Bowo Dalam Upacara Pernikahan di Desa Dahana
BOWO DALAM UPACARA PERNIKAHAN DI DESA DAHANA
KECAMATAN GUNUNGSITOLI IDANOI KOTA GUNUNGSITOLI
Nirjuniman Lafau
Tri Widiarto
Sunardi
Pendidikan Sejarah FKIP UKSW
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna bowo dalam upacara pernikahan di Nias, dan menjelaskan tentang pertimbangan-pertimbangan yang disepakati keluarga dalam menentukan bowo. Penelitian yang diterapkan adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif digunakan untuk memberikan keterangan yang jelas mengenai bowo dalam upacara pernikahan di Nias beserta pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan bowo. Hasil penelitian ini membahas mengenai bowo yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Makna bowo antara lain: syarat adat, makna kekeluargaan, makna penghormatan dan penghargaan, makna sosial, dan prestise. Selanjutnya, beberapa pertimbangan keluarga dalam menentukan bowo antara lain: bosi adat, kelas sosial keluarga, tingkat pendidikan, profesi dan pendapatan pribadi, dan kebutuhan pada upacara pernikahan.
Kata kunci: Bowo, Upacara Pernikahan Adat Nias, Desa Dahana.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya telah menyimpan kekayaan yang beragam dalam berbagai bidang kehidupan. Koentjaraningrat (1971: 203-204) membagi kebudayaan dalam tujuh unsur kebudayaan (cultural universals), antara lain: peralatan, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, dan religi. Terkhusus pada sistim kemasyarakatan sebagai salah satu unsur kebudayaan yang membahas langsung suatu individu, komunitas, dan masyarakat sebagai pecipta dan pelaku kebudayaan itu sendiri. Sistem kemasyarakatan dapat dijabarkan dalam beberapa komponen, antara lain: sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan (Gazalba, 1968: 46).
Sistem perkawinan sebagai bagian dari sistim kemasyarakatan turut menambah sisi lain dari wujud kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis hendak melakukan penelitian mengenai bowo dalam upacara pernikahan di Nias. Bowo merupakan kebutuhan tertentu yang sangat esensial dan bernilai yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga, baik dari pihak keluarga mempelai pria maupun pihak keluarga mempelai wanita. Pengertian bowo sebenarnya hampir sama dengan istilah maskawin yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum kerabatnya (Koentjaraningrat, 1967: 94).
Suatu hal yang sangat menarik bagi penulis untuk meneliti mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan bowo, karena keberadaan bowo sangat mempengaruhi pelaksanaan upacara pernikahan di Nias. Pengadaan bowo harus melewati berbagai proses sesuai tradisi yang berlaku. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa bahan penelitian yang mengkaji informasi seputar adat dan upacara pernikahan di Indonesia, khususnya upacara pernikahan di Nias masih terbilang sangat sedikit, dan sangat jarang diteliti. Oleh karena itu, penulis termotivasi untuk menelitinya sebagai bagian dalam mempertahankan budaya lokal.
KAJIAN PUSTAKA
Beberapa tokoh atau budayawan sering memberi pendapat yang berbeda mengenai defenisi atau deskripsi dari kebudayaan. Koentjaraningrat (1980: 193) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakukan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Hadji Agus Salim dalam Gazalba (1986: 36) memiliki pandangan lain mengenai kebudayaan, ia mengatakan bahwa kebudayaan merupakan persatuan antara budi dan daya menjadi makna yang sejiwa untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan kesempurnaan. Budi mengandung makna akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, ikhtiar, dan perasaan. Sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan. Selain itu, E.B. Tylor mengemukakan bahwa kebudayaan ialah suatu kesatuan jalinan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hukum, adat, dan tiap kesanggupan uang yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat (Gazalba, 1968: 35-37).
Berdasar pada berbagai pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan merupakan ciptaan manusia. Kebudayaan adalah wujud nyata yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, atau dapat disimpulkan bahwa hanya manusialah yang berkebudayaan. Manusia mampu menjawab kebutuhan asasnya, dan mengusahakan kenyamanan bagi dirinya sendiri di dunia melalui kebudayaan (Gazalba, 1968: 41-43).
