EUFEMISME DALAM BAHASA INDONESIA MODERN

 

Supriyono

Lektor Kepala FKIP Universitas Terbuka UPBJJ Purwokerto

 

ABSTRAK

Dalam proses komunikasi dalam Bahasa Indonesia modern, mungkin terjadi kesalahpahaman. Pemikiran tersebut disebabkan oleh adanya simbol-simbol yang bersifat arbitrer atau manasuka. Fenomena alami dalam penggunaan bahasa Indonesia modern berlangsung terus dari waktu ke waktu. Gangguan komunikasi terjadi karena kelemahan-kelemahan bahasa atau adanya pergeseran makna.Berbagai alasan munculnya eufemisme modern dapat dijelaskan melalui tinjauan semantic yang terdapat perbedaan pandangan.Perbedaan tersebut meliputi pandangan yang mendukung adanya sinonim mutlak dan pandangan yang menolak.Ada fenomena dalam berbudaya berbahasa Indonesia yang enggan memakai kata-kata secara tegas menyatakan sesuatu.Pada kenyataannya menggunakan istilah yang amat mutlak, sehingga istilah tersebut berkonotasi halus.Di samping itu, ada bentuk manipulasi yang diterima dan tertolak dalam kajian semantic. Kajian ini terdapat masalah kekaburan makna dan dinyatakan bahwa sesuatu ungkapan atau istilah dikatakan kabur/tidak jelas jika tidak dapat memberikan jawaban yang pasti atau definitif terhadap suatu istilah atau ungkapan tersebut, sehingga tidak dapat diketahui untuk apa istilah itu digunakan atau dipakai.

Kata Kunci: Eufemisme, Bahasa Indonesia, Modern

 

PENDAHULUAN

Bahasa sebagai alat komunikasi antar manusia berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Pada proses perkembangan timbul pergeseran dan penambahan fungsi bahasa yang semula berfungsi komunikatif bertambah fungsinya menjadi manipulatif. Kelemahan bahasa bukan tertuju pada entitas melainkan kelemahan bahasa tersebut melihat pada pemakainya atau penuturnya.

Sejalan dengan hakikat bahasa, makna unsur bahasa merupakan salah satu unsur yang memiliki potensi untuk berubah. Bahkan dapat dikatakan bahwa makna itu merupakan unsur yang paling mudah dapat berubah.Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perubahan makna.Salah satu di antaranya adalah kondisi psikologis penutur. Kondisi yang menonjol adalah penghindaran terhadap kata-kata yang fulgar, tabu, merendahkan martabat orang lain, terutama komunikasi di muka umum. Solusinya adalah digunakan eufemisme untuk mengurangi makna yang kurang enak tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, eufemisme tidak hanya berfungsi ungkapan pelembut, tetapi cenderung berfungsi mengaburkan makna. Misalnya, pemakaian bahasa Indonesia modern di bidang politik dan pemerintahan. Tulisan ini berpijak pada penafsiran terhadap sebuah fenomena berbahasa yang relatif baru dalam masyarakat Indonesia.

 

HAKIKAT EUFEMISME

Berbagai pendapat para ahli dapat dijadikan rujukan tentang eufemisme.Kleden (1987:251) menyatakan bahwa eufemisme merupakan pemahaman sebuah ungkapan yang lembut, samar atau berputar-putar untuk mengganti suatu presisi yang kasar atau suatu kebenaran yang kurang enak.

Secara etimologi, kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemism yang berarti berbicara baik. Eufemisme juga berarti elegan, halus, lemah lembut, meletakkan rapi dan baik yang dinyatakan. Ini dipakai untuk menyebut sesuatu yang dirasakan mengganggu atau tidak enak, agar terdengar lebih enak atau menjadi yang sebenarnya. Caranya adalah dengan mengganti kata-kata yang memiliki konotasi ofensif dengan ungkapan lain yang menyembunyikan kata yang tidak enak tersebut, dan bahkan menjadi sebutan yang sifatnya positif.

