ETIKA PROFESI GURU BERDASARKAN HAK DAN KEWAJIBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 74 TAHUN 2008

(Dalam Perspektif Sejarah Pendidikan)

Franciscus Xaverius Wartoyo

Dosen STKIP PGRI Sidoarjo

ABSTRAK

Dalam undang-undang No. 74/2008 tentang guru sebagai landasan yuridis perlindungan hukum dan kesejahteraan guru. Profesi guru memiliki konsekuensi yang erat diemban, bukan saja kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, melainkan juga melekat apa yang disebut sebagai kaum intelektual atau komunitas professional, terpelajar. Dalam undang-undang no 74 tahun 2008 pasal 39 disebutkan guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.

PENDAHULUAN

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia dari awal kemerdekaan sampai reformasi mengalami fenomena khususnya bagi guru seringkali berhadapan dengan masalah hukum yang berkaitan dengan pendisiplinan anak. Ada perbedaan persepsi dan etika antara orang tua, siswa, dan sekolah, sehingga perlu ada undang-undang yang mengatur antara orang tua, dan sekolah khususnya yang menyangkut pendisiplinan siswa.

Etika bukanlah untuk memberi pedoman melainkan untuk tahu. Etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat kebenaran. Dasar tidak-tahu ini bukanlah merupakan skepsis, melainkan keyakinan, supaya jangan sampai ia mengatakan sebelumnya, bahwa ia telah tahu, tetapi sebenarnya belum tahu. Manusia dapat tahu, daripada itu mencari kepuasan dalam tahu[1].

Peranan guru sangat penting sekali untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlak mulia. Kita sadari, bahwa peran guru sampai saat ini masih eksis, sebab sampai kapanpun posisi atau peran guru tersebut tidak akan bisa digantikan sekalipun dengan mesin sehebat apapun, karena guru sebagai seorang pendidik juga membina sikap mental yang menyangkut aspek-aspek manusiawi dengan karakteristik yang beragam dalam arti berbeda antara satu siswa dengan lainnya.

Banyak pengorbanan dan perjuangan yang telah diberikan oleh seorang guru semata-mata ingin melihat anak didiknya bisa berhasil dan sukses kelak. Namun, sesuai dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, sepertinya banyak membawa dampak yang mengakibatkan munculnya permasalahan baru dalam bidang pendidikan yang tidak lagi dapat menerapkan etika dan moral secara baik.

Permasalahan pendidikan kian hari kian marak macam serta motif permasalahannya. Seperti kasus seorang guru yang melakukan pencubitan terhadap siswanya. Dalam dunia pendidikan terjadi perubahan paradigma antara orang tua, guru, dan siswa. Sebelum ada reformasi pendidikan tidak pernah terjadi kekerasan ataupun pelecehan yang melibatkan guru sampai dituntut di depan pengadilan. Hal ini disebabkan oleh paradigma dan perkembangan teknologi, disisi lain guru sejahtera karena adanya sertifikasi. Tapi tidak bisa dipungkiri dengan adanya kesejahteraan guru yang semakin meningkat, ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif. Contohnya yang negatif adanya pelecehan seksual terhadap siswa, kalau hal semacam terjadi menurut saya harus diproses secara hukum, sebaliknya ketika guru misalnya mendidik dan memberikan sanksi memarahi, kepada siswa yang merokok, rambut gondrong, tidak rapi dalam berpakaian hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai tindakan pidana.di indonesia memang paradigma pendidikan baru mengalami pertentangan disisi lain pemerintah baru menggalakan undang undang perlindungan kekerasan terhadap anak. Direktur Eksekutif Institute for Education Reform meminta guru, siswa, dan orang tua mengubah paradigma tentang dunia pendidikan, yaitu dengan tidak memperkenankan segala bentuk tindak kekerasan dalam dunia pendidikan (Solopos, 13 Agustus 2016).

