In House Training Dalam Peningkatan Kemampuan Guru Melaksanakan Pendidikan Karakter
IN HOUSE TRAINING DALAM RANGKA PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU MELAKSANAKAN PENDIDIKAN KARAKTER
DI SMK SARASWATI SALATIGA
Racth Bonaventura Arafsyah
Washitohadi
Ade Iriani
Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRAK
Penelitian ini berawal dari masalah kesenjangan kemampuan guru SMK Saraswati Salatiga dalam melakukan penguatan pendidikan karakter. Masalah-masalah ini akan diselesaikan dengan Penelitian Tindakan Sekolah yang ditujukan untuk: 1). Mengetahui langkah-langkah pelatihan model IHT yang dapat meningkatkan kemampuan guru untuk melaksanakan pendidikan karakter; Subjek penelitian ini melibatkan 13 guru SMK Saraswati Salatiga. Model penelitian menggunakan model Kemmis & Taggart yang terdiri dari perencanaan, implementasi, observasi, dan refleksi. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan lembar observasi dan lembar pertanyaan. Analisis data dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan: Fase Perencanaan termasuk siklus pertama: Pelatih mempresentasikan tujuan, bertanya tentang tantangan masa depan yang dihadapi abad ke-21, Pelatih mendistribusikan pre-test; Tahap implementasi meliputi tindakan selama pelatihan, pelatih mempresentasikan materi berdasarkan pendidikan karakter kelas dan menugaskan tugas peserta untuk menyiapkan kompetensi inti dan kompetensi dasar; pelatih memberikan materi berdasarkan pendidikan karakter budaya sekolah; refleksi kegiatan peer teaching tidak maksimal karena dalam integrasi nilai karakter pada mata pelajaran belum menggunakan metode pembelajaran; siklus II meliputi: Perencanaan Pelatihan menyampaikan kegiatan dalam siklus kedua yang mencakup hasil refleksi dari siklus pertama; pelatih memberikan materi pendidikan karakter berbasis masyarakat dan menugaskan tugas; Pada sesi refleksi, pelatih membagikan post-test. 2). Pelatihan model IHT dapat meningkatkan kemampuan guru untuk melakukan penguatan pendidikan karakter.
Kata kunci: IHT, Kemampuan Guru, Pendidikan Karakter
PENDAHULUAN
Bagi sebagian orang khususnya peserta didik, sekolah bisa saja menjadi rumah kedua bagi mereka. Hal ini terjadi karena peserta didik menghabiskan waktu mereka kira-kira 1/3 waktunya di sekolah setiap harinya, bahkan penerapan full day school oleh Mendikbud akan membuat peserta didik menghabiskan waktunya di sekolah lebih lama. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik yang berakhlak baik (Kompas.com:2016).
Dalam membentuk karakter peserta didik di sekolah menurut beberapa ahli dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya menurut Zubaedi (2013:141) yaitu melalui kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Menurut Mulyasa (2014:135) penanaman nilai karakter peserta didik dapat dilaksanakan melalui proses pembelajaran yang tidak hanya melalui pendekatan pedagogik tetapi akan lebih baik lagi jika menggunakan pendekatan andragogik.
Menurut Albertus (2018:9) dalam implementasi penguatan pendidikan karakter dapat diterapkan dilingkungan sekolah diantaranya melalui pendidikan karakter berbasis kelas, kultur / budaya sekolah, dan komunitas.
Berbagai bentuk penyimpangan perilaku khususnya peserta didik yang dilakukan seseorang usia 14-19 tahun yang menimbulkan masalah dalam masyarakat diantaranya meliputi perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan narkotika, miras, hubungan seks sebelum menikah (Liputan6.com). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora di Yogyakarta dengan melibatkan 1666 responden menemukan perilaku penyimpangan kenakalan remaja yaitu seks bebas mencapai 97,05% (Asmani, 2017:25). Hidayat (2012) menekankan berbagai kegiatan negatif yang dilakukan oleh peserta didik meliputi rendahnya tingkat kejujuran siswa, menurunya etika, meningkatnya kasus perkelahian. Hal menunjukkan bahwa proses pembentukan karakter yang dilakukan di sekolah belum berjalan dengan baik (Asmani, 2017:26).
Dalam memberikan pelayanan pendidikan karakter terhadap peserta didik tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan karena menurut Nasution (2007) remaja pada usia 15-18 tahun mengalami banyak perubahan secara kognitif, emosional, dan sosial, mereka berpikir lebih rumit secara emosional lebih peka dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temanya, dengan demikian maka dalam menghadapi peserta didik membutuhkan suatu tindakan dan keterampilan khusus dalam membina serta mengarahkan.
