TRADISI POPOKAN SEBAGAI UPACARA SEDEKAH DESA WUJUD

DARI KEARIFAN LOKAL DI DESA SENDANG, KECAMATAN BRINGIN, KABUPATEN SEMARANG

 

Anitia Wahyu Agustina

Sunardi

Emy Wuryani

Pendidikan Sejarah, FKIP-UKSW Salatiga

 

ABSTRAK

Kearifan lokal adalah ciri khusus dalam suatu masyarakat setempat yang berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyampaikan nilai-nilai serta pesan moral. Nilai-nilai kearifan lokal dapat ditemui pada suatu tradisi yang masih dipertahankan hingga sekarang. Masyarakat Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sampai saat ini masih mempertahankan upacara sedekah desa yaitu tradisi popokan disertai nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Prosesi tradisi popokan terdiri dari bersih sendang, tumpengan, Kirab Budaya Sedekah Desa, dan popokan (perang lumpur). Tradisi popokan mengandung makna meminta keselamatan, kedamaian, dan ketentraman hidup bagi seluruh warga Desa Sendang. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan, observasi langsung, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan emik ini untuk mengungkapkan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung disetiap prosesi tradisi popokan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Sendang masih mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal serta penerapannya pada tradisi popokan berupa nilai sejarah, nilai budaya, nilai religi, dan nilai sosial.

Kata kunci: sedekah desa, tradisi popokan, kearifan lokal

ABSTRACT

Local wisdom is a special characteristic in a local community as a guide to regulate people’s lives, also to convey values and moral message. Yet, it can be found in a tradition that has been maintained. Same as people in Sendang, Bringin Sub-District, Semarang District, they keep up the tradition alive, and it called popokan. It includes spring cleaning, tumpengan, village carnival, and popokan (mud war). Popokan means to ask for protection, harmony, and peacefulness for all communities in the area. This paper used literature review method, direct observation, interview, and documentation. Using emic approach, the study aimed to reveal local wisdom values in every popokan’s tradition process. Result of the study showed that people at Sendang maintaining the local wisdom values and its application up until now. It consisted of historical values, cultural values, religious values, and social values.

Keywords: village alms ceremony, popokan tradition, local wisdom

 

PENDAHULUAN

Orang Jawa merasa berkewajiban memelihara keindahan dunia, baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritualnya. Tindakan orang Jawa dalam menjaga lingkungannya diwujudkan dalam bentuk tradisi. Sedangkan tindakan orang Jawa dalam menjaga lingkungannya itu dapat disebut sebagai kearifan lokal. Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang menjadi ciri atau inti kehidupan budaya masyarakat. Penelitian mengenai kearifan lokal dengan mengamati tradisi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu bertujuan untuk mengetahui makna dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sekarang ini, nilai-nilai kearifan lokal mulai banyak terkikis dan hilang di dalam lingkungan budaya masyarakat. Berbagai nilai-nilai modern itu mengkalahkan nilai kearifan lokal sehingga menjadikan masyarakat mengalami krisis identitas.

Semarang adalah kota ragam budaya. Berawal dari budaya atau tradisi di wilayah ini berkembanglah tradisi-tradisi yang ditiru dan diikuti oleh masyarakat di sekitarnya. Budaya di wilayah ini selanjutnya merembet ke pelosok-pelosok desa. Budaya adalah hubungan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat serta lain-lain kenyataan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat (Soekanto, 2007: 150). Hal ini yang menyebabkan kalangan masyarakat kecil seringkali menyakini dan melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, bahkan secara turun temurun.

Bagi orang Jawa, melaksanakan tradisi-tradisi daerah setempat mampu mendatangkan berkah, keselamatan, kebaikan hidup, dan sebagainya. Mereka memiliki keyakinan bahwa Tuhan adalah pusat dari alam semesta serta pusat segala kehidupan. Di samping itu, orang Jawa menyakini bahwa mereka hidup berdampingan dengan makhluk lain yang tidak terlihat yang ditugaskan Tuhan untuk menjaga bumi. Atas dasar itulah, orang Jawa selalu menjaga kehidupan, keseimbangan dan kestabilan dengan alam dan dunia atas. Oleh karena itu bagi orang Jawa, kebudayaan harus dilestarikan. Hal inilah yang menjadikan Semarang dikenal sebagai pusat budaya.