Menurut Mahkamah Agung (MA), bahwa guru tidak bisa dipidana saat mendisiplinkan siswa karena menjalankan profesi (Solopos, 13 Agustus 2016). Meskipun begitu, pendisiplinan siswa dengan cara kekerasan dan alasan apapun tidak dibenarkan. Hal ini bahwa guru dalam rangka mendidik asalkan tidak mengancam keselamatan jiwa siswa ataupun moral siswa saya setuju bahwa guru tidak bisa dipidanakan dalam mendisiplinkan siswa, disisi lain perlu juga dibuat undang-undang terhadap hak dan kewajiban orang tua supaya orang tua juga memahami tentang proses pendidikan. Sejauh yang saya ketahui undang-undang yang menyangkut orang tua dalam proses pendidikan masih sangat minim, maka dalam hal mendidik khususnya pendisiplinan seringkali terjadi perbedaan persepsi yang ujung-ujungnya dalam era reformasi banyak guru yang dituntut ke pengadilan karena terjadi kesalahan persepsi dalam proses mendidik mendisiplinkan anak.

Adapun permasalahan yang diungkap dalam tulisan ini, bagaimana peran undang-undang perlindungan guru dalam melindungi guru yang terkena sanksi sebagaimana peristiwa tersebut di atas?

PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN GURU

Perlindungan terhadap profesi guru tercantum dalam PP No. 74/2008. Dalam Pasal 41 disebutkan, ”Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain”.

Apabila dilihat dari peraturan pemerintah tentang perlindungan terhadap profesi guru memang belum dipahami oleh semua guru. Hal tersebut nampak dari wawancara beberapa guru yang saya ambil sampling ternyata banyak guru selama ini belum memahami tentang undang-undang perlindungan terhadap guru, seharusnya pemerintah mengadakan sosialisasi atau diklat yang berkaitan dengan perlindungan guru serta perlu ditambah aturan yang jelas definisi kekerasan terhada siswa bisa dibuat perda atau perpu supaya setiap daerah punya pedoman dan dasar dalam mendidik siswa sehingga dunia pendidikan tidak lagi diwarnai tuntut menuntut di pengadilan karena tujuan pendidikan berdasarkan pembukaan undang-undang dasar 1945 disebutkan jelas yang tertuang dalam pasal 31 mencerdaskan kehidupan bangsa bagi semua warga negara Indonesia.

Dengan demikian, untuk mempertegas dan memperjelas hak dan kewajiban guru dalam dunia pendidikan perlu adanya pasal-pasal tindakan mana yang dikatakan kekerasan dan tidak. Karena seiring dengan perlindungan kekerasan terhadap anak yang digalakkan pemerintah harus dipertegas jangan sampai tumpang tindih terjadi persepsi kekerasan antara dunia pendidikan dan kekerasan terhadap anak.

PEMBAHASAN

Penilaian baik-buruk mengenai tindakan seseorang memang kerapkali dilakukan oleh orang lain, misalnya hakim, pendidik dan tetangga. Dalam hal ini yang dimaksud dengan penilaian obyektif, terutama dalam ilmu atau etika, ialah jika penilaian itu dengan mempertimbangkan seluruh situasi dari orang betindak: kondisi fisik, psikologis, pendidikan dan sebagainya, pendeknya yang mempengaruhi adanya tindakan itu. Pada prakteknya ini tidak mungkin, walupun oleh hakim dicoba sebaik-baiknya untuk mencapai putusan yang objektif, tetapi sebetulnya hanya dapat dikatakan, bahwa hakim berusaha menilai tindakan seseorang seobyektif mungkin, supaya putusannya juga dapat seadil-adilnya.

Oleh guru untuk mendidik siswa menjadi baik, setiap orang memiliki cara tersendiri yang seringkali perspektif orang tua, siswa, dan guru mempunyai sudut pandang yang berbeda. Hal itu nampak di era-era reformasi khususnya pada bulan Juni-Juli 2016 banyak oknum guru yang diajukan ke pengadilan dikarenakan penuduhan tindakan kekerasan yang seolah-olah guru dituduh sebagai perilaku kekerasan terhadap siswa. Menurut saya, guru dengan alasan apapun melakukan tindakan yang sampai membuat seseorang cidera adalah perbuatan salah yang seharusnya guru dalam mendidik siswa bersikap lebih arif dan bijaksana dan menghindari kekerasan, walaupun seringkali motivasi guru tidak seperti itu, misalnya guru mencubit, guru menampar. Dilihat dari motivasinya dari beberapa hasil wawancara, tujuannya baik. Tidak melanggar etika tetapi orang tua punya persepsi yang berbeda sehingga mempunyai makna dan arti yang berbeda. Jika kita lihat secara hukum perbuatan yang dikatakan pidana apabila membuat seseorang cacat, mengancam jiwanya, dan punya motivasi ingin membunuh atau mencederai. Kalau guru menampar, mencubit, dilihat motivasinya guru hanya ingin mendidik siswanya menjadi baik. Hal itu terbukti dari beberapa hasil wawancara dan sidang kasus yang dilaporkan alasan kekerasan terhadap siswa seringkali ditolak oleh majelis hukum.