Eufemisme juga merupakan sebuah gaya bahasa yang berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang haus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 1996:132). Jadi, eufemisme terjadi karena adanya keinginan dari pengguna bahasa untuk merekayasa asosiasi, makna yang enak didengar dari kata yang memiliki asosiasi yang tidak dikehendaki.

KELEMAHAN BAHASA

Beberapa kelemahan bahasa yang perlu dikemukakan adalah:

a.     Kebanyakan orang menganggap bahwa setiap kata atau ungkapan itu mengacu pada suatu benda atau objek tertentu. Dalam kenyataan tidak setiap kata atau ungkapan memiliki acuan. Atau dengan kata lain dengan sebuah kata seakan-­akan ditunjuk suatu benda atau objek atau seseorang yang mempunyai identitas yang pasti, konkret dan permanen, padahal yang ditunjuk hanyalah: a single quasi-permanent entity. which, though untrue, is convehient in daily life (Kleden, 1987:256).

b.     Ada anggapan bahwa setiap ide yang akan diungkapkan oleh pemakai bahasa itu ada kata atau istilah yang tersedia. Padahal dalam kehidupan sehari-hari terdapat istilah atau ungkapan yang tidak ditimbulkan oleh ide apapun. misalnya kata-kata seperti yang, dan,juga, (kata-kata semacam itu disebutsyncategorimatic).

c.     Manusia dapat memanipulasi arti kata atau ungkapan bahasa untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau dikenal dengan istilah erosi arti kata , atau selanjutnyaberkembang menjadi EUFEMISME (Gunawan Muhammad kurang sependapat: eufemisme bukan erosi arti kata karena masih merujuk pada konsep awalnya).

d.     Bahasa mempunyai kecenderungan emosional, termasuk dalam ragam ilmiah sekalipun (Mustansyir, 1988:41-42).

EUFEMISME DALAM BAHASA INDONESIA MODERN

Dalam tulisan ini kata-kata atau fraseyang termasuk dalam eufemisme akan diarahkan pada perkembangan terakhir pemakaian kata-kata diperhalus yang sudah keluarkonteks, melampaui batas, mungkin telah menjadi TIRANI di kepala kita (Majalah “UMAT” Juli, 1998).

Kata-kata yang seolah-olah dihaluskan maknanya, tetapi kebanyakan orang mengetahui bahwa ada sesuatu. Yang disembu­nyikan di balik kata-kata tersebut yang berbeda dengan apa yang diungkapkan. Kata diamankan dalam “Beberapa aktivis mahasiswa telah diamankan pihak berwajib” tidak lain maknanya adalah ditangkap. diculik (di dalamnya terdapat pemaksaan), bukan membuat aman atau melindungi seseorang sesuai dengan yang diungkapkan diamankan. Perhatikan juga kata-kata (frase):

diperiksa                                       = diinterogasi

pejabat bermasalah                        = koruptor

disukabumikan                               = dibunuh

penyesuaian harga                         = kenaikan harga

kurang pangan                               = kelaparan

prasejahtera                                  = miskin

Eufemisme yang sudah mengalami erosi arti ini dapat ditelusuri dengan membandingkan konsep eufemisme sebelum terjadi erosi kata.

a.     Pelacur

Kata pelacur dihaluskan menjadi P, Wanita Tuna Susila, Wanita Harapan.Pramunikmat. Berdasar pada Prinsip Kekaburan (vaquness),istilah yang dipakai untuk menghaluskan makna pelacur belum bisa dijelaskan secara tepat. P; banyak hal yang mengacu pada singkatan P. Apakah pelacur itu benar-benar tidak punya susila ? Apakah setiap yang tidak punya susila itu pelacur? Apakah pelacur itu wanita yang diharapkan semua orang (lelaki)?Apakah setiapwanita yang diharapkan itu pelacur?