Di Kabupaten Semarang terdapat tradisi yang dinamai dengan popokan atau perang lumpur. Tradisi popokan sebenarnya merupakan upacara adat lempar lumpur. Tradisi ini dilaksanakan pada setiap bulan Agustus atau September, tepatnya hari Jumat Kliwon, disesuaikan dengan masa panen. Popokan dilaksanakan setelah acara kirab budaya, dimulai pukul 14.00-16.00 WIB kemudian dilanjutkan ritual popokan, perang lumpur di lokasi area persawahan yang berada di jalan raya antara Desa Bancak dengan Desa Sendang. Tradisi popokan memiliki makna dan nilai-nilai kearifan lokal yang wajib dilestarikan oleh masyarakat. Hal ini menarik untuk ditulis agar banyak orang mengenalnya. Tujuan penelitian ini bagi pembaca adalah untuk memahami dan mendeskripsikan tentang prosesi tradisi popokan di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, makna yang terkandung dalam tradisi popokan, dan nilai-nilai kearifan lokal dan penerapan dari tradisi popokan di desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Dusun Sendang, Kelurahan Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan emik. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi partisipan, dan dokumentasi. Penelitian ini dikatakan menggunakan pendekatan emik karena mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji dan lebih objektif berkenaan dengan tradisi popokan di Desa Sendang.

Sumber data penelitian berupa informan diperoleh dari tokoh masyarakat, mantan ketua panitia tradisi popokan, dan beberapa warga sekitar yang melakukan tradisi popokan di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Sedangkan sumber pendukung yaitu sumber pustaka dalam penelitian ini dapat diperoleh melalui koleksi buku Perpustakaan Pribadi, Perpustakaan Universitas Kristen Satya Wacana, dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang.

Data dianalisis dengan metode yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman yang dikutip oleh Sugiyono (2013: 92), dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan.

HASIL PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Berdasarkan hasil temuan dilapangan dan kesesuaian dengan tujuan penelitian maka didapatkan hasil penelitian dan pembahasan tentang tradisi popokan sebagai upacara sedekah desa wujud dari kearifan lokal di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebagai berikut:

Sejarah Tradisi Popokan

Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Eryanto pada tanggal 18 Juni 2018, sejarah tradisi popokan berawal dari para leluhur saat pertama kali babat alas (membuka lahan) untuk lahan pertanian dan perkebunan. Ada satu area lahan yang tidak bisa dibuka karena ada sebuah gumbul (gundukan tanah di antara pohon-pohon), lalu warga sekitar bersama-sama membersihkan gumbul dan lahan tersebut.

Setelah selesai membersihkan lahan tersebut, warga sekitar melakukan selamatan dengan nasi tumpeng beserta lauk pauk seperti klubanan (beberapa jenis sayuran yang direbus lalu dicampurkan dengan sambal ampas parutan kelapa), tuntunan (sambal yang dicampur dengan parutan kelapa, biji mlanding, irisan japan, lalu dibungkus dalam daun pisang, kemudian dikukus hingga matang), ingkung (ayam panggang Jawa), telur rebus, rempeyek, tahu goreng, tempe goreng, daging ayam goreng, jajanan pasar, jenang (bubur) katul dedak, dan sesaji. Namun datang seekor harimau yang mengamuk dan merusak area lahan yang akan dijadikan lahan persawahan dan perkebunan. Kemudian sesepuh desa mencoba mengusir harimau dengan memopok harimau dengan jenang (bubur) katul dedak. Warga sekitar juga mencoba melemparinya dengan nasi tumpeng dan sesaji yang seharusnya dijadikan selametan. Supaya setelah harimau memakan jenang (bubur) katul dedak, nasi tumpeng, dan sesaji akan pergi. Harimau pergi kembali ke hutan.

