanaan model pembelajaran STAD yang mampu meningkatkan partisipasi siswa dalam kerja kelompok dan sekaligus keterampilan pemecahan masalah dalam pelajaran agama Katolik dan pendidikan budi pekerti. Subyek penelitian terdiri dari 10 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sragen. Data dikumpulkan melalui pengamatan, tes, catatan lapangan, dan catatan khusus dari siswa–siswa yang berkebutuhan khusus. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan deduktif dan induktif yang tidak dibatasi penggunaan media, terutama pada tahap penyajian kelas model STAD, mampu meningkatkan keaktifan partisipasi dan keterampilan pemecahan masalah pada pembelajaran agama Katolik.
Kata kunci: Keterampilan pemecahan masalah, partisipasi siswa, pembelajaran agama Katolik, model STAD
PENDAHULUAN
Kumpulan data yang didapatkan dari hasil observasi dalam pembelajaran agama Katolik dan pendidikan budi pekerti akhir-akhir ini, sekitar 30% sampai 40% siswa kelas VIII, SMP Negeri 1 Sragen belum mencapai kriteria ketuntasan minimal pada mata pelajaran agama Katolik. Skor mereka masih di bawah 75. Hal ini mendorong peneliti untuk mencari bentuk pembelajaran lain yang mampu meningkatkan ketuntasan belajar siswa.
Berdasarkan kajian peneliti tentang pengaruh penggunaan pembelajaran ko-operatif pada umumnya, dan model STAD pada khususnya, dan pengalaman peneliti mengikuti pelatihan, workshop, dan pembinaan-pembinaan pendidikan agama Katolik dan budi pekerti, peneliti mencoba menerapkan pembelajaran model STAD di kelas VIII. Meskipun hasilnya masih belum memuaskan.
Fakta yang ditemukan bahwa rata–rata hanya terdapat 2 (dua) siswa di setiap kelompok yang aktif mengerjakan tugas kelompok. Pembagian tugas juga tidak merata. Siswa terlihat belum saling mempercayai jawaban temannya. Di samping itu, dari kelompok yang ada jika dibagi dalam tugas kelompok, ditemukan adanya 1 siswa yang mendominasi pengerjaan tugas kelompok, dan 31,3% siswa tidak tuntas belajarnya.
Mengingat keaktifan dan hasil belajar agama Katolik dan pendidikan budi pekerti merupakan tuntutan yang penting untuk belajar pada jenjang berikutnya atau untuk berjuang dalam kehidupan sehari–hari, fenomena negatif ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Siswa harus diupayakan agar selalu aktif terlibat di dalam pembelajaran, dan memperoleh hasil belajar yang baik.
Mengingat pula banyaknya aspek positif dari pembelajaran kooperatif, termasuk STAD, peneliti menduga adanya langkah–langkah pembelajaran yang kurang sempurna yang telah guru lakukan. Menurut Slavin (dalam Maisaroh, 2004) pembelajaran STAD terdiri dari lima langkah pokok, yaitu: (1) penyajian kelas, (2) belajar dalam kelompok, (3) tes/kuis, (4) skor peningkatan anggota kelompok, dan (5) penghargaan kelompok. Ketidak aktifan siswa dan kurang tingginya hasil belajar siswa, tentu disebabkan oleh ketidaksempurnaan dalam menjalankan langkah-langkah pokok tersebut.
Selama ini, lima langkah pembela-jaran STAD tersebut peneliti lakukan de-ngan cara berikut. Penyajian kelas dilaku-kan dengan berceramah secara klasikal tanpa variasi. Dalam belajar dalam kelompok, selama ini peneliti melakukan dengan cara membagi kelompok secara acak menurut nomor absen tampaknya hal ini juga perlu diperbaiki. Terkait dengan jenis tugas, selama ini, jenis tugas yang diberikan untuk dikerjakan dalam kelompok adalah tugas yang terfokus pada prosedur dan keakuratan. Tugas mata pelajaran agama Katolik yang terintegrasi yang menuntut kemampuan berfikir tingkat tinggi sangat jarang diberikan. Akibatnya, ketika siswa dihadapkan pada tugas yang sulit dan membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi atau jawabannya tidak langsung diperoleh, siswa cenderung malas mengerjakannya, mereka sering menegosiasikan tugas tersebut dengan gurunya dan meminta fasiltas dan kemudahan.