Benarkah pelacur memberikan kenikmatan-kenikmatan yang mana? Apakah semua yang memberi nikmat itu pelacur? Tetapi eufemisme yang digunakan untuk mengganti kata pelacur ini masih dapat dimengerti (walau istilah itu tidak mutlak mewakili) karena pertimbangan moral.Secara umum wanita tidak punya niat untuk memilih profesi sebagai pelacur. Karena itu sangat beralasan bila masyarakat memberi nama lain dengan nilai rasa yang lebih ‘baik’.

b.     Bodoh

Seorang guru dalam percakapan terbuka jarang menggunakan kata bodoh untuk siswanya sendiri, baik di hadapan siswanya maupun di hadapan orang tuanya.Siswa yang bodoh dikatakan “kurang pandai, kurangbelajarnya, agak terlambat berpikir.”

c.     Dan istilah-istilah lain seperti diot= terbelakang mental,           kencing=buang air kecil, ke kamar kecil.

Contoh-contoh eufemisme yang belum mengalami erosi arti itu bisa dijelaskanbahwaorang, konsep atau apapun yang masih bisa diucapkan dengan kata yang lebih sopan, halus – yang dimaksud dalam eufemisme tersebut pantas untuk mendapat perlindungan makna karena pertimbangan moral sebagai manusia yang beradab, selain tujuan-tujuan positif yang ingin dicapai.Misalnya anak yang bodoh dikatakan ‘kurang belajar’, kurang pandai. Besar kemungkinan anak yang dimaksud termotivasi untuk giat belajar daripada apabila dia dikatakan bodoh.

Orang yang mengalami cacat mental, idiot, gila dsb. yang mereka memang tidak punya pilihan untuk tidak demikian, secara kemanusiaan sangat pantas untuk dilindungi paling tidak dari sudut bahasa yang baik.

Bagaimana dengan eufemisme bahasa Indonesia terkini? Apakah dapat diterima (walau dengan alasan kemanusiaan sekalipun) kata koruptor yang dalam kenyataannya sebagai penjahat berdasi tetapi sebenarnya dampak kejahatannya hampir menyentuh seluruh lapisan masyarakat dihaluskan penyebutannya dengan pejabat bermasalah?

Bagaimana pula dengan kepentingan (nasib) rakyat yang seharusnya mendapat perlindungan.Kata-kata diperiksa,diamankan, disukabumikanadalah kata-kata yang sangat populer dan sekaligus menakutkan akhir-akhir ini.

BEBERAPA ALASAN MUNCULNYA EUFEMISME MODERN

Dari sudut semantik terdapat perbedaan pandangan mengenai padan kata atau sinonimi.Pandangan pertama menyatakan bahwa ada padanan kata mutlak (absolut) dan sempurna. Sedangkan pandangan yang lain menolak adanya sinonimi absolut. yang ada hanya near-synonymy. Dalam Pandangan ahli bahasa lebih condong pada penolakan terhadap sinonimi mutlak.Hal itu sejalan dengan teori bahwa bentuk yang berbeda selalu memiliki makna yang berbeda.Dari konsep ini dapat dilakukan analisis terhadap penggunaan eufemismebahasa Indonesia modern.

Kata diinterogasiapakah bersinonim dengan diperiksa?Dalam kamus bahasa Indonesia kata interograsi berarti: 1. pertanyaan: 2. pemeriksaan terhadap seseorangdengan pertanyaan yang sistematis. Dapat dilihat dari pengertian interogasi bahwa salah satu artinya adalah memeriksa.Sedangkan pekerjaan memeriksa itu tidak selamanya berarti menginterogasi. Pengertian ‘ditanyakan dengan sistematis, dipahami sebagai proses melelahkan, menakutkan, dan hampir semua orang tahu apa yang terjadi dengan interogasi di lapangan (suatu upaya dari pihak tertentu untuk memperoleh kepastian jawaban daripihak lain dari kecurigaan atau asumsi saja, kadang berupa pemaksaan pengakuan terhadap sesuatu yang mungkin tidak dilakukan).