Di kemudian hari muncul lagi seekor harimau yang merusak persawahan dan perkebunan warga Desa Sendang dan mengganggu warga desa yang sedang bertani. Warga yang saat itu sedang bertani berusaha mengusirnya dengan menggunakan pacul, parang, dan arit, tetapi harimau tersebut tidak mau pergi. Beberapa warga desa pergi ke rumah sesepuh desa untuk meminta petunjuk cara mengusir harimau yang sedang berkeliaran di sekitar area persawahan warga desa. Lalu sesepuh desa menyarankan agar harimau itu diusir dengan menggunakan bledu (lumpur sawah). Berkat nasehat dari sesepuh desa tersebut, harimau akhirnya pergi dari Desa Sendang dengan cara melemparinya dengan bledu (lumpur sawah). Setiap kali harimau itu kembali ke area perswahan atau perkebunan, warga Desa Sendang selalu mengusir harimau itu dengan bledu (lumpur sawah). Akhirnya pengusiran harimau dengan bledu (lumpur sawah) menjadi tradisi yang masih dilestarikan oleh warga Desa Sendang sampai sekarang yang disebut tradisi popokan sebagai wujud rasa syukur warga kepada leluhur yang telah berhasil mengusir harimau dan upacara sedekah desa karena melimpahnya hasil panen.

 

Tradisi Popokan di Desa Sendang, Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang

Tradisi popokan selalu dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada bulan Agustus atau September, hari Jumat Kliwon, disesuaikan dengan masa panen di Desa Sendang. Pada tahun ini tradisi popokan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 6 September 2018 sampai hari Jumat Kliwon tanggal 7 September 2018 (telah disesuaikan dengan masa panen) yang hanya dilakukan oleh seluruh warga di Desa Sendang.

Bersih Sendang

Bersih sendang ini biasanya dilakukan satu hari sebelum popokan (perang lumpur) yaitu dilakukan pada hari Kamis tanggal 6 September 2018 dari pagi pukul 08.00-09.00 WIB. Bersih sendang di Desa Sendang dilakukan pada tujuh sendang (sumber mata air) yaitu Sendang Kali Preh, Sendang Kali Gondang, Sendang Kali Kluweh, Sendang Kali Lurung, Sendang Kali Pancur, Sendang Kali Dadap, dan Sendang Kali Tegal. Alasan dilakukannya bersih sendang karena mereka mempercayai bahwa air merupakan sumber utama kehidupan bagi seluruh warga Desa Sendang, maka dari itu, tujuh sendang (sumber mata air) perlu dibersihkan dari kotoran supaya terhindar dari kejahatan dan marabahaya yang mengancam warga Desa Sendang. Karena alasan itulah bersih sendang ini selalu dilakukan dalam prosesi tradisi popokan setiap tahun.

Bersih sendang dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan membawa peralatan seperti pacul, arit, parang, dan sapu lidi. Sebagian besar dari mereka menguras tujuh sendang (sumber mata air) dan mengumpulkan berbagai macam ikan yang ada di dalamnya untuk dibawa ke rumah Bapak Totok selaku Kepala Desa yang nantinya akan dijadikan sesaji dan pelengkap nasi tumpeng pada acara Kirab Budaya Sedekah Desa. Sebagian kecil lainnya membersihkan air sendang sampai bersih dari dedaunan, lumut, ataupun endapan hingga air sendang terlihat jernih. Sebagian kecil lainnya juga membersihkan rumput liar ataupun tanaman yang tumbuh di sekitar sendang dengan memangkasnya menggunakan peralatan kebersihan yang mereka bawa agar terlihat lebih rapi, serta membersihkan jalanan, gapura, dan saluran air.

Sementara ibu-ibu menyiapkan jajanan pasar berupa wajik, lemper, dan serabi, serta minuman dan makanan di rumah mereka masing-masing. Sedangkan anak-anak usia sekolah tetap melakukan aktivitas sekolahnya. Setelah selesai bersih sendang, warga Desa Sendang bersama-sama ziarah ke makam leluhur di Desa Sendang seperti ziarah ke makam Raden Mas Janeb dan makam Raden Masa Semende dengan membawa sesaji berupa kembang telon, kembang setaman, kemenyan dan dupa serta ziarah ke makam saudara-saudarinya yang telah meninggal dan bahu-membahu membersihkan makam tersebut.

Tumpengan

Tumpengan adalah acara selamatan yang dilakukan pada hari Jumat Kliwon setelah selesai ibadah sholat Jumat yaitu pada pukul 13.00-14.00 WIB. Prosesi tumpengan hanya diikuti oleh warga Desa Sendang. Setiap keluarga di Desa Sendang membuat nasi tumpeng, lalu dibawa oleh bapak-bapak ke rumah Bapak Totok selaku Kepala Desa untuk selamatan.