Salah satu wujud dari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia, dan berisfat turun-temurun yaitu tradisi. Tradisi adalah sebuah informasi yang diingat dan karena itu ia menimbulkan sejumlah pertanyaan penting yang akan selanjutnya dibahas. Informasi tersebut merupakan pesan, tetapi ia adalah pesan yang tidak tertulis; pemeliharaan pesan ini merupakan tugas dari generasi ke generasi secara beriringan. Selain itu, ia berpendapat bahwa banyak tradisi dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana halnya keterampilan yang lain, yaitu dengan cara ditiru (Vansina, 2014: xiv-xviii). Tradisi menjadi kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan hal apa yang salah menurut warga masyarakat. Konsep tradisi itu meliputi pandangan dunia (world view) yang menyangkut kepercayaan mengenai masalah kehidupan dan kematian serta peristiwa alam dan makhluknya, atau konsep tradisi itu berkaitan dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan pola serta cara berfikir masyarakat (Maezan, 2015: 3).
Wujud kebudayaan yang menjadi suatu tradisi di dalam masyarakat dapat dilihat dari pelaksanaan upacara pernikahan. Terwujudnya suatu pernikahan tidak terlepas dari berbagai proses yang harus dilewati. Dalam pelaksanaannya, sepanjang proses menuju suatu pernikahan turut dipengaruhi oleh kebudayaan tertentu. Hal ini timbul karena unsur kebudayaan juga menentukan sistem kemasyarakatan termasuk mempengaruhi sistem pernikahan. Sehingga, pelaksanaan upacara pernikahan di beberapa daerah, khususnya di Indonesia selalu berbeda-beda.
Upacara pernikahan merupakan kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan, dan menetapkan suatu pernikahan. Kegiatan-kegiatan yang mematangkan agar terlaksana suatu pernikahan disebut upacara sebelum pernikahan, dan kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan suatu pernikahan disebut upacara pelaksanaan pernikahan, sedangkan kegiatan-kegiatan untuk memantapkan suatu pernikahan disebut upacara sesudah pernikahan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 4).
Pernikahan merupakan suatu peristiwa sosial yang luas, sehingga setiap orang yang hendak berinisiatif untuk menikah harus siap dan sanggup memenuhi syarat-syarat dalam suatu pernikahan. Syarat-syarat untuk menikah harus disesuaikan dengan adat istiadat dari berbagai suku bangsa yang ada di dunia ini. Syarat-syarat itu berupa sebagai berikut: (1) Maskawin atau bride price; (2) Mengerahkan tenaga untuk pernikahan atau bride service; (3) Pertukaran gadis atau bride exchange. Menurut Koentjaraningrat, maskawin adalah sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum kerabatnya (1967: 94). Hal ini menunjukkan bahwa maskawin merupakan sesuatu berupa uang atau barang yang berhubungan dengan pernikahan, dan dihadiahkan oleh keluarga pihak pria kepada keluarga pihak perempuan (Fischer, 1976: 113).
Besar kecilnya maskawin itu tentu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa di dunia. Kadang-kadang besar kecilnya maskawin harus ditetapkan secara berunding antara kedua pihak yang bersangkutan dan disesuaikan dengan kedudukan, kepintaran, kecantikan, dan umur dari gadis yang akan dinikahi. Selain itu, beberapa persoalan yang harus diketahui mengenai maskawin antara lain sebagai berikut: (1) Maskawin diberikan kepada kaum kerabat si gadis dengan atau tidak dengan diterangkan lebih lanjut siapakah diantara kaum keluarga si gadis menjadi orang penerima maskawin; (2) Maskawin diberikan kepada si gadis sendiri; (3) Maskawin untuk sebagian diberikan kepada si gadis dan untuk sebagian kepada kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat, 1967: 95-96).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa Dahana Kecamatan Gunungsitoli Idanoi Kota Gunungsitoli. Jenis penelitian yang digunakan adalah Kualitatif Deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Sumber data dari hasil wawancara dengan Kepala Desa, budayawan, dan warga Desa Dahana (sampling). Pengumpulan data wawancara dilakukan untuk mendapatkan sumber lisan mengenai bowo dalam upacara pernikahan. Observasi dilakukan sehari sebelum upacara pernikahan (folohe bawi bowo) dan saat pelaksanaan upacara pernikahan (falowa) yakni 14-15 September 2016 untuk mendapatkan gambaran mengenai rangkaian pelaksanaan upacara pernikahan.
