Horok-Horok Pengganti Makanan Pokok Masyarakat Jepara Pada Masa Pendudukan Jepang
HOROK-HOROK
PENGGANTI MAKANAN POKOK MASYARAKAT JEPARA
PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Cornellia Sella Prasiska
Sunardi
Emy Wuryani
Pendidikan Sejarah – FKIP Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Pendudukan bangsa asing selalu menimbulkan kesengsaraan, salah satunya adalah kekurangan pangan. Jepara pada masa penjajahan Jepang mengalami krisis pangan. Membuat Jepara pada masa penjajahan Jepang mengganti nasi dengan mengonsumsi horok-horok. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan sejarah makanan horok-horok sebagai pengganti makanan pokok masyarakat Jepara pada masa pendudukan Jepang; Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah meliputi tahapan: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil penelitian adalah: Asal nama horok-horok sangat unik, dinamakan horok-horok karena waktu digoreng bentuknya mengkorok (menggumpal berbentuk butiran kecil-kecil). Pada masa pendudukan Jepang, masyarakat menjadikan horok-horok sebagai makanan pengganti nasi karena mengonsumsi nasi dilarang oleh pemerintahan Jepang di Jepara.
Kata Kunci: horok-horok, makanan tradisional,kearifan local
ABSTRACT
Foreign occupation always bring misery, the one of them is the lack of food. Jepara on Japan’s occupation era is experiencing food crisis. This make Jepara people on Japan’s occupation era substitute rice with consuming horok-horok. This research was held to describe about the history of horok-horok as substitute food of Jepara’s people on Japan’s occupation era. The method that used on this research is historiographical method that consists of: heuristic, verification, interpretation, and historiography. Data collecting method is in depth interview and literature study. The result is: the origin of horok-horok name is very unique; it was named horok-horok because the shape when it fried is ‘mengkorok’ (clot). On Japan’s occupation era, people consuming horok-horok as rice substitution because consuming rise is prohibited by Japan’s Government.
Keyword: horok-horok, traditional food, local wisdom
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak keunikan dan keanekaragaman budaya. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki daya tarik tersendiri di mata dunia. Sebagai warga Indonesia harusnya bangga terhadap keunikan dan keanekaragaman ini. Salah satu keanekaragaman budaya Indonesia adalah jenis makanan. Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan dimanapun ia berada serta memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh (Amaliyah, 2017: 5). Jadi, makanan sangat penting dan diperlukan oleh manusia.
Jepara dikenal sebagi kota Ukir. Selain itu, Jepara juga sudah dikenal oleh dunia melalui tokoh R.A Kartini. Nama Jepara berasal dari kata Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Kota Jepara yang dikenal dengan sebutan “Kota Ukir†terletak di Provinsi Jawa Tengah. Kota dengan luas wilayahnya 1.004,132 ha ini terdiri atas 16 (enam belas) kecamatan yang berbagai dalam 11 kelurahan dan 184 desa, 1.041 Rukun Warga (RW), dan 4.467 Rukun Tetangga (RT). Hari jadi Jepara tanggal 10 April 1549 dan yang ditandai dengan Candra Sengkala “Trus Karya Tataning Bumi†atau Terus Bekerja Keras Membangun Daerah (Dinas Kependidikan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Jepara, 2016).
Di Jepara terdapat jenis makanan tradisional yaitu pindang serani, adon-adon coro, horok-horok, moto belong, dan blenyik. Salah satu makanan khas Jepara yang sekarang jarang dijumpai adalah horok-horok. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting dilakukan karena horok-horok pernah dijadikan sebagai makanan pokok masyarakat Jepara sebagai pengganti nasi pada masa pendudukan Jepang. Selama masa pendudukan Jepang, horok-horok menjadi salah satu simbol penderitaan masyarakat Jepara.
Untuk mengungkap lebih dalam mengenai bagaimana horok-horok menjadi pengganti nasi sekaligus menjadi simbol penderitaan masyarakat Jepara pada masa itu maka dilakukan sebuah penelitian sejarah dengan judul “HOROK-HOROK PENGGANTI MAKANAN POKOK MASYARAKAT JEPARA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANGâ€. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: bagaimana sejarah makanan horok-horok pada masa Pendudukan Jepang?