Untuk melaksanakan penilaian terhadap hasil belajar kelompok dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) Penilaian terhadap masing-masing individu, dengun kata lain belajar kelompok hanya sekedar menjadi alat untuk pemahaman masing–masing individu, sehingga sangat mungkin setiap anggota memiliki nilai berbeda. (2) Penilaian terhadap kelompok, sehingga semua anggota kelompok memperoleh nilai yang sama. Kebersihan atau kegagalan kelompok sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan individu.
Tahap pemberian kuis dilakukan secara klasikal dan memberikan kesempat-an menjawab hanya pada salah satu siswa yang angkat tangan dengan cepat. Dalam langkah ini juga memiliki kelemahan, yaitu: tidak semua siswa yang angkat tangan mendapat kesempatan mempertunjukkan kemampuannya. Sedangkan dalam tahap penghitungan skor peneliti melakukan dengan langkah membuat peringkat banyaknya aspek keaktifan yang dikuasai dan hasil tes pemecahan masalah serta penghargaan yang diperoleh. Langkah ini memiliki kelemahan yaitu siswa yang berada pada peringkat bawah tidak termotivasi.
Dalam tahap (pemberian) penghar-gaan terhadap kelompok, peneliti melaku-kan dengan memberikan penghargaan pada saat proses pembelajaran (pembela–jaran berlangsung) dan pada akhir pembelajaran, dengan pemberian stiker dan mengumumkan hasil peringkat 3 terbesar, secara terbuka di depan kelas. Cara ini memiliki beberapa kekuatan, yaitu, kelompok termotivasi untuk berkompetisi, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai dan mengatasi prestasi orang lain. Berdasarkan pendapat Prayitno (1989), langkah ini juga memiliki kele-mahan, yaitu: kelompok yang tidak termasuk peringkat tiga terbaik menjadi kurang percaya diri.
METODE
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Data-data yang dikumpulkan mencakup: (1) keaktifan siswa, dan (2) keterampilan memecahkan masalah pada pembelajaran pendidikan agama Katolik dan pendidikan budi pekerti. Data tentang keaktifan siswa mencakup 6 aspek yaitu: 1) mendengarkan pendapat teman, 2) membagi kepemimpinan, 3) membuat keputusan bersama, 4) menyele-saikan beda pendapat, 5) memberikan informasi, dan 6) bertanya. Sedangkan data tentang keterampilan memecahkan masalah mencakup empat tahap peme-cahan masalah, yaitu 1) memahami masa-lah, 2) menyusun rencana pemecahan, 3) melaksanakan rencana pemecahan, 4) meninjau kembali. Data tentang keaktifan siswa diperoleh dengan menggunakan instrumen lembar observasi keaktifan siswa sedang data ketrampilan memecahkan masalah diperoleh dengan tes.
Di samping siswa kelas VIII pada umumnya, penelitian ini juga memberikan perhatian khusus kepada siswa yang aspek keaktifannya sangat rendah. Ini dilakukan karena peneliti ingin mengaktifkan semua siswa. Indikator keberhasilan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: 1) Tiap pertemuan dalam satu siklus, minimal 75% siswa di kelas menunjukkan 4 dari 6 aspek keaktifan. 2) Pada akhir siklus minimal 50% siswa di kelas memperoleh nilai tes pemecahan masalah minimal 70. 3). Pada akhir siklus siswa yang memerlukan perhatian khusus dapat mencapai 3 dari 6 aspek keaktifan.
Untuk menentukan suatu tindakan sudah berhasil atau perlu diperbaiki pada siklus berikutnya, peneliti membandingkan data yang diperoleh dengan indikator keberhasilan. Manakala hasilnya melebihi indikator keberhasilan maka tindakan di anggap berhasil dan tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Akan tetapi jika hasilnya kurang dari indikator keberhasilan maka perlu dilanjutkan ke siklus berikut-nya.
Sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 1 Sragen semester gasal tahun Pelajaran 2014/2015, berjumlah 10 siswa. Penelitian dilakukan selama tiga bulan. Dalam rangka belajar kelompok, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pemben-tukan kelompok. Kedua, jenis tugas yang harus dikerjakan dalam kelompok. Ketiga, penilaian hasil helaiar kelompok. Selama ini peneliti rnelakukannya dengan cara mem-bagi kelompok secara acak menurut nomor absen. Tampaknya hal ini juga perlu diperbaiki. Pengelompokan secara acak yang selama ini telah peneliti lakukan ternyata tidak selalu menghasilkan kelompok yang heterogen yang merupakan prasyarat dihasilkannya kerja kelompok yang ideal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus I
Pembelajaran dimulai dengan memberikan penjelasan kepada seluruh siswa. Penyajian dilakukan dengan cara memberikan soal cerita yang berkaitan materi, dan membimbing siswa dengan tanya jawab: bagaimana membuat perta–nyaan yang benar sesuai ajaran cinta. Selanjutnya, siswa bekerja dalam kelompok. Kepada mereka diberikan LKS. Soal-soal yang disajikan dalam LKS juga dibuat menarik, warna warni, dan dilengkapi dengan gambar-gambar yang sering ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari dan kontekstual. LKS juga memuat soal-soal pemecahan masalah yang diharapkan mampu melatih siswa untuk menghadapi tes perorangan agar mendapat nilai yang optimal. Selama mereka mengerjakan LKS, peneliti men-dampingi siswa dalam diskusi kelompok dan mengatur jalannya presentasi/karya kunjung/kunjung karya serta menyimpul-kan dan menguatkan hasil diskusi.
Peneliti memberikan kuis pada pertemuan ke 5, yakni pada tanggal 14 Oktober 2014, dan pada pertemuan ke 11, yakni pada tanggal 28 November 2014. Sedangkan pada akhir siklus guru mernberikan tes akhir siklus yakni soal-soal tes pemecahan masalah Guru memberikan penghargaan berupa ‘sticker’ di setiap perternuan, dan ada saat kuis diberikan. Penghargaan kelompok dikalkulasi pada akhir siklus. Tiga kelompok yang mem-peroleh nilai tertinggi diumumkan guru di depan kelas. Kelompok yang diumumkan terlihat sangat senang dan bersemangat, sedangkan kelompok yang tidak termasuk dalam tiga kelompok dengan nilai tertinggi terpacu dengan adanya pengumuman ini. Berdasarkan tindakan yang sudah dilakukan diperoleh informasi sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Penelitian Tindakan Kelas pada siklus 1
No |
Jenis Data |
Hasil Tindakan |
Indikator |
Simpulan |
|
1 |
Keaktifan Belajar Siswa |
9 siswa menguasai > 4 aspek |
75% |
Tercapai |
|
2 |
Hasil tes Pemecahan Masalah |
5 siswa mendapat nilai > 70 |
50% |
Belum Tercapai |
|
3 |
Kemajuan siswa Khusus |
1 orang belum memenuhi indicator |
Pada akhir siklus menguasai 3 dari 6 aspek |
Belum Tercapai |
Dari tabel tampak bahwa keaktifan belajar telah tercapai, sedangkan hasil tes pemecahan masalah dan kemajuan diri siswa khusus masih belum berhasil mencapai indikator keberhasilan. Ini berarti perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya.
Berdasarkan hasil refleksi terhadap pengamatan tentang pembelajaran yang dilakukan guru, dan reaksi siswa, peneliti memutuskan untuk mengubah tindakan 1 menjadi: 1) Penyarnpaian informasi langkah-langkah soal pemecahan masalah sesuai urutannya, 2) Untuk mengatasi tidak meratanya pendampingan kelompok, guru harus mengatur waktu pendampingan kelompok, baik kelompok yang duduk di bagian belakang, tengah, atau pun depan secara merata, 3) Penyampaian jawaban kuis secara tertulis, sehingga siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab kuis, 4) Mengurangi jumlah soal problem solving yang harus didiskusikan siswa, dan 5) Menurunkan tingkat kesulitan tugas dalam LKS.
Peneliti memulai pembelajaran dengan memberikan penjelasan kepada seluruh siswa. Penyajian ini dilakukan dengan cara melakukan apersepsi dan motivasi pada awal pelajaran, dilanjutkan penyajian kelas, yaitu dengan mengingat-kan siswa tentang nilai-nilai cinta kasih, dan membimbing siswa dengan tanya jawab bagaimana melakukan tindakan cinta kasih secara tepat, dengan waktu yang lebih lama daripada siklus 1. Guru mengkomunikasikan/ menanyakan kembali apakah siswa telah memahami apa yang disampaikan guru. Pemberian motivasi ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa senang bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar (Andreas Kosasih, 2013: 82).
Selanjutnya, peneliti meminta sis-wa bekerja dalam kelompok. Peneliti mengajak siswa bermain peran sebagai orang melakukan/melaksanakan tindakan cinta kasih dan sebagai orang yang menerima perlakuan cinta kasih. Untuk menjadi seorang yang penuh kasih, tentunya siswa harus bisa mengekspresi–kan tindakan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi penerima perlakukan, sekaligus untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain. Setelah kelompok melakukan peran secara bergantian, peneliti memberikan LKS yang telah direncanakan dalam RPP. Pembelajaran dalam kelompok atau perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru untuk memberikan perhatian terhadap individu, dalam rangka menjalin hubungan yang akrab antara guru dengan siswa maupun antar siswa (Andreas Kosasih, 2013: 72-73).