PEMBAHASAN
Keadaan Geografis Desa Dahana
Berdasarkan data Katalog Kecamatan Gunungsitoli Idanoi Dalam Angka 2017 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Gunungsitoli, maka diketahui bahwa Desa Dahana termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunungsitoli Idanoi, Kota Gunungsitoli. Desa Dahana memiliki luas wilayah 5,94 km2 dengan persentase rasio terhadap luas kecamatan yaitu 4,41%, dan menduduki urutan luas wilayah ke 8 dari 26 desa di Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Selain itu, Desa Dahana merupakan satu dari dua belas desa yang tergolong wilayah pesisir, dan dialiri oleh aliran sungai Ndra sepanjang tahun (Katalog BPS Kota Gunungsitoli, 2017: 7).
Adapun beberapa pertimbangan memilih Desa Dahana menjadi lokasi penelitian yaitu masyarakat Desa Dahana mayoritas beragama Kristen Protestan yang masih memegang kuat adat dan tradisi Nias. Selain itu, secara wilayah administratif Desa Dahana termasuk desa yang berdekatan dengan tempat tinggal peneliti yaitu Kabupaten Nias.
Sejarah Singkat Upacara Pernikahan dan Mitologi Nias
Sampai saat ini belum dapat dipastikan secara utuh mengenai informasi keterangan waktu atau awal mula pelaksanaan upacara pernikahan di Desa Dahana. Akan tetapi, karena upacara pernikahan merupakan suatu tradisi, maka hal ini dipercaya telah lama dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Nias, kemudian mengalami perkembangan ke berbagai daerah, dan diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini.
Nenek moyang masyarakat Nias telah mengenal beberapa stratifikasi sosial, antara lain: siulu (bangsawan), ere (pemuka agama), ono mbanua (rakyat jelata), dan sawuyu (budak). Adanya stratifikasi sosial tersebut turut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Nias yang menimbulkan kesenjangan, hal ini terlihat dalam adat pernikahan. Dalam memilih pasangan hidup harus ada batasannya, masyarakat dari golongan siulu akan ditentang untuk menikah dengan golongan ono mbanua atau sawuyu. Selain itu, hanya masyarakat dari golongan bangsawan (siulu) saja yang mampu mengadakan upacara pernikahan guna menunjukkan status sosialnya. Hal itu disebabkan karena kaum siulu memiliki kedudukan sosial yang tinggi, baik secara tingkat kekuasaan maupun jumlah harta kekayaan yang dimiliki. Sehingga suatu hal yang sangat wajar, apabila pelaksanaan owasa (pesta adat) seperti upacara pernikahan didominasi oleh kaum bangsawan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 123).
Bowo yang dibutuhkan dalam upacara pernikahan sangat beragam jenis dan jumlahnya. Namun, jenis bowo yang paling esensial adalah bawi (babi), gana’a (emas), bora (beras), dan kefe (uang). Kilas balik dari latar belakang kebudayaan Nias menurut mitologi Nias, masyarakat Nias percaya akan kehadiran Lowalangi (dewa) di dunia ini. Menurut kisah tersebut, Lowalangi menciptakan sepasang dewa, yaitu Tuhamorai aanggi Tuhamoraana’a yang berjenis laki-laki, dan Burutiroanggi Burutiraoana’a yang berjenis perempuan. Keturunan dewa ini ialah Sirao Uwu Zihono yang mempunyai tiga istri dan dari masing-masing istri tersebut lahir tiga orang anak putra. Diantara kesembilan putra tersebut, delapan orang diturunkan ke tanah Nias dengan dibekali beberapa macam alat ukur yaitu afore (alat untuk mengukur besarnya babi), lauru (takaran padi), dan foli era (ukuran berat emas). Meskipun itu hanya sekedar mitologi, namun hal ini mempengaruhi kehidupan masyarakat Nias. Terlihat dari sanksi hukum adat Nias yang berlaku hingga saat ini yaitu menyediakan sejumlah babi, emas, dan uang. Bahkan jenis-jenis bowo yang dibutuhkan pada upacara pernikahan juga tidak terlepas dari babi, emas, beras, dan uang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 120).