KAJIAN TEORI
Makanan Pokok
Makanan pokok adalah makanan yang dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, sumber karbohidrat, mengenyangkan dan merupakan hasil alam daerah setempat. Makanan pokok masyarakat Indonesia bermacam-macam ada yang berasal dari padi, jagung, singkong, sagu, maupun yang lain (Kristiatuti dan Rita, 2004:10). Menurut Hayati (2009:18), makanan pokok adalah makanan yang dikonsumsi dalam jumlah paling banyak dibandingkan jenis makanan lain dan mengandung zat tepung sebagai sumber tenaga untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Bahan makanan pokok yang sering dikonsumsi penduduk Indonesia adalah beras, jagung, singkong, ubi jalar, sagu, dan beberapa jenis umbi-umbian, seperti talas, ganyong, dan kentang.
Makanan Tradisional
Makanan tradisional merupakan hasil budi daya masyarakat setempat yang dilakukan turun-temurun dalam mengembangkan makanan berimbang dengan bahan-bahan tumbuhan dan hewan baik melalui budi daya ataupun yang berasal dari alam sekitarnya. Sehubungan dengan hal tersebut, beragamnya jenis makanan tradisional telah membuktikan bahwa makanan telah menimbulkan ciri khas pada masing-masing daerah dan suku bangsa (Rasyid, 2004:12). Sedangkan menurut Marwanti (2000: 112), makanan tradisional adalah makanan rakyat yang dikonsumsi dalam lingkungan masyarakat tertentu dan diturunkan secara turun-temurun.
Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan hasil budaya kebijaksanaan lokal dan kecendekiawan lokal yang didalamnya mengandung nilai-nilai peradaban dengan tujuan untuk pelestarian lingkungan dan demi untuk kesejahteraan masyarakat (Emy Wuryani, 2012: 23). Sedangkan menurut Sartini (2009: 111), kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat, sedangkan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Secara umum, maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Rahyono (2009:7), kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Berdasarkan kedua uraian diatas dapat disimpulkan, kearifan lokal merupakan hasil kebijaksaan masyarakat tertentu yang diyakini ada nilai-nilai bijak didalamnya, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah, khususnya sejarah kuliner. Metode ini meliputi empat tahapan: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi (Pranoto, 2010: 149-155). Tahap pertama adalah heuristik atau pelacakan sumber. Sumber primer penelitian berupa sumber-sumber lisan berupa Wawancara dengan pembuat dan pembeli horok-horok yang masih bisa ditemui sampai sekarang, hasil observasi ke lokasi pembuat makanan horok-horok dan arsip-arsip kuno, sedangkan sumber sekunder berupa hasil penelitian dan sumber-sumber pustaka yang relevan dengan penelitian ini. Tahap kedua yaitu kritik sumber, kritik sumber terdiri dari dua macam kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal dilakukan terhadap sumber-sumber untuk memastikan bahwa sumber tersebut benar-benar dapat dipercaya keandalannya. Kritik internal dilakukan dengan mengkonfirmasikan sumber yang didapat dengan sumber-sumber lainnya. Sedangkan, kritik eksternal terhadap sumber-sumber lisan dilakukan dengan cara meminta keterangan pada informan tentang keterlibatannya dalam peristiwa yang diceritakan oleh informan dan mengkonfirmasikan usia narasumber untuk memastikan tentang keikutsertaan informan dalam peristiwa tersebut. Tahap ketiga adalah interpretasi, seluruh data penelitian yang telah dikumpulkan dinterpretasi dengan cara disintesiskan, fakta-fakta yang tertuang dalam data-data dikelompokkan kemudian ditarik sebagai sebuah kesimpulan. Tahap keempat adalah historiografi, setelah semua tahap dilewati, peneliti menulis hasil penelitiannya dalam sebuah karya ilmiah yang ditulis secara sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Asal Nama Horok-horok
Horok-horok merupakan makanan yang unik, dari namanya maupun cara pembuatannya. Asal nama horok-horok sangat unik, dinamakan horok-horok karena waktu digoreng bentuknya mengkorok (menggumpal berbentuk butiran kecil-kecil). Pada zaman dahulu orang-orang suka asal menyebutkan sesuatu, termasuk nama makanan. Biasanya nama makanan berasal dari bentuk fisik atau makanan tersebut terbuat dari bahan apa, seperti horok-horok yang bentuknya mengkorok.