Agar dalam kelompok tercipta suatu kerja kooperatif yang diharapkan, yaitu keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah, peneliti memberikan LKS yang menarik, dengan gambar-gambar yarig sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari siswa., serta melatih siswa dengan soal-soal pemecahan masalah yang diharapkan mampu melatih siswa untuk menghadapi tes perorangan agar mendapat nilai yang optimal. Di dalam belajar kelompok ini peneliti mendampingi siswa dalam diskusi kelompok secara optimal dengan mendampingi seluruh kelompok secara merata (termasuk siswa-siswa khusus) dan mengatur jalannya presentasi/karya kunjung/ kunjung karya serta menyimpulkan dan menguatkan hasil diskusi.
Peneliti memberikan tes/kuis individual pada akhir siklus soal-soal kuis dan tes disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu soal-soal pemecahan masalah jawaban hasil tes di tulis dalam lembaran. Jika setelah tes/kuis ditemui siswa–siswa tidak mencapai indikator keberhasilan, maka tugas kelompok harus membantu anggota kelompoknya untuk mengajari kembali anggotanya sehingga anggota kelompoknya pada tes ulangan mampu mencapai indikator yang diharapkan.
Penghargaan kelompok diberikan dan diumumkan peneliti secara terbuka di depan kelas setelah berakhir satu siklus dengan mengkalkulasi skor kelompok, tiga kelompok yang mendapat nilai tertinggi mendapat penghargaan.
Tabel 2. Hasil Penelitian Tindakan Kelas pada siklus 2
No |
Jenis Data |
Hasil Tindakan |
Indikator |
Simpulan |
|
1 |
Keaktifan Belajar Siswa |
8 siswa menguasai > 4 aspek |
75% |
Tercapai |
|
2 |
Hasil tes Pemecahan Masalah |
5 siswa mendapat nilai > 70 |
50% |
Tercapai |
|
3 |
Kemajuan siswa Khusus |
2 orang belum memenuhi indicator |
Pada akhir siklus menguasai 3 dari 6 aspek |
Belum Tercapai |
Dari tabel tampak bahwa keaktifan belajar dan tes pemecahan masalah telah mencapai indikator keberhasilan tetapi ini berarti tindakan pembelajaran sudah optimal. Namun demikian ada beberapa siswa memerlukan perhatian khusus terkait dengan keaktifan belajar kelompoknya. Masih ada 2 siswa yang belum mencapai indikator yang telah ditetapkan. Karena itu siklus berikutnya masih diperlukan.
Pada siklus I dan II, tindak pembelajaran terhadap 2 siswa yang belum mencapai indikator yang telah ditetapkan ini adalah pendampingan kelompok secara merata dan memperhatikan siswa-siswa khusus. Menurut Indrawati (2009), tindak ini tidak sesuai untuk siswa yang memerlukan perhatian khusus ini. Karena itu, pada siklus berikutnya, peneliti memu-tuskan untuk melakukan perubahan tindakan yaitu pendekatan individual kepada siswa yang memerlukan perhatian khusus.
Siklus III
Peneliti memulai pembelajaran de-ngan memberikan penjelasan kepada seluruh siswa. Penyajian ini dilakukan dengan cara melakukan apersepsidan motifasi pada awal pelajaran dan melaksanakan penyajian kelas, yaitu dengan membimbing siswa dengan tanya jawab memahami pengertian tindakan cinta kasih.
Selanjutnya, peneliti meminta sis-wa bekerja dalam kelompok. Kepada mereka diberikan LKS yang telah direnca-nakan dalam RPP. Agar dalam kelompok tercipta suatu kerja kooperatif yang diharapkan, yaitu keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah, peneliti memberikan LKS yang menarik, gambar–gambar yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari siswa, serta melatih siswa dengan soal-soal pemecahan masalah yang diharapkan mampu melatih siswa untuk menghadapi tes perorangan agar mendapat nilai yang maksimal. Di dalam belajar kelompok ini peneliti mendampingi siswa dalam diskusi kelompok secara optimal dengan mendampingi seluruh kelompok secara merata, juga terhadap siswa-siswa khusus dan mengatur jalannya presentasi/karya kunjung/kunjung karya serta menyimpulkan dan menguatkan hasil diskusi.