Kalau saya memberikan masukan kepada para guru di era sekarang lebih baik mendidik dengan pendekatan humanis. Artinya, menghindarkan segala kekerasan dalam tanda petik jangan sampai menyentuh pada fisik anak. Lebih baik menggunakan hukuman yang cenderung mendidik. Misalnya nilai akhir atau aspek afektif yang diberi nilai dengan rendah. Daripada memberikan hukuman yang membuat persepsi berbeda.

Sebagai bentuk realisasi tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dari para guru, ada beberapa bentuk kesejahteraan yang harus diberikan oleh pemerintah yaitu antara lain:

a. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial

Seperti yang dijelaskan di dalam Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pada pasal 15 ayat 2 dan 3 yaitu, pada pasal 2 “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan” [2], sedangkan pada pasal 3 “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”[3]. Selain memperoleh kesejahteraan berupa gaji, maka seorang guru juga mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan terhadap kesejahteraan sosialnya.

b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja

Kesejahteraan lainnya yang harus diberikan oleh pemerintah atau lembaga yang terkait yaitu salah satunya memberikan promosi dan penghargaan kepada guru sesuai dengan tugas dan prestasi kerja yang dicapai oleh guru tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya,guru berhak mendapatkan promosi, promosi menurut PP RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru adalah “Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kenaikan pangkat dan/atau kenaikan jenjang jabatan fungsional” .[4]

Promosi diperoleh oleh guru berdasarkan pada tugas dan prestasi kerja dari guru tersebut. Seperti bidang pekerjaan yang lain, seseorang akan mendapatkan penghargaan ketika mencapai prestasi tertentu, seorang guru juga mempunyai hak untuk mendapatkan penghargaan sesuai dengan prestasi kerja yang diraihnya.

Sedangkan bentuk penghargaan yang diberikan kepada guru yang berprestasi tersebut ada beberapa macam diantaranya yaitu, “Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat prestasi kerja luar biasa baiknya, kenaikan jabatan, uang atau barang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain” [5], di tambahkan lagi dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pada pasal 37 ayat (1) yaitu, “Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan”. [6]

c. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual.

Seorang guru juga merupakan warganegara Indonesia yang mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas-tugasnya, seperti yang dituliskan dalam PP RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru pada pasal 41 ayat (1) yaitu:

Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.[7]

Ia juga harus diperlakukan adil tanpa dibeda-bedakan dengan warganegara Indonesia yang lain. Apabila guru tersebut melakukan suatu kesalahan maka guru tersebut juga harus mendapatkan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang telah ia lakukan.

Profesi seorang guru harus dihormati dan memperoleh imbalan yang sesuai dengan profesionalismenya. Guru yang professional menjadikan pendidikan atau proses pembelajaran yang berkualitas, sehingga akan menghasilkan peserta didik yang berkualitas juga. Oleh karena itu selain tuntutan untuk pemenuhan kesejahteraan, para guru juga selayaknya membekali diri dengan berbagai kemampuan seperti meningkatkan kualifikasi akademik, mengikuti pendidikan dan pelatihan-pelatihan, mendapatkan prestasi akademik, ikut serta dalam forum-forum ilmiah, dan lain sebagainya. Sehingga dengan adanya peningkatan profesionalisme guru tersebut maka akan meningkatkan juga kesejahteraan dari para guru tersebut, seperti yang dituliskan oleh Martinis Yamin dalam bukunya Sertifikasi profesi Keguruan di Indonesia, yaitu “guru dibutuhkan skill, keterampilan, dan kreatifitas mengajar di sekolah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya”.[8]

Demikian pula halnya dalam pengembangan profesi, semakin berkembang kemampuan seorang guru dengan mengikuti diklat-diklat dan pelatihan-pelatihan sehingga nantinya akan meningkatkan prestasi-prestasi akademiknya serta dapat menerbitkan karya-karya ilmiahnya yang nantinya akan mendukung terpenuhinya kesejahteraan dari dirinya.