Nasi tumpeng adalah nasi putih yang dibuat dalam bentuk seperti gunung dengan puncak runcing, diletakkan di ceting (sejenis tempat untuk meletakan nasi yang sudah matang). Lalu di lingkaran pinggir nasi tumpeng dilengkapi dengan lauk pauk khusus. Lauk pauknya meliputi klubanan, ayam panggang Jawa (ingkung), ikan asin, telur rebus, tahu goreng, tempe goreng, daging ayam goreng, rempeyek, dan lauk lainnya. Klubanan adalah rebusan sayuran yang dicampur dengan sambal kelapa. Sayuran yang digunakan biasanya bayam, kulbis, kluwih, kacang panjang, kangkung, dan kecambah. Sedangkan sambal kelapa dibuat dari sambal yang biasanya terbuat dari campuran bawang merah, bawang putih, cabe rawit, cabe keriting, garam, lalu dicampurkan dengan ampas parutan kelapa. Nasi tumpeng juga dilengkapi dengan tuntuman. Tuntuman adalah sambal yang dicampur dengan parutan kelapa, biji mlanding (lamtoro), irisan japan, dan dibungkus dalam daun pisang kemudian dimasak hingga matang. Biasanya tuntuman ditaruh disekitar nasi tumpeng sebagai tambahan jika klubanan dalam nasi tumpeng kurang.

Seluruh warga berkumpul, duduk, dan saling berhadapan, ditengahnya diletakkan nasi tumpeng dan jajanan pasar yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Sebelum acara selamatan dimulai, para sesepuh desa memberikan sejumlah sedekah berupa uang kepada modin untuk diselameti. Modin mulai membaca hadroh, “ila hadharati ruhi” sampai lengkap lalu dilanjutkan membaca surat Al Ikhlas, surat Al Falaq, surat An Nas, dan bacaan sebagian ayat Al Qur’an, tahlil sampai doa dengan Bahasa Jawa. Selesai berdoa, warga memakan nasi tumpeng dengan lauk pauk dan jajanan pasar yang mereka bawa masing-masing secara bersama-sama.

Kirab Budaya Sedekah Desa

Kirab Budaya Sedekah Desa dilakukan pada hari Jumat Kliwon setelah selesai melaksanakan prosesi tumpengan yaitu dari pukul 15.00- 16.00 WIB. Seluruh warga Desa Sendang berpartisipasi aktif dalam Kirab Budaya Sedekah Desa seperti anak-anak, remaja, pemuda-pemudi, tokoh masyarakat, orang tua, dan sesepuh Desa Sendang. Kirab Budaya Sedekah Desa ini mulai jalan dari pertigaan jalan raya Bringin-Kedung Jati lalu menuju ke Balai Desa Sendang, sehingga jalan raya antara Bancak-Sendang macet selama dua sampai tiga jam. Terkadang Kirab Budaya Sedekah Desa dimulai dari Dusun Ngasinan lalu ke Balai Desa Sendang. Kurang lebih sekitar 1-2 kilometer jarak yang ditempuh.

Dalam Kirab Budaya Sedekah Desa, pada barisan pertama warga mengarak atau menggiring hewan harimau yang terbuat dari boneka, yang didalamnya berisikan orang yang menggerakkan harimau sebagai icon dari Desa Sendang. Setelah itu para sesepuh Desa Sendang juga mengarak nasi tumpeng yang ditempatkan dalam jolen yang berbentuk rumah joglo (rumah adat Jawa) lengkap dengan lauk pauk seperti klubanan, ayam panggang Jawa (ingkung), ikan asin, telur rebus, tahu goreng, tempe goreng, daging ayam goreng, rempeyek, dan lauk lainnya dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Dibarisan selanjutnya para tokoh masyarakat menggunakan pakaian adat Jawa membawa ayam panggang Jawa (ingkung), berbagai macam ikan panggang, berbagai burung panggang, tikus panggang, dan ular panggang ditusukkan pada kayu yang telah dibentuk panjang merupakan hasil tangkapan dari acara bersih sendang dan area persawahan warga Desa Sendang serta membawa sesaji berupa kemenyan, dan dupa yang ditempatkan dalam kendi yang berisikan tanah makam lalu diletakkan ditampah, lalu meletakkan uang sedekah dari acara tumpengan, kembang telon, dan kembang setaman disekitar kendi.