Jenis-Jenis Bowo
Bawi (babi)
Babi merupakan bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara pernikahan di Nias. Pada acara famunu manu (peresmian pertunangan) dan acara femangan bawi nisila hulu (penyerahan uang) oleh pihak laki-laki harus membawa satu ekor babi dengan ukuran sedang yang beratnya berkisar 80 kg-100 kg kepada pihak perempuan. Bukan hanya itu saja, pihak laki-laki juga membawa zimbi (kepala babi) untuk diserahkan kepada kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan paman (pihak perempuan). Harga satu ekor babi yang berukuran sedang dengan berat berkisar 80 kg-100 kg adalah sekitar Rp.2.000.000-4.000.000. Sedangkan harga satu zimbi adalah sekitar Rp.500.000-600.000.
Babi yang dibutuhkan dalam upacara pernikahan akan dibawa sehari sebelum upacara pernikahan dilaksanakan. Jumlah babi yang dibawa oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan disesuaikan dengan hasil kesepakatan bersama. Pada umunya jumlah babi yang dibawa adalah satu ekor babi pernikahan (bawi falowa) berukuran besar dengan berat sekitar 150 kg, dan empat hingga tujuh ekor babi berukuran sedang. Satu ekor babi pernikahan berukuran besar berkisar harga Rp.3.000.000-Rp.5.000.000.
Pembagian babi tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan. Beberapa hal penting yang masyarakat Nias lakukan dalam pembagian babi antara lain: (1) Kepala babi yang berukuran besar diserahkan kepada pihak laki-laki (tome); (2) Kepala babi yang berukuran sedang diserahkan kepada paman (pihak pria), kepala desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dari pihak wanita; (3) Kepala babi yang berukuran sedang dan paha kanan babi (faha kambolo) diserahkan kepada paman dari pihak wanita; (4) Daging babi yang tersisa dikelola untuk dibagi rata kepada saudara ayah dari pihak perempuan, tamu undangan (nikaoni), para pekerja, dan untuk keluarga dari pihak perempuan sendiri (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
Kefe (uang tunai)
Semua pengeluaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara pernikahan sangat tergantung dan disesuaikan pada jumlah uang yang disepakati dan yang akan diserahkan oleh pihak pria kepada pihak perempuan. Sehingga, besar atau kecilnya pengeluaran tersebut dapat dilihat dari mewah atau tidaknya upacara pernikahan yang dilaksanakan.
Uang tunai tersebut akan digunakan untuk beberapa kebutuhan seperti: (1) Biaya untuk kebutuhan mempelai wanita seperti perhiasan, baju adat, kebaya, dan kebutuhan pribadi lainnya; (2) Dibagi rata kepada saudara kandung orang tua ayah, dan paman dari pihak perempuan; (3) Biaya jasa untuk membayar tim musik, tim dekorasi, tim konsumsi, dan para pekerja lainnya; (4) Persembahan untuk gereja; (5) Diberikan kepada Kepala Desa. Pada umumnya, kisaran uang tunai yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sekitar Rp.30.000.000-100.000.000 bahkan bisa lebih (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
Firo (uang perak)
Uang perak dianggap sebagai suatu pemberian adat (sumange) kepada orang tua dari pihak laki-laki, paman dari pihak perempuan, dan orang tua dari pihak perempuan. Jumlah uang perak yang diberikan tergantung dari kesepakatan bersama, biasanya orang tua dari pihak laki-laki dan paman dari pihak perempuan diberikan sekitar 1-5 buah uang perak atau lebih. Sedangkan uang perak yang tersisa menjadi hak milik orang tua dari pihak perempuan. Hampir setiap daerah di Kepulauan Nias selalu ada yang menjual uang perak. Harga satu uang perak adalah sekitar Rp.30.000-50.000. Perbedaan harga uang perak tergantung pada tempat dan harga pasar (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
Afo (kapur sirih)
Afo merupakan pemberian oleh mempelai pria sebagai wujud penghormatan kepada orang tua mempelai wanita, dan para tokoh adat, kepala desa, tokoh agama, sibaya (paman), dan siso ba huhuo (perantara). Afo terdiri dari tawuo (sirih), fino (pinang), bago (tembakau), gambe (gambir), dan becua (kapur).