Begitu juga halnya dalam mendukung profesi, dengan keikutsertaannya dalam berbagai forum ilmiah, pengalamannya dalam organisasi-organisasi kependidikan dan sosial serta mendapatkan penghargaan dalam bidang pendidikan akan lebih meningkatkan kompetensi seorang guru serta memupuk rasa percaya diri dari dirinya yang nantinya kesejahteraan dari dirinya akan semakin terpenuhi.

KESIMPULAN

Guru adalah profesi yang dilindungi oleh undang-undang, maka dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman dan mengacu aturan-aturan yang sesuai dengan profesionalisme guru. Artinya, model pembelajaran, cara mendidik anak, cara menilai berbeda tiap jiwa zaman yang ada. Karena peserta didik, secara kualitas dalam menanggapi tujuan pendidikan juga berbeda. Artinya guru harus siap menyesuaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi tersebut, dalam praktiknya merupakan kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan agar terwujud guru yang profesional, khususnya dalam pemahaman terhadap karakteristik peserta didik serta penguasaan dari sisi keilmuan dan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik serta mau mengembangkan profesionalitas dan kepribadian yang berkelanjutan mengikuti tuntutan dunia pendidikan[9].

Profesi seorang guru harus dihormati dan memperoleh imbalan yang sesuai dengan profesionalismenya. Guru yang professional menjadikan pendidikan atau proses pembelajaran yang berkualitas, sehingga akan menghasilkan peserta didik yang berkualitas juga. Oleh karena itu selain tuntutan untuk pemenuhan kesejahteraan, para guru juga selayaknya membekali diri dengan berbagai kemampuan seperti meningkatkan kualifikasi akademik, mengikuti pendidikan dan pelatihan-pelatihan, mendapatkan prestasi akademik, ikut serta dalam forum-forum ilmiah, dan lain sebagainya. Disamping itu, pemerintah segera membuat undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban orang tua dalam proses mendidik kedisiplinan anak di sekolah agar terjadi persamaan persepsi antara sekolah, dan orang tua.

Guru dalam menjalankan tugasnya berhak mendapatkan perlindungan hukum, berdasarkan hak dan kewajibannya. Sehingga dikemudian hari tidak terjadi tuntutan secara hukum atas tindakan sanksi guru pada siswa yang dianggap melakukan kesalahan pada saat menjalankan tugasnya sebagai guru di sekolah.

Profesionalisme seorang guru secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu: Profesionalisme guru di bidang kualifikasi dan tugas pokok, profesionalisme guru di bidang pengembangan profesi dan profesionalisme guru di bidang pendukung profesi. Dengan pemantapan kualifikasi dan tugas pokok seorang guru, diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dari para guru tersebut karena dengan bertambahnya pengetahuan-pengetahuan mereka tentang pendidikan dan pembelajaran sehingga nanntinya akan lebih terpenuhi juga kesejahteraan dari guru tersebut.

DAFTAR BACAAN

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004).

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005).

Syaiful Sagala, Kemampuan Profesionalisme Guru dan Tenaga Kependidikan, (Bandung: alfabeta, 2009).

Udin Syaefudin Saud, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2009).

Dewinofrita, ”Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Melalui Supervisi Pendidikan”, Jabal Hikmah Jurnal Kependidikan dan Hukum Islam, Vol.2, Jayapura, 2009.

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, hal. 139.

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

Sudarwan Danim, dan Khairil, Profesi Kependidikan, (Alfabeta, Bandung, 2010).

Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Bina Aksara, Jakarta, 1986).

Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 95.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

Ali Rohmad, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta Pusat: Bina Ilmu, 2004), hal. 44.

Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press), hal. 69.

 


[1] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Bina Aksara, Jakarta,1986), hal. 7

[2] Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

[3] Ibid…

[4] Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

[5] Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

[6] Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

[7] Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2005 Tentang Guru

[8] Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press), hal. 69.

[9] Sudarwan Danim, dan Khairil, Profesi Pendidikan (Alfabeta, Bandung, 2010), hal. 34.