Barisan selanjutnya adalah kreatifitas dari para pemuda-pemudi di Desa Sendang berupa para pemuda yang mengenakan pakaian hantu seperti pocong, kuntilanak, tuyul, dan ada beberapa pemuda mengenakan pakaian daster (pakaian ibu-ibu). Para petani yang mengenakan pakaian adat Jawa juga nenunjukkan kreatifitasnya dengan mengarak miniatur kapal yang dilengkapi dengan orang-orangan sawah. Masing-masing RT di setiap dusun di Desa Sendang juga menampilkan kreatifitasnya, berupa gunungan hasil pertanian seperti gunungan jagung, gunungan padi, serta gunungan singkong, gunungan buah-buahan seperti gunungan buah jeruk, apel, berbagai macam pisang, nanas, serta pepaya, dan gunungan makanan tradisional seperti gunungan wajik, gunungan lemper, gunungan jenang, yang digendong dalam bakul dengan mengenakan berbagai macam pakaian adat Jawa. Dibelakangnya, berbaris para ibu-ibu PKK dari setiap RT dari masing-masing dusun dengan berdandan dalam berbagai macam penampilan serta diikuti juga oleh kelompok kesenian seperti nonik (wayang orang), drumblek, drumband (berasal dari kaleng bekas), rebana, kesenian jatilan, dan reog.

Ada juga kelompok lembaga pendidikan yang berpartisipasi dalam memeriahkan acara Kirab Budaya Sedekah Desa dalam prosesi tradisi popokan seperti Raudlatuh Atfal (RA), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Madrasah Diniyah (Madin), dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) yang ada di Desa Sendang.

Penonton berjajar dari pertigaan jalan raya Bringin-Kedung Jati sampai ke Balai Desa Sendang untuk melihat Kirab Budaya Sedekah Desa, bahkan mereka yang datang untuk menonton berasal dari luar Desa Sendang seperti Salatiga dan Semarang. Setelah sampai di Balai Desa Sendang, modin membacakan doa dalam bahasa Jawa atas nasi tumpeng dan berbagai gunungan yang dibawa di belakang kirab icon harimau. Setelah modin selesai berdoa, semua warga Desa Sendang berebut nasi tumpeng dan berbagai gunungan yang telah dibawa oleh para sesepuh dan warga Desa Sendang.

Popokan (Perang Lumpur)

Setelah prosesi Kirab Budaya Sedekah Desa yang dilakukan di Balai Desa Sendang, seluruh anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua khususnya laki-laki yang mengikuti acara popokan (perang lumpur) berkumpul untuk memasangkan janur diatas kepala mereka masing-masing. Pemasangan janur yang telah diberikan oleh panitia supaya tidak ada peserta dari desa lain yang ikut. Area persawahan yang dijadikan lokasi tradisi popokan awalnya dialiri dengan air secukupnya agar lahan persawahan berlumpur sehingga lumpur yang dipergunakan sebagai popokan (perang lumpur) merupakan lumpur yang lembek dan tidak terasa sakit apabila terkena lemparan lumpur. Lalu mereka ke tempat area persawahan yang telah dipersiapkan oleh panitia.

Popokan (perang lumpur) diawali dengan boneka icon hariamu pada prosesi Kirab Budaya Sedekah Desa dimasukkan ke area persawahan untuk dilempar lumpur sebagai tanda dimulainya popokan. Lalu diikuti oleh semua anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua khusunya laki-laki yang saling melempar ke segala arah tanpa sasaran yang jelas. Saat mengenai sasaran berbunyi pok…pok….pok… dan oleh warga Desa Sendang tradisi perang lumpur ini disebut sebagai tradisi popokan.

Warga yang melakukan popokan (perang lumpur) ini tidak boleh marah atau emosi apabila terkena lemparan lumpur dari warga lain. Sebaliknya warga yang terkena lemparan lumpur akan merasa gembira, karena mereka percaya akan mendapat berkah setelah terkena lemparan lumpur. Terkadang terjadi aksi saling kejar-kejaran hingga ke jalan raya antar desa, bahkan ada beberapa rumah warga yang terkena lemparan lumpur. Terkadang tokoh masyarakat yang hadir juga terkena lemparan lumpur tetapi tidak ada yang marah, mereka bahkan tertawa karena terkena lemparan lumpur.

Warga dari luar Desa Sendang hanya boleh menonton berjajar disepanjang jalan raya antara Bancak-Sendang supaya tidak kena lemparan lumpur pada prosesi popokan. Setelah satu jam lamanya, salah satu panitia membunyikan sirine pada toak megaphone sebagai tanda bahwa prosesi popokan telah berakhir dan tidak ada lagi yang boleh melempar lumpur.