Penghalusan atau penggunaan eufemisme diperiksa untuk kata diinterogasi mempunyai kemungkinan tujuan antara lain (1) merupakan usaha pengalihan perhatian bahwa kejadian di balik interogasi itu tidak menyenangkan, (2) melindungi seseorang agar tidak tercemar namanya; mungkin kata interogasi akan merendahkan martabat orang yang belum tentu bersalah.

Frase pejabat bermasalah tidak selamanya sama dengan kata koruptor. Pejabat bermasalah bisa mengacu pada pengertian yang lebih ringan (dan memang demikian harapan pembuat istilah). Masalah seorang pejabat bisa jadi hanya sering terlambat jam kantor (kurang disiplin), mempunyai tanggungan utang yangbelum dilunasi. Ada kesan bahwa pengunaan frase pejabat bermasalahmenunjukkan bahwamasalah sang pejabat ada dalam batas-batas toleransi, bahkan,masih dalam batas kewajaran(?) Korupsi, sebagai salah satu masalahnya diharapkan mendapat toleransi atau pemaafan yang sama dengan masalah pejabt yang lain.

BUDAYA (BERBAHASA) INDONESIA

Ada gejala orang Indonesia enggan memakai kata-kata yang tegas menyatakan sesuatu.Kata penjara telah lama diganti dengan istilah yang amat muluk – lembaga pemasyarakatan -­walau kondisi penjara di Indonesia kini jauh lebih buruk sari Kondisi penjara di zaman kolonial.

Bahasa Indonesia juga telah disusupi oleh ciri-ciri feodal berbagai bahasa daerah.Kata berkenanumpamanya, muncul di masa pendudukan militer Jepang karena hendak menghormati kaisar TennoHeika atau pembesar-pembesar Jepang – Tenno Heika berkenan.Gunseikan berkenan – dsb. (berkenan = sesuatu yang menjadi tugas pembesar Jepang), (Lubis, 1993:5b).

Di samping itu perlu dicermati pula apa yang disebut bahasa kekuasaan dan bahasa solidaritas. Selama perjuangan nasional di zaman penjajahan dan revolusi bahasa solidaritas yang menonjol. Kata Saudara, Bung, senasib, sepenanggungan, orientasi pada rakyat, dsb. Kata penyesuaian harga, tindakan represif merupakan kata-kata bidang politik yang mengandung kecenderungan negatif. Karena tidak mampu menekan harga sembako, digunakan istilah penyesuaian harga, penyesuaian pada membubungnya harga, atau penyesuaian pada ketidakmampuan yang tak terbatas masyarakat untuk membeli?

Represif digunakan untuk kegiatan penanggulangan, mengatasi, mengobati.Suatu kandungan makna yang baik dan cukup terhormat. Tetapi kata represif seperti yang sering dikatakan Menhamkam Pangab (konon kabinet reformasi), tidak lain adalah tindakan militer dalam menyelesaikan masalah: digebuk istilah pada rezim Soeharto dahulu, sekarang disukabumikan alias didor atau dibunuh.

Orwell berpendapat, bahwa kemunduran suatu bahasa terjadi oleh penyebab-penyebab politik dan ekonomi dan bukan karena pengaruh buruk pengarang.Musuh utama bahasa yang jernih adalah ketidakjujuran. Jika iklim umum buruk, maka bahasa menderita. Jika pikiran mengorupsikan bahasa, maka bahasa dapat pula mengorupsikan pikiran, (Orwell dalam Lubis, 1993:56).

MANIPULASI YANG DITERIMA DAN TERTOLAK

Dalam kajian semantik terdapat masalah kekaburan makna (vaguness). Alston (1964:84) menyatakan bahwa suatu ungkapan atau istilah dikatakan kabur/tidak jelas jika tidak dapat memberikan jawaban yang pasti atau definitif terhadap suatu istilah atau ungkapan tersebut, sehingga tidak dapat diketahui untuk apa istilah itu digunakan atau dipakai.

Dalam konteks ini istilah kekaburan akan dikaitkan dengan istilah manipulasi, atau rekayasa (penulis maksudkan sebagai upaya penghindaran dari maksud sebenarnya). Tetapi tidak semua kekaburan atau “manipulasi” itu sebagai sesuatu yang tidak disenangi atau ditolak.

Terdapat dua bentuk kekaburan yaitu kekaburan sebagai suatu bentuk semantik (vaguness as a semantic faeture) dan kekaburan sebagai suatu bentuk yang tidak dikehendaki (vaguness as an undesirable feature).

Kekaburan yang pertama banyak berhubungan dengan masalah dalam tulisan ini. bKekaburan kedua kurang bersinggungan dengar permasalahan dalam tulisan ini. Misalnya kekaburan karena kelonggoran(loseness), ketidaktepatan (indetermi­nacy),dan kurang jelas (lack of clarity).Contoh dalam kekaburan semantik ini adalah kata setengah baya, remaja. Batasan usia dalam kata-kata tersebut tidak jelas. Apakah setengah baya berarti usia 50-an? Pastikahusia manusia seratus tahun? Bagaimana pula dengan ‘remaja’?

Eufemisme lebih banyak dimanfaatkan untuk bentuk kekaburan yang diterima. Contoh dalam bidang diplomatik misalnya – seorangduta besar Amerika untuk Uni Soviet Rusia) mengatakan: “Pemerintah kami akan menentang sepenuhnya segala bentuk campur tangan dalam huru-hara di Hongaria”. Kunci masalahnya adalah kata sepenuhnya.Penentangan sepenuhnya di dalam ungkapan tersebut mengandungbermacam penafsiran.Bisa menyiratkan sikap tidak bersahabat dalam hubungan diplomatik, atau tindakan militer Amerika sebagai negara adidaya. Bila duta Amerika tadi terus terang mengatakan “kami akan memerangi siapa saja yang turut campur” maka akan timbul kesulitan baginya (mungkin diusir), termasuk keselamatannya sebagai seorang duta.

Hal demikian tersebut tidak jauh berbeda dengan kasus eufemisme bahasa Indonesia modern. Kekaburan yang diterima secara semantik pada awalnya dimaksudkan(?) untuk menjaga ketersinggungan dan keselamatan pihak-pihak tertentu. Tetapi Kenyataannya keselamatan pihak-pihak tertentu itu lebih merugikan banyak pihak lain, yaitu dalam skala besar: bangsa Indonesia. Sehingga pantaslah apabila EUFEMISME akan menjadi TIRANI,di kepala kita.

PENUTUP

Eufemisme dalam berbahasa Indonesia merupakan sebuah rekayasa makna asosiatif, makna asosiatif sendiri terjadi karena perubahan sikap penutur terhadap makna suatu kata karena adanya perubahan sosial dan budaya. Makna asosiatif sebenarnya makna yang kurang stabil karena semua tergantung dari pandangan para pengguna bahasa secara diakronik, dimana suatu saat bisa berubah. Jadi, eufemisme merupakan sikap berbahasa yang melibatkan konteks dan sosial budaya masyarakat pengguna bahasa.

DAFTAR RUJUKAN

Alston.W.P. 1964.Philosophi of Language.Ney Jersey: Englewood Cliffs.

Fatimah TJ. 1993. Semantik 2. Bandung: Eresco.

Keraf.Gores.1981.Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kleden.Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.Jakarta: LP3ES.

Lubis.Mochtar. 1993. Budaya. Masyarakat dan Manusia Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Majalah “UMMAT”. 1998. Juni. EUFEMISME.Hlm. 53.

Mustansyir. Rizal. 1988. Filsafat Bahasa: Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya. Jakarta: Prima karya.

Oka.I.G.N. 1994.Problematik bahasa Indonesia dan alternasipemecahannya.Jurnal Bahasa dan Seni, 22 (2) 175-193.

Oka.I.G.N dan Suparno.1994.Linguistik Umum. Jakarta: B3PTKSM

Pateda.Mansoer. 1986. SemantikLeksikal. Ende – Flores: Nusa Indah.

Ullmann, Stephen. 1962. Semantics an Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.

http://santisastra.blogspot.co.id/2009/11/eufemisme.html