Menurut Mulyasa (2014:79) dalam mendidik peserta didik harus mengikut sertakan faktor (IQ), emosional question (EQ), creativity question (CQ) yang semuanya tertuju pada pembentukan spiritual question (SQ) peserta didik. Pembentukan emosional question (EQ) bagi seseorang dirasa sangat penting hal ini ditekankan oleh Daniel Goleman bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan bermasyarakat 80% tergantung pada kecerdasan emosi sedangkan 20% ditentukan oleh intelegence question(IQ), sedangkan hubungan pendidikan karakter dengan EQ dan SQ pada hakikatnya merupakan pengintegrasian antara kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia dengan kecerdasan intelektual (Zubaedi, 2013:41- 43).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SMK Saraswati Salatiga menemukan bahwa dalam menjalankan pendidikan karakter belum berjalan secara baik hal terbukti dengan temuan diantaranya: guru dapat membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dengan baik akan tetapi dalam menerapkan pendidikan karakter berbasis kelas guru masih berfokus pada pengetahuan kognitif peserta didik; kemudian temuan yang berikutnya adalah extrakurikuler berupa kegiatan pramuka, osis, paskibra yang seharusnya menjadi sebuah program pendidikan karakter berbasis sekolah kurang berjalan dengan baik; temuanya berikutnya kepedulian wali kelas sebagai orang tua di sekolah pada saat melakukan pembinaan terhadap siswa yang membutuhkan penanganan khusus kurang melakukan pendekatan secara psikologis tidak melihat latar belakang masalah yang dialami siswa secara menyeluruh masih berdasarkan bukti-bukti laporan seperti laporan ketidakhadiran, laporan keterlambatan, tidak mencari akar masalah kenapa peserta didik melakukan hal tersebut, kenyataan yang terjadi saat ini lebih penting lagi adalah dengan jumlah peserta didik 1250 serta jumlah guru dari berbagai bidang keahlian secara keseluruhan 66, hanya memiliki guru bimbingan konseling berjumlah 4. Jika dilihat dari perbandingan antara jumlah peserta didik dengan guru bimbingan konseling maka satu guru BK menangani + 300 peserta didik, dengan demikian maka jika dilihat dari perbandingan tersebut maka terjadi kesenjangan antara jumlah kebutuhan guru bimbingan konseling dengan jumlah peserta didik yang tidak seimbang hal ini akan mengakibatkan proses pelayanan peserta didik akan menjadi berkurang; temuan berikutnya padatnya agenda sekolah yang mengakibatkan proses pendidikan karakter berbasis masyarakat seperti peduli lingkungan dan kegiatan sosial yang lain sangat sulit diterapkan secara maksimal.
Menurut Tyagita (2018) permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia saat ini adalah kualitas guru, menurutnya kualitas guru harus ditingkatkan terlebih dahulu salah satunya dengan meningkatkan kompetensi pedagogik guru.
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1). Apakah pelatihan model In House Training dapat meningkatkan kemampuan guru SMK dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter; 2). Bagaimana langkah-langkah meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter melalui pelatihan model In House Training
LANDASAN TEORI
Karakter
Karakter menurut filosof kontemporer Lickona (2013:72) adalah perpaduan seluruh budi pekerti yang terdapat dalam berbagai macam ajaran keyakinan agama, kisah-kisah sastra, cerita-cerita orang bijak serta orang yang mempunyai ilmu pengetahuan.
Asmani (2011:28) menyatakan karakter adalah kualitas perilaku kepribadian yang dilihat dari moral, kekuatan moral, serta reputasi seseorang.
Pendidikan karakter menurut Berkowitz (1999) adalah intervensi yang secara sengaja dilakukan untuk meningkatkan pembentukan salah satu nilai karakter atau semua nilai yang dimiliki individu.
Memahami tentang karakter dari beberapa ahli tersebut, peneliti berpendapat karakter adalah kemampuan seorang individu dalam berpikir, bertindak, serta membangun kepribadian dengan jalan menanamkan nilai karakter yang berdasarkan ajaran agama, pengetahuan moral, rasa nasionalisme yang telah didapatkan semasa menjalani hidupnya dalam bermasyarakat yang berdampak pada kepribadian kepada tiap individu baik ataupun buruk, benar ataupun salah, yang lebih diarahkan kepada hal yang baik serta benar.
Kemudian Raharjo (2010) berpendapat bahwa dalam mewujudkan karakter dan moral bangsa melalui pendidikan sangat diperlukan serta tidak dapat ditangguhkan. Ramdhani (2014) menegaskan bahwa pendidikan karakter yang dilakukan dalam lingkungan sekolah terbukti berpengaruh besar dalam proses penguatan pendidikan karakter.