Nilai-Nilai Kearifan Lokal dan Penerapan pada Tradisi Popokan

Nilai Sejarah  

Tradisi popokan memiliki latar cerita sejarahnya. Hal ini sesuai dengan sejarah Desa Sendang dan sejarah mulainya tradisi popokan yang diceritakan oleh Bapak Eryanto yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. Semua warga Desa Sendang yang mengikuti dari awal hingga akhir prosesi tradisi popokan akan dapat mengetahui, menghormati, dan dapat menceritakan kembali cikal bakal tradisi popokan beserta leluhurnya.

Warga Desa Sendang dari generasi ke generasi ikut andil dalam pelaksanaan tradisi popokan. Dalam kegiatan tradisi popokan, generasi muda diajak untuk menghargai dan mencintai apa yang menjadi tradisi mereka. Melalui berbagai prosesi yang telah dilakukan, mereka dapat belajar tentang berbagai hal yang diwariskan oleh orangtuanya. Secara tidak langsung, terjadi pemindahan nilai-nilai ke dalam diri mereka. Dengan demikian, mereka dapat mengadopsi karakter baik yang ada pada generasi sebelumnya.

Penerapan nilai sejarah pada tradisi popokan dapat dilihat melalui:

a.     Bersih sendang yang dilakukan pada tujuh sendang (sumber mata air) yaitu Sendang Kali Preh, Sendang Kali Gondang, Sendang Kali Kluweh, Sendang Kali Lurung, Sendang Kali Pancur, Sendang Kali Dadap, dan Sendang Kali Tegal.

b.     Ziarah ke makam Raden Mas Janeb dan makam Raden Mas Semende.

c.     Prosesi tumpengan untuk acara selametan nasi tumpeng beserta lauk pauknya dan jajanan pasar yang dibawa oleh bapak-bapak Desa Sendang ke rumah Bapak Totok selaku Kepala Desa untuk diselameti dan dimakan secara bersama-sama.

d.     Pada barisan pertama Kirab Budaya Sedekah Desa, warga menggiring hewan harimau yang terbuat dari boneka berisikan orang didalamnya sebagai icon dari Desa Sendang.

e.     Seluruh warga Desa Sendang berpartisipasi aktif dalam Kirab Budaya Sedekah Desa seperti anak-anak, remaja, pemuda-pemudi, tokoh masyarakat, orangtua, para sesepuh, ibu-ibu PKK, kelompok kesenian (nonik, drumblek, drumband, rebana, kesenian jatilan, dan reog), dan kelompok lembaga pendidikan dengan menampilkan beragam gunungan (gunungan hasil pertanian, buah-buahan, dan makanan tradisional), nasi tumpeng beserta lauk pauknya yang ditempatkan dalam jolen yang berbentuk rumah joglo (rumah adat Jawa) dengan mengenakan pakaian adat Jawa, serta membawa sesaji berupa kemenyan, dan dupa yang ditempatkan dalam kendi yang berisikan tanah makam lalu diletakkan ditampah, lalu meletakkan uang seedekah dari acara tumpengan, kembang telon, kembang setaman disekitar kendi, dan kreatifitas lainnya yang mengikuti jaman berupa kapal beserta orang-orangan sawah dan lainnya.

 

 

Nilai Budaya

Upacara sedekah desa adalah bentuk kebudayaan yang hingga sekarang ini masih banyak ditemukan di pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Tradisi popokan juga menjadi salah satu upacara sedekah desa yang dapat memperkaya khasanah budaya lokal bangsa Indonesia. Upacara sedekah desa yaitu tradisi popokan telah menjadi tradisi bagi masyarakat Desa Sendang dan dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hingga sekarang, tradisi popokan masih tetap dijaga dan dilaksanakan oleh warga Desa Sendang setiap tahun sekali karena dianggap memiliki arti dan makna. Tradisi popokan dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mengenalkan dan meramaikan pariwisata Kabupaten Semarang.