Horok-horok Sebelum Masa Pendudukan Jepang (1930)
Horok-horok sudah dikonsumsi masyarakat Jepara sebelum zaman Jepang. Dua narasumber, keluarga Ibu Purwati dan Ibu Sudewi menyatakan bahwa sudah membuat dan mengonsumsi horok-horok sejak tahun 1930. Pada tahun 1930 horok-horok dikonsumsi sebagai makanan sampingan, artinya dimasak jika sedang ingin makan horok-horok, bahkan orang yang membuat horok-horok sebelum penjajahan Jepang tidak banyak dan yang membuat adalah masyarakat yang tinggal beberapa desa di Jepara, misalnya Bondo, Kedung Penjalin dan Jondang.
Untuk membuat horok-horok masyarakat harus membeli pohon aren di kebun milik tetangga atau menebang pohon aren di kebun sendiri. Jika membeli di kebun orang lain, masyarakat harus membeli pohon aren sebesar 10 sen/pohon. Pada tahun 1935, ada beberapa orang di desa Bondo dan Kedung Penjalin yang menjual kepalan tepung aren yang dibungkus dengan daun pisang. Pada saat itu, masyarakat membeli tepung aren untuk membuat horok-horok dan cendol. Kepalan tepun aren itu juga dijual sebesar 10 sen.
Sebelum masa Jepang, hanya beberapa orang yang mempunyai kebun pohon aren, misalnya keluarga Ibu Sudewi yang mempunyai kebun pohon aren sendiri di daerah Kedung Penjalin. Ada sekitar 10 pohon aren yang tumbuh di kebun keluarga Ibu Sudewi. Terkadang ada orang yang membeli pohon aren di kebun keluarga Ibu Sudewi. Cara membelinya yaitu pohon dibeli sebesar 10 sen (1 Rupiah), kemudian ditebang langsung di kebun, setelah itu diambil sagunya, sagu yang sudah diambil dari batang diletakkan di dalam paso (baskom). Setelah sampai rumah, sagu ditumbuk dengan lesung yang terbuat dari kayu. Setelah itu diperas sarinya dan di keringkan. Setelah itu, tepung di goreng dan dikukus menjadi horok-horok.
Horok-horok Pada Masa Pendudukan Jepang
Jepara merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Selain terkenal dengan sebutan “Kota Ukirâ€, Jepara juga menyimpan pesonanya melalui makanan tradisionalnya, salah satunya yaitu horok-horok. Horok-horok merupakan makanan tradisional yang terbuat dari tepung aren dan berbentuk butiran-butiran menyerupai sterofoam. Horok-horok mempunyai teksur kenyal, rasa asin dan berwarna putih kecokelatan. Horok-horok menjadi makanan khas Jepara dan banyak ditemukan di Jepara. Horok-horok merupakan makanan tradisional yang menggunakan bahan alami dan tidak beresiko mengandung bahan-bahan kimia, horok-horok mengandung karbohidrat dan dijadikan makanan pokok pengganti nasi pada masa pendudukan Jepang.
Munculnya makanan pokok pengganti nasi biasanya dipicu karena beberapa faktor, salah satunya karena kurangnya bahan makanan pokok di suatu tempat. Horok-horok menjadi makanan pengganti nasi karena masyarakat Jepara kekurangan bahan makanan pokok akibat dari pendudukan Jepang. Akhirnya, masyarakat yang pengetahuannya terbatas pada saat itu memanfaatkan bahan yang ada di sekitar mereka yaitu tepung aren dan mengolahnya menjadi horok-horok, yang menjadikannya sebagai salah satu makanan tradisional khas di Jepara. Mayarakat mendapatkan tepung aren dari kebun tentangga atau kebun sendiri, sama seperti masa sebelum Jepang masyarakat membeli pohon aren sebesar 10 sen. Hal ini disebabkan karena tidak banyak orang yang mempunyai pohon aren atau kebun pohon aren, masih ada penjual tepung aren keliling yang menjual kepalan tepung aren sebesar 10 sen. Cara membelinya juga sama seperti masa sebelum Jepang yaitu ditebang di kebun pemiliknya. Pohon aren yang ditanam di kebun ada sekitar 10-15 pohon. Keluarga Ibu Sudewi adalah salah satu keluarga yang mempunyai kebun pohon aren sebelum masa Jepang sampai pendudukan Jepang.