Terdapat tiga ukuran afo yang harus diserahkan oleh mempelai pria antara lain: (1) Sambua bukusa sebua (satu bungkusan besar) berisi enam ikat sirih, tiga gulung gambir, tiga botol kecil kapur, setengah kilo tembakau, dan dua kilo pinang; (2) Sara bola afo (satu bungkusan sedang) berisi dua ikat sirih, satu gulung gambir, satu botol kecil kapur, satu ons tembakau, dan setengah kilo pinang; (3) Bukusa afo side-ide (satu bungkusan kecil) dengan isi yang sama namun jumlahnya jauh lebih terbatas dibanding dua ukuran afo yang lain.
Afo dengan ukuran besar diserahkan oleh pihak mempelai pria kepada tamu undangan yang hadir dari pihak perempuan (sowato sato), afo berukuran sedang diserahkan kepada ibu dari mempelai wanita (ina ono alawa), dan afo ukuran kecil diserahkan kepada tokoh adat, Kepala Desa, tokoh agama, dan paman dari pihak perempuan (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
Bora (beras)
Pihak laki-laki harus menyediakan jumlah beras yang telah disepakati untuk kebutuhan konsumsi pada pelaksanaan upacara pernikahan. Pada umumnya, jumlah beras yang dibutuhkan adalah sekitar 100-200 kg, dan harga 100 kg beras adalah sekitar Rp.1.000.000 (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
Tradisi Upacara Pernikahan (falowa)
Setelah rangkaian pra upacara pernikahan dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan pelaksanaan falowa (upacara pernikahan). Inti dari pelaksanaan falowa adalah prosesi adat untuk menjemput mempelai wanita untuk kemudian diantar ke kediaman mempelai pria.
Berikut ini merupakan tata acara dalam upacara pernikahan (falowa) antara lain: (1) Doa pembuka yang dipandu oleh pendeta (dari pihak laki-laki); (2) Latemao (penyambutan) kedatangan pihak laki-laki oleh tokoh adat dari pihak perempuan; (3) Fangowai (menyapa/salam) dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan; (4) Fame’e afo (penyerahan sirih) oleh mempelai pria; (5) Fame’e sumange (penyerahan adat) berupa uang perak (firo); (6) Khotbah; (7) Sifahuhuo (sepatah kata) oleh saudara ayah, dan paman dari mempelai wanita, mewakili undangan, kepala desa dari pihak laki-laki, dan diakhiri dengan kepala desa dari pihak perempuan sekaligus pembacaan akta pernikahan; (8) Fame’e kado (penyerahan bingkisan/tanda kasih) oleh tamu undangan; (9) Jamuan makan sekaligus pembagian daging babi bagi tamu undangan; (10) Fanika era-era bowo merupakan kesempatan bagi pengetua adat untuk memberi nasihat kepada mempelai pria. Setelah itu, acara ditutup dengan doa. Kemudian diakhiri dengan penyerahan mempelai wanita kepada pihak laki-laki, dan mempelai wanita diiring ke kediaman keluarga mempelai pria.
Pelaksanaan upacara pernikahan merupakan hal paling inti dari berbagai prosesi dan tahapan adat yang harus dilaksanakan. Selain itu, pada upacara pernikahan segala jenis dan jumlah bowo akan terlihat dan menjadi salah satu perhatian oleh sanak saudara, masyarakat, dan tamu undangan yang hadir. Oleh karena itu, bowo harus dikelola, difungsikan, dan dibagi secara merata kepada pihak-pihak yang berhak memperoleh bagian (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
Makna Bowo
Persyaratan adat
Sebenanya bowo tidak dapat diartikan sebagai alat untuk membeli perempuan, melainkan bowo merupakan hal wajib yang harus dilaksanakan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai persyaratan adat dalam melangsungkan upacara pernikahan. Oleh karena itu, pelaksanaan upacara pernikahan di Nias dianggap sah apabila melewati jalur adat. Selain adat, pernikahan di Nias juga harus sah secara agama dan pemerintahan (wawancara Etika Halawa 12 Juli 2018).