Bagi masyarakat Desa Sendang, melaksanakan tradisi popokan adalah sebagai upaya dalam melestarikan budaya yang mereka miliki. Pelestarian ini merupakan salah satu usaha warga Desa Sendang untuk mempertahankan nilai budaya yang mereka miliki baik bagi individu maupun kelompok. Pelestarian tersebut tetap terjaga sesuai dengan perkembangan jaman agar tetap terjaga nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi popokan tidak punah. Di dalam pelaksanaan tradisi popokan juga ditampilkan berbagai kesenian tradisional sebagai salah satu bentuk upaya pelestariannya.

Penerapan nilai budaya pada tradisi popokan dapat dilihat melalui:

a.       Setiap tahun warga Desa Sendang selalu melaksanakan tradisi popokan, hal ini merupakan upaya untuk melestarikan budaya.

b.       Para Sesepuh, Tokoh Masyarakat, Kelompok Petani, Ibu-Ibu PKK, anak kecil dan pemuda-pemudi Karang Taruna mengenakan berbagai pakaian adat Jawa pada acara Kirab Budaya Sedekah Desa.

c.        Para Sesepuh mengarak nasi tumpeng yang ditempatkan dalam jolen yang berbentuk rumah joglo (rumah adat Jawa) lengkap dengan lauk pauk seperti klubanan, ayam panggang Jawa (ingkung), ikan asin, telur rebus, tahu goreng, tempe goreng, daging ayam goreng, rempeyek, dan lauk lainnya pada acara Kirab Budaya Sedekah Desa dengan mengenakan pakaian adat Jawa.

d.       Para tokoh masyarakat mengenakan pakaian adat Jawa membawa ayam panggang Jawa (ingkung), berbagai macam ikan panggang, berbagai macam burung panggang, tikus panggang, dan ular panggang ditusukkan pada kayu yang telah dibentuk panjang merupakan hasil tangkapan dari acara bersih sendang dan area persawahan warga Desa Sendang serta membawa sesaji berupa kemenyan, dan dupa yang ditempatkan dalam kendi yang berisikan tanah makam lalu diletakkan ditampah, lalu meletakkan uang sedekah dari acara tumpengan, kembang telon, kembang setaman disekitar kendi.

e.        Masing-masing RT di setiap dusun di Desa Sendang juga menampilkan kreatifitasnya, berupa gunungan hasil pertanian (padi, jagung, dan singlong), gunungan buah-buahan (jeruk, apel, pisang, nanas,dan pepaya), gunungan makanan tradisional (wajik, lemper, dan jenang) dengan digendong dalam bakul dan mengenakan pakaian adat Jawa.

f.        Menampilkan kelompok kesenian seperti nonik (wayang orang), drumblek, drumband (berasal dari kaleng bekas), kesenian jatilan, dan reog.

 

Nilai Religi

Agama Islam menjadi agama mayoritas warga Desa Sendang. Terbukti dengan adanya rumah ibadah dan ada pula lembaga pendidikan Islam seperti Raudlatul Atfal (RA), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Madrasah Diniyah (Madin), dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Kegiatan modin (pemuka agama) mendoakan dengan doa-doa dalam bahasa Jawa dan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan simbol-simbol untuk meminta keselamatan hidup. Mereka yang memahami kebutuhan masyarakat mencoba memadukan antara tradisi dengan agama Islam. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh agama Islam terhadap tradisi popokan di Desa Sendang.

Penerapan nilai religi pada tradisi popokan dapat dilihat melalui:

a.     Modin (pemuka agama) memimpin doa untuk mendoakan makam leluhur di Desa Sendang seperti makam Raden Mas Janeb dan makam Raden Mas Semende serta makam-makam sudara-saudarinya yang telah meninggal yang diikuti oleh seluruh warga Desa Sendang.

b.     Modin (pemuka agama) memimpin doa untuk menyelameti berbagai nasi tumpeng beserta lauk pauk, tuntuman, klubanan, dan jajanan pasar yang telah dibawa oleh bapak-bapak Desa Sendang ke rumah Bapak Totok selaku Kepala Desa dalam acara tumpengan.

c.     Modin (pemuka agama) memimpin doa untuk mendoakan bermacam-macam gunungan seperti gunungan wajik, gunungan lemper, gunungan jenang, gunungan jeruk, gunungan apel, gunungan pisang, dan lainnya serta nasi tumpeng yang telah dibawa oleh para sesepuh dan warga Desa Sendang untuk diperebutkan oleh seluruh warga Desa Sendang.