Makanan tradisional ini dikonsumsi masyarakat Jepara sebagai makanan pengganti nasi sejak zaman pendudukan Jepang (1942-1945). Pada masa pendudukan Jepang masyarakat Jepara tidak diperbolehkan mengonsumsi nasi. Jika ketahuan ada keluarga yang mengonsumsi nasi maka keluarga tersebut akan diberikan hukuman bahkan hukuman mati. Tidak ada keluarga yang boleh makan nasi, untuk memenuhi kebutuhan tubuh masyarakat harus membuat makanan pokok pengganti nasi, salah satunya yaitu horok-horok. Masyarakat Jepara juga menyebut horok-horok dengan sebutan sego radio (nasi radio). Asal nama sego radio sendiri berasal dari guyonan masyarakat Jepara ketika tidak bisa makan nasi dan hanya bisa makan horok-horok. Horok-horok dikonsumsi dengan sayur dan lauk pauk.
Selain bekerja sebagai nelayan, masyarakat Jepara juga ada yang bekerja sebagai petani. Ketika panen padi telah tiba, masyarakat harus memberikan semua berasnya kepada Jepang, orang-orang hanya diperbolehkan membawa pulang sedikit menir (beras yang bentuknya tidak utuh) untuk dimasak. Menir-menir tersebut dimasak dan diberikan kepada anak-anak sedangkan orang tua lebih memilih makan yang lain. Bahkan terkadang masyarakat tidak diperbolehkan membawa pulang menir-menir tersebut. Pada masa pendudukan Jepang banyak keluarga yang kekurangan nasi untuk dimakan, jadi setiap keluarga membuat lumbung di bawah tanah rumahnya untuk menyembunyikan beras. Pada akhirnya banyak masyarakat yang ketahuan dan beras yang mayarakat miliki diambil paksa oleh tentara Jepang.
Ketika sedang makan nasi setiap kepala rumah tangga menjaga keluarganya masing-masing di depan pintu rumah supaya tidak ketahuan oleh tentara Jepang, jika ketahuan makan satu keluarga akan diancam hukuman mati. Di meja disediakan nasi, horok-horok, singkong, dan blendung (biji jagung yang direbus dan ditaburi parutan kelapa). Setelah anak-anak mereka selesai makan, orang tua baru bisa makan nasi. Orang tua zaman dahulu lebih mengutamakan kesehatan anak mereka supaya mendapatkan gizi yang cukup. Jika ada tentara Jepang, nasi akan disembunyikan kemudian keluarga tersebut hanya memakan horok-horok dan blendung untuk menghindari hukuman mati. Ada juga keluarga yang meyembunyikan nasi di bawah horok-horok ketika sedang makan, supaya tidak ketahuan oleh tentara Jepang. Namun, setelah tentara Jepang pergi keluarga tersebut akan makan nasi lagi. Setelah makan lantai harus bersih, jangan smpai ada satu butir nasi tertinggal. Jika ada satu butir nasi yang tertinggal maka keluarga tersebut akan dimarahi dan diberi hukuman. Banyak orang-orang tua yang sedih ketika harus memberi makan anaknya dengan horok-horok. Walaupun horok-horok termasuk makanan yang baik dan berasal dari bahan alami, namun orang tua di Jepara menganggap nasi merupakan makanan pokok yang diperlukan untuk proses pertumbuhan anak.
Pada masa pendudukan Jepang masyarakat Jepara harus menyetorkan beras ke lumbung kepada kuminyai (seperti koperasi pada zaman Jepang). Setiap hari ada orang suruhan Jepang atau Pamong Desa yang keliling desa dan memberikan pengumuman bahwa siapa yang mempunyai beras harap dikumpulkan ke lumbung. Pamong Desa tersebut keliling membawa dan membunyikan bendhe (gong) untuk memberikan tanda supaya masyarakat segera mengumpulkan beras. Beras-beras tersebut digunakan untuk makan tentara Jepang. Pihak Jepang memberikan doktrin bahwa nasi adalah makanan “kelas satu†yang hanya boleh dimakan oleh pihak Jepang. Pendoktrinan ini sengaja dilakukan karena pada masa itu kebutuhan beras bagi tentara Jepang di wilayah Pasifik tidak tercukupi sehingga harus melakukan berbagai cara untuk mencukupinya.