Makna kekeluargaan
Dibalik berbagai aturan adat yang bersifat mengikat dan sangat mempengaruhi pelaksanaan upacara pernikahan, sesungguhnya dari semua hal itu terkandung makna kekeluargaan didalamnya. Khususnya dalam menentukan jumlah bowo yang dibutuhkan. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk mengusahakan dan menyiapkan bowo. Akan tetapi, dengan adanya berbagai tahapan adat yang dilakukan seperti famunu manu (peresmian pertunangan) dan femanga bawi nisila hulu (penyerahan uang tunai), maka hal ini menunjukkan bahwa sangat perlu adanya musyawarah antara kedua belah pihak keluarga guna membicarakan, mempertimbangkan, dan menyepakati secara kekeluargaan jumlah bowo yang dibutuhkan dan perlu disiapkan oleh pihak laki-laki. Sehingga, hal ini tidak akan menimbulkan ketimpangan dan rasa keberatan antar ke dua belak pihak keluarga (wawancara Etika Halawa 12 Juli 2018).
Makna penghormatan dan penghargaan
Bowo merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan penghargaan dari mempelai pria dan wanita kepada orang-orang yang sangat berpengaruh dalam hidup mereka, dan pihak-pihak yang berkontribusi penuh atas terlaksananya upacara pernikahan.
Penyerahan firo (uang perak) kepada orang tua kedua mempelai, dan paman dari mempelai wanita, serta pemberian afo (kapur sirih) kepada para tokoh adat, kepala desa, tokoh agama, dan sanak saudara, sesungguhnya merupakan wujud dari penghormatan sekaligus penghargaan bagi orang tua, sanak saudara, dan beberapa tokoh adat dan masyarakat yang ikut membimbing dan membina kedua mempelai hingga membina rumah tangga.
Selain afo dan firo, pemabagian bawi (babi) secara imbang dan merata kepada beberapa orang yang dianggap penting juga menunjukkan makna penghargaan dan penghormatan. (wawancara Tahasokhi dan Etika Halawa 8 Juni dan 12 Juli 2018).
Makna sosial
Bowo tidak sepenuhnya menjadi hak milik keluarga dan sanak saudara dari kedua mempelai. Melainkan, bowo juga menjadi hak milik bagi masyarakat sekitar. Meskipun dalam skala yang sangat sederhana, masyarakat tetap akan menerimanya. Hal ini dapat diperhatikan ketika kedua belah pihak keluarga akan membagi rata daging babi guna diberi kepada masyarakat sekitar. Dengan demikian, masyarakat sekitar telah dianggap menjadi bagian penting dalam pelaksanaan upacara pernikahan (wawancara Etika Halawa 12 Juli 2018).
Prestise
Masyarakat Nias masih memegang prinsip sokhi mate moroi aila (lebih baik mati dari pada malu) dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan upacara pernikahan, masyarakat Nias mengusahakan nilai dan jumlah bowo yang banyak guna menunjang pelaksanaan upacara pernikahan, sehingga mendapat pengakuan sosial dari masyarakat. Dengan demikian, masyarakat Nias mengakui penting nilai dan jumlah bowo sebagai suatu prestise bagi keluarga (wawancara Etika Halawa 12 Juli 2018).
Pertimbangan dalam Menentukan Bowo
Bosi adat (permintaan keluarga)
Bosi adat berkaitan dengan kemampuan finansial, wibawa dan kedudukan keluarga dalam melaksanakan upacara pernikahan. Hal inilah yang menjadi pengaruh utama dari keluarga pihak perempuan dalam menentukan bowo. Sehingga, pihak perempuan menjadi tolak ukur dalam bosi adat. Sedangkan pihak laki-laki bertanggung jawab untuk mengadakan bowo sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga.
Adapun beberapa pertimbangan pihak perempuan dalam bosi adat yaitu menilai status sosial keluarga, tingkat pendidikan, dan aset pribadi dari mempelai perempuan. Akan tetapi, patokan bosi adat tidak selalu dinilai dari kedudukan seorang perempuan, bosi adat juga dipengaruhi oleh penilaian keluarga perempuan terhadap kedudukan pihak laki-laki. Sehingga pada akhirnya, bosi adat menjadi suatu kesepakatan bersama (wawancara Etika Halawa 12 Juli 2018).