Peneliti memberikan tes/kuis individual pada akhir siklus. Soal-soal kuis dan tes disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu soal-soal pemecahan masalah, jawaban hasil tes ditulis dalam lembaran, jika setelah tes/kuis ditemui siswa-siswa tidak mencapai indikator keberhasilan maka tugas kelompok harus membantu anggota kelompoknya untuk mengajari kembali anggotanya sehingga anngota kelompoknya pada tes ulangan mampu mencapai indikator yang diharapkan, karena skor individu menentukan skor kelompok.
Penghargaan kelompok di berikan dan di umumkan peneliti secara terbuka setelah berakhir satu siklus dengan mengkalkulasi skor kelompok, tiga kelompok yang mendapat nilai tertinggi mendapat penghargaan. Bila hal tersebut, dibandingkan dengan pelaksanaan STAD yang biasa, dalam kegiatan kelompok ini, peneliti telah mendampingi siswa secara optimal, sehingga keaktifan siswa dan keterampilan pemecahan masalahnya meningkat. Tampak bahwa indikator keberhasilan telah tercapai semua, siswa–siswa khusus telah menguasai 3 aspek dari 6 aspek keaktifan.
Dari tabel 3 tampak bahwa keaktifan belajar dan tes pemecahan masalah serta siswa–siswa khusus telah mencapai indikator keberhasilan. Ini berarti tindakan pembelajaran sudah optimal. Sehingga indikator yang diinginkan dalam penelitian telah memenuhi keinginan dari peneliti. Lebih lanjut akan diperlihatkan pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Hasil Penelitian Tindakan Kelas pada siklus 3
No |
Jenis Data |
Hasil Tindakan |
Indikator |
Simpulan |
|
1 |
Keaktifan Belajar Siswa |
9 siswa menguasai > 4 aspek |
75% |
Tercapai |
|
2 |
Hasil tes Pemecahan Masalah |
5 siswa mendapat nilai > 70 |
50% |
Tercapai |
|
3 |
Kemajuan siswa Khusus |
1 siswa belum memenuhi indicator |
Pada akhir siklus menguasai 3 dari 6 aspek |
Tercapai |
Lebih Ianjut akan dipaparkan pula sajian hasil penelitian dalam tabel dan grafik persentase hasil pengamatan observasi keaktifan siswa, serta dalam bentuk tabel dan grafik persentase hasil tes pemecahan masalah sebagai berikut:
Tabel 4. Persentase hasil pengamatan observasi keaktifan siswa
No |
Jumlah Aspek Keaktifan |
Siklus 1 |
Siklus 2 |
Siklus 3 |
|||
Jml |
% |
Jml |
% |
Jml |
% |
||
1 |
> 4 aspek |
9 |
90 |
8 |
80 |
9 |
90 |
2 |
< 4 aspek |
1 |
10 |
2 |
20 |
1 |
10 |
Dari tabel dan grafik di atas, tampak bahwa persentase siswa yang memperlihatkan 4 atau lebih aspek keaktifan adalah sangat tinggi, dan stabil. Tinggi dan stabilnya keaktifan ini menunjukkan bahwa model pembelajaran STAD ini memang mampu meningkatkan keaktifan belajar siswa.
Pada grafik di atas, dari siklus ke siklus, juga tampak nyata peningkatan keterampilan pemecahan masalah siswa. Bahkan, peningkatan dari siklus pertama sampai ke siklus ketiga terlihat sangat signifikan.
Menurut hemat peneliti, kombinasi penyajian kelas dengan deduktif dan induktif, tanpa membatasi penggunaan media atau jenis kegiatan, tetapi guru juga menyajikan dengan bantuan alat peraga, media elektronik (LCD, Film, dll) merupakan salah satu faktor pendukung keaktifan belajar siswa. Hal sejalan dengan penelitian Muhammad (2005/2006), dan pendapat Fadilah (2008). Di samping itu, kegiatan simulasi bermain peran sebagai pelaku dan penerima kasih juga memberikan kontribusi terhadap keaktifan belajar siswa.
Ditambah dengan heterogenitas anggota kelompok, belajar dalam kelompok terlihat lebih bergairah. Heterogenitas ini telah mendorong tejadinya aktifitas saling membelajarkan, dan saling mengendalikan. Mereka belajar demi kelompok, bukan demi individu mereka. Akibatnya tumbuh komitmen bersama untuk saling mempersiapkan anggota–anggotanya agar hasil kelompok juga baik.