Untuk melihat efektivitas nilai-nilai karakter dapat tertanam dalam diri peserta didik maka menurut Wing Sze MAK (2014) dalam penelitian yang berjudul “Evaluation of a moral and character education group for primary school studentsâ€, menunjukkan efektivitas kelompok pendidikan karakter dan moral dapat dilihat dari diri seluruh peserta didik diantaranya mengalami peningkatan dalam pemahaman tentang pentingnya rasa saling menghargai, rasa hormat, kebaikan, serta timbul kesadaran diri untuk melatih dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Narvaez (2008) menyatakan tentang model pendidikan etika yang terintegrasi (the Integrative Ethical Education model) dalam mengembangkan karakter moral harus didukung oleh iklim lingkungan yang mendukung, mengembangkan keterampilan etika, pengembangan keterampilan melalui pelatihan, self regulation, serta mengadopsi pengembangan sistem pendekatan.
Menurut Mulyasa (2014:137) dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah harus menunjukkan adanya kegiatan diantaranya: pembenahan lingkungan belajar, pembuatan rencana secara bersama, pembuatan kelompok belajar, identifikasi kebutuhan belajar, rumusan tujuan,standar kompetensi, dan kompetensi dasar, pengintegrasian karakter kedalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, pengelolaan dan pelaksanaan pembelajaran yang berguna untuk mengidentifikasi kembali kebutuhan belajar.
Menurut Tobing (2007:28-32) faktor penting dalam penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran adalah manusia, kepemimpinan, dan teknologi. Menurut Jalaluddin (2013:114) dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah guru harus mempunyai cara di antaranya: Menggunakan prinsip keteladanan dari berbagai pihak baik keluarga, guru, masyarakat, pemerintah maupun pihak pimpinan; menggunakan prinsip pembiasaan dalam berbagai aspek kehidupan; menggunakan prinsip kesadaran dalam berperilaku sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.
Kemudian menurut Albertus (2015:56) keberhasilan pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah terletak pada guru, karena sebaik apapun program pelaksanaan pendidikan karakter yang dibuat tanpa adanya pengetahuan, keterampilan yang memadai dari pelaksana, yaitu guru maka program pendidikan karakter tidak akan berjalan dengan baik. Selanjutnya Kompri (2015:161) menekankan bahwa guru merupakan key person dalam proses pelaksanaan pendidikan, dengan begitu maka guru harus selalu mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap.
Kompetensi
Keberasilan kegiatan pembelajaran yang berlangsung di sekolah tentunya tidak lepas dari faktor kompetensi yang dimiliki seorang guru. Kompetensi menurut Daryanto (2015:163) adalah kemampuan dan kecakapan yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dimiliki oleh individu sehingga dapat melakukan perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan baik.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 dijelaskan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh seorang pendidik dalam melaksanakan keprofesionalisannya.
Pelatihan
Rindjin (2007) berpendapat bahwa Peningkatan profesionalisme guru dapat dilakukan secara: belajar mandiri, seminar, program penataran, pelatihan, program penyetaraan, penyegaran, serta program studi lanjut. Freeman (1989) menegaskan bahwa melalui pelatihan dalam jabatan (on the jobtraining) terbukti secara signifikan dapat meningkatkan produktifitas guru. Elnaga (2013) dalam penelitiannya yang berjudul The effect of training on employee performance juga menemukan bahwa pelatihan dapat meningkatkan kinerja pegawai.
Menurut Wukir (2013: 73-76) jenis-jenis pelatihan yang dapat dilakukan dilingkungan pendidikan diantaranya: 1). In-Services Course for Teacher (Program Pelatihan untuk Guru); 2). Staff Seminar; 3). Induction Course (Kursus Pelatihan Induksi); 4). On The Job Training; 5). Off The Job Training; 6). On and Off the Job Training; 7). Vestibule Training; 8). Refresher Course (Kursus Penyegaran); 9). Sensivity Training (Pelatihan Kepekaan); 10). Supplementary Training (Pelatihan Tambahan).
Hubungan kegiatan pelatihan dalam rangka peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang dilaksanakan di sekolah disebut dengan penelitian tindakan sekolah. Menurut Bargal (2008) dan Sugiyono (2013: 687) penelitian tindakan adalah cara ilmiah yang sistematis dan bersifat siklus / daur ulang yang berfungsi untuk memperbaiki masalah dalam situasi sosial, dengan cara mengkaji situasi sosial, memahami permasalahan, serta menemukan pengetahuan yang berupa tindakan.
Menurut Danim (2012) pelatihan yang dilaksanakan secara internal oleh kelompok kerja guru disebut dengan In house training, penyelenggaraan pelaksanaan IHT dalam hal ini adalah sekolah yang dilakukan berdasar pada pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karier guru tidak harus dilakukan secara eksternal, namun dapat dilakukan secara internal oleh guru sebagai trainer yang memiliki kompetensi yang belum dimiliki oleh guru lain dengan ketentuan peserta dalam in house training minimal 4 orang dan maksimal 15 orang.
Menurut Sujoko (2012) program pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga tertentu yang bertempat di dalam suatu lembaga itu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru disebut In House Training, dan melalui In House Training terbukti dapat meningkatkan kemampuan guru dalam proses pembelajaran.
Menurut Ayuningtyas (2017) IHT merupakan program yang diselenggarakan di sekolah tempat lain menggunakan peralatan serta materi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, yang bertujuan mengembangkan kompetensi skill, knowledge dan attitude.
Marwansyah (2012: 170) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan IHT perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Tahap Perencanaan meliputi: menentukan sasaran pelatihan, menentukan tujuan pelatihan, menentukan waktu dan tempat pelatihan, menentukan materi pelatihan, menentukan pendekatan dan metodologi pelatihan; menentukan peserta pelatihan dan trainer, menentukan kebutuhan serta fasilitas yang diperlukan untuk pelatihan, menentukan model evaluasi pelatihan, menentukan sumber pembiayaan yang dibutuhkan; 2) Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan pelatihan, pengumpulan data melakukan pengamatan selama pelatihan; 3) tahap evaluasi pelatihan meliputi evaluasi penilaian terhadap kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan karena berlatangbelakang atas pencarian solusi atas masalah yang timbul karena masalah sosial, hal ini sesuai dengan pernyataan Lewin (1946/1948) yaitu Action research originally sought the solution of social problems (Bargal, 2008:17-27). Langkah-langkah penelitian menggunakan model McTaggart (1991:9) meliputi perencanaan (Planning), pelaksanaan (Acting), pengamatan (Observing), dan refleksi (Reflecting).
Penelitian ini secara langsung melibatkan peneliti yang terdiri 2 siklus masing-masing siklus terdiri dari satu kali pertemuan. Subyek penelitian tindakan sekolah yang digunakan dalam penelitian berjumlah berjumlah 13 guru. sumber informasi serta data dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah, guru serta cacatan lapangan selama kegiatan pelatihan berlangsung.
Teknik dan insrumen pengumpulan data menggunakan teknik tes berupa soal pre-test dan post-test dan teknik non tes meliputi panduan observasi yang berbentuk lembar ceklist menggunakan skala likert yang hasilnya akan disikripsikan dalam bentuk kalimat penjelasan serta dokumentasi.
Indikator keberhasilan penelitian tindakan melalui in house training ini dianggap berhasil jika nilai pretest dan posttest mencapai ketuntasan minimal seluruh peserta pelatihan mencapai 75% dengan nilai minimal 65 (Mulyasa, 2012:191). Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kategoris dan komparatif. Teknik komparatif digunakan untuk mendiskripsikan capaian kemampuan peserta IHT antar siklus, untuk mendeskripsikan kategori hasil observasi aktivitas trainer dan peserta pelatihan serta kemampuan peserta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Kemampuan awal guru SMK Saraswati Salatiga dalam melaksanakan pendidikan karakter masih rendah, hal ini terlihat pada pengumpulan data yang dilakukan peneliti pada saat awal penelitian. Data awa diperoleh dari 1). Observasi dilakukan dengan melihat serta mencatat aktivitas yang dilakukan oleh guru selama melakukan interaksi sesame guru dan interaksi pada saat melakukan kegiatan pembinaan peserta didik; 2). Studi wawancara dilakukan dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan serta beberapa guru; 3). Melalui angket penilaian penguatan pendidikan karakter. Menghasilkan bahwa penguatan pendidkan karakter yang dilaksanakan di sekolah melalui penguatan pendidikan karakter berbasis kelas, penguatan pendidikan karakter berbasis sekolah dan penguatan pendidikan karakter berbasis masyarakat masih jauh dari hasil yang diharapkan yaitu mampu membentuk peserta didik menjadi pribadi yang tidak hanya mempunyai pengetahuan dalam bidangnya masing-masing serta harus mempunyai akhlak yang baik, berawal dari kesenjangan yang terjadi tersebut maka sekolah harus menjadi salah satu ujung tombak keberhasilan pembentukan karakter peserta didik hal ini ditekankan oleh Jaluddin (2013:215) bahwa pembentukan karakter ini tidak dapat terjadi dengan sendirinya akan tetapi membutuhkan peranan keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat serta pemerintah. Kemudian untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi tersebut maka pihak sekolah perlu melakukan tindakan pelatihan dengan model in house training.
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) siklus, masing-masing siklus terdiri dari satu pertemuan. Pada siklus I materi pelatihan yang diberikan mencakup: 1). Kebijakan dan Konsep dasar penguatan pendidikan karakter yaitu latar belakang dan urgensi program penguatan pendidikan karakter (PPK), konsep dasar penguatan pendidikan karakter, prinsip-prinsip implementasi dan pengembangan PPK, nilai-nilai utama PPK, implikasi kebijakan bagi pengembangan program PPK, pemilihan materi ini karena menurut Zubaedi (2013:1) pada zaman modern ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis moral ; 2). PPK Berbasis Kelas; 3). PPK Berbasis Sekolah.
Masuk pada siklus ke II sebelum melanjutkan materi trainer memberikan refleksi dari hasil siklus ke I yaitu memberikan tugas peer teaching kepada peserta pelatihan yang berdasarkan atas mata pelajaran dari masing-masing peserta pelatihan. Kemudian memberikan materi pada siklus ke II mencakup:1). PPK Berbasis Masyarakat.
Hasil observasi aktivitas trainer maupun peserta IHT siklus I, menunjukkan perolehan persentase aktivitas trainer mencapai 79,63% dalam kategori baik, sedangkan aktivitas peserta pelatihan memperoleh persentase 94,44% dalam kategori baik sekali.
Hasil observasi aktivitas trainer maupun peserta IHT siklus II, menunjukkan perolehan persentase aktivitas trainer mencapai 88,89% dalam kategori baik sekali, sedangkan aktivitas peserta pelatihan memperoleh persentase 100% dalam kategori baik sekali
indikator aktivitas trainer yang diukur selama pelatihan meliputi memaparkan tujuan pelatihan, metode penyampaian materi, kegiatan refleksi dan evaluasi yang dilakukan trainer setelah kegiatan berakhir. Indikator aktivitas peserta pelatihan meliputi: Inisiatif dan antusias peserta pelatihan untuk melakukan umpan balik terhadap materi yang disampaikan trainer, dapat bekerja sama dengan trainer dan peserta pelatihan, inisiatif mengerjakan tugas mandiri ataupun tugas kelompok.
Capaian kemampuan hasil belajar peserta IHT pada siklus I dari jumlah peserta keseluruhan yang berjumlah 13 yang sudah mencapai nilai lebih dari 65 hanya 15% dan rata-rata nilai keseluruhan peserta 50,34. Capaian hasil belajar pre-test tersebut dikatakan belum berhasil hal ini disebabkan trainer dalam menyampaikan materi baru sebatas menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi.
Kemampuan hasil belajar peserta IHT pada siklus II dapat terlihat dari hasil post-test yaitu keberhasilan capaian nilai peserta yang sudah mencapai skor Â> 65 mencapai 85% dan rata-rata nilai mencapai 72,37. Hasil capaian post-test dikatagorikan baik sekali, sehingga capaian hasil dikatakan berhasil.
Capaian kemampuan hasil belajar peserta IHT pada siklus I dari jumlah peserta keseluruhan yang berjumlah 13 yang sudah mencapai nilai lebih dari 65 hanya 15% dan rata-rata nilai keseluruhan peserta 50,34. Capaian hasil belajar pre-test tersebut dikatakan belum berhasil hal ini disebabkan trainer dalam menyampaikan materi baru sebatas menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi.
Kemampuan hasil belajar peserta IHT pada siklus II dapat terlihat dari hasil post-test yaitu keberhasilan capaian nilai post-test yang sudah mencapai skor Â> 65 mencapai 85% dan rata-rata nilai mencapai 72,37. Hasil capaian post-test dikatagorikan baik sekali, sehingga capaian hasil dikatakan berhasil
PEMBAHASAN
Hasil komparasi observasi aktivitas trainer maupun peserta IHT menunjukkan perolehan persentase sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Aktivitas Trainer dan Peserta IHT Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan data perbandingan diatas dapat dipaparkan sebagai berikut: dari hasil persentase aktivitas trainer pada siklus I didapatkan 79,63%. Dari hasil nilai persentase aktivitas trainer pada siklus I dinyatakan dalam kategori baik. Untuk hasil aktivitas trainer pada siklus ke II mencapai nilai persentase sebesar 88,89% yang dinyatakan dalam kategori baik sekali.
Hasil persentase aktivitas peserta pelatihan pada siklus I didapatkan 94,44%. Dari hasil nilai persentase aktivitas peserta pada siklus I dinyatakan dalam kategori baik sekali. Untuk hasil aktivitas peserta pada siklus ke II mencapai nilai persentase sebesar 100% yang dinyatakan dalam kategori baik sekali.
Hasil komparasi pre-test dan post-test peserta IHT menunjukkan perolehan sebagai berikut:
Gambar 2. Grafik komparasi Pre-test dan Post-test
Berdasarkan data perbandingan seperti diatas dapat dipaparkan beberapa temuan: a) IHT penguatan pendidikan karakter yang telah dilakukan pada siklus I belum berhasil. Temuan ini berdasarkan atas hasil belajar peserta IHT yang baru mencapai nilai rata-rata 50,34 dan yang mencapai nilai lebih dari 65 hanya 15% dari jumlah peserta keseluruhan berjumlah 13 peserta, keberhasilan IHT dikatakan berhasil apabila sudah mencapai 85% dengan mencapai nilai 65; b) IHT penguatan pendidikan karakter pada siklus II dikatakan berhasil berdasarkan hasil dari post-test yang telah mencapai nilai rata-rata peserta 72,37 dengan ketercapaian peserta yang mendapat nilai
65 mencapai 85%.
Peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan yang dilakukan oleh peneliti terbukti dapat menigkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah. Hal ini sejalan dengan Freeman (1989) dan Elnaga (2013) menyatakan bahwa pelatihan secara signifikan dapat meningkatkan kinerja pegawai. Kemudian Meilya (2015) melakukan penelitian tentang evaluasi program pelatihan IHT pembelajaran paket C di sanggar kegiatan belajar jawa tengah menemukan bahwa pelatihan menggunakan pedoman penilaian PAP dan PAN masuk pada kategori peningkatan. Hasil dari penelitian tentang pelatihan serta evaluasi pelatihan IHT mendukung penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti.
Berkaitan dengan peningkatan kemampuan guru melalui IHT sejalan dengan hasil penelitian Agustina (2016) bahwa pemberdayaan guru melalui IHT terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Keberhasilan IHT dalam meningkatkan kemampuan guru ini juga sesuai dengan hasil penelitian Sujoko (2012) menemukan bahwa secara signifikan IHT dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan rencana pelaksanaan pembelajaran bermuatan karakter. Kemudian Sueta (2010) menegaskan bahwa melalui IHT terbukti secara efektif dapat menigkatkan kemampuan guru dalam pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Dari keseluruhan hasil penelitian relevan yang telah diteliti tentang pelatihan IHT baru sebatas implementasi rencana pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pelatihan IHT, pemberdayaan pendidik dalam program pelatihan IHT. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini lebih berfokus pada penguatan pendidikan karakter yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka membentuk karakter peserta didik melalui sekolah.
Temuan penelitian tindakan sekolah melalui IHT membuktikan bahwa peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui IHT. Peningkatan kemampuan guru dalam penguatan pendidikan karakter meliputi nilai-nilai utama penguatan pendidikan karakter, prinsip-prinsip pengembangan dan implementasi PPK, fokus gerakan penguatan pendidikan karakter, basis gerakan penguatan pendidikan karakter, manfaat penguatan pendidikan karakter, konsep-konsep dasar, serta implementasi penguatan pendidikan karakter berbasis kelas, berbasis budaya sekolah, berbasis masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan temuan dan hasil pembahasan berikut disampaikan dua simpulan dari penelitian tindakan sekolah ini. Simpulan Pertama, pelatihan model IHT dapat meningkatkan kemampuan guru SMK Saraswati Salatiga dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter; simpulan ini berdasarkan data peningkatan persentase trainer yang mencapai KKM kriteria keberhasilan mencapai 65 dari 79,63% pada siklus I menjadi 88,89% pada siklus II. Aktivitas peserta pelatihan pada siklus I mencapai 94,44%, pada siklus ke II mengalami peningkatan mencapai 100%. Simpulan ini merupakan capaian aktivitas trainer maupun peserta pelatihan pada kategori baik sekali.
Simpulan Kedua, langkah-langkah pelatihan IHT yang dapat meningkatkan kemampuan guru SMK Saraswati Salatiga dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakteri: Tahap Perencanaan meliputi siklus I ditunjukkan oleh langkah-langkah berikut: Trainer membagikan buku pegangan penguatan pendidikan karakter kemudian memaparkan tujuan, bertanya tentang tantangan kedepan yang dihadapi peserta didik menghadapi kemajuan ilmu teknologi informasi dan komunikasi abad ke-21. Trainer membagikan soal pre-test yang kemudian para peserta pelatihan mengerjakan secara individu, pada saat trainer menjelaskan tentang prinsip – prinsip pengembangan PPK, basis pendekatan PPK, implikasi kebijakan bagi lembaga pendidikan secara antusias peserta pelatihan memperhatikan materi yang disampaikan serta berinisiatif menjawab pertanyaan dan membaca buku dari trainer.
Tahap pelaksanaan meliputi tindakan selama pelatihan berlangsung, trainer memaparkan materi dengan metode ceramah, roleplay, problem based learning, diskusi kelompok serta janya jawab. pada saat trainer menyampaikan materi penguatan pendidikan karakter berbasis kelas, trainer memberikan tugas diskusi sumbang saran mengenai kegiatan belajar mengajar dalam kelas peserta pelatihan berinisiatif untuk bekerja sama dalam kegiatan belajar yang selama ini telah dilakukan di kelas, trainer juga menegaskan bahwa kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di kelas dengan cara integrasi melalui metode mengajar yang dipilih serta dapat diintegrasikan melalui mata pelajaran; Trainer menyampaikan materi metode pembelajaran dengan mempersilahkan peserta pelatihan untuk membaca buku pegangan PPK, trainer memberikan tugas kepada setiap kelompok untuk berdiskusi memilih memilih metode pembelajaran yang tepat sesuai denga kompetensi dasar peserta, memberikan tugas kepada kelompok untuk mengintegrasikan nilai karakter yang sesuai dengan karakter mata pelajaran yang telah disepakati oleh kelompok peserta pelatihan.
Trainer dalam menyampaikan materi integrasi PPK dalam mata pelajaran menugaskan kepada peserta pelatihan untuk menyiapkan kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) untuk mata pelajaran yang telah dipilih kemudian kelompok merancang minimal satu aktivitas berdasarkan KD serta metode yang akan dipraktekkan, setelah peserta menyusun KD peserta pelatihan melaksanakan tugas peer teaching.
Pada saat trainer menyampaikan materi PPK berbasis budaya sekolah peserta berdiskusi tentang aturan tata tertib sekolah dengan penuh perhatian dan antusias peserta pelatihan mendengarkan presentasi yang disampaikan oleh trainer. tentang membangun budaya sekolah seperti melaksanakan kegiatan membaca 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, kegiatan ekstrakuriler, menetapkan aturan sekolah. Pada saat pelatihan berlangsung observer melakukan pengamatan. Pada sesi akhir pelatihan trainer melakukan refleksi bersama evaluasi tentang kegiatan peer teaching yang dianggap kurang maksimal karena dalam integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran belum memaksimalkan metode pembelajaran discovery learning, cooperative learning, problem based learning, peserta masih sebatas menggunakan metode ceramah.
Keberhasilan IHT dari siklus II ditunjukkan oleh langkah-langkah berikut: Perencanaan Trainer menyampaikan kegiatan pada siklus ke II yang meliputi hasil refleksi dan evaluasi dari siklus I, menyampaikan kegiatan peer teaching selama 10 menit kemudian peserta pelatihan secara antusias melakukan kegiatan peer teaching dengan kompetensi dasar yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dengan metode mengajar yang sesuai dengan mata pelajaran yang terintegrasi dengan penguatan pendidikan karakter.
Tahap pelaksanaan meliputi pada saat peserta pelatihan selesai melaksanakan kegiatan peer teaching, trainer membagi peserta pelatihan menjadi 4 kelompok yang masing – masing kelompok terdapat 3 peserta pelatihan akan tetapi ada yang satu kelompok yang terdiri dari 4 orang hal in dikarenakan peserta berjumlah 13 peserta, trainer menyampaikan materi materi PPK berbasis masyarakat dengan metode presentasi, kemudian trainer memberikan tugas berupa lembar kerja 1 dan lembar kerja 2.
Pada sesi refleksi dan evaluasi trainer membagikan soal evaluasi berupa post-test hal ini dilakukan untuk mengetahui ketercapaian materi yang telah diterima oleh peserta pelatihan, kemudian trainer menyimpulkan hasil dari pelatihan IHT yang telah dilaksanakan.
Saran
Berdasarkan simpulan Penelitian Tindakan Sekolah dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut: a). Bagi Guru, disarankan menerapkan PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, PPK berbasis masyarakat;b). Bagi Kepala sekolah, disarankan agar melanjutkan penelitian tindakan sekolah menggunakan model IHT karena melalui pelatihan yang dilakukan dilingkungan sekolah terbukti dapat meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan PPK. Bagi pengawas, disarankan mendorong kepala sekolah dan guru agar secara berkelanjutan meningkatkan kemampuan guru dalam penguatan pendidikan karakter; d). Untuk Peneliti yang akan melaksanakan penelitian lanjutan, disarankan agar melakukan penelitian PPK dengan model pelatihan IHT dengan materi yang lebih berfokus pada strategi, metode, serta model pendekatan pembelajaran agar nilai-nilai karakter yang ditanamkan kepada peserta didik dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Albertus, Doni Koesoema. (2015) Strategi Pendidikan Karakter, Yogyakarta. PT Kanisius
Albertus, Doni Koesoema. (2018). Pendidikan Karakter Berbasis Kelas. Yogyakarta. PT Kanisius
Asmani, Jamal Ma’mur. (2011). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Jogjakarta. Diva Press
Ayuningtyas, A. E., Slameto, S., & Dwikurnaningsih, Y. (2017). Evaluasi Program Pelatihan In House Training (IHT) di Sekolah Dasar Swasta. Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(2), 171-183.
Bargal, David. (2008).”Action research: A paradigm for achieving social change.” Small Group Research 39.1: 17-27.
Berkowitz, Marvin W. (1999). “Obstacles to teacher training in character education.” Action in Teacher Education 20.4: 1-10.
Danim, Sudarwan. (2012). Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta. Rineka Cipta
Elnaga, Amir, and Amen Imran. (2013). “The effect of training on employee performance.” European Journal of Business and Management 5.4: 137-147
Fachrudin, Fachri. (2016). Full Day School Tak berarti Belajar Seharian di Sekolah. Kompas. (http://nasional.kompas.com/read/2016/08/09/08530471/.full.day.school.tak.berarti.belajar.seharian.di.sekolah.ini.penjelasan.mendikbud)
Freeman, Donald. (1989). “Teacher training, development, and decision making: A model of teaching and related strategies for language teacher education.” Tesol Quarterly 23.1: 27-45
Hidayat, Asep Saepul. (2015). “Manajemen Sekolah Berbasis Karakter.” Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship 1.01: 8-22.
Jalaluddin. Abdullah Idi. (2013) Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan). Jakarta. Rajagrafindo Persada
Komri. (2015). Manajemen Pendidikan, Yogyakarta, AR-RUZZ Media
Kusmiyati. (2013). Berbagai Perilaku Kenakalan Remaja Yang Mengkhawatirkan. Liputan6.com. (http://health.liputan6.com/read/688614/berbagai-perilaku-kenakalan-remaja-yang-mengkhawatirkan)
Lickona, Thomas. (2013) Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, Bandung. Nusa Media
MAK, Wing Sze. (2014) “Evaluation of a moral and character education group for primary school students.” Evaluation 3: 142-164
Mawansyah. (2010). Manajemen Sumber DayaManusia. Bandung: Alfabeta
McTaggart, Robin. (1991).”Principles For Participatory Action Research”.Adult education quarterly. September (41:168)
Meilya, Ika Rizqi, and Ibnu Syamsi. (2015). “Evaluasi program pelatihan in-house training pembelajaran paket C di sanggar kegiatan belajar Jawa Tengah.” Jurnal Pendidikan Dan Pemberdayaan Masyarakat 2.2: 156-174.
Mulyasa. (2012). Penelitian Tindakan Sekolah, Bandung. Remaja Rosdakarya
Mulyasa. (2014). Manajemen Pendidikan Karakter, Bandung. Bumi Aksara
Narvaez, Darcia, and Daniel K. Lapsley. (2008).”Teaching moral character: Two alternatives for teacher education.” The Teacher Educator 43.2: 156-172.
Nasution, I. K. (2007). Stres pada remaja.
Purwanto, M. Ngalim. (2010). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung. Remaja Rosdakarya.
Raharjo, Sabar Budi. (2010). “Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 16.3: 229-238.
Ramdhani, Muhammad Ali. (2017). “Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter.” Jurnal Pendidikan UNIGA 8.1: 28-37
Rindjin, Ketut. (2007).”Peningkatan Profesionalisme Guru.” Jurnal Pendidikan dan Pengajaran
Sueta, Nyoman. (2010).“Peningkatan Kemampuan Guru Dalam Menyusun Kelengkapan Mengajar Melalui In House Training pada SMK Bhakti Mulya Sampitâ€. Laporan Penetilitian Tindakan Sekolah
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Manajemen, Bandung. Alfabeta
Sujoko, Alfaris. (2012). “Peningkatan Kemampuan Guru Mata Pelajaran melalui In-House Training.“ Jurnal Pendidikan Penabur 11.18: 36-55.
Tobing, P. (2007). L.Knowledge Management: Konsep, Arsitektur, dan Implementasi,Yogyakarta. Graha Ilmu
Tyagita, B. P. A., & Iriani, A. (2018). Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk Meningkatkan Mutu Sekolah. Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, 5(2), 165-176.
Wukir. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi Sekolah, Yogyakarta: Multi Presindo
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter, Jakarta. Kencana Prenada Media Group