Nilai Sosial

Pada prosesi acara tradisi popokan tidak dapat berjalan lancar jika warga Desa Sendang hanya bekerja sendiri. Mereka harus dapat saling menjaga keguyuban, kerukunan, kebersamaan, persatuan, dan kesatuan agar tradisi popokan tetap berlangsung hingga tahun-tahun yang akan datang. Dengan begitu tumbuh solidaritas diantara warga sehingga tidak akan mengalami permasalahan yang berarti pada saat mempersiapkan acara tradisi popokan. Berbagai generasi yaitu, kakek dan nenek, ayah dan ibu, pemuda dan pemudi, hingga remaja dan anak-anak turut bekerja sama demi kelangsungan tradisi yang masyarakat miliki.

Penerapan nilai sosial pada tradisi popokan dapat dilihat melalui:

a.        Membersihkan dan menguras tujuh sendang (sumber mata air) serta lingkungan sekitar Desa Sendang termasuk jalan desa secara bahu-membahu untuk menjaga kebersihan lingkungan desa.

b.        Bahu-membahu menangkap berbagai macam ikan seperti belut, nila, mujahir, mas, lele, gurame, serta wader yang ada di tujuh sendang (sumber mata air), kemudian dikumpulkan ke rumah Bapak Totok yang nantinya akan dipanggang untuk acara tumpengan dan Kirab Budaya Sedekah Desa.

c.        Ada beberapa warga yang memasak nasi tumpeng beserta lauk pauk seperti klubanan, ayam panggang Jawa (ingkung), ikan asin, telur rebus, tahu goreng, tempe goreng, daging ayam goreng, rempeyek, dan lauk lainnya secara bersama-sama.

d.        Warga Desa Sendang beramai-ramai ziarah makam leluhur seperti makam Raden Mas Janeb dan makam Raden Mas Semende serta makam sudara-saudarinya yang telah meninggal dan bahu-membahu membersihkan makam tersebut.

e.        Panitia tradisi popokan dan ada beberapa warga saling membantu dalam mempersiapkan area persawahan untuk lokasi acara popokan (perang lumpur) serta mengamankan jalur yang akan dilalui peserta dalam acara Kirab Budaya Sedekah Desa.

KESIMPULAN

Dari penelitian tradisi popokan sebagai upacara sedekah desa wujud dari kearifan lokal di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.        Proses tradisi popokan diawali dengan acara bersih sendang (sumber mata air) di tujuh sendang (sumber mata air) yang ada di Desa Sendang pada hari Kamis. Sore harinya dilaksanakan ziarah makam ke makam leluhur dan makam saudara-saudari yang telah meninggal. Pada hari Jumat selesai sholat Jumat dilaksanakan acara tumpengan untuk selametan lalu dilanjutkan dengan acara Kirab Budaya Sedekah Desa. Pada pukul 16.00 WIB dilaksanakan tradisi popokan atau perang lumpur yang hanya diikuti oleh warga di Desa Sendang.

2.        Tradisi popokan tidak hanya bermakna sebagai tolak bala, menghilangkan segala macam kejahatan yang akan datang mengancam warga di Desa Sendang, rasa syukur warga karena melimpahnya hasil panen, dan juga wujud syukur warga kepada leluhur terdahulu yang telah berhasil mengusir harimau yang merusak persawahan dan pemukiman warga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam prosesi tradisi popokan memiliki filosofi kejawen yaitu makna yang tersembunyi dari nasi tumpeng, jajanan pasar, dan sesaji.

3.        Pelaksanaan tradisi popokan memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang perlu dilestarikan yaitu nilai sejarah, nilai budaya, nilai religi, dan nilai sosial, serta penerapan nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi popokan di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, J.R.S. 2013. Pembelajaran Nilai. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Daya: dahulu, sekarang, masa depan. Jakarta: Gramedia.

Esten, Mural. 1992. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara. Jakarta: Intermasa.

Hafidz, Muh. 2017. “Popokan: Tradisi Perang Lumpur Di Tradisi Desa Sendang, Kecamatan Beringin, Kabupaten Semarang” dalam Jurnal Sabda edisi Vol. 12, No. 2, Desember 2017.

Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Jakarta: Universitas Jakarta.

Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin. 2001. Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.

Nugraha, Purna Bayu. 2011. Tradisi Upacara Popokan Masyarakat Desa Sendang Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Ridwan, N. A. 2007. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal” dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol. 5, 27-28.

Sartini. 2009. Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatiif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.

Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.