Diberikannya kebebasan untuk menggunakan bahasa apapun dalam me-mecahkan masalah, dalam berbagi informasi/pengalaman, pembelajaran tam-pak berjalan alami. Siswa tidak merasa terlalu terkekang oleh tembok kelas yang selalu menuntut penggunaan bahasa formal. Mereka merasa diberi keleluasaan untuk mengeluarkan potensi mereka seoptimal mungkin dengan cara mereka sendiri. Akibatnya, mereka asyik dan aktif dalam belajarnya dan berhasil memahami konsep dengan baik. Ini juga sejalan dengan hasil penelitian Kustiati (2008).
Tugas yang menarik, serta kegiatan bermain peran menjadikan anak memahami dengan baik masalah yang diberikan. Keterlibatan secara aktif dalam bermain peran, rnemungkinkan siswa memperoleh wawasan dan keterampilan yang lebih baik yang memungkinkan mereka memecahkan masalah lebih baik pula (Rodhiyah, 2006).
SIMPULAN DAN SARAN
Pembelajaan kooperatif STAD yang mampu meningkatkan keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah adalah pembelajaran model STAD yang memiliki ciri sebagai berikut: (1) penyajian kelas dilakukan secara kombinasi antara pendekatan deduktif atau induktif, (2) penggunaan media tidak dibatasi; guru juga menyajikan dengan bantuan alat peraga, media elektronik (LCD, Film, dll); (3) Keanggotaan kelompok dibuat heterogen, (4) pemberian tugas individu atau kelompok dibuat yang menarik, (5) siswa diberi keleluasan untuk mengguna-kan bahasa apapun yang mereka inginkan, (6) siswa diajak untuk bermain peran dalam memecahkan masalah, (7) siswa didorong untuk berbagi informasi/pengala-man yang telah dilalui, dan (8) siswa didorong menyajikan tugasnya dalam bentuk laporan penyelesaian tugas.
Para guru yang telah terbiasa menggunakan model STAD dan belum berhasil mengaktifkan atau mencapai tujuan belajar, modifikasi yang peneliti temukan di dalam penelitian ini layak dicobakan. Namun demikian, mengingat materi penelitian ini terbatas pada materi cinta kasih, maka penulis menyarankan agar peneliti lainnya berkenan untuk menerapkan model ini untuk materi yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Andreas Kosasih. 2013. Optimalisasi Belajar dan Pembelajaran. Salatiga: Widya Sari Press.
Andreas Kosasih, Haris Mudjiman, St.Y. Slamet, dan Budhi Setiawan. 2013. Panduan Pembelajaran Menulis Berbasis Motivasi ARCES untuk Siswa SMA. Salatiga: Widya Sari Press.
Fadilah. 2008. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Induktif dalam Pengolahan Informasi, Search Engine Optimization by Star Nine. Distributed by Word-press Themes.
Indahwati, N. 2009. Penerapan Pembe-lajaran Metode Make a-Match untuk Meningkatkan Akti- vitas dan Hasil belajar Siswa Kelas IX IPS pada Mata Pelajaran Akutansi Pokok Bahasan jurnal Umum di SMA Kertanegara Malang,Skripsi, F. E Universitas Negeri Malang.
Indrawati, S.W. 2009. PAKEM, Bandung: PPPPTK IPA.
Liria Tjahaya, dkk. 2011. Persekutuan Murid-murid Yesus Pendidikan Agama Katolik untuk SMP (2B). Yogyakarta: Kanisius.
Lorensius Atrik Wibowo dan Y. Sulis Dwiyanto. 2014. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Maisaroh. 2004. Penerapan Pembelajar-an Kooperatif Model STAD untuk Meningkatkan Aktivitas dan Pres-tasi Belajar Keanekaragaman Hayati Kelas 18 Semester 1 SMA TPI Porong Sidoarjo Tahun Pelajar-an 2004/2005, Skipsi tidak diterbit-kan, Malang FMIPA Universitas Negeri Malang.
Prayitno, E. 1989. Motivasi dalam Belajar. Jakarta: Depdikbud Dikri PLTPK.
Rodhiyah. 2006. Meningkatkan Kemam-puan Menyelesaikan Operasi Per-kalian dan Pembagian dengan Me-tode Permainan pada Siswa Kelas IV SDN Purwoyoso 03 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007 Diploma II PGKSD FIP Universitas Negeri Surabaya.