Saat pendudukan Jepang, masyarakat Jepara benar-benar mengalami kesedihan yang luar biasa, membutuhkan banyak perjuangan agar bisa mendapatkan beras. Sebelum dan sesudah pendudukan Jepang keluarga Ibu Purwati sudah mengonsumsi dan membuat horok-horok. Horok-horok menjadi makanan pokok pengganti nasi yang biasa dikonsumsi oleh keluarga tersebut dengan lauk pauk dan sayuran seadanya. Keluarga Ibu Purwati mencari cara agar bisa makan dengan nasi, bahkan bapak dari Ibu Purwati menyembunyikan berasnya di lumbung bawah tanah dan menguburnya di dekat sawah. Saat mengambil beras, bapak dari Ibu Purwati mengambil beras dengan memakai jas yang sudah koyak (lengan jasnya sudah robek), supaya tentara Jepang tidak curiga. Kemudian beras yang diambil dari lumbung tersebut dimasukkan kedalam dua sakunya. Bapak dari Ibu Purwati ini berangkat pagi dari rumah setiap mengambil beras dan kembali ke rumah pada malam hari. Setelah sampai rumah beras ditaruh di atas tampah (nampan untuk tempat beras yang terbuat dari bambu). Setelah dimasak, nasi ditaruh di atas piring dan ditutupi dengan horok-horok supaya tidak ketahuan oleh tentara Jepang. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Jepara tidak bisa mengonsumsi nasi pada masa pendudukan Jepang dan harus mencari makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari bahan di sektitar lingkungan tempat tinggalnya yang diolah menjadi horok-horok.
SIMPULAN
Horok-horok menjadi makanan pokok pengganti nasi pada masa pendudukan Jepang. Horok-horok di buat oleh masyarakat Jepara karena tidak bisa makan nasi. Masyarakat Jepara memanfaatkan bahan alam yang ada di sekitar mereka untuk membuat makanan pengganti nasi yaitu pohon aren. pada masa Jepang ketika sedang makan, orang tua harus mendahulukan anak-anak mereka makan nasi. Para orang tua mengawasi di depan pintu supaya tidak ketahuan oleh tentara Jepang. Bahkan untuk mengelabuhi tentara Jepang, para orang tua menimbun nasi diatas horok-horok supaya lebih leluasa ketika sedang makan. Jika ketahuan makan nasi maka, tentara Jepang akan memberikan hukuman. Masyarakat dilarang makan nasi karena pada masa pendudukan Jepang, nasi hanya boleh dimakan oleh pihak Jepang. Pihak Jepang memberikan doktrin bahwa nasi adalah makanan “kelas satu†yang hanya boleh dimakan oleh pihak Jepang. Pendoktrinan ini sengaja dilakukan karena pada masa itu kebutuhan beras bagi tentara Jepang di wilayah Pasifik tidak tercukupi sehingga harus melakukan berbagai cara untuk mencukupinya.
DAFTAR PUSTAKA
_____, Dinas Kependidikan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Jepara. 2016. Profil Kependudukan Kabupaten Jepara.
Amaliyah, Nurul. 2017. Penyehatan Makanan dan Minuman – A. Yogyakarta: Deepublish.
Emy Wuryani, dkk. 2012. Pengelolaan Obyek Wisata Kawasan Candi Berbasis Kearifan Lokal. Tourisma No.6/Januari 2012.
Hayati, Aslis Wirda. 2009. Buku Saku Gizi Bayi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kristiastuti, Dwi dan Rita Ismawati. 2004. Pengolahan Makanan Nusantara. Surabaya: Unesa University Press.
Marwanti. 2000. Pengetahuan Makanan Indonesia. Edisi 1. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Nur Rasyid, Harun. 2004. Ensiklopedia Makanan Tradisional Indonesia (Sumatera). Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sartini. 2009. Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kapel Press.