Kelas sosial keluarga
Nenek moyang masyarakat Nias telah mengenal stratifikasi sosial yang bersifat tradisional, mulai dari kelas bangsawan hingga kelas budak. Pada masa sekarang, masyarakat Nias sangat mudah mengklaim bahwa suatu keluarga termasuk dalam kelas sosial diatas rata-rata dapat dilihat dari seberapa banyak harta kekayaan yang dimiliki meliputi properti, kendaraan, jumlah ternak babi, dan fasilitas pribadi lainnya. Selain itu, hal lainnya yang turut mempengaruhi kelas sosial suatu keluarga ialah dilihat dari anggota keluarga yang menduduki suatu jabatan di Pemerintahan atau instansi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa faktor silsilah keluarga termasuk tolak ukur dalam menentukan bowo (wawancara Tahasokhi 8 Juni).
Tingkat pendidikan
Perempuan Nias yang berpendidikan selalu mendapatkan tempat dan reaksi positif di tengah masyarakat. Hal yang paling menarik dari perempuan Nias adalah semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin mahal jumlah bowo yang akan ia terima. Olen karena itu, keluarga pihak laki-laki harus siap mengimbangi dan mengadakan bowo dalam jumlah besar apabila ingin meminang perempuan Nias dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Sedangkan perempuan Nias yang tidak sekolah atau tingkat pendidikan masih sangat rendah, maka jumlah bowo yang akan ia terima juga tergolong sedikit (wawancara Tahasokhi dan Etika Halawa 8 Juni dan 12 Juli 2018).
Profesi dan pendapatan pribadi
Perempuan Nias dengan profesi yang berbeda pasti memiliki tingkat penghasilan yang berbeda-beda pula. Pada umumnya, perempuan Nias dengan tingkat penghasilan yang tinggi, atau setidaknya sedang berkarir akan selalu menawarkan bowo dalam jumlah yang besar. Begitu pun sebaliknya, perempuan yang tidak berpenghasilan akan menerima bowo dalam jumlah yang kecil.
Menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan posisi yang sangat diapresiasi oleh masyarakat Nias sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja yang tersedia dan terjamin di Nias. Sehingga, perempuan Nias yang tercatat sebagai PNS dipastikan termasuk dalam golongan teratas untuk suatu jenjang karir. Selain PNS, pekerja swasta juga termasuk dalam golongan karir teratas dengan memperhatikan beberapa hal seperti posisi jabatan, masa kontrak (pekerja tetap atau tidak tetap), dan tempat kerja (instansi) (wawancara Tahasokhi dan Etika Halawa 8 Juni dan 12 Juli 2018).
Kebutuhan upacara pernikahan
Selain pertimbangan-pertimbangan diatas, pengeluaran dalam pelaksanaan rangkaian acara adat pada upacara pernikahan juga turut menjadi salah satu pertimbangan yang utama. Pelaksanaan upacara pernikahan yang mewah pasti terikat dengan bowo dalam jumlah yang tidak sedikit. Dalam keadaan sebaliknya, apabila upacara pernikahan dilaksanakan sangat sederhana, maka bowo yang dikeluarkan oleh keluarga pihak laki-laki juga tergolong sedikit (wawancara Tahasokhi 8 Juni 2018).
KESIMPULAN
Masyarakat Nias termasuk masyarakat Dahana pada khususnya memilki tradisi dalam upacara pernikahan yang hingga saat ini masih diterapkan. Selain pelaksanaan prosesi upacara pernikahan, pengadaan bowo termasuk hal yang sangat penting dan utama. Sesungguhnya bowo bukan hanya sekedar kebutuhan belaka, melainkan bowo mengandung makna yang berarti bagi masyarakat. Berikut adalah beberapa makna bowo antara lain: syarat adat, makna kekeluargaan, makna penghormatan dan penghargaan, makna sosial, dan prestise.
Pengadaan jumlah bowo di Desa Dahana tidak bersifat konstan, melainkan bersifat relatif. Ada banyak pertimbangan keluarga dalam menentukan jumlah bowo, dan hal inilah yang melatar belakangi bahwa jumlah bowo pada pernikahan di Nias tidak selalu sama. Adapun beberapa pertimbangan keluarga dalam menentukan bowo antara lain: bosi adat, kelas sosial keluarga, tingkat pendidikan, profesi dan pendapatan pribadi, serta kebutuhan pada upacara pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA
Fischer. 1976. Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Gazalba. 1968. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu. Jakarta: Pustaka Antara.
Herusatoto, B. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak.
Ihromi. 2016. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kebudayaan, D. P. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Moleong, J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Vansina, J. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak.