BULLYING; JENIS, FAKOR PENYEBAB DAN DAMPAKNYA

 

Jonherz Stenlly Patalatu

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidkan

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Universitas Halmahera Tobelo

 

ABSTRAK

Bullying bukanlah sebuah fenomena baru. Bullying dapat terjadi setiap saat dan dialami oleh siapa saja terutama anak-anak. Bullying adalah perilaku negatif yang dilakukan secara terus menerus kepada seseorang yang dianggap lemah. Bullying merupakan sub-dimensi dari perilaku agresif. Sebagaimana halnya perilaku agresif, bullying juga diklasifikan kedalam dua jenis yaitu direct bullying dan indirect bullying. Beberapa penelitian menemukan bahwa bullying sangat berdampak pada kesehatan fisik, psikologis maupun kinerja akademik korban.

Kata kunci: Bullying, agresi, psikologis

 

PENDAHULUAN

Global School-based Student Health Survey (GSHS), atau survei kesehatan global berbasis sekolah mencatat bahwa pada tahun 2007 sekitar 40% murid berusia 13-15 tahun di Indonesia melaporkan telah diserang secara fisik selama 12 bulan terakhir di sekolah mereka. Setengah dari anak-anak yang disurvei melaporkan telah mengalami perundungan (bully) di sekolah, sementara 56% anak laki-laki dan 29% anak perempuan di institusi termasuk panti asuhan, pusat rehabilitasi, pesantren dan asrama serta tempat tahanan anak-anak melaporkan telah mengalami kekerasan fisik (kabar24.bisnis.com).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa sejak tahun 2011 hingga 2016 terdapat sekitar 23 ribu kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. Namun, khusus untuk bullying, tercatat ada sekitar 253 kasus. Jumlah tersebut terdiri dari 122 anak yang menjadi korban dan 131 anak yang menjadi pelaku (Cnnindonesia.com., akses 2017).

Bahkan pada tahun 2017 ini muncul kasus bullying yang menjadi sorotan seperti kasus yang terjadi pada salah satu mahasiswa di sebuah Universitas di Indonesia. Serta kasus bullying yang dilakukan anak Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Kejadian tersebut terjadi di Thamrim City, dalam video yang viral di media sosial tampak sekelompok siswa dan siswi mengenakan seragam sekolah SMP yang sedang membully seorang siswi (style.tribunnews.com)

Data di atas menunjukkan bahwa bullying merupakan permasalahan yang serius. Volk, Dane, dan Marini (2014) berpendapat bahwa bullying merupakan sebuah fenomena kompleks yang menimpa ratusan atau bahkan ribuan orang setiap tahunnya. Pendapat Volk, et al mengindikasikan bahwa setiap anak bisa saja menjadi pelaku atau korban dari kasus bullying.

BULLYING SEBAGAI PERILAKU AGRESI

Susanti (dalam Halimah, Khumas, & Zainuddin, 2015) menyampaikan bahwa bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang lain yang lebih lemah. Selanjutnya Olweus (dalam Murphy dan Banas, 2009) menjelaskan bahwa individu yang menjadi korban bully (di-bully) ketika ia mengalami perlakuan negatif secara berulang-ulang oleh seseorang atau beberapa orang. Dalam hal ini pelaku bullying secara sengaja berusaha untuk menyakiti korban baik secara emosional maupun fisik. Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa bullying melibatkan beberapa hal seperti perilaku yang diarahkan bersifat negatif dan membuat korban merasa terganggu, perilaku tersebut dilakukan secara berulang-ulang pada korban, serta melibatkan kekuasaan artinya individu yang lemah dijadikan sebagai sasaran perilaku tersebut.

Koç (2006) dan Pişkin (2002) berpendapat bahwa Bullying merupakan subdimensi dari agresi. Demikian halnya dengan Volk, et al (2014) yang menyampaikan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang diarahkan kepada seseorang yang lemah. Afiah (2015) memberikan gambaran bahwa perilaku agresif berhubungan dengan kondisi mental dan emosi dan sering dihubungkan dengan perilaku bullying, pernyataan, kekuatan, perilaku melanggar, dan pemarah.

Agresi sendiri dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup yang terdorong untuk menghindari perilaku itu. Motif utama perilaku agresif bisa saja berupa keinginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif (Krahe, 2001).

Agresi diklasifikasikan dalam dua jenis yakni fisik dan verbal. Misalnya, tindakan fisik seperti memukul dan menendang, atau bersifat verbal, seperti kutukan atau bahkan ancaman. Pada agresi fisik, rangsangan atau stimulus yang diterima oleh korban adalah rasa sakit dan cedera, sedangkan dalam agresi verbal, stimulus yang dikirim ke korban dalam bentuk penolakan ataupun ancaman. Kedua jenis agresi tersebut dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Ketika agresi langsung (direct aggression) terjadi, agresor mudah diidentifikasi oleh korban. Sedangkan pada agresi tidak langsung (indirect aggression), agresor tidak mudah diidentifikasi oleh korban (Berkowitz, 1993; Baumeister & Bushman, 2011).

Seperti halnya agresi, Murphy dan Banas (2009) mengidentifikasikan bullying dalam dua jenis yakni direct bullying atau bullying yang dilakukan secara langsung, dan indirect bullying atau juga disebut relasional atau sosial bullying. Direct bullying dapat dilakukan secara verbal (seperti menghina, dan mengancam) dan fisik (mendorong, menyandung, menendang, dan perilaku merugikan lainnya yang dilakukan secara fisik). Sedangkan perilaku yang muncul dari indirect/relasional/sosial bullying adalah menjauhkan/mengasingkan seseorang dari kelompok, dan menyebarkan berita negatif tentang seseorang. Adapun bentuk lain dari sosial bullying yang berkaitan dengan internet yakni cyberbullying. Cyberbullying terjadi ketika individu diganggu, dihina, diancam, atau disiksa oleh seseorang melalui internet dan teknologi interaktif lainnya seperti telpon seluler.

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA BULLYING

Olweus (dalam Murphy dan Banas, 2009) mengidentifikasi tiga faktor penting terjadinya bullying, antara lain:

1.     Kebutuhan merasa kuat dan menguasai orang lain.

2.     Pengalaman buruk yang dialami pelaku di rumah akan mengarahkan pelaku untuk menyakiti orang lain.

3.     Ada keuntungan besar yang diperoleh ketika mengambil milik seseorang atau menyuruh seseorang melakukan sesuatu.

Disamping ketiga faktor tersebut, penelitian menemukan bahwa munculnya perilaku bullying dipicu oleh faktor lain, seperti:

1.     Kurangnya empati

Smith dan Thompson (dalam Jollife & Farrington, 2006) menyatakan bahwa anak yang melakukan perundungan (bullying) kemungkinan kurang memiliki empati untuk merasakan perasaan orang lain dalam hal ini adalah korban.

Jollife dan Farrington (2006) melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara low empathy dan bullying. Penelitian ini dilakukan pada 376 subjek laki-laki dan 344 subjek perempuan, yang berusia sekitar 15 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa skor empati yang rendah berhubungan dengan violent bullying pada subjek laki-laki dan indirect bullying pada subjek perempuan. Selanjutnya subjek laki-laki yang melakukan bullying memiliki skor empati yang rendah dibandingkan dengan subjek laki-laki yang tidak melakukan bullying.

Ivey (dalam Saam, 2014) menggambarkan empati sebagai melihat dunia melalui mata orang lain, mendengar seperti orang lain mendengar, merasakan dan menghayati dunia internal mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki rasa empati yang tinggi tidak akan melakukan bullying sebab ia akan mampu merasakan atau memahami dunia orang lain menurut sudut pandang orang tersebut.

2.     Pengaruh bystander

Penelitian yang dilakukan oleh Halimah, et (2015) menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi pada bystander, maka semakin intens siswa melakukan bullying di sekolah. Sebaliknya, semakin rendah persepsi pada bystander maka semakin rendah intensitas bullying siswa di SMP. Menurut Halimah, et al (2015) Terulangnya perilaku bullying di sekolah disebabkan kurangnya kepedulian moral dari bystander untuk membantu korban. Hansen (dalam Halimah, et al., 2015) mengemukakan bahwa perilaku bullying seringkali bergantung pada reaksi pengamat (bystander) yaitu pengamat yang pasif atau pengamat yang mendukung dengan menyoraki. Pelaku bullying kadang tidak menyadari motivasi ini namun menikmati perhatian dan rasa berkuasa tersebut.

3.     Ekspose terhadap konflik

Bandura (dalam, Snethen & Van Puymbroeck, 2008) melalui social learning theory mengemukakan individu belajar perilaku dari tiga sumber pemodelan: yakni, pemodelan langsung (misalnya, keluarga, teman sebaya, dan orang-orang terdekat), masyarakat (misalnya, kota atau lingkungan), dan media (misalnya, berita, televisi, atau internet). Lebih lanjut Bandura menyatakan bahwa modeling memainkan peran utama dalam pembelajaran agresi oleh seseorang. Pengamatan tidak hanya memungkinkan individu untuk mempelajari perilaku yang dimodelkan, tetapi juga memperluas perilaku yang diamati tersebut serta mengembangkannya (dalam, Snethen & Van Puymbroeck, 2008)

Berdasarkan pandangan Bandura tersebut maka jelas bahwa ekpose terhadap kekerasan memberikan dampak terhadap perilaku anak. Anak yang terbiasa melihat, mendengar atau bahkan mengalami kekerasan cenderung akan mengimitasi perilaku serupa. Bandura, Ross dan Ross pada tahun 1961 melakukan ekperimen terhadap anak-anak dimana mereka dipertontonkan beberapa perilaku oleh model, hasilnya menunjukkan bahwa perilaku tertentu seperti kekerasan, bisa dipelajari melalui proses observasi dan imitasi tanpa penguatan yang disediakan baik model atau pengamat (Patalatu, 2016).

Penelitian oleh Bauer, Herrenkohl, Lazano, Rivera, Hill dan Hawkins (2006) tentang Childhood Bullying Involvement and Exposure to Intimate Partner Violence, hasil penelitian tersebut menemukan bahwa anak-anak yang terpapar kekerasan dalam keluarga yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menginternalisasi perilaku tersebut dan melakukan agresi fisik.

Kennedy, Bolger dan Shrout (2002) mengungkapkan bahwa dalam konflik perkawinan, ayah yang agresif akan menampilkan model perilaku dan kontrol emosi yang buruk bagi anak laki-laki. Akibatnya, ada kemungkinan anak-anak tersebut menginternalisasi gagasan bahwa orang-orang bereaksi terhadap konflik perkawinan dengan kemarahan dan agresi. Anak laki-laki yang ayahnya agresif cenderung kurang mampu mengatur kemarahan mereka atau mereka mungkin tidak menyadari adanya alternatif lain untuk melampiaskan kemarahan. Kennedy et al. (2002) juga mengemukakan bahwa dengan menyaksikan ibunya menjadi korban agresi, anak laki-laki akan menanggap bahwa agresi terhadap orang lain adalah normal.

DAMPAK PERILAKU BULLYING

Bullying jika dibiarkan begitu saja tentu akan memberikan dampak negatif bagi korban. Rigby (1999) mengemukakan bahwa anak yang menjadi korban bullying merasa mengalami beberapa gangguan psikologis, seperti gugup, cemas, kurang tidur, takut, tidak mau melakukan apapun, membenci sekolah dan merasa stres setiap pagi ketika harus ke sekolah. Adapun secara fisik akan terlihat anak mengeluh sakit di bagian tertentu seperti di kepala, lutut, kaki, atau bahu. Bahkan bisa sampai demam dan muntah

Kowalsky, Limber dan Agatston (2008) mengemukakan bahwa beberapa penelitian (seperti; Craig, 1998; Fekkes, Pijpers, & Verloove-Van-Horick, 2004; Juvonen, Graham, & Schuster, 2003; Olweus, 1978; Hodges & Perry, 1996; Kumpulainen, Raasnen, & Puura, 2001; Olweus, 1978; Rigby & Slee, 1993; Eagan & Perry, 1998; Hawker & Boulton, 2000; Hodges & Perry, 1996; Olweus, 1978; Rigby & Slee, 1993) menunjukkan bahwa bullying secara serius berdampak pada kesehatan mental seperti lebih gelisah, depresi, dan berkurangnya harga diri. Selain berdampak pada kesehatan mental/psikologi, bullying juga berdampak pada kesehatan fisik dan kinerja akademik korban.

Dampak secara fisik berdasarkan hasil penelitian Fekkes, et al (2004) yaitu bahwa anak-anak yang di-bully kira-kira tiga kali lebih mungkin mengalami sakit kepala, dan merasa lesu. Mereka juga lebih mungkin mengalami masalah tidur, sakit perut, merasa tegang, lelah, dan berkurangnya napsu makan.

Secara akademik, anak-anak yang menjadi korban bullying di sekolah, memiliki kemungkinan untuk menghindari sekolah (Kochenderfer & Ladd, 1996, dalam Kowalsky, et al., 2008) dan memiliki tingkat absensi/ketidakhadiran yang lebih tinggi (Rigby, 1996; Smith, Talamelli, Cowie, Naylor, & Chauhan, 2004, dalam Kowalsky, et al., 2008). Mereka cenderung mengatakan bahwa mereka tidak menyukai sekolah, dan para guru merasa bahwa anak-anak tersebut kurang bahagia dibandingkan rekan sebayanya yang tidak mengalami bullying

PENUTUP

Bullying merupakan perilaku yang diarahkan secara terus menerus dengan tujuan untuk menyakiti korban yang dianggap lebih lemah. Bullying merupakan bagian atau subdimensi dari perilaku agresi. Bullying diklasifikasikan dalam dua jenis yakni direct bullying atau bullying yang dilakukan secara langsung, dan indirect bullying atau juga disebut relasional atau sosial bullying.

Secara umum, berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa perilaku bullying sangat berdampak pada kesehatan mental/psikologis, fisik dan juga menurunnya kinerja akademik dari korban.

DAFTAR PUSTAKA

Afiah, N. (2015). Kepribadian dan agresivitas dalam berbagai budaya. Bluletin Psikologi. Vol 23 (1), 13 – 21.

Baumeister, R. F., & Bushman, B. J. (2011). Social psychology and human nature. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Berkowitz, L. (1993). Aggression; its causes, consequences, and control. United Stated: McGraw-Hill.

Halimah, A., Khumas, A., Zainuddin, K. (2015). Persepsi pada bystander terhadap intensitas bullying pada siswa SMP. Jurnal Psikologi, 42 (2), 129 -140

Http://kabar24.bisnis.com/read/20150226/19/406778/pbb-40-anak-indonesia-jadi-korban-bully-di-sekolah. Akses tanggal 25 Agustus 2017.

Https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170722163858-277-229641/semakin-banyak-yang-melaporkan-kasus-bullying/. Akses tanggal 27 Agustus 2017.

Fekkes, M., Pijpers, F. I. M., & Verloove-VanHorick, S. P. (2004). Bullying behavior and associations with psychosomatic complaints and depression in victims. Journal of Pediatrics, 144, 17–22.

Jollife, D., & Farrington, D. P. (2006). Examining the relationship between low empathy and bullying. Aggressive Behavior, 32, 540 – 550.

Kennedy, J. K., Bolger, N., & Shrout, P. E. (2002). Witnessing interpersonal psychological aggression in childhood: implications for daily conflict in adult intimate relationships. Journal of Personality, 70(6), 1051–1077.

Koç, Z. (2006). Predicting bullying among high school students (Unpublished Doctoral Dissertation). Gazi University, Istanbul.

Kowalski, R. M., Limber, S. P., & Agatson, P. W. (2008). Cyber bullying: bullying in the digital age. Blackwell: USA.

Krahe,   B. (2001). The social psychology of aggression. East Sussex: Psychology Press.

Murphy, M. M., & Banas, S. L. (2009). Character education: dealing with bullying. New York: Chelsea House Publisher.

Patalatu, J. S. (2015). Agresivitas sebagai dampak jangka panjang ekpose terhadap konflik. (tesis tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

PiÅŸkin, M. (2002). School bullying: definition, types, related factors, and strategies to prevent bullying problems, Educational Sciences: Theory & Practice, 2 (2), 531-562.

Rigby, K. (1999). What harm does bullying do?. Paper presented at the children and crime: Victims and offenders conference convened by the Aus-tralian institute of criminology and held in Brisbane.

Saam, Z. (2014). Psikologi konseling. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Smith, P. K., & Thompson D. (1991). Dealing with bully/victim problems in the UK. In: Smith PK, Thompson D (eds): Practical Approaches to Bullying. London: David Fulton, pp1–12.

Snethen, G., & Van Puymbroeck. (2008). Girls and physical aggression: Causes, trends, and intervention guided by Social Learning Theory. Aggression and Violent Behavior, 13. 346–354.

Volk, A. A., Camilleri, J. A., Dane, A. V. & Marini, Z. A. (2012). Is adolescent bullying an evolutionary adaptation?. Aggressıve Behaviour, 38